ahlussunnah wal jama'ah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di antara mukjizat Rasulullah adalah beberapa perkara atau peristiwa yang beliau ungkapkan dalam hadits haditsnya, baik peristiwa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Juga sebagaimana telah kita ketahui bahwa seluruh ucapan Rasulullah adalah wahyu dari Allah, artinya segala kalimat yang keluar dari mulut mulia beliau bukan semata-mata timbul dari hawa nafsu. Dalam pada ini Allah berfirman:

(4- وَمَا يَنطِقُ عَنِ الهْوََى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى (النجم: 3
Maknanya: “Dan tidaklah dia -Muhammad- berkata-kata dari hawa nafsunya, sesungguhnya tidak lain kata-katanya tersebut adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. An-Najm: 3-4)
Di antara pemberitaan Rasulullah yang merupakan salah satu mukjizat beliau adalah sebuah hadits yang beliau sabdakan bahwa kelak dari keturunan Quraisy akan datang seorang alim besar yang ilmu-ilmunya akan tersebar diberbagai pelosok dunia, beliau bersabda:

لاَ تَسُبُّوْا قُرَيْشًا فَإنّ عَالِمَهَا يَمْلَأُ طِبَاقَ الأرْضِ عِلْمًا (رواه أحمد)
Maknanya: “Janganlah kalian mencaci Quraisy karena sesungguhnya -akan datang- seorang alim dari keturunan Quraisy yang ilmunya akan memenuhi seluruh pelosok bumi” (HR. Ahmad).
Terkait dengan sabda ini para ulama kemudian mencari siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam haditsnya tersebut? Para Imam madzhab terkemuka yang ilmunya dan para muridnya serta para pengikutnya banyak tersebur paling tidak ada empat orang; al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, dan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal. Dari keempat Imam yang agung ini para ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah di atas adalah al- Imâm asy-Syafi’i, sebab hanya beliau yang berasal dari keturunan Quraisy. Tentunya kesimpulan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa madzhab al-Imâm asy-Syafi’i telah benar-benar tersebar di berbagai belahan dunia Islam hingga sekarang ini.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:

يوُْشِكُ أنْ يَضْرِبَ النّاسُ ءَابَاطَ الإبِلِ فَلاَ يَجِدُوْنَ عَالِمًا أعْلَمُ مِنْ عَالِمِ الْمَدِيْنَة (رواه أحمد)
Maknanya: “Hampir-hampir seluruh orang akan memukul punuk-punuk unta (artinya mengadakan perjalan mencari seorang yang alim untuk belajar kepadanya), dan ternyata mereka tidak mendapati seorangpun yang alim yang lebih alim dari orang alim yang berada di Madinah”. (HR. Ahmad).
Para ulama menyimpulkan bahwa yang maksud oleh Rasulullah dalam haditsnya ini tidak lain adalah al-Imâm Malik ibn Anas, perintis Madzhab Maliki; salah seorang guru al-Imâm asy-Syafi’i. Itu karena hanya al-Imâm Malik dari Imam madzhab yang empat yang menetap di Madinah, yang oleh karenanya beliau digelari dengan Imâm Dâr al-Hijrah (Imam Kota Madinah). Kapasitas keilmuan beliau tentu tidak disangsikan lagi, terbukti dengan eksisnya ajaran madzhab yang beliau rintis hingga sekarang ini.

Tentang al-Imâm Abu Hanifah, demikian pula terdapat dalil tekstual yang menurut sebagian ulama menunjukan bahwa beliau adalah sosok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya, bahwa Rasulullah bersabda:

لَوْ كَانَ الْعِلْمُ مُعَلَّقًا بِالثّريَّا لَنَالَهُ رِجَالٌ مِنْ أبْنَاءِ فَارِسٍ (رَوَاهُ أحمَْدُ)
Maknanya: “Seandainya ilmu itu tergantung di atas bintang-bintang Tsurayya maka benar-benar ia akan diraih oleh orang-orang dari keturunan Persia” (HR. Ahmad).
Sebagian ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah al-Imâm Abu Hanifah, oleh karena hanya beliau di antara Imam mujtahid yang empat yang berasal dari daratan Persia. Al-Imâm Abu Hanifah telah belajar langsung kepada tujuh orang sahabat Rasulullah dan kepada sembilan puluh tiga ulama terkemuka dari kalangan tabi’in. Tujuh orang sahabat Rasulullah tersebut adalah; Abu ath-Thufail Amir ibn Watsilah al-Kinani, Anas ibn Malik al-Anshari, Harmas ibn Ziyad al-Bahili, Mahmud ibn Rabi’ al-Anshari, Mahmud ibn Labid al-Asyhali, Abdullah ibn Busyr al-Mazini, dan Abdullah ibn Abi al-Awfa al-Aslami.

Demikian pula dengan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, para ulama kita menetapkan bahwa terdapat beberapa dalil tekstual yang menunjukan kebenaran akidah Asy’ariyyah. Ini menunjukan bahwa rumusan akidah yang telah dibukukan oleh al-Imâm Abu al-Hasan sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah keyakinan mayoritas umat Nabi Muhammad sebagai al-Firqah an- Nâjiyah; kelompok yang kelak di akhirat akan selamat kelak.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Mufatrî menuliskan satu bab yang ia namakan: “Bab beberapa riwayat dari Rasulullah tentang kabar gembira dengan kedatangan Abu Musa al-Asy’ari dan para penduