Ini adalah jawaban dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Ustadz Firanda di Websitenya mengenai Tahlilan.
Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Menjawab Menjawab Firanda Mengenai "Ustadz Idrus Ramli Menjawab Firanda Mengenai Tahlilan"
DIALOG DENGAN WAHABI ANTI TAHLILAN
Beberapa member FP, dari kaum Wahabi yang anti Tahlilan, menulis link ke situs Ustadz Wahabi, yaitu Dr Firanda Andirja, yang menulis bantahan tentang tradisi Tahlilan. Berikut ini jawaban kami terhadap artikel tersebut, secara singkat. Kami tulis dalam bentuk dialog agar mudah dipaham oleh pembaca.
WAHABI: “Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?". Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?”
SUNNI: “Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”
WAHABI: “Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!”
SUNNI: “Sudah kami katakan berulang kali, bahwa para ulama Syafi’iyah hanya memakruhkan selamatan/kenduri kematian. Dan makruhnya masih makruh tanzih, bukan tahrim. Para ulama Salaf, dan madzahibul arba’ah (madzhab empat), tidak ada yang mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan. Jadi mereka sepakat tidak mengharamkan.
Imam al-Syafi’i dan Imam al-Nawawi, dengan pendapatnya tersebut bukan Wahabi. Beliau berdua sepakat membagi bid’ah menjadi dua, hasanah dan sayyi’ah, bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dan lain-lain yang dikafirkan dan disyirikkan oleh kaum Wahabi.
Anda perlu mempelajari teori bermadzhab. Agar mengerti hakikat bermadzhab, dan tidak dengan mudah menyalahkan orang karena tidak konsisten dalam bermadzhab. Sehingga tulisan Anda menjadi bahan tertawaan kalangan berilmu.”
WAHABI: “Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan.
Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).”
SUNNI: “Anda mengatakan hal tersebut sebagai ijma’, pertanyaan kami, kitab apa yang menjadi dasar rujukan Anda??? Jelasnya, Nabi SAW, sahabat dan ulama Salaf telah berijma’ tidak mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan, bahkan sebagian menganjurkan sebagaimana kami tulis dalam catatan sebelumnya.”
WAHABI: “Istri Nabi SAW yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”
SUNNI: “Anda selalu berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak mengerjakan ini dan itu. Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi SAW pernah melarang kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40, 100, 1000??? Kalau Nabi SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga termasuk bid’ah????”
WAHABI: “Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)
Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Menjawab Menjawab Firanda Mengenai "Ustadz Idrus Ramli Menjawab Firanda Mengenai Tahlilan"
DIALOG DENGAN WAHABI ANTI TAHLILAN
Beberapa member FP, dari kaum Wahabi yang anti Tahlilan, menulis link ke situs Ustadz Wahabi, yaitu Dr Firanda Andirja, yang menulis bantahan tentang tradisi Tahlilan. Berikut ini jawaban kami terhadap artikel tersebut, secara singkat. Kami tulis dalam bentuk dialog agar mudah dipaham oleh pembaca.
WAHABI: “Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?". Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?”
SUNNI: “Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”
WAHABI: “Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!”
SUNNI: “Sudah kami katakan berulang kali, bahwa para ulama Syafi’iyah hanya memakruhkan selamatan/kenduri kematian. Dan makruhnya masih makruh tanzih, bukan tahrim. Para ulama Salaf, dan madzahibul arba’ah (madzhab empat), tidak ada yang mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan. Jadi mereka sepakat tidak mengharamkan.
Imam al-Syafi’i dan Imam al-Nawawi, dengan pendapatnya tersebut bukan Wahabi. Beliau berdua sepakat membagi bid’ah menjadi dua, hasanah dan sayyi’ah, bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dan lain-lain yang dikafirkan dan disyirikkan oleh kaum Wahabi.
Anda perlu mempelajari teori bermadzhab. Agar mengerti hakikat bermadzhab, dan tidak dengan mudah menyalahkan orang karena tidak konsisten dalam bermadzhab. Sehingga tulisan Anda menjadi bahan tertawaan kalangan berilmu.”
WAHABI: “Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan.
Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).”
SUNNI: “Anda mengatakan hal tersebut sebagai ijma’, pertanyaan kami, kitab apa yang menjadi dasar rujukan Anda??? Jelasnya, Nabi SAW, sahabat dan ulama Salaf telah berijma’ tidak mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan, bahkan sebagian menganjurkan sebagaimana kami tulis dalam catatan sebelumnya.”
WAHABI: “Istri Nabi SAW yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”
SUNNI: “Anda selalu berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak mengerjakan ini dan itu. Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi SAW pernah melarang kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40, 100, 1000??? Kalau Nabi SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga termasuk bid’ah????”
WAHABI: “Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
"Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)”
SUNNI: “Lebih indah lagi adalah sabda Rasulullah SAW yang membenarkan bid’ah hasanah:
قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR Muslim).
Hadits di atas menjadi Dalil Bid’ah Hasanah, sebagaimana seringkali kami jelaskan dengan mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Kalau Anda menggugat kami sebagai pengikut Imam al-Syafii, harus Anda ketahui bahwa Imam al-Syafii berkata:
Kalau Anda menggugat kami sebagai pengikut Imam al-Syafii, harus Anda ketahui bahwa Imam al-Syafii berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Anda juga harus tahu, bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang paling Anda kagumi melebihi seluruh ulama salaf, para sahabat dan tabi’in, juga mengakui bid’ah hasanah, dan berkata :
وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
WAHABI: “Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!”
