manakib
“Menurut saya, disertasi ini adalah disertasi yang terbaik mengenai Imam Syafi’i pada masa sekarang,” komentar Prof. Syaikh Abdul Ghani Abdul Khaliq, sang pembimbing yang juga guru besar Al-Azhar, memuji karya Kiai Ahmad Nahrawi.

Dunia Islam tidak akan pernah melupakan sosok agung Imam Syafi’i. Sumbangsihnya sangat besar bagi perkembangan khazanah pemikiran Islam. Ia pendiri sebuah madzhab terbesar di dunia, peletak dasar kerangka berpikir dan berijtihad yang disebut ilmu ushul fiqih, narasumber yang kredibel yang mampu memadukan dan meletakkan di wadah yang sama keluhuran nash agama dan kebrilianan logika. Ia seorang faqih terbesar, ahli kalam terbaik, sastrawan Arab tak ada banding, ahli dalam berbagai fan ilmu agama yang menjadi sumber rujukan utama. Bahkan sampai dikatakan, “lam tujad buq’atun min wajhil ardhi illa ‘ilmuhu”, tak ada sejengkal tanah pun di muka bumi ini kecuali di situ ada ilmu Imam Syafi’i.

Madzhab Imam Syafi’i tersebar di seantero dunia Islam dan menjadi madzhab yang mayoritas diikuti di dunia. Di Indonesia, madzhab ini juga termasuk madzhab yang paling banyak diikuti kaum muslimin. Bahkan kitab-kitab kalangan Madzhab Syafi’i menjadi pelajaran yang wajib diajarkan di mayoritas pesantren Indonesia, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi.

Aura yang dipancarkan Imam Syafi’i yang begitu besar ini tentunya telah menarik banyak cendekiawan muslim untuk menulis ihwal dirinya, madzhab, dan pengaruhnya di dunia Islam. Akibatnya lahirlah seabreg karya yang membicarakan perihal Imam Syafi’i, madzhabnya, serta pengaruhnya di dunia Islam.

Tarjamah dan Manaqib

Dalam ilmu tarikh, ada dua penulisan biografi seorang tokoh keilmuan, ulama, waliyullah, hingga penguasa dan kaum pembesar lainnya. Yakni  tarjamah dan manaqib. Sebagaimana pembedaan yang dikemukakan Prof. Dr. Ahmad Syalabi, pakar ilmu tarikh dari Mesir.

Tarjamah memiliki nilai ilmiah, lantaran ditulis dengan metode ilmiah, bersandar pada sumber asli, melakukan kritik dan perbandingan atas berbagai sumber, melakukan interpretasi, dan sebagainya, sehingga karya tarjamah memiliki bobot ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari sisi keilmiahan, tarjamah sama dengan sejarah.

Sedangkan karya manaqib memiliki kecenderungan mengadopsi semua sumber, tanpa pilih dan pilah, baik yang kredibel maupun tidak, yang mengesampingkan sisi keilmiahan. Bahkan tidak jarang, kisah-kisah yang di luar nalar dan logika pun dimasukkan. Misalnya, sang tokoh tersebut konon memiliki kemampuan khariqun lil ‘adah (keistimewaan di luar kebiasaan), seperti berjalan di atas air, bisa berada di dua tempat berbeda, tidak kebasahan saat berjalan di tengah guyuran hujan deras, dan sebagainya. Bahkan ada anggapan, membacanya dapat mendatangkan suatu keajaiban dalam hidup. Cerita semacam inilah yang sering ditunggu-tunggu pembaca dari kalangan awam. Sehingga tampilan sosok keilmuan, keulamaan, dan kewaliannya, sering terkesampingkan oleh kisah-kisah tersebut.

Namun tidak seluruh karya manaqib seperti itu. Cukup banyak penulis sejarah biografi Islam yang mencantumkan karyanya sebagai karya manaqib dengan cukup jeli menjauhkan hal-hal tersebut.

