Al-Bajuri, yang lengkapnya ‘Allamah Fadhilatusy Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Syaikh Muhammad Al-Jizawi bin Ahmad Asy-Syafi’i Al-Bajuri, lahir pada tahun 1198 H/1783 M, di Desa Bajur atau Baijur, pusat Distrik Al-Munufiyah Mesir.
Ia tumbuh dan besar dalam pangkuan orangtuanya, yang alim dan shalih, dan dididik dengan ilmu agama dan bacaan Al-Qur‘an.
Pada tahun 1212 H/1797 M, saat usianya baru mencapai 14 tahun, ia berangkat ke Al-Azhar Asy-Syarif untuk menimba ilmu.
Belum genap setahun ia belajar, pada tahun 1213/1798 M pasukan Prancis menduduki Mesir, sehingga membuatnya keluar dari Al-Azhar dan memilih berdiam di Giza selama beberapa tahun.
Pada tahun 1216 H/1801 M, saat Prancis meninggalkan Mesir, ia kembali lagi ke kampus yang didirikan oleh Panglima Jauhar Ash-Shiqili itu.
Di Al-Azhar, Ibrahim Al-Bajuri dengan tekun belajar dari guru-gurunya. Ia mengaji dari halaqah ke halaqah yang lain. Kecerdasan yang diikuti ketekunannya itu membuat ia berhasil dalam meraih ilmu di Al-Azhar, meski saat itu Al-Azhar dalam keadaan belum stabil pasca-penjajahan Prancis.
Di antara guru-gurunya di Al-Azhar adalah Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Al-Amir Al-Kabir Al-Maliki, seorang ulama terkemuka yang sebagian besar ulama Mesir ketika itu mengambil ijazah dan sanad kepadanya. Guru-guru lainnya ialah Allamah Syaikh Abdullah Asy-Syarqawi (ulama, penulis, syaikh besar Syaikh Al-Azhar), Syaikh Daud Al-Qal`i, Syaikh Muhammad Al-Fadhali, Syaikh Al-Hasan Al-Quwisni (syaikh besar Al-Azhar pada masanya).
Kesibukannya sebagai rektor dan guru besar Al-Azhar tidak menghalanginya untuk menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat dan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh para santri sejak masa hidupnya sampai setelah puluhan bahkan ratusan tahun kemudian. Bukan saja santri-santri dari Indonesia, melainkan juga dari belahan dunia Islam yang lain.
Bahkan dalam usia sangat muda, Syaikh Al-Bajuri telah mampu menghasilkan beberapa buah karya yang bagus. Semua ini merupakan buah ketekunan dan kecerdasannya. Saat usia 24 tahun, ia menulis hasyiyah (ulasan dan penjelasan) atas risalah gurunya, Syaikh Al-Fadhali, tentang makna “La Ilaha Illa Allah”. Ini merupakan karya pertama yang ditulisnya pada tahun 1222 H/1807 M.
Sepanjang hidupnya ia menulis tidak kurang dari 20 karya. Karya berikutnya, Hasyiyah Tahqiqi al-Maqam ‘Ala Risalah Kifayati al-‘Awam Fima Yajibu Fi Ilmi al-Kalam (selesai tahun 1223 H/1808 M), Fath al-Qari al-Majid Syarh Bidayah al-Murid (selesai tahun 1224 H/1809 M), Hasyiyah ‘Ala Maulid al-Musthafa Libni Hajar (selesai tahun 1225 H/1810 M), Hasyiyah ‘Ala Mukhtashar as-Sanusi (selesai tahun 1225 H/1810 M), Hasyiyah ‘Ala Matn as-Sanusiyah (selesai tahun1227 H/1812 M), Tuhfah al-Murid ‘Ala Syarh Jauharah at-Tauhid Li al-Laqqani (selesai tahun 1234 H/1888 M), Tuhfah al-Khairiyyah ‘Ala al-Fawaid asy-Syansyuriyah Syarh al-Manzhumah ar-Rahabiyyah Fi al-Mawarits (selesai tahun 1236 H/1890 M), Ad-Durar al-Hisan ‘Ala Fath ar-Rahman Fima Yashilu Bihi al-Islam Wa al-Iman (selesai tahun 1238 H/1892 M), Hasyiyah ‘Ala Syarh Ibn al-Qasim al-Ghuzzi ‘Ala Matn asy-Syuja‘i (selesai tahun 1258 H/1842 M), dan beberapa karya lainnya. Kitab yang disebut terakhir ini adalah kitab yang dipelajari di Al-Azhar Asy-Syarif hingga saat ini.
Syaikh Al-Azhar dan Asy’ariyyah
Pengetahuan dan kapasitas keilmuan Al-Bajuri yang mumpuni, yang diperolehnya dari para guru besar di Al-Azhar, membuatnya dipercaya sebagai seorang tenaga pendidik di almamaternya tersebut.
Berkat ketekunan dan keikhlasannya dalam belajar dan mengajar, pada akhirnya ia diangkat ke posisi yang tinggi. Pada tahun 1263 H/1846 M, Al-Bajuri diangkat menjadi syaikhul Al-Azhar, menggantikan Syaikh Ash-Shafti, yang wafat. Kedudukan sebagai syaikh Al-Azhar ini diembannya hingga akhir hayat.