SUNNI: “Guru-guru Anda kaum Wahabi telah sepakat dan berijma’ bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi Arabia, dan menggelar acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi (pekan pendiri Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh. Tolong Anda tanyakan kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya hal tersebut dengan Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???””
WAHABI: “B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan
Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…
Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :
SUNNI: “Guru-guru Anda kaum Wahabi telah sepakat dan berijma’ bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi Arabia, dan menggelar acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi (pekan pendiri Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh. Tolong Anda tanyakan kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya hal tersebut dengan Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???””
WAHABI: “B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan
Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…
Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :
اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132
Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)”
SUNNI: “Ada beberapa tanggapan terhadap pernyataan Anda di atas:
Pertama, Anda berarti tidak tahu kondisi riil di masyarakat. Umat Islam Indonesia, dalam kenduri kematian tidak meninggalkan Sunnah. Justru mereka telah melakukannya, dengan berbondong-bondong menyumbangkan beras, kebutuhan pokok dan uang untuk keluarga duka cita.
Kedua, Kesunnahan membantu keluarga duka cita, itu adalah mafhum, bukan manthuq, dari hadits di atas. Nah, karena hal tersebut bersifat mafhum, tentu adanya hukum sunnah dan makruh itu karena ada ‘illat, yaitu meringankan atau memberatkan keluarga duka cita. Ketika ‘illat tersebut hilang, maka hukumnya juga berubah, sebagai banyak sekali dikemukakan oleh para ulama, alhukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman. Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa, bahwa ketika jamuan makanan itu hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh, maka hal tersebut tidak dihukumi makruh. Fahham ya duktuur Firanda Andirja. Oleh karena kutipan Anda dari kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, tidak begitu penting untuk dibahas di sini, karena Anda tidak memahaminya dari perspektif ilmu fiqih.”
WAHABI: “Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??”
SUNNI: “Sebaiknya Anda mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab, dan mendalami kaitan agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya seperti di atas, yang sama sekali tidak berbobot.”
WAHABI: “Kedua : Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas.”
SUNNI: “Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara ayat al-Qur’an, shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah dibid’ahkan oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:
Kedua, Kesunnahan membantu keluarga duka cita, itu adalah mafhum, bukan manthuq, dari hadits di atas. Nah, karena hal tersebut bersifat mafhum, tentu adanya hukum sunnah dan makruh itu karena ada ‘illat, yaitu meringankan atau memberatkan keluarga duka cita. Ketika ‘illat tersebut hilang, maka hukumnya juga berubah, sebagai banyak sekali dikemukakan oleh para ulama, alhukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman. Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa, bahwa ketika jamuan makanan itu hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh, maka hal tersebut tidak dihukumi makruh. Fahham ya duktuur Firanda Andirja. Oleh karena kutipan Anda dari kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, tidak begitu penting untuk dibahas di sini, karena Anda tidak memahaminya dari perspektif ilmu fiqih.”
WAHABI: “Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??”
SUNNI: “Sebaiknya Anda mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab, dan mendalami kaitan agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya seperti di atas, yang sama sekali tidak berbobot.”
WAHABI: “Kedua : Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas.”
SUNNI: “Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara ayat al-Qur’an, shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah dibid’ahkan oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم" فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )... وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).”
WAHABI: “Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"
SUNNI: “Pernyataan Jarir bin Abdullah, bukan kesepakatan semua sahabat, terbukti dengan atsar dari Khalifah Umar dan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Silahkan Anda mengikuti Jarir, dan biarkan umat Islam mengikuti atsar Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”
WAHABI: “Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.”
SUNNI: “Pernyataan Anda telah ditolak oleh guru kaum Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Baz yang berfatwa, menganjurkan membaca surah al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain setiap selesai shalat secara rutin, dan setiap selesai shalat shubuh dan maghrib tiga kali secara rutin. Demikian ini dianjurkan untuk menolak sihir dan aneka keburukan. Hal tersebut juga tidak ada dasar seperti yang Anda gugatkan kepada kami Ustadz Firanda. Silahkan Anda baca dalam, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syaikh Ibnu Baz, juz 8, hal. 115, dan juz 8 hal. 88. Fatwa tersebut juga banyak disampaikan dalam fatwa-fatwa dan rosail beliau.”
WAHABI: “Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.”
SUNNI: “Qiyas Anda sungguh Qiyas yang bathil. Menyamakan shalat dengan Tahlilan. Anda gugat saja guru-guru Anda, kaum Wahabi yang telah berijma’ membolehkan menggelar syukuran hari raya Nasional Kerajaan Saudi Arabia dan Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setiap tahun. Anda gugat dengan cara Qiyas Anda di atas, pasti mereka akan menertawakan Anda karena Qiyas Anda tidak nyambung.”
WAHABI: “Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.”
SUNNI: “Anda melarang doa selama 7 hari, padahal ada atsar dari Thawus, ‘Ubaid bin ‘Umair dan Mujahid. Berarti menurut Anda, Tahlilan itu boleh selama tidak dibatasi dengan hari-hari tertentu seperti 3, 7, 40, 100 dan 1000??? Mana dalil khusus yang menerangkan hal ini????
WAHABI: “Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.”