Dalam penulisan biografi Imam Syafi’i, kecenderungan penulisan tarjamah maupun manaqib juga ada. Ada sekian banyak karya yang ditulis ulama masa lampau hingga kini. Ada dari kalangan murid, pengikut, hingga ulama mutaakhkhirin yang concern menulis biografi Imam Syafi’i dari berbagai sudut pandang.

Di antara karya-karya yang menukil sirah Imam Syafi’i tersebut ialah Adabusy Syafi’i wa Manaqibuhu, karya Abu Hatim Ar-Razi, Manaqib asy-Syafi’i, karya Imam Al-Baihaqi, Thawali’ at-Ta‘sis bi Ma’ali Ibn Idris, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Manaqib Asy-Syafi’i, karya Fakhruddin Ar-Razi, Manaqib asy-Syafi’i, karya Daud bin Ali Azh-Zhahiri, Asy-Syafi’i, karya Muhammad Abu Zahrah, Al-Imam Asy-Syafi’i, karya Abdul Halim Al-Jundi, Asy-Syafi’i Malamih wa Atsar, karya Ahmad Tamam, Al-Imam Asy-Syafi’i Sya’iran, karya Muhammad Khumais. Lima karya pertama merupakan karya terawal yang menulis biografi Imam Syafi’i, sedangkan karya yang disebut berikutnya merupakan karya ulama intelektual Mesir.

Sekalipun tidak memerinci panjang lebar, karya thabaqat (kumpulan biografi) dengan menisbahkan kepada Imam Syafi’i juga patut disebut di sini. Seperti Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, karya Tajuddin As-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyyah, karya Ibnu Hidayatullah Al-Mudhif, Ath-Thabaqat al-Kubra, karya Ibnu Sa’ad.

Manaqib Karya Al-Baihaqi

Karya Imam Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi adalah salah satu karya terawal dalam mengupas sirah Imam Syafi’i. Yang lebih awal dari itu adalah karya berjudul Adabusy Syafi’i wa Manaqibuhu karya Abu Hatim Ar-Razi.

Nama besar Al-Baihaqi menjadi jaminan bagi mutu sebuah tulisan. Tajuddin As-Subki berkata, “Semua kitab karya Imam Al-Baihaqi adalah karya yang sistematis, mudah dipahami, dan diakui para ahli ilmu. Bahkan ditegaskan, belum ada ulama terdahulu yang menuliskan kitab-kitab tersebut secara sistematis.”

Kitab As-Sunan al-Kabir dalam bidang hadits merupakan karya Al-Baihaqi yang paling spektakuler. Namun karyanya yang mengekspos Imam Syafi’i juga termasuk karya paling besar dalam bidang sejarah biografi.

Dalam manaqib karyanya ini, Al-Baihaqi di antaranya menuliskan pandangan-pandangan Imam Syafi’i terhadap kaum sufi. Hal ini patut diangkat kebenarannya, karena banyak pihak yang mengadu domba Imam Syafi’i dengan para pengikut madzhabnya yang juga penganut tradisi kaum sufi, dengan mengatasnamakan Imam Syafi’i.

Di dalam kitab Manaqib al-Imam asy-Syafi’i itu, Imam Syafi’i menyatakan, “Seandainya seorang laki-laki hanya mengamalkan tasawuf di awal siang (pagi), tidak sampai kepadanya zhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal). Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal kecuali ia seorang muslim yang khawwash (orang-orang khusus). Seseorang tidak menjadi sufi jika pada dirinya masih ada empat perkara: malas, rakus makan, tidur, dan berlebih-lebihan.”

Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tasawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Dalam hal ini, Imam Al-Baihaqi menjelaskan dalam Manaqib-nya itu, “Sesungguhnya yang beliau (Imam Syafi’i) ingin cela adalah siapa di antara mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah, serta muamalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, telah dikisahkan dari beliau bahwa beliau bergaul dengan mereka (kaum sufi) dan mengambil (ilmu) dari mereka. Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum muslim, ia tidak peduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.”

