fakta wahabi
Ini adalah jawaban dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Abul Jauzaa' Al Wahhabi di Blognya yang masih saja ngeyel mengenai Atsar Istighatsah Dari Kaum Salaf.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Ramli Menjawab Abul Jauzaa' Mengenai "Atsar Istighatsah Dari Kaum Salaf | Serial Kebohongan Abul Jauzaa'"

JAWABAN TERHADAP ABUL JAUZAA’, USTADZ SALAFI-WAHABI NGEYEL TENTANG ATSAR ISTIGHATSAH DARI KAUM SALAF

SETELAH SAYA MENULIS JAWABAN TERHADAP USTADZ WAHABI, DENGAN ARTIKEL KAMI BERJUDUL “KAMI PENYEMBAH KUBURAN, ATAU MEREKA (WAHABI) PENGAGUM ABU JAHAL DAN LAHAB?”, [Silahkan klik ini : Ustadz Idrus Ramli Menjawab Abul Jauzaa' - Kami Penyembah Kuburan atau Wahabi Pengagum Abu Jahal dan Abu Lahab ? ]. TERNYATA USTADZ WAHABI TERSEBUT MASIH NGEYEL, DAN TERUS MEMBANTAH.

Atsar dari Abu Ishaaq al-Qurasyi.

SUNNI: “Di antara bukti bahwa istighatsah dengan Nabi SAW atau wali yang sudah wafat telah berlangsung sejak generasi salaf yang shaleh, adalah atsar Abu Ishaq al-Qurasyi. Al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi berkata:

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ زِيَادٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْقُرَشِيَّ، يَقُولُ: كَانَ عِنْدَنَا رَجُلٌ بِالْمَدِينَةِ إِذَا رَأَى مُنْكَرًا لا يُمْكِنُهُ أَنْ يُغَيِّرَهُ أَتَى الْقَبْرَ، فَقَالَ:
أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُونَا
“Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh. Telah mengabarkan kepadaku Abu Muhammad bin Ziyad. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq al-Tsaqafi al-Sarraj, seraya berkata: “Aku mendengar Abu Ishaq al-Qurasyi berkata: “Di samping kami di kota Madinah ada seorang laki-laki, apabila melihat kemungkaran yang tidak mampu diberantasnya, ia mendatangi makam Nabi SAW, lalu berkata:

Wahai makam Nabi SAW dan kedua sahabatnya
Wahai penolong kami seandainya kalian mengetahui.” (HR al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, juz 6 hal. 60, terbitan Wahabi).
WAHABI: “Al-Baihaqi dalam menulis kitab Syu’abul-Iman, terlalu tasahul/kurang selektif. Tidak ada indikasi bahwa semua riwayat yang ada di dalam Syu’abul-Iman adalah shahih dan semua perawi yang ada di dalamnya tsiqat. Apalagi tidak ada tashriih/penegasan dari al-Baihaqi tentang status Abu Ishaq al-Qurasyi ini.”

SUNNI: “Pernyataan Anda bahwa al-Baihaqi tasahul dalam menulis kitab Syu’ab al-Iman, adalah pernyataan orang yang tidak tahu keilmuan al-Baihaqi dan derajat kitab-kitabnya. Al-Baihaqi bukan orang awam dalam bidang ilmu hadits. Bahkan beliau ulama kenamaan yang dihargai oleh para ulama ahli hadits. Yang tidak percaya kepada ke-tsiqah-an al-Baihaqi hanyalah sebagian ulama Wahabi sekarang, yaitu Shaleh al-Fauzan. Para ulama ahli hadits sangat menghargai kitab-kitab al-Baihaqi. Al-Hafizh al-Dzahabi berkata:

تصانيف البيهقي عظيمة القدر، غزيرة الفوائد، قل من جود تواليفه مثل الامام أبي بكر، فينبغي للعالم أن يعتني بهولاء
“Karangan-karangan al-Baihaqi agung derajatnya, kaya dengan faedah-faedah. Sedikit orang yang istimewa dalam menulis karangan-karangan seperti al-Baihaqi. Maka seyogyanya bagi seorang alim memperhatikan karya-karya tersebut.” (Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz 18 hal. 168).
Sedangkan pernyataan Anda bahwa “Tidak ada indikasi bahwa semua riwayat yang ada di dalam Syu’abul-Iman adalah shahih dan semua perawi yang ada di dalamnya tsiqat”, adalah pernyataan yang tidak ada gunanya. Anda harus tahu, bahwa al-Baihaqi memang tidak berkomitmen bahwa semua semua riwayat yang ada di dalam Syu’abul-Iman adalah shahih dan semua perawi yang ada di dalamnya tsiqat. Al-Baihaqi hanya berkomitmen dengan berkata begini:

وأنا على رسم أهل الحديث أحب أيراد ما أحتاج إليه من المسانيد والحكايات بأسانيدها والاقتصار على ما لا يغلب على القلب كونه كذبا.
“Dan aku mengikuti aturan ahli hadits, ingin menyajikan apa yang aku butuhkan berupa hadits-hadits musnad dan hikayat-hikayat dengan sanad-sanadnya, serta membatasi pada apa yang menurut dugaan kuat tidak dusta.” (al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, juz 1, hal. 84).
Dalam pernyataan tersebut jelas sekali komitmen al-Baihaqi, untuk menyampaikan riwayat-riwayat yang dibutuhkan, selama riwayat tersebut tidak dusta atau palsu menurut ijtihad beliau. Hal ini beliau lakukan, bukan karena beliau tidak mampu untuk menyusun kitab yang khusus menyajikan riwayat shahih. Beliau bukan orang awam dalam bidang hadits. Hal itu beliau lakukan karena dalam konteks ditulisnya banyak bab dalam kitab Syu’ab al-Iman, memang para ulama ahli hadits mentolerasi menyampaikan riwayat-riwayat yang lemah. Al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Taqrib wa al-Taisir sebagai berikut:

وَيَجُوْزُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَغَيْرِهِمْ التَّسَاهُلُ فِي اْلأَسَانِيْدِ وَرِوَايَةُ مَا سِوَى الْمَوْضُوْعِ مِنَ الضَّعِيْفِ وَالْعَمَلُ بِهِ مِنْ غَيْرِ بَيَانِ ضُعْفِهِ فِيْ غَيْرِ صِفَاتِ اللهِ تَعَالىَ وَاْلأَحْكَامِ كَالْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَغَيْرِهِمَا وَذَلِكَ كَالْقَصَصِ، وَفَضَائِلِ الْأَعْمَالِ، وَالْمَوَاعِظِ وَغَيْرِهَا مِمَّا لاَ تَعَلُّقَ لَهُ بِالْعَقَائِدِ وَالْأَحْكَامِ، وَاللهُ أَعْلَمُ. (الإمام النووي، التقريب والتيسير).
“Menurut ahli hadits dan selain mereka, boleh mentoleransi sanad-sanad dan periwayatan selain hadits palsu, yaitu hadits dha’if serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha’ifan-nya, dalam selain sifat-sifat Allah SWT, hukum-hukum seperti halal haram dan selainnya. Hal itu seperti dalam kisah-kisah, amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain, dari hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum. Wallahu a’lam.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, hal. 48).
Dengan demikian, riwayat-riwayat dha’if dalam Syu’ab al-Iman, adalah benar dalam konteks penyajiannya dan dapat diamalkan, sesuai dengan prinsip yang diikuti oleh ahli hadits, bukan ahli hadats (kata lain dari bid’ah) yaitu kaum Wahabi. Anda juga harus tahu, bahwa kitab Syu’ab al-Iman, artinya menjelaskan tentang cabang-cabang keimanan. Oleh karena itu, adanya riwayat tentang istighatsah dengan Nabi SAW dan sahabat yang sudah wafat, menandakan bahwa istighatsah termasuk bagian dari iman, bukan bagian dari syirik. Kitab tersebut bukan kitab Syu’ab al-Syirki (cabang-cabang syirik), bukan pula kitab campuran Syu’ab al-Iman wa al-Syirki (cabang-cabang iman dan syirik), kecuali menurut ajaran Wahabi yang sesat dan mensyirikkan istighatsah, karena mengikuti bid’ah nya Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi yang di-ma’shum-kan oleh Wahabi.

Sedangkan pernyataan Anda bahwa “tidak ada tashriih/penegasan dari al-Baihaqi tentang status Abu Ishaq al-Qurasyi”, hanya alasan saja untuk membela ajaran sesat dan ahli hadats (bid’ah) kaum Wahabi yang anti istighatsah. Dalil atau atsar lain tentang istighatsah dengan Nabi SAW dan wali yang sudah wafat, yang ditegaskan shahih oleh para ulama juga banyak, tetapi mengapa Anda masih menyesatkan istighatsah. Itu tanda bahwa Anda tidak ada niatan baik, kecuali mencari-cari alasan saja, akibat kesesatan Anda.

WAHABI: “Jelas sekali Abu Ishaaq Al-Quraisyiy itu adalah perawi yang tidak mendapatkan ta’dil dari siapapun. Selain itu, riwayatnya sangat sedikit dan sangat sedikit pula perawi yang meriwayatkan darinya. Tidak ada perawi tsiqaat yang terkenal teliti dan selektif dalam penerimaan riwayat yang meriwayatkan hadits darinya. Apakah ini tidak dinamakan majhuul ?”

SUNNI: “Pernyataan Anda menandakan bahwa Anda belum mengerti ilmu mushthalah hadits dan ilmu jarh wa ta’dil. Berkaitan dengan status Abu Ishaq al-Qurasyi dalam riwayat tersebut, Anda sepertinya kurang memahami bahasa Arab dan ilmu riwayat al-hadits.Abu Ishaq al-Qurasyi, bukan perawi majhul, akan tetapi perawi ma’ruf/dikenal dan dita’dil oleh ahli hadits, bukan ahli hadats. Yang jahil itu Anda. Mengapa demikian???