SUNNI: “Kalau pengiriman pahala bacaan al-Qur’an masih diperselisihkan oleh ulama, mengapa Anda mempersoalkan???? Ini kan masalah khilafiyah klasik. Bukankah dalam kaedah fiqih terdapat kaedah, laa yunkarul mukhtalafu fiih wainnamaa yunkarul mujma’u ‘alaih (tidak perlu mengingkari persoalan khilafiyah, akan tetapi yang perlu diingkari adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh ulama). Ini kaedah dalam madzhab Syafii. Seandainya Imam al-Syafii, masih hidup pasti akan menegur Anda, yang membesarkan persoalan khilafiyah.”
WAHABI: “Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.”
SUNNI: “Ini ijtihad Anda sendiri, tidak ada ulama yang memberikan persyaratan yang mengirim pahala al-Qur’an itu harus orang yang amanah. Anda mengqiyaskan hal ini dengan tukang wesel pos atau pengantar surat. Qiyas macam apa ini wahai duktur Firanda?”
WAHABI: “Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :
- Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an.”
SUNNI: “Pernyataan Anda sangat lucu, dan membuktikan bahwa Anda kurang banyak membaca kitab-kitab para ulama, termasuk para ulama panutan Wahabi yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Ibnu Taimiyah, panutan kaum Wahabi berkata:
SUNNI: “Pernyataan Jarir bin Abdullah, bukan kesepakatan semua sahabat, terbukti dengan atsar dari Khalifah Umar dan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Silahkan Anda mengikuti Jarir, dan biarkan umat Islam mengikuti atsar Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”
WAHABI: “Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.”
SUNNI: “Pernyataan Anda telah ditolak oleh guru kaum Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Baz yang berfatwa, menganjurkan membaca surah al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain setiap selesai shalat secara rutin, dan setiap selesai shalat shubuh dan maghrib tiga kali secara rutin. Demikian ini dianjurkan untuk menolak sihir dan aneka keburukan. Hal tersebut juga tidak ada dasar seperti yang Anda gugatkan kepada kami Ustadz Firanda. Silahkan Anda baca dalam, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syaikh Ibnu Baz, juz 8, hal. 115, dan juz 8 hal. 88. Fatwa tersebut juga banyak disampaikan dalam fatwa-fatwa dan rosail beliau.”
WAHABI: “Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.”
SUNNI: “Qiyas Anda sungguh Qiyas yang bathil. Menyamakan shalat dengan Tahlilan. Anda gugat saja guru-guru Anda, kaum Wahabi yang telah berijma’ membolehkan menggelar syukuran hari raya Nasional Kerajaan Saudi Arabia dan Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setiap tahun. Anda gugat dengan cara Qiyas Anda di atas, pasti mereka akan menertawakan Anda karena Qiyas Anda tidak nyambung.”
WAHABI: “Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.”
SUNNI: “Anda melarang doa selama 7 hari, padahal ada atsar dari Thawus, ‘Ubaid bin ‘Umair dan Mujahid. Berarti menurut Anda, Tahlilan itu boleh selama tidak dibatasi dengan hari-hari tertentu seperti 3, 7, 40, 100 dan 1000??? Mana dalil khusus yang menerangkan hal ini????
WAHABI: “Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.”
SUNNI: “Kalau pengiriman pahala bacaan al-Qur’an masih diperselisihkan oleh ulama, mengapa Anda mempersoalkan???? Ini kan masalah khilafiyah klasik. Bukankah dalam kaedah fiqih terdapat kaedah, laa yunkarul mukhtalafu fiih wainnamaa yunkarul mujma’u ‘alaih (tidak perlu mengingkari persoalan khilafiyah, akan tetapi yang perlu diingkari adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh ulama). Ini kaedah dalam madzhab Syafii. Seandainya Imam al-Syafii, masih hidup pasti akan menegur Anda, yang membesarkan persoalan khilafiyah.”
WAHABI: “Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.”
SUNNI: “Ini ijtihad Anda sendiri, tidak ada ulama yang memberikan persyaratan yang mengirim pahala al-Qur’an itu harus orang yang amanah. Anda mengqiyaskan hal ini dengan tukang wesel pos atau pengantar surat. Qiyas macam apa ini wahai duktur Firanda?”
WAHABI: “Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :
- Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an.”
SUNNI: “Pernyataan Anda sangat lucu, dan membuktikan bahwa Anda kurang banyak membaca kitab-kitab para ulama, termasuk para ulama panutan Wahabi yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Ibnu Taimiyah, panutan kaum Wahabi berkata:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).
“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).
WAHABI: “Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!”
SUNNI: “Anda tidak berhak mengurus hati orang lain. Itu urusan dia dengan Allah.”
WAHABI: “Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!”
SUNNI: “Owh berarti Anda juga membenarkan menyewa orang membaca al-Qur’an di kuburan, asal dia fasih membacanya dan sesuai dengan Tajwid. Kan begitu. Terima kasih kalau pendapat Anda begitu. Tetapi mengapa Anda sangat marah dengan baca al-Qur’an di kuburan???? Terakhir, kami akan memberi hadiah kepada Anda, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran jahat Wahabi, yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan, dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, terbitan Saudi Arabia,
SUNNI: “Anda tidak berhak mengurus hati orang lain. Itu urusan dia dengan Allah.”
WAHABI: “Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!”
