kisah islami
Apabila Bilal RA tidak ada, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat lima waktu, karena suaranya merdu dan lembut. Tetapi bila Bilal ada, Bilal-lah yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat.

Beberapa waktu lalu, telah dituturkan kisah Bilal bin Rabbah, muadzin utama Rasulullah SAW, dan pada kesempatan kali ini saya kembali menuturkan kisah tentang Abdullah Ibnu Ummi Maktum, muadzin Nabi SAW di samping Bilal, yang memiliki seribu satu keteladanan yang penuh keimanan dan mahabbah kepada nabinya SAW.

Sahabat Buta Kesayangan Nabi SAW

Suatu hari, Abdullah Ibnu Ummi Maktum mengikuti pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu, Rasul SAW sedang menyampaikan anjuran terhadap setiap muslim yang mendengar adzan untuk segera menunaikan shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya yang buta, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.

Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diharuskan kendati saya tidak bisa melihat?” tanya Ibnu Ummi Maktum.

Rasulullah SAW menjawab, “Apakah kamu mendengar seruan adzan?

Ya, saya mendengarnya.

Rasul pun kemudian memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid.

Maka, dengan penuh keimanan, setiap adzan berkumandang dan waktu shalat tiba, Ibnu Ummi Maktum pun segera pergi ke masjid dan berjama’ah dengan Rasulullah SAW.

Suatu ketika di waktu subuh, saat adzan dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjama’ah ke masjid.

Waktu subuh berikutnya, ia bertemu seorang pemuda. Pemuda tersebut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Sejak saat itu, selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid.

Ibnu Ummi Maktum pun kemudian bermaksud ingin membalas kebaikan sang pemuda, yang selama itu menuntunnya ke masjid.

Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu? Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah,” ujarnya.

Apa untungnya bagimu mengetahui namaku? Dan aku tak mau engkau doakan,” jawab pemuda itu.

Jika demikian, cukuplah sampai di sini engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi, sebab engkau tidak mau didoakan,” tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.

Akhirnya, sang pemuda pun mengenalkan siapa dirinya yang sesungguhnya.

Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah Iblis,” ujarnya.

Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid? Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk datang ke masjid?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.

Sang pemuda yang sebenarnya Iblis itu kemudian membuka rahasia atas pertolongannya selama itu.

Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampunimu atas dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini,” kata Iblis.

Kisah ini hanyalah satu dari ribuan kisah keteladanan Ibnu Ummi Maktum, muadzin Rasulullah SAW, dalam kesungguhan dan ketinggian bukti keimanannya dan rasa mahabbahnya yang tulus dalam meneladani dan mengikuti anjuran sang kekasihnya, Rasulullah SAW, Muhammad SAW, di samping keterbatasan yang disandang seumur hidupnya sebagai seorang tunanetra.

Abdullah Ibnu Ummi Maktum RA bukanlah salah seorang dari tokoh yang namanya dikenal oleh masyarakat Makkah, bahkan namanya pun belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang mengindahkan suaranya. Ia hanya seorang awam di kota Makkah, hidup untuk diri dan bersama dirinya. Suaranya tidak pernah didengar orang dan rupanya tidak pernah dikenal orang.

Matanya buta sejak kecil. Meskipun ia seorang tunanetra, semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah didengarnya dengan baik sekali.

Ketika Islam datang, ia mendengar bahwa orang-orang budak-budak di kota Makkah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita-berita dari langit yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Al-Amin. Ia merasa, di Makkah terjadi pergolakan yang lain dari biasanya.

Ia mendengar, Muhammad Al-Amin menganjurkan persamaan dan persaudaraan antar-sesama umat manusia. Kaum lemah dan para budak tertarik pada semua seruan itu, sedangkan tokoh-tokoh Quraisy berusaha keras mempertahankan sistem kehidupan Jahiliyyah.

Rasa ingin tahunya sudah tak lagi terbendung. Dadanya dipenuhi keinginan untuk mengetahui ajaran yang disampaikan oleh Muhammad. Maka Ibnu Ummi Maktum pun memutuskan untuk pergi sendiri ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita yang sedang ramai diperbincangkan orang itu. Ia mengambil tongkatnya dan mengayunkan langkahnya menuju ke sana.

Ternyata apa yang didengarnya lebih hebat dari apa yang diberitakan orang. Suara yang didengarnya telah membuka pintu hatinya dan menimbulkan ketenangan serta kedamaian dalam qalbunya.

Ia tidak takut dan gentar terhadap seluruh kekuatan bumi sesudah ia mendengarkan Kalamullah yang diwahyukan kepada Muhammad Al-Amin dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan tauhid kepada Allah, untuk mempersamakan antar-umat manusia, untuk menegakkan keadilan antar-berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan rasa persaudaraan serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia, yang sedang dilanda kezhaliman dan kesesatan.

Kesucian dan ketulusan hatinya merindukan kebenaran bahkan mendapat pengakuan langsung dari Sang Maha Pemilik kebenaran dan diabadikan di dalam Al-Qur’an.