1) Apakah Abu Ishaq al-Qurasyi perawi majhul?

Anda mengatakan bahwa “Tidak ada perawi tsiqaat yang terkenal teliti dan selektif dalam penerimaan riwayat yang meriwayatkan hadits darinya”. Ini jelas pernyataan Anda yang diluar kesadaran. Mengapa??? Dua perawi tsiqah telah meriwayatkan atsar dari beliau. Pertama, al-Imam al-Hafizh Abu al-‘Abbas Muhammad bin Ishaq al-Tsaqafi al-Sarraj, yang meriwayatkan atsar istighatsah dari beliau. Al-Baihaqi berkata:

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ زِيَادٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْقُرَشِيَّ، يَقُولُ: كَانَ عِنْدَنَا رَجُلٌ بِالْمَدِينَةِ إِذَا رَأَى مُنْكَرًا لا يُمْكِنُهُ أَنْ يُغَيِّرَهُ أَتَى الْقَبْرَ، فَقَالَ:
أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُونَا
“Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh. Telah mengabarkan kepadaku Abu Muhammad bin Ziyad. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq al-Tsaqafi al-Sarraj, seraya berkata: “Aku mendengar Abu Ishaq al-Qurasyi berkata: “Di samping kami di kota Madinah ada seorang laki-laki, apabila melihat kemungkaran yang tidak mampu diberantasnya, ia mendatangi makam Nabi SAW, lalu berkata:

Wahai makam Nabi SAW dan kedua sahabatnya
Wahai penolong kami seandainya kalian mengetahui.” (HR al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, juz 6 hal. 60, terbitan Wahabi).
Riwayat lain al-Imam al-Sarraj dari Abu Ishaq al-Qurasyi, adalah dalam Tarikh Dimasyqa, oleh al-Hafizh Ibnu Asakir sebagai berikut:

كتب إلي أبو نصر بن القشيري أنا أبو بكر البيهقي أنا أبو عبد الله الحافظ قال سمعت عبد الرحمن بن أحمد المقرئ يقول سمعت أبا العباس محمد بن إسحاق يعني السراج يقول قال لي أبو إسحاق القرشي يوما من أكرم الناس بعد رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) قلت عثمان بن عفان قال كيف وقعت على عثمان من بين الناس قلت لأني رأيت الكرم في شيئين في المال والروح فوجدت عثمان جاد بماله على رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) ثم جاد على أقاربه قال لله درك يا أبا العباس
“Telah menulis kepadaku Abu Nashr bin al-Qusyairi. Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar al-Baihaqi. Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh, seraya berkata: “Aku Mendengar Abdurrahman bin Ahmad al-Muqri’ berkata: “Aku mendengar Abu al-‘Abbas Muhammad bin Ishaq al-Sarraj berkata: “Pada suatu hari Abu Ishaq al-Qurasyi berkata kepadaku: “Siapakah orang yang paling dermawan setelah Rasulullah SAW?” Aku berkata: “Utsman bin Affan”. Dia berkata: “Bagaimana Anda memilih Utsman di antara para sahabat?” Aku menjawab: “Aku melihat kedermawanan dalam dua hal, harta dan jiwa. Aku menemukan Ustman mendermakan hartanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian dia juga dermawan kepada para kerabatnya.” Dia berkata: “Anda bagus wahai Abul ‘Abbas.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyqa, juz 39 hal. 320, cet Dar el-Fikr).
Kedua, al-Baihaqi meriwayatkan astar dari Abu Ishaq al-Qurasyi melalui jalur gurunya al-Hakim yang berkata:

سمعت أبا عبد الله الشيباني يقول سمعت أبي يقول سمعت أبا إسحاق القرشي : و سئل عن السفلة فقال مثل الذي لا يبالي ما قال و ما قيل فيه
“Aku mendengar Abu Abdillah al-Syaibani berkata: “Aku mendengar ayahku berkata: “Aku mendengar Abu Ishaq al-Qurasyi, ketika ditanya tentang safalah, maka ia berkata: “Perumpamaan seseorang yang tidak peduli ada yang dikatakannya dan yang dikatakan orang mengenainya.” (Syu’ab al-Iman, juz 12 hal. 171, cetakan Wahabi).
Dari ketiga riwayat di atas, jelas sekali bahwa Abu Ishaq al-Qurasyi seorang perawi yang ma’ruf/dikenal, bukan majhul/tidak dikenal. Sebagaimana dimaklumi, perawi yang terkategori jahalatul ‘ain (tidak diketahui identitasnya), dapat menjadi hilang/menjadi diketahui, apabila ada satu perawi tsiqah meriwayatkan darinya. Al-Hafizh Ibnu Hajar, ketika menulis biografi Abdullah bin Abi Habibah, salah seorang guru Imam Malik bin Anas, berkata:

قال ابو خالد الحذاء: هو من الرجال الذين اكتفي في معرفتهم برواية مالك عنهم
“Abu Khalid al-Hadzdza’ berkata: “Dia termasuk perawi yang aku cukupkan dengan periwayatan Imam Malik dari mereka untuk dikatakan ma’ruf/diketahui, bukan majhul.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Ta’jil al-Manfa’ah bi-Zawaid Rijal al-Aimmah al-Arba’ah, juz 1 hal. 731, tahqiq Ikromullah Imdadulhaqq).
Perawi yang ma’ruf atau terselematkan dari jahalatul ‘ain tersebut, dalam istilah ilmu hadits disebut perawi mastur atau majhul al-hal (tidak diketahui kualitasnya). Perawi yang terkategori mastur atau majhul al-hal ini, haditsnya dapat diterima dengan dua syarat.

Pertama, ia tidak meriwayatkan riwayat yang munkar, baik dari segi sanad maupun dari segi matan. (Atsar Abu Ishaq di atas jelas memenuhi kriteria ini).

Kedua, ada perawi tsiqah yang meriwayatkan darinya. Dalam hal kedua ini, al-Imam Ibnu Hatim berkata dalam kitabnya al-Jarh wa al-Ta’dil:

باب في رواية الثقة عن غير المطعون عليه انها تقويه، وعن المطعون عليه انها لا تقويه حدثنا عبد الرحمن قال سألت ابي عن رواية الثقات عن رجل غير ثقة مما يقويه ؟ قال إذا كان معروفا بالضعف لم تقوه روايته عنه وإذا كان مجهولا نفعه رواية الثقة عنه.
حدثنا عبد الرحمن قال سألت ابا زرعة عن رواية الثقات عن رجل مما يقوى حديثه ؟ قال أي لعمري، قلت: الكلبى روى عنه الثوري، قال انما ذلك إذا لم يتكلم فيه العلماء، وكان الكلبى يتكلم فيه
“Bab, tentang riwayatnya perawi tsiqah dari perawi yang tidak dicela, dapat menguatkannya, dan dari perawi yang dicela, tidak dapat menguatkannya. Abdurrahman bercerita kepada kami, seraya berkata: “Aku bertanya kepada ayahku, mengenai riwayatnya para perawi tsiqah dari perawi yang tidak tsiqah, apakah dapat menguatkannya?” Beliau menjawab: “Apabila perawi tersebut telah dikenal lemah, maka riwayat perawi tsiqah darinya tidak dapat menguatkan. Apabila ia perawi yang majhul, maka riwayatnya perawi tsiqah darinya bermanfaat baginya.” Abdurrahman bercerita kepada kami, seraya berkata: “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah, tentang riwayatnya para perawi tsiqah dari seorang laki-laki (tidak dikenal), apakah dapat menguatkannya?” Beliau menjawab: “Ya, betul.” Aku berkata: “Al-Tsauri meriwayatkan dari al-Kalbi, apakah dapat menguatkannya?” Ia menjawab: “Itu terjadi apabila perawi tersebut tidak dibicarakan oleh para ulama. Sedangkan al-Kalbi memang dibicarakan.” (Al-Imam Ibnu Abi Hatim, al-Jarh wa al-Ta’dil, juz 2 hal. 36, cet India).
Dari beberapa pernyataan di atas, jelas sekali bahwa riwayat dari Abu Ishaq al-Qurasyi, layak diterima, karena ada dua perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits darinya, dan bahkan salah satunya al-Imam al-Sarraj yang sangat populer sebagai ulama yang teliti. Bahkan periwayatan seorang yang tsiqah dari perawi yang mastur/majhul al-hal, merupakan ta’dil terhadapnya menurut mayoritas ahli hadits. Al-Imam al-Zarkasyi berkata dalam kitab nya an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah sebagai berikut:

قال الحافظ أبو عبد الله بن المواق " المجاهيل على ضربين ... مجهول روى عنه اثنان فصاعدا وربما قيل مجهول الحال ... اختلفت فيهم أهل الحديث والفقهاء فذهب أكثر أهل الحديث إلى قبول رواياتهم والاحتجاج بها منهم البزار والدارقطني فنص البزار في كتاب الأشربة له وفي فوائده وفي غير موضع على أن من روى عنه ثقتان فقد ارتفعت جهالته وثبتت عدالته ونحو ذلك الدارقطني في الديات من سننه
“Al-Hafizh Abu Abdillah bin al-Mawaq berkata: “Perawi majhul itu ada dua macam. ... perawi majhul yang ada dua perawi atau lebih telah meriwayatkan hadits darinya. Majhul dalam kategori ini kadang disebut dengan majhul al-hal. Ahli hadits dan fuqaha berselisih mengenai mereka. Mayoritas ahli hadits telah menerima riwayat mereka dan berhujjah dengannya. Di antara mereka adalah al-Bazzar dan al-Daraquthni. Al-Bazzar telah menegaskan dalam kitab al-Asyribah dan al-Fawaid, dan di dalam lebih satu tempat, bahwa perawi yang ada dua perawi tsiqah telah meriwayatkan darinya, maka telah benar-benar hilang jahalah-nya dan tetap keadilannya. Demikian pula penegasan al-Daraquthni dalam bab Diyat dalam Sunan-nya.” (Al-Zarkasyi, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, juz 3 hal. 375).
Dengan keterangan tersebut jelas sekali, bahwa seandainya Abu Ishaq al-Qurasyi seorang perawi yang mastur atau majhul al-hal, maka dengan adanya dua perawi tsiqah di atas, status beliau tidak lagi majhul dan justru kini riwayatnya dapat dijadikan hujjah. Ini kalau kita masih bersikeras beranggapan bahwa Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut adalah mastur atau majhul al-hal. Padahal status Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut bukanlah perawi majhul al-hal atau mastur. Beliau justru perawi yang ma’ruf dan adil sebagaimana keterangan berikut.