SUNNI: “Owh berarti Anda juga membenarkan menyewa orang membaca al-Qur’an di kuburan, asal dia fasih membacanya dan sesuai dengan Tajwid. Kan begitu. Terima kasih kalau pendapat Anda begitu. Tetapi mengapa Anda sangat marah dengan baca al-Qur’an di kuburan???? Terakhir, kami akan memberi hadiah kepada Anda, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran jahat Wahabi, yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan, dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, terbitan Saudi Arabia,
وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).
Ustadz Firanda, kitab Ahkam Tamannil Maut tersebut, diterbitkan pemerintahan Saudi Arabia, dan ditahqiq oleh dua ulama Wahabi senior, yaitu Abdurrahman bin Muhammad al-Sadhan dan Abdullah bin Jibrin.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
Astagfirullah.... antum bicara tanpa ilmu sudah jelas Tahlilan tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabat bahkan empat Imam. tapi tetap saja mengelak. memang benar pelaku bidah berbicara bukan dengan ilmu tetapi dengan hawa nafsunya saja. ustadz firanda juga sunni. terus anda mengaku sunni. coba jelaskan pengertiannya sunni dan wahabi dengan rinci??? Jazzakallahukhoiran
ReplyDeletekalimat anda, saya ambil menjadi 2 point
Delete1. anda kurang memahami makna bid'ah, Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al- Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?”
2. anda tidak perlu malu menyandang gelar wahhabi, untuk mengetahui tipu muslihat kaum wahabi dalam penamaannya silahkan lihat disini :
Ketika Salafy Wahabi Ingin Mengalihkan Sebutan Wahabi Dari Diri Mereka
http://aliyfaizal.blogspot.com/2013/03/ketika-salafy-wahabi-ingin-mengalihkan.html
Sejarah Ringkas Muhammad ibn Abdil Wahhab Dan Gerakan Wahhabiyyah
http://aliyfaizal.blogspot.com/2013/04/sejarah-ringkas-muhammad-ibn-abdil.html
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Deleteمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.
dungu kaya orang syiah
Deletebukankah untuk soal agama kaidah fiqihnya adalah dilarang melakukan amalan apapun sampai ada dalil yang membolehkannya, sedangkan untuk urusan muammalah kaidah fiqihnya boleh melakukan apapun sampai ada dalil yang melarangnya. Ustadz Idrus jangan menyesatkan umat dong!!! tahlilan yang dilakukan sekarang ini kan tujuannya untuk mendoakan si mayit (walaupun faktanya lebih ke menyusahkan keluarga si mayit apalagi kalau dari keluarga miskin) berarti itu ibadah kepada Allah SWT dan memang Rosul tidak melarang tetapi Rosul tdk pernah mencontohkan berarti tidak ada dalil yg membolehkan...
ReplyDelete1. sprti yg sudah sering saya jelaskan, apapun itu jika sudah jatuh kedalam pemikiran wahabi maka akan disalah tempat dan artikan,,, kaidah fiqih siapa anda pakai ??, mari kita lihat kalam ahli fiqih imam as syafi'i mengenai ini :
Deleteاَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
2. mengenai menyusahkan keluarga si mayyit, diatas sudah dijelaskan oleh ustadz idrus, dan sudah jelas bahwa tetamu dan tetangga juga menyumbang beras, uang dll untuk meringankan beban keluarga.. silahkan dicermati, ga perlu pakai emosi.. doktrin busuk firanda sudah masuk kedalam kepala anda, cepat cuci fikiran anda sblum infeksi..
3. lucu anda itu, di satu sisi mengakui tahlilan itu amal yg baik untuk mendoakan mayit dan juga ibadah kepada Allah serta Rasul pun tidak melarang, tapi disatu sisi anda benci, anda melarang dan anda memberikan gelar sesat kepada kami yang tahlilan.. logika dan dalil macam apa yang anda sedang tampilkan... Na'udzubillah...
dari sini terlihat betapa parahnya pemikiran pemikiran kaum wahabi yang sangat penuh kebencian dan hawa nafsu..
pantas saja al-Imam al-Hafizh ad-Daraquthni (w 385 H), berkata:
“Ada dua orang saleh yang diberi cobaan berat karena adanya orang-orang yang sangat buruk dalam akidahnya, lalu mereka menyandarkan akidah buruk itu kepada keduanya, padahal keduanya terbebas dari akidah buruk tersebut. Kedua orang itu adalah Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal” (Dikutip oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari dengan rangkaian sanad-nya dari al-Hâfizh Ibn Syahin).
Orang pertama, yaitu al-Imam Ja’far ash-Shadiq ibn al-Imam Muhammad al-Baqir ibn al-Imam Ali Zayn al-Abidin ibn al-Imam asy-Syahid al-Husain ibn al-Imam Ali ibn Abi Thalib, beliau adalah orang saleh yang dianggap oleh kaum Syi’ah Rafidlah sebagai Imam mereka. Seluruh keyakinan buruk yang ada di dalam ajaran Syi’ah ini mereka sandarkan kepadanya, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah berkeyakinan seperti apa yang mereka yakini.