Jelas, dari penjelasan Imam Al-Baihaqi di atas, yang dicela Imam Syafi’i adalah para sufi yang sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.

Kemudian Imam Al-Baihaqi menyebutkan satu riwayat bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua perkataan ini, ‘Waktu adalah pedang’, dan ‘Termasuk kema’shuman, engkau tidak mampu’ (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, Imam Al-Baihaqi memahami bahwa Imam Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan ia menilai bahwa Imam Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi, namun Imam Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka.”

Karya Kiai Nahrawi

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, di Indonesia Madzhab Imam Syafi’i adalah madzhab yang mayoritas diikuti kaum muslimin. Bahkan kitab-kitab kalangan Madzhab Syafi’i menjadi pelajaran yang wajib diajarkan di kebanyakan pesantren Indonesia, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi.

Sayangnya, sekalipun nama Imam Syafi’i mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat  muslim Indonesia, tidak banyak di kalangan mereka yang menulis biografi Imam Syafi’i secara komprehensif.

Inilah poin utama yang sangat disayangkan K.H. Siradjuddin Abbas, sebagaimana dituturkannya dalam pendahuluan cetakan pertama karyanya yang berjudul Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, yang dicetak pertama kali pada tahun 1968. Karya Kiai Siradjuddin ini segera saja mendapat apresiasi kaum muslimin di negeri-negeri Melayu Asia Tenggara, yang notabene berpaham Syafi’iyyah, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Patani (Thailand), Singapura.

Tulisan yang dipersembahkan kiai asal Sumatera Barat ini cukup berbobot. Bahasanya sederhana. Memang ada sedikit kekeliruan dalam penulisan nama dan sebagainya, namun mestinya ini menjadi cambuk bagi hadirnya karya-karya pada era belakangan.

Pada tahun 1970, seorang akademisi muslim Indonesia bernama Ahmad Nahrawi Abdus Salam seakan menahbiskan kehebatan putra-putri Indonesia dalama belantika keilmuan tingkat dunia di Universitas Al-Azhar.

Kiai Nahrawi, begitu ia biasa disapa masyarakat asal daerahnya, Betawi, berhasil meraih gelar doktor dalam bidang fiqih perbandingan (syari’ah wal qanun) dengan yudisium summa cum laude. Ini sebuah prestasi yang membanggakan bagi kaum muslimin Indonesia.

Yang menjadi hal yang lebih penting dari itu adalah karya disertasi doktoralnyanya tentang Imam Syafi’i, yang berjudul Al-Imam As-Syafi’i fi Madzhabaihi al-Qadim wal Jadid. Karya ini boleh dikata sebagai karya teranyar yang terbaik, lantaran menghadirkan episode utuh kehidupan Imam Syafi’i berikut pemikirannya yang lama dan baru. Tidak itu saja, sang penulis pun mampu menyodorkan sumber-sumber rujukan yang valid dan kredibel.

Setelah menikah dalam usia yang sangat matang, Kiai Nahrawi dan istri, yang berkebangsaan Mesir, bermukim di Jeddah, Arab Saudi.

Meskipun tinggal di Jeddah, Kiai Nahrawi masih sempat membangun rumahnya di Jalan Pancoran Barat 8-A, Jakarta Selatan. Sambil menunggu pembangunan rumah itu, ia menerbitkan disertasinya, Al-Imam Asy-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid. Ia menulis nama, sebagai penulisnya, Ad-Duktur Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi.

Awalnya penerbit khawatir, jangan-jangan penulisan Al-Indunisi bisa menyebabkan buku itu tidak laku, lantaran tidak dikenal secara lazim. Apalagi kebanyakan penulis buku memang berasal dari Timur Tengah. Tapi, Kiai Nahrawi tidak mempedulikan apakah bukunya bakal laku atau tidak. Yang penting nama Indonesia, Al-Indunisi, harus lebih dikenal oleh para ahli agama di Timur Tengah.