2) Abu Ishaq al-Qurasyi seorang perawi yang ma’ruf dan di-ta’dil

Pada dasarnya Abu Ishaq al-Qurasyi adalah seorang perawi yang ma’ruf dan di-ta’dil. Hal ini dapat diketahui melalui dua pendekatan.

Pertama) al-Imam al-Baihaqi mengutip riwayat dari Abu Ishaq al-Qurasyi tentang istighatsah tersebut dalam konteks berhujjah dan menjadikan istighatsah sebagai bagian dari cabang-cabang keimanan, sesuai dengan nama kitab beliau Syu’ab al-Iman, bukan Syu’ab al-Syirk (cabang syirik). Demikian ini juga dipertegas oleh pernyataan al-Hafizh al-Sakhawi dalam kitabnya al-Ibtihaj bi-Adzkar al-Musafir wa al-Haj, hal. 138, agar membaca bait syair tersebut ketika melihat kemungkaran di Madinah yang tidak mampu dibrantasnya. Di atas juga disebutkan, bahwa al-Baihaqi mengutip riwayat dari al-Qurasyi tentang makna safalah, dalam konteks berhujjah. Dalam ilmu mushthalah al-hadits ahli hadits, bukan ahli hadats yaitu Wahabi, telah ditegaskan, bahwa periwayatan seorang imam ahli hadits terkemuka dari seorang perawi yang hanya diketahui riwayatnya melalui jalur seorang perawi, cukup sebagai penilaian bahwa perawi tersebut ma’ruf dan di-ta’dil. Al-Hafizh al-Sakhawi berkata dalam Fath al-Mughits sebagai berikut:

وبالجملة فرواية إمام ناقل للشريعة لرجل ممن لم يرو عنه سوى واحد في مقام الاحتجاج كافية في تعريفه وتعديله
“Kesimpulannya, periwayatan seorang imam yang menjadi penyampai syariat, bagi seorang perawi, di antara para perawi yang riwayatnya hanya melalui satu orang perawi saja, dalam konteks berhujjah, cukup dalam menilai perawi tersebut sebagai perawi ma’ruf/dikenal dan di-ta’dil/dinilai adil.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, Fath al-Mughits fi Syarh Alfiyah al-Hadits, juz 1 hal. 320, cet Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Lebanon 1403 H).
Kedua) al-Imam al-Hafizh Abu al-‘Abbas al-Tsaqafi al-Sarraj, telah mengagungkan dan memuliakan Abu Ishaq al-Qurasyi. Mungkin Anda bertanya, di mana al-Sarraj mengagungkan Abu Ishaq Qurasyi? Sikap al-Sarraj yang mengagungkan Abu Ishaq al-Qurasyi dapat dilihat dari dua hal.

a) Al-Sarraj menyebut gurunya dengan nama kun-yah (panggilan yang didahului dengan sebutan Abu atau Ummu), yaitu Abu Ishaq al-Qurasyi, bukan nama aslinya. Dalam tata bahasa Arab, penyebutan seseorang dengan nama kun-yah, berarti mengagungkan dan memuliakan orang yang disebutkan tersebut. Seandainya Abu Ishaq al-Qurasyi bukan seorang yang mulia dan agung, tentu al-Imam al-Sarraj tidak akan memanggilnya dengan nama kun-yah.

b) Al-Sarraj juga mengagumi dan mengagungkan gurunya, Abu Ishaq al-Qurasyi, dengan menyampaikan pujiannya kepada al-Sarraj. Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir berkata:

محمد بن إسحاق يعني السراج يقول قال لي أبو إسحاق القرشي يوما من أكرم الناس بعد رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) قلت عثمان بن عفان قال كيف وقعت على عثمان من بين الناس قلت لأني رأيت الكرم في شيئين في المال والروح فوجدت عثمان جاد بماله على رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) ثم جاد على أقاربه قال لله درك يا أبا العباس
“Abu al-‘Abbas Muhammad bin Ishaq al-Sarraj berkata: “Pada suatu hari Abu Ishaq al-Qurasyi berkata kepadaku: “Siapakah orang yang paling dermawan setelah Rasulullah SAW?” Aku berkata: “Utsman bin Affan”. Dia berkata: “Bagaimana Anda memilih Utsman di antara para sahabat?” Aku menjawab: “Aku melihat kedermawanan dalam dua hal, harta dan jiwa. Aku menemukan Ustman mendermakan hartanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian dia juga dermawan kepada para kerabatnya.” Dia berkata: “Anda bagus wahai Abul ‘Abbas.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyqa, juz 39 hal. 320, cet Dar el-Fikr. Lihat riwayat lengkapnya di atas).
Dalam pernyataan di atas, Abu Ishaq al-Qurasyi bertanya kepada al-Sarraj. Lalu al-Sarraj menjawab pertanyaan tersebut berikut alasannya. Kemudian Abu Ishaq al-Qurasyi memuji jawaban al-Sarraj. Seandainya Abu Ishaq al-Qurasyi bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan berani bertanya seperti di atas kepada al-Sarraj. Dan seandainya Abu Ishaq al-Qurasyi bukan orang yang ma’ruf dan di-ta’dil, tentu al-Sarraj tidak akan membanggakan pujian gurunya, Abu Ishaq al-Qurasyi, kepadanya. Dan seandainya Abu Ishaq al-Qurasyi bukan seorang yang populer dan diakui kualitas keilmuannya pada masa tersebut, tentu al-Sarraj tidak akan menyampaikan pembenaran gurunya kepada beliau. Perlu pembaca ketahui, bahwa dialog al-Sarraj dan Abu Ishaq al-Qurasyi di atas banyak dikutip oleh kaum Wahabi dalam konteks memuji Khalifah Utsman bin Affan. Hal ini membuktikan, bahwa mereka mengetahui adanya kedekatan hubungan murid dan guru tersebut, serta reputasi sang guru di mata murid dan para ulama pada masa-masa tersebut.

Dari kedua pendekatan di atas jelas sekali, bahwa Abu Ishaq al-Qurasyi seorang yang mulia dan agung di mata al-Imam al-Hafizh al-Tsaqafi al-Sarraj, muridnya yang sangat populer dan diakui otoritasnya dalam bidang ilmu hadits oleh para ulama ahli hadits. Seandainya Abu Ishaq al-Qurasyi bukan seorang yang mulia dan agung di mata al-Sarraj, tentu saja beliau tidak akan memuliakan dan mengagungkannya. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa riwayat atsar dari Abu Ishaq al-Qurasyi tentang istighatsah di atas dapat dijadikan sebagai hujjah dan dapat diamalkan oleh umat Islam.

WAHABI: “Apalagi bersandar dengan perkataan Mukhtar An-Nadwiy yang notabene dari kalangan orang-orang belakangan... Ini aneh sekali. Justru perkataan Mukhtar bahwa sanadnya jayyid itu perlu diteliti.”

SUNNI: “Yang bersandar dengan perkataan Mukhtar an-Nadwi itu awalnya Anda, tentang kemajhulan Abu Ishaq al-Qurasyi. Hanya saja, setelah saya bongkar kecurangan Mukhtar al-Nadwi, yang menilai jayyid atsar Abu Ishaq al-Qurasyi pada bab lain yang bukan istighatsah, Anda lalu cuci tangan, dan seakan-akan saya yang mengikuti Mukhtar an-Nadwi. Lalu Anda ikut-ikutan mengkritik kesalahan Mukhtar an-Nadwi. Anda lucu sekali.”

WAHABI: “Apapun itu, mengklaim Abu Ishaaq Al-Qurasyiy sebagai Ibraahiim bin Muhammad bin Al-‘Abbaas, anak paman Asy-Syaafi’iy, tidaklah kuat.”

SUNNI: “Lebih tidak kuat lagi, klaim Anda bahwa Abu Ishaq al-Qurasyi adalah perawi majhul, dan menilai haditsnya lemah. Anda seharusnya cukup berkata, “saya tidak tahu siapa sebenarnya Abu Ishaq al-Qurasyi.” Anda jelas salah kalau berkata, “Abu Ishaq al-Qurasyi adalah perawi majhul.” Mukhtar an-Nadwi, masih lebih bagus dan lebih benar dari pada Anda, dengan tidak mengatakan bahwa Abu Ishaq al-Qurasyi adalah majhul. Mukhtar an-Nadwi lebih mengerti ilmu hadits dari pada Anda.”