Orang ke dua adalah al-Imam Ahmad ibn Hanbal, salah seorang Imam madzhab yang empat, perintis madzhab Hanbali. Kesucian ajaran dan madzhab yang beliau rintis telah dikotori oleh orang-orang Musyabbihah yang mengaku sebagai pengikut madzhabnya. Mereka banyak melakukan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan atas nama Ahmad ibn Hanbal, seperti akidah tajsim, tasybîh, anti takwil, anti tawassul, anti tabarruk, dan lainnya, yang sama sekali itu semua tidak pernah diyakini oleh al-Imam Ahmad sendiri. Terlebih di zaman sekarang ini, madzhab Hanbali dapat dikatakan telah “hancur” karena dikotori oleh orang-orang yang secara dusta mengaku sebagai pengikutnya, siapa lagi kalau bukan kaum Wahhabi.
sumbangan 1000 rupiah mana cukup untuk kenduri dari hari ke tiga sampai 1000 hari , memang sulit untuk dipahami SESAT HASANAH ,,, masak ada sih namanya SESAT HASANAH ...?
DeletePak Aliy,...anda dan Ust Idrus benar mengenai tamu dan tetangga menyumbang beras dan uang, namun dilakukan pada saat acara (bukan sebelumnya), kenyataannya banyak saudara2 kita di Jawa timur yang (memaksakan diri) sampai meminjam uang dulu untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut
DeleteYang penting tidak ada larangan
ReplyDeleteSebagian pihak yang gemar melakukan langkah-langkah kreatif dalam membuat ritual peribadatan biasanya mengusung jargon ini: ”Kan, tidak ada larangannya.”
Prinsip yang penting tidak ada larangannya ini dipakai untuk alasan untuk tidak meninggalkan ritual ibadah yang kadung digemari. Betulkah dalam ibadah berlaku prinsip yang penting tidak ada larangannya?
Kalau coba kita buka bolak-balik dalam lembaran-lembaran mush-haf al-Quran atau al-Hadits didapati sekian banyak hal yang tidak dilarang secara tegas. Jelas, orang yang melaksanakan ibadah haji di luar bulan Dzulhijjah tidak ada larangannya. Orang yang sedang berhaji di bulan Dzulhijjah yang ingin melakukan wukuf di luar Aråfah juga tidak ditemukan larangannya. Shalat wajib dan sunah harian yang dilakukan tanpa rukuk pun tidak ada larangannya. Menjamak shalat di rumah saban hari juga tidak ada larangannya. Sekali lagi, masih banyak bentuk ibadah, baik yang modifikasi maupun baru sama sekali, yang tidak didapati larangan untuk melakukannya. Lantas, apakah seluruh bentuk ibadah tersebut boleh seenaknya kita lakukan? Jelas sangat keliru bila kita menjawab ya! Jadi alasan tidak adanya larangan dalam al-Quran dan al-Hadits untuk mengamankan dalam melakukan ibadah bid`ah adalah kekeliruan yang amat nyata. Mestinya sebelum beramal ibadah mencari dulu dasar tuntunannya, dan jangan melakukan sesuatu ibadah baru kemudian langkah kesepuluh mencari-cari dalilnya. Akibatnya bila ada orang yang mengritik dan menegur, saat kesulitan mencari dalil, akhirnya seenaknya memelintir dalil. Akhirnya tidak mau bertobat justru mengajak orang lain untuk melakukannya dengan dalil yang dipelintir tersebut. Persis apa yang dikatakan dalam al-Quran sebagai berikut:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allåh) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allåh menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al Maidah [5]:13)
Your nonsenses define your brain..hahaha. Anda ketauan belajar agama hnya dari ceramah2,buku2 dan internet. Bukan dari dasar. Yg namanya ibadah itu jelas2 ada syarat dan rukunnya. Klo sholat tnpa ruku' jelas2 sholat itu tdk sah!! Knp musti ada larangan sholat tnpa ruku'??? Hahaha
Deletedeemazchitect........ maaf saya gk mw mengurusi masalah haji, karena saya belum pernah melaksanakan insyaAllah akan menyusul.
Deletesudahkah pernah melaksanakan ibadah haji, klo sudah Jelaskan perkataan anda ini :
"orang yang melaksanakan ibadah haji di luar bulan Dzulhijjah tidak ada larangannya. Orang yang sedang berhaji di bulan Dzulhijjah yang ingin melakukan wukuf di luar Aråfah juga tidak ditemukan larangannya."
apa kah anda melaksanakan ibadah haji yg seperti anda ucapkan?
" ucapan itu pernah di sampaikan oleh seseorang Dedekot JIL"
aliy faizal.
ReplyDeletesesungguhnya wahabi adalah bagian dari ahlus sunnah wal jamaah, dan blog anda ini menampakkan banyak kelemahan pemahaman anda sendiri.
semoga anda membuka belenggu pemikiran anda segera.
salah satu nya, setelah saya membaca kisah nabi yang tidak mentahlilkan istri nya Khadijah,anda malah meminta hadist nabi yang melarang tahlilan. what for?
sebenarnya siapa yang lebih tahu tentang islam? nabi muhammad saw atau anda atau guru anda?
bagi saya anda lucu, ikon blog lucu
salam,
adi
@David Adi Anda menanyakan yang telah di uraikan diatas. Buodoh banget sih .. makanya simak dulu baru komentar. ini makanya kaum WAHABI ndableg lha wong dijelasin gak mudheng, nanyak terus dg pertanyaan yang sama diulang2 .. oalah yooo kesumpet apa sih otak lo.
DeleteAswaja Hamba Alloh : Antum yang paling pinter sampai bilang orang bodoh. Astagfirullah... Malu sama nama akh.