Setelah wafatnya Al-Bajuri, dewan tertinggi Al-Azhar sempat kebingungan menunjuk tokoh yang kapasitasnya setara dengannya, sehingga untuk beberapa waktu Al-Azhar dipimpin oleh empat orang syaikh pengganti Al-Bajuri.
Sebagai seorang Sunni sejati, Syaikh Al-Bajuri mengembangkan Madzhab Asy’ariyyah, baik di Al-Azhar maupun dalam kehidupan masyarakat muslim Mesir, sebagaimana masa pemerintahan Ayyubiyyah dan Mamalik, yang menebarkan manhaj Asy‘ariyyah.
Di masa Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, gerakan Wahabi di bahagian timur Hijaz mulai terdengar. Ketika itu mereka belum dapat menguasai Semenanjung Arab.
Pandangan-pandangan Wahabi sangat keras, bahkan mereka mencap ulama-ulama Ahlussunnah yang bermanhajkan Asy’ariyyah adalah sesat dan menyesatkan, dan oleh karena itu mesti dibasmi. Namun lontaran-lontaran pedas ini tak bisa menyulut pergesekan, apalagi khilafah Utsmaniyah masih ada dan menjaga madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan pandangan Asy’ariyyah.
Al-Imam Al-Bajuri pun mengantisipasi serangan pemahaman Wahabi, dengan mengarang beberapa kitab yang menjelaskan manhaj Asy’ariyyah. Di antaranya karya yang membahas Hasyiyah Kifayah al-‘Awam yang diberi nama Tahqiq al-Maqam. Kitab Kifayah al-‘Awam merupakan karangan guru Imam Al-Bajuri, yaitu Syaikh Muhammad Al-Fadhali. Kitab ini dipelajari pelajar-pelajar Al-Azhar hingga sampai Nusantara.
Berikutnya karyanya yang berjudul Al-Fath al-Qarib Syarh Bidayah al-Murid. Kitab matannya merupakan karya Al-Imam As-Siba‘i yang memuat tauhid atas manhaj Asy’ariyyah, dan Imam Ibrahim mencoba mengulas dan menjelaskan isi kitab ini agar mudah dipahami para pelajar.
Ada juga karyanya yang lain, yang berjudul Hasyiyah ‘Ala Matn as-Sanusiyah. Kitab Matn as-Sanusiyah ini ringkas dan bagus susunannya, membuat banyak kalangan pelajar ilmu tauhid bergairah untuk mengkajinya, termasuk Imam Al-Baijuri.
Karya Al-Bajuri yang lain yang menelisik manhaj Asy’ariyyah yakni Tuhfah al-Murid ‘Ala Syarh Jauharah at-Tauhid. Kitab ini merupakan syarah dari matan Manzhumah Jauharah at-Tauhid, yang sangat terkenal di kalangan para penuntut ilmu agama, hasil karya Syaikh Ibrahim Al-Laqqani, seorang ahli dalam ilmu hadits dan tauhid. Kitab ini memuat sebanyak 144 bait syair.
Imam Al-Bajuri mencoba mengerahkan segala kemampuannya dan keahliannya untuk mensyarahkan kitab ini, dengan cara mengulas dan memutuskan mana yang tepat dan rajih di kalangan ulama Ahlussunnah. Ia juga mengisinya dengan dalil naqli dan aqli serta menyebutkan perbedaan pendapat Asy’ariyyah dan Maturidiyyah di dalam sebahagian permasalahan.
Imam Al-Bajuri wafat pada Kamis, 28 Dzulqa‘dah 1276 H/19 juli 1860 M. Ribuan pelayat dari kalangan ulama dan mahasiswa Al-Azhar serta masyarakat hadir untuk memberikan penghormatan terakhir bagi guru besar yang kharismatis ini. Jenazahnya dishalatkan di Masjid Al-Azhar Asy-Syarif dan dikuburkan di kawasan Qurafah Al-Kubra (Al-Mujawarin).
Disebutkan dalam manaqibnya, Al-Bajuri adalah seorang ulama yang amat mencintai dzurriyah Rasul SAW. Ia rajin mengunjungi dan berziarah kepada para dzurriyyah, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Salah satu bukti kecintaannya itu bisa kita lihat pada bagian akhir dari salah satu karyanya, Hasyiyah ‘Ala Syarh Ibn Qasim. Al-Bajuri menampakkan kecintaannya dan semangatnya bertabarruk dengan ahlul bayt Nabi SAW dan ulama salaf shalih, khususnya Sayyid Ahmad Al-Badawi.
Dalam kitab karyanya tersebut, secara khusus ia menyarankan kepada siapa pun yang mengkhatamkan hasyiyahnya itu untuk membacakan hadiah Fatihah bagi Sayyid Ahmad Al-Badawi, yang dalam merampungkan kitab tersebut bertepatan dengan hari haul Al-Badawi. Itu pula barangkali yang menjadikan karya-karyanya banyak disambut baik para pelajar dan terasa betul manfaat dan keberkahannya hingga sekarang.
Wallahui a’lam bisshowab
0 komentar:
Post a Comment