2. Perkataannya tentang Al-Haitsam bin ‘Adiy.

WAHABI: “Membaca perkataan Anda di atas membuat saya semakin yakin bahwa Anda adalah seorang mudallis, sama seperti Al-Haitsam bin ‘Adiy yang ia bela. Kenapa hanya menukil kalimat pendek itu pak Ustadz, sedangkan Anda meninggalkan uraian panjang Ibnu Hajar yang lain yang menukil perkataan para ulama mutaqaddimiin ?. Aha,... tentu saja ia tidak punya nyali untuk itu. Karena jika dituliskan, akan menjatuhkan perkataannya. Dalam Lisaanul-Miizaan (punya saya terbitan Maktabah Al-Mathbuu’aat Al-Islaamiyyah).”

SUNNI: “Anda sepertinya tidak mengerti makna mudallis dalam istilah ilmu hadits. Karena saya tidak pernah menolak bahwa al-Haitam bin ‘Adi seorang perawi yang matruk atau muttaham bil kadzib. Coba Anda baca baik-baik tulisan saya. Di mana ada kesan, saya menolak kualitas al-Hatitsam bin Adi sebagai perawi yang matruk dan muttaham bil kadzib??? Saya hanya menyampaikan pandangan al-Hafizh Ibnu Hajar, tentang al-Haitsam bin Adi yang seperti nya luput dari perhatian Anda. Dan sebenarnya yang super mudallis itu Anda semua kaum Wahabi. Dalam artikel sebelumnya, saya banyak menyampaikan data tentang istighatsah dan membongkar kesalahan Ibnu Taimiyah. Tapi Anda hanya fokus membantah 1 point data, dan beralih dari tema pokok bahasan saya. Bukti bahwa Anda super mudallis. Mengalihkan tema pada persoalan lain yang tdk penting. Berikut saya uraikan nilai al-Haitsam bin ‘Adi dalam Lisan al-Mizan:

عن يحيى ليس بثقة كان يكذب وقال أبو داود كذاب وقال النسائي وغيره متروك الحديث قلت كان أخباريا علامة روى عن هشام بن عروة وعبد الله بن عياش المنتوف ومجالد قال بن عدي ما أقل ماله من المسند إنما هو صاحب أخبار وقال بن المديني هو أوثق من الواقدي ولا أرضاه في شيء
“Yahya bin Ma’in: “Al-Haitsam tidak tsiqah dan dia telah kidzib.” Abu Dawud: “Banyak kidzib nya”. An-Nasai dan lainnya: “Matruk al-hadits.” Al-Hafizh Ibnu Hajar: “Ahli sejarah dan sangat alim.” Ibnu ‘Adi: “Sedikit sekali hadits musnad-nya. Ia hanya ahli sejarah.” Ibnu al-Madini: “Lebih dipercaya dari pada al-Waqidi, dan aku tidak meridhai nya dalam apapun.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, juz 6 hal. 209).
Dari pernyataan para ulama ahli hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa riwayat kesejarahan al-Haitsam bin Adi dapat dijadikan rujukan, dengan alasan beliau memang ahli sejarah dan sangat alim, di mata al-Hafizh Ibnu Hajar, dan lebih tsiqah daripada al-Waqidi, di mata Ibnu al-Madini. Al-Waqidi saja, yang tidak lebih tsiqah dari pada al-Haitsam bin Adi, informasi kesejarahannya banyak dijadikan rujukan oleh para ulama, apalagi al-Haitsam bin ‘Adi. Al-Hafizh Ibnu Sayyidinnas berkata:

وكثيرا ما انقل عن الواقدي من طريق محمد بن سعد وغيره اخبارا ولعل كثيرا منها لا يوجد عند غيره فالى محمد بن عمر انتهى علم ذلك ايضا في زمانه، وان كان قد وقع لاهل العلم كلام في محمد بن اسحق وكلام في محمد بن عمر الواقدي اشد منه
“Banyak sekali aku mengutip dari al-Waqidi, dari jalur Muhammad bin Sa’ad, banyak khabar/informasi, dan barangkali kebanyakan tidak ditemukan pada selain al-Waqidi. Memang dalam ilmu Sirah, Muhammad bin Umar al-Waqidi, orang yang paling menguasai pada masanya. Meskipun telah terjadi pembicaraan oleh kalangan ahli ilmu tentang Muhammad bin Ishaq dan pembicaraan tentang Muhammad bin Umar al-Waqidi yang lebih parah.” (Al-Hafizh Ibnu Sayyidinnas, juz 1 hal. 54, cet Dar Ibn Katsir, Damaskus, 1992).
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali al-Hafizh Ibnu Sayyidinnas, seperti juga para ulama yang lain, banyak mengutip dari al-Waqidi, seorang perawi yang lebih buruk kualitasnya dari pada al-Haitsam bin ‘Adi dalam kacamata al-Hafizh Ibnu al-Madini.