DeleteMasya Allah...selamanya akan menjadi khilafiah. Kebenaran haqiqi hanya ditangan ALLAH SWT. Siapa yang benar akan kelihatan besok di akherat. Semoga kita semua diampuni oleh ALLAH SWT.
ReplyDeleteHidup ustadz firanda
ReplyDeletebenarkah kitab tersebut karya syaikh muhammad bin abdul wahhab. sebab http://maktabah-attamimi.blogspot.com/2013/07/benarkah-kitab-ahkam-tamanniil-maut.html
ReplyDeletebantahan yang sangat jauh dari kata 'ilmiyah'...
ReplyDeleteberilmu dulu sebelum beramal..
"ilmiah" menurut wahabi itu ketika sunni memberikan dalil shohih lalu kaum wahabi membantahnya dengan asumsi pribadi yg keluar dari hawa nafsu dan kebodohan akhirnya kaum wahabi dengan jahil murokabnya mendo'ifkan hadits yang shohih... ^_^
Delete*selamat berfikir
sy suka membaca sejarah apa saja, termasuk sejarah kehidupan Rosululloh SAW. Beliau memiliki 6 anak. Pertama laki2 bernama Qosim (meninggal sewaktu masih kecil), yang empat orang perempuan, termasuk Fatimah dan yg terakhir Ibramim (meninggal sewaktu masih kecil).
DeleteKetika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg meninggal tidak satupun di TAHLILI, kl di do'akan sudah pasti, karena mendo'akan orang tua, mendo'akan anak, mendo'akan sesama muslim amalan yg sangat mulia.
Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN untuk NABI,
padahal ABU BAKAR adalah mertua NABI,
UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
Apakah para sahabat BODOH....,
Apakah para sahabat menganggap NABI hewan.... (menurut kalimat sdr sebelah)
Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua meninggal gk di TAHLIL kan...
Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua meninggal gk di TAHLIL kan....
Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik, yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..
Saudaraku semua..., sesama MUSLIM...
saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll. Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka berkata:" sak niki koq mboten nate ngrawuhi TAHLILAN Gus.."
sy jawab dengan baik:"Kanjeng Nabi soho putro putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2, lan sakben wedal sak saget e...? Jenengan Tahlilan monggo..., sing penting ikhlas.., pun ngarep2 daharan e..."
mereka menjawab: "nggih Gus...".
sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya, sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk wajib...??
dia jawab gk berani menyampaikan..., takut timbul masalah...
setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja disampaikan hukum asli TAHLIL an..., sehingga nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa dll.
Untuk para Kyai..., sy yg miskin ilmu ini, berharap besar pada Jenengan semua...., TAHLIL an silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat santri harus dinomor satukan..
sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya. tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama'ah nya menyedihkan.
shaf nya gk rapat, antar jama'ah berjauhan, dan Imam rata2 gk peduli.
selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya, Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang shaf...
Untuk saudara2 salafi..., jangan terlalu keras dalam berpendapat...
dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil khusus sholat jama'ah...
tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita do'akan saja yg baik...
siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada sunnah shahihah dengan lantaran Do'a kita....
demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk berkenan...
semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke jaman kejayaan Islam di jaman Nabi..., jaman Sahabat.., Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in
Amin ya Robbal Alamin
ini baru coment yang ane suka....
DeletePanjaaaaaaaaaaaaang...
DeleteTapi tidak pada sasaran, itu-itu saja...
Selalu berargumen bahwa Nabi tidak pernah tahlilan...
Saya dulu juga didoktrin guru agama disekolah seperti itu.
tanpa menyebutkan sebelah mana larangan Nabi terhadap tahlilan...
Padahal sudah dibantah berkali-kali bahwa tidak semua yang tidak dilakukan Nabi itu dilarang...
Dasar Wahaby....
Angel mudenge, gak faham-faham...
Kaku fanatik....
Seperti Umar Tarowih 20, Utsman adzan jumat 2 kali, dll.
Assunnah.....itulah yg perlu kt pelajari, smakin sy pelajari sunnah2 smakin orang bilang sy wahabi, namun anehnya,mslh yg didebat2 oleh orang2 yg mengakui sunni ini banyk gak ada hdistnya, ujung2nya rujukannya??????padahal yg jelas2 shahih aja byknya ribuan,blm bisa kt ikuti smuanya dlm kehidupan ktt sehari2, kok kita malah nyari yg dhoif (yg gini, yg gitulah) sungguh aneh manusianya??? Bc aja (alqu'an ayat alhasyr :7) (ali imron ayat;6-7) saya tdk ingin mengkafirkan seseoarang, namun nabi pernah mengatakan di hdst bukhori, semalam umatku ada yg bersyukur ada yg kafir, krn mereka mengatakan hujan adalah gejalah alam,dan jg hdist lain2nya, alqur'an pun mengatakan : allah tdk mengampuni orang yeng beriman lantas kafir,kemudian beriman lagi kemudian kafir lg, kemudian menambah kekafirannya ( jd maksud ayat ini, kafir murtad, islam lg, murtad lagi, islam lg??begitu???) Apa begitu maksudnya??? Cobalah anda renungkan......?????
ReplyDeleteIlmu itu selain mebawa kebaikan juga menyesatkan.
ReplyDeleteKatanya ini perbedaan tentang masalah cabang ilmu agama.
Karna ada ilmu cabang agama berarti ada induk ilmu dari cabang" ilmu tersebut.