Kala itu Ibnu Ummi Maktum datang menemui Rasulullah SAW dan meminta agar beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya. Namun kali itu Rasulullah SAW sedang sibuk melayani beberapa tokoh Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan Al-Abbas bin Abdul Muththalib, dengan harapan, kalau mereka masuk Islam, akan meringankan tugasnya dan akan memudahkan perkembangan agama itu, karena merekalah yang selalu merintangi perkembangan Islam, dengan harta, kedudukan, dan wibawanya. Mereka berusaha keras menghalang-halangi orang menuju Islam dan menyempitkan ruang gerak dakwah dengan berbagai cara sehingga hampir-hampir tidak berkembang di Makkah. Orang-orang di luar kota Makkah sudah tentu sulit menerima agama baru yang ditentang keras oleh orang-orang yang paling dekat dengan penganjurnya itu.

Rasulullah SAW menyibukkan diri dengan orang-orang itu bukan demi kepentingan pribadinya, tapi demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan kaum muslimin juga. Kalau mereka masuk Islam, diharapkan semua rintangan yang membentang di hadapan para dai dan dakwah Islam bisa disingkirkan.

Ibnu Ummi Maktum mengulang-ulang harapannya itu sehingga Rasulullah SAW merasa terganggu dengan sikapnya yang memotong pembicaraan beliau dengan tokoh-tokoh Quraisy waktu itu. Karenanya Nabi SAW pun memalingkan pandangan dari Ibnu Ummi Maktum.

Di sinilah Allah SAW menegur Nabi SAW bahwa sikap semacam itu tidak pantas bagi seorang yang memiliki akhlaq yang luhur lagi tinggi.

Allah SWT berfirman, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya.” (QS Abasa: 1-10).

Sejak itulah, sebagaimana dinukilkan dalam kitab at-Tafsir al-Munir, karya Syaikh Nawawi Al-Jawi, Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz, Rasulullah SAW sangat memuliakan Ibnu Ummi Maktum. Bila bertemu dengannya, beliau selalu berkata, “Selamat datang, wahai sahabat, yang aku ditegur oleh Tuhanku karenannya. Apa engkau memerlukan sesuatu?

Dalam riwayat yang lain, apabila Rasulullah SAW bertemu dengannya, beliau suka berucap, “Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik.

Keistimewaan yang ada pada diri Ibnu Ummi Maktum menjadikannya sebagai salah seorang sahabat utama kepercayaan Rasulullah SAW.

Apabila Bilal RA tidak ada, Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pengganti Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat lima waktu, karena suaranya merdu dan lembut. Tetapi bila Bilal ada, Bilal-lah yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat.

Pada bulan Ramadhan, Bilal RA adzan untuk mengingatkan orang terhadap waktu sahur. Dan bila terdengar adzan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan, karena itu tanda waktu imsak sudah tiba.

Mengenai hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila Bilal adzan pada malam hari, kalian boleh makan dan minum hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”

Bukan hanya itu, Rasulullah SAW sering mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar meninggalkan Madinah dalam peperangan, di antaranya pergi menyerang Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi wali kota Madinah selama kepergian Rasulullah SAW. Ia juga yang menjadi imam jama’ah dan khatib shalat Jum’at menggantikan Nabi SAW.

Syahid dalam Perang Qadisiyah

Setelah Perang Badar, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi untuk berjihad di jalan-Nya.

Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena ia buta. Lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.

Kemudian ia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat (udzur) seperti dia tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Ia senantiasa berdoa dengan segala kerendehan hati, “Ya Allah, turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang memiliki udzur sepertiku.

Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya.

Zaid bin Tsabit, juru tulis Rasulullah SAW yang bertugas menuliskan wahyu, menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah SAW. Tiba-tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah SAW ketika itu.

Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, ‘Tulislah, hai Zaid!

Lalu aku menuliskan, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…’ — QS An-Nisa: 95.

Ibnu Ummi berdiri seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat)?

Selesai pertanyaan Abdullah, Rasulullah SAW berdiam dan paha beliau menekan pahaku, dan aku merasa menanggung beban berat seperti tadi.

Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah SAW berkata, ‘Coba baca kembali yang telah engkau tulis!

Aku membaca, ‘Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang).

Lalu kata beliau, ‘Tulis: Kecuali mereka bagi orang-orang yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan, ataupun anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan’.” — QS An-Nisa: 98.

Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.

Meskipun Allah telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang mempunyai udzur seperti dia untuk tidak berjihad, kerinduannya untuk mendapatkan derajat orang-orang yang syahid di jalan Allah semakin tak terbendung. Ia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Karena itu ia sangat gandrung untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.

Ia berkata, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.

Tahun ke-14 Hijriyyah, Khalifah Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zhalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam, yang demokratis dan bertauhid. Khalifah Umar memerintahkan segenap gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, “Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!

Maka berkumpulah di Madinah kaum muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah Umar. Di antara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, Abdullah Ibnu Ummi Maktum.

Khalifah Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.

Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Ia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya, atau mati di samping bendera itu.

Pada hari ketiga Perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah mereka peroleh. Maka pindahlah kekuasaan Kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Runtuhlah tahta yang megah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.

Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Di antara mereka yang syahid itu terdapat Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Ia ditemukan tak bernyawa di medan tempur dengan berlumuran darah syahidnya, memeluk bendera kaum muslimin.

Wallahu A’lam Bishshowab

0 komentar:

Post a Comment

 
Top