Mungkin yang menjadi ganjalan dalam benak Abul Jauzaa’, adalah penilaian kidzib Yahya bin Ma’in dan Abu Dawud terhadap al-Haitsam bin ‘Adi. Perlu Anda ketahui, bahwa penilaian kidzib atau kadzdzab termasuk jarh mubham (penilaian cacat yang tidak jelas). Al-Hafizh al-Suyuthi berkata:

قال الصيرفي وكذا إذا قالوا فلان كذاب لا بد من بيانه لأن الكذب يحتمل الغلط كقوله كذب أبو محمد
“Al-Shairafi berkata: “Demikian pula (termasuk jarh mubham), adalah apabila mereka berkata, si anu adalah kadzdzab, maka harus dijelaskan alasannya. Karena kidzib itu berkemungkinan pada makna keliru, seperti perkataan seseorang, Abu Muhammad telah kidzib yaitu keliru.” (Al-Hafizh al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, hal. 202, cet Dar el-Fikr, Beirut, 2006).
Dari pernyataan di atas jelas sekali, bahwa kidzib itu tidak selalu identik dengan pendusta atau pemalsu, akan tetapi juga bisa bermakna keliru atau salah. Oleh karena itu, an-Nasai dan lainnya menilai al-Haitsam bin ‘Adi sebagai matruk al-hadits, haditsnya ditinggalkan. Dari sinilah al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr mentoleransi dan merujuk riwayat-riwayat kesejarahan al-Haitsam bin ‘Adi dalam kitabnya al-Isti’ab. Hal yang sama juga dilakukan oleh al-Hafizh al-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah.”

WAHABI: “Apakah seorang ahli sejarah itu riwayatnya mesti shahih ?. Kalau Anda menjawab pasti shahih, saya katakan : Sungguh miskin Anda wahai Muhammad Idrus Ramli… Muhammad bin ‘Umar Al-Waaqidiy adalah perawi matruuk, meskipun ia seorang yang ‘alim dan gudang ilmu.”

SUNNI: “Saya justru bertanya kepada Anda, apakah dalam sejarah harus menggunakan riwayat shahih, tidak boleh menggunakan riwayat dha’if??? Siapa ulama yang menyatakan demikian??? Dalam kitab apa??? Dalam kitab mushthalah hadits ulama dulu? Atau itu pelajaran dari al-Albani, ulama panutan kaum Anda yang Anda anggap melebihi seluruh ahli hadits sejak kaum salaf??? Anda ini lucu, perkataan Anda mengandung banyak kebodohan dan penipuan. Cukup sebagai bantahan terhadap Anda, dalam kitab-kitab mushthalah hadits nya ahli hadits, bukan wahabi yang ahli hadats, terdapat pernyataan sebagai berikut:

وَيَجُوْزُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَغَيْرِهِمْ التَّسَاهُلُ فِي اْلأَسَانِيْدِ وَرِوَايَةُ مَا سِوَى الْمَوْضُوْعِ مِنَ الضَّعِيْفِ وَالْعَمَلُ بِهِ مِنْ غَيْرِ بَيَانِ ضُعْفِهِ فِيْ غَيْرِ صِفَاتِ اللهِ تَعَالىَ وَاْلأَحْكَامِ كَالْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَغَيْرِهِمَا وَذَلِكَ كَالْقَصَصِ، وَفَضَائِلِ الْأَعْمَالِ، وَالْمَوَاعِظِ وَغَيْرِهَا مِمَّا لاَ تَعَلُّقَ لَهُ بِالْعَقَائِدِ وَالْأَحْكَامِ، وَاللهُ أَعْلَمُ. (الإمام النووي، التقريب والتيسير).
“Menurut ahli hadits dan selain mereka, boleh mentoleransi sanad-sanad dan periwayatan selain hadits palsu, yaitu hadits dha’if serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha’ifan-nya, dalam selain sifat-sifat Allah SWT, hukum-hukum seperti halal haram dan selainnya. Hal itu seperti dalam kisah-kisah, amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain, dari hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum. Wallahu a’lam.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, hal. 48).
Dalam kitab-kitab mushthalah hadits juga ditegaskan:

وقال ابن عبد البر أحاديث الفضائل لا نحتاج فيها إلى من يحتج به
“Ibnu Abdil Barr berkata: “Hadits-hadits tentang fadhail, kami tidak butuh kepada perawi yang dapat dijadikan hujjah.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, Fath al-Mughits, juz 1 hal. 288).
Dalam catatan kami yang dikritik oleh Abul Jauzaa’, kami menyinggung perawi al-Waqidi dan Saif bin Umar al-Tamimi, tetapi sepertinya Abul Jauzaa’, tidak mengerti maksud saya dan belum menjangkau ke sana, sehingga ia tidak dapat memahami dengan baik. Karenanya di sini kami tidak akan membahas panjang lebar.”

Insya Allah, selanjutnya kami akan menelanjangi kebohongan atau kebodohan ilmiah Abul Jauzaa’ dalam blognya, tentang ATSAR IBNU UMAR YANG BERKATA “YA MUHAMMAD” KETIKA KAKINYA MATI RASA DAN KONSEP BID’AH VERSI IBNU UMAR RADHIYALLAAHU ‘ANHUMA.

Wallahu a’lam.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli

0 komentar:

Post a Comment

 
Top