Jadi saya memilih induk ilmu agama aja,Al-qur'an dan hadist.dan di sana tidak saya temukan hal" demikian.lalu siapakah yang telah di tutup hatinya oleh Alloh ???
Mari kita berdoa agar tidak termasuk dalam golongan orang" yang munafik.
",,,ya Alloh ,jangan ENGKAU sesatkan kami setelah kami beriman"
Aameen,,,,
yang haq dan yang Batil itu semakin KONTRAS dengan PSOTINGAN INI. :D
ReplyDeleteUntuk Pencinta Wahabiyyin :
ReplyDeleteسَيَخْرُجُ فِي آخِرِالزَّمانِ قَومٌ أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ قَوْلَخَيْرِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ اْلقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَمِنَ الدِّيْنَ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، فَإذَا لَقِيْتُمُوْهُمْفَاقْتُلُوْهُمْ ، فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْراً لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللهِ يَوْمَاْلقِيَامَة
“ Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda, berucap dengan ucapan sbeaik-baik manusia(Hadits Nabi), membaca Al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya,maka jika kalian berjumpa dengan mereka, perangilah mereka, karena memerangi mereka menuai pahala di sisi Allah kelak di hari kiamat “.(HR. Imam Bukhari 3342)
Penjelasan: Sebelum Nabi menyebutkan ciri pokoknya, nabi menyebutkan cirri lainnya yaitu kaum yang berusia muda (baru muncul di akhir zaman), daya pikirnya lemah dan selalu berucap dengan hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wasallam..
Ciri ini juga tampak jelas kepada mereka, di Malaysia justru kaum wahabi disebut kaum mude (kelompok orang berusia muda) yang suka menghujat kaum tue (kelompok ulama terdahulu)…. Wahabi muncul tidak lama yaitu saat Muhammad bin Abdul wahhab secara terang-terangan mendakwahkan doktrin-doktrin menyimpangnya itu di kurun kedua belas hijriyyah. Istilahnya mereka adalah anak kemaren sore….
Daya pikir mereka juga dungu, lemah dan bodoh, terbukti sering kali salah di dalam memahami nash-nash al-Quran dan hadits Nabi juga ucapan para ulama…, sehingga sering kali bertentangan dengan pemahaman mayoritas umat muslim di belahan dunia ini.
Ciri selanjutnya, mereka kaum wahabi juga suka membawakan hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam…, lengkap sudah ciri kaum wahabi selalu mengajakkepada al-Quran dan sunnah…mungkin dalam hati kaum wahhabi mengeluh : “Kenapa sih Nabi memberikan ciri-ciri yang baik seperti itu kepada kaum yang buruk itu ?? “, ya saya Cuma menimpali : “ Agar kaum muslimin tidak mudah tertipu dengan slogan manis kaum wahhabi, agar kaum muslimin tidak tertipu dengan topeng kaum wahhabi “.
Maka sangat jelas, ciri-ciri yang disebutkan oleh Nabi di atas adalah yanthabiqu (terealisasi) kepada kaum wahhabi/salafi, bukan yang lainnya..terlebih Nabi lebih menentukan kembali letak kaum yang memiliki cirri pokok tsb yaitu muncul dari tempat di mana kaum Rabi’ah dan Mudhar berada, renungkan hadits Nabi berikut :
مِنْ هَا هُنَا جَاءَتِ اْلفِتَنُ ، نَحْوَ اْلمَشْرِقِ ، وَاْلجَفَاءُوَغِلَظُ اْلقُلوْبِ فيِ اْلفَدَّادِينَ أَهْلُ اْلوَبَرِ ، عِنْدَ أُصُوْلِ أَذْنَابِاْلإِبِلِ وَاْلَبقَرِ ،فِي رَبِيْعَةْ وَمُضَرً
“Dari sinilah fitnah-fitnah akan bermunculan,dari arah Timur, dan sifat kasar juga kerasnya hati pada orang-orang yang sibuk mengurus onta dan sapi, kaum Baduwi yaitu pada kaum Rabi’ah dan Mudhar “. (HR.Bukhari)
kalo bgto.... wahaby jagn pake hadits ngomongnya, pke logika aza, logikanya, pernah ga kluarga nabi yg mninggal dunia nabi mntahlilkannya?
DeleteWahabi Anak Baru Kemaren
ReplyDeleteWahabi anak baru kemaren
ReplyDeleteWahabi anak baru kemaren
ReplyDeletemarilah saudara saudaraku seislam , kita memohon kepada Alloh untuk kita, saudara kita , keluraga kita agar selalu mendapat hidayah Nya dan petunjuk Nya menuju jalan yg yg lurus bukan jalan orang sesat dan bukan pula jalan orang orang yang dimurkai.
ReplyDeletesemoga Allah memberi hidayah kepada ustadz aliy faizal amin.....
ReplyDelete“Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”
ReplyDeletelalu kalo wahaby mmrangi tahlilan dan ada sbagian ORMAS yg juga tdak TAHLILAN, apa divonis juga sbagai WAHABY?
“Sebaiknya Anda mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab, dan mendalami kaitan agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya seperti di atas, yang sama sekali tidak berbobot.”
mnurut anda bermadzhab itu wajib, shingga sangat perlu kita mmplajrinya? madzhab yg mana yg mnganjurkan kita untuk mmplajri madzhab?
kalo bermadzhab perlu, knpa nabi tdak mngatkan suatu nanti akan muncul madzhab2 yg perlu diikuti?
buknkh jlas nabi sdah mmberikan rambu2 dgn "aku tinggalkan 2 perkara yg jika berpegang pada kduanya tdak akan tersesat slama, al qur an dan as sunnah..
coba fahami lagi cara beragamanya, jagn taklid buta.
Hh, Anak2 Pemuja wahabi itu sebenarnya terobsesi pingin jadi ulama agung, Terkenal, masyhur... Eee.. Sayangnya setiap debat kaum sarungan pasti KEOK terus... Hhhh.. Akhirnya ya gitu.. Fitnah aja ulama, Kyai, Asatidz... Kafirkan semua pengikutnya.. Hehe.. Kebaca triknya brO....?!
ReplyDeleteKalo Saya tahlilan masalah emang,banyak jalan menuju sorga broo,nii yg sok nglarang tahlilan..dah sering ngisi kotak amal,nyumbang bangun mesjid,kasih duit bwt anak yatim,minjemin duit ke tetangga yg lagi kesusahan,nyumbang ke panti asuhan..apa belum?
ReplyDeletejika berselisih ttg sesuatu maka kembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadist. Ulangi lagi mempelajari,membaca dan mendalami perjalanan kehidupan Rasulullah dan Para Sahabat. Semasa Nabi hidup beliau tidak pernah melakukan tahlilan, bahkan ketika istri tercinta,ummul mukminin,ibunda Khadijah meninggal selang waktu dg paman beliau Abu Tholib,Rasulullah tidak pernah mentahlilkan Khadijah,padahal Khadijah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah.
ReplyDeletePara sahabat adalah ummat terbaik, para sahabat tidak pernah menyelisihi Nabi sedikit pun dan para sabahat adalah paling bersemangat dalam berbuat kebajikan. jika tahlilan memang baik tentu para sahabat melakukannya, tetapi kenapa mereka tidak melakukannya ? (sebab mereka paling takut jika menyelisihi Nabi, ini para sahabat, ummat terbaik dan dijanjikan surga oleh Allah sebab iman yang mereka miliki dan kecintaan mereka terhadap Rasul Allah dan Islam)
Sedangkan kita adalah ummat akhir jaman yang penuh dg fitnah. kok beraninya mengatakan tahlilan itu sunnah, jika memang sunnah, sampaikanlah hadist kepada kami(hadist yang shahih). Bukankah ibadah itu harus memiliki 2 syarat :
1. Ikhlas (karena Allah/Hanya karena Allah semata)
2. sesuai tuntunan Nabi
jika tidak memiliki 2 syarat di atas maka amalan itu tertolak(bid'ah: perkara yang tidak ada tuntunan dari Nabi/perkara yang sia-sia/tertolak)
Ibadah yang telah di contohkan Nabi saja banyak yang kita tinggalkan(tidak menghidupkan sunnah), kok yang tdak di contohkan sama sekali bersikukuh untuk tetap menghidupkannya bahkan berani berbohong, Astagfirullah, bukankah segala yang kita lakukan itu akan di catat oleh malaikat dan akan di minta pertanggungjawaban kelak ?
bukan masalah tahlilan yang harus tetap di hidupkan yang jelas-jelas bid'ah tetapi sebagai para pendakwah yang memilki ilmu cegahlah kemungkaran di negri ini. Coba lihat siaran televisi yang jelas-jelas merosak pemuda-pemudi kita, yang menjadikan " campur baur lawan jenis itu tidak berdosa ?" coba perhatikan, ini yg harus di kritik habis-habisan bahkan tidak boleh ditayangkan! tetapi kenapa kita pada diam dan bungkam akan perkembangan pertelevisian yang makin merosak generasi negri ini.
Bangkitlah dalam ke-egoisan, bkn ini yg harus di perdebatkan ttp brantaslah maksi'at yg makin meraja lela di negri ini yg di dukung oleh pertelevisian.
Menarik cuma ane coment mohon jangan saling menghujat, karena itu bukan mental Muslim, but the others. Thanks tambah wawasan.......
ReplyDeletecoba bersikap netral,, kemudian di fikir..kalo bukan Rosululloh dan para sahabat nya, lantas siapa lagi yang mau kita jadiin tuntunan?
ReplyDeletekalo Manusia yang sempurna (Muchammad SAW) dengan Agama Allah yang Sempurna (ISLAM) tidak pernah mensyari'atkan lantas ngapain kita mengada adakan?? jelas and pasti kalo perkara itu benar pasti Muchammad SAW lah yang pertama kali melakukan nya dan mengabar kan kepada sahabat dan umat umat yang lain nya. karena segala bentuk peribadahan yang baik dan benar semua nya sudah di lakukan dan oleh Rosul kita yang tercinta.
saya pribadi punya gagasan : kita alhamdulillah di kasih akal.. nah waktu akal kita udah bisa atau mulai mampu membedakan mana yang benar and mana yang salah, bersikaplah netral atau di tengah-tengah.. kemudian ayo bandingin pake dalil, cari tau sebanyak nya..
alhamdulillah saya pernah di berada di kedua sekte.. saya pun akhir nya memilih beribadah berdasar kan contoh Rosululloh.. walopun tidak mungkin sempurna,, setidaknya pencapaian.. insyaALLAH kita di bantu sama ALLAH ..