Ternyata hadirnya buku ini di tengah-tengah belantara karya penulisan di Mesir khususnya dan Timur Tengah umumnya mendapat sambutan yang luar biasa. “Karya yang monumental, luar biasa, dan sangat bermanfaat. Membahas semua aspek yang berkaitan dengan Imam Syafi’i. Menurut saya, disertasi ini adalah disertasi yang terbaik mengenai Imam Syafi’i pada masa sekarang,” komentar Prof. Syaikh Abdul Ghani Abdul Khaliq, sang pembimbing yang juga guru besar Al-Azhar, memuji.

Kelebihan karya ini terutama terletak dalam analisisnya yang sangat tajam, mendetail, dan komprehensif, dengan dilatarbelakangi sumber-sumber karya tulis ashhab as-syafi’iyyah (pengikut Madzhab Syafi’i) terkemuka, seperti Ar-Razi, As-Subki, Ar-Ramli, Asy-Syairazi, An-Nawawi.

Karya Kiai Nahrawi ini dibagi menjadi tiga bagian, yang diistilahkan al-bab, dan satu penutup. Bagian pertama membahas kehidupan Imam Syafi’i dari kelahiran sampai menjadi seorang mujtahid dan wafatnya. Dalam bagian ini Kiai Nahrawi membicarakan pertumbuhan, pendidikan, dan bagaimana ia memulai kehidupannya sebagai pelajar teladan kemudian menjadi intelektual yang cerdas, ahli fiqih yang cakap, dan mufti yang berpengalaman, ahli debat yang andal, sastrawan yang jempolan, penyair yang hebat, peletak dasar ilmu ushul fiqh, mujtahid terkenal yang banyak pengikutnya.

Bagian kedua membicarakan situasi dan kondisi sosial-politik masyarakat setempat yang mempengaruhi perkembangan madzhab Imam Syafi’i. Bagian ini terdiri dari lima bab, menjelaskan kondisi pada saat itu, baik kondisi sosial, politik, kebudayaan, hukum, pandangan-pandangan theologis dan fiqih yang dominan pada saat itu serta sikap Imam Syafi’i terutama terhadap pandangan ahlul ra’yi (logika) dan ahlul hadits.

Bagian ketiga sebagai pembahasan akhir mengungkap tiga pokok bahasan. Pertama, dasar-dasar Madzhab Syafi’i. Kedua, fiqih Syafi’i yang meliputi fiqih lama (qaul qadim) dan fiqih baru (fiqih jadid). Ketiga, membahas para pengikut Madzhab Syafi’i.

Untuk menyempurnakan isi bukunya, dibahas pula ihwal takhrij (penelusuran sumber-sumber), tarjih (penyimpulan dalil-dalil), dan mujtahid dalam Madzhab Imam Syafi’i. Serta menyebutkan pengaruh Imam Syafi’i dan karya-karyanya, di antaranya Musnad asy-Syafi’i, al-Hujjah, al-Mabsuth, dan al-Umm.

Karya yang berangkat dari penelitian ilmiah dan diuji lewat sidang ilmiah ini membuat bangga kita semua di tengah-tengah kelesuan dunia intelektual umat Islam Indonesia.

Kiai Nahrawi memang telah tiada, namun karyanya tentang Imam Syafi’i ini benar-benar menghidupkan aura kehidupannya yang sarat dengan ilmu, baik saat menghabiskan hari-hari di Timur Tengah maupun di tanah kelahirannya, Jakarta.

Pada tahun 2008, atas usaha sejumlah pihak yang dinaungi Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre), karya ini diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedi Imam Syafi’i, Biografi dan Pemikiran Madzhab Fiqih Terbesar Sepanjang Masa.

Akhirul kalam, boleh dikata, karya-karya yang mengekspos kebesaran Imam Syafi’i tidak akan berhenti pada satu titik akhir. Karena masih banyak sudut pandang yang belum ditekuni dalam penelitian para ulama dan pelajar muslim saat ini.

Wallahu A’lam Bishshowab

0 komentar:

Post a Comment

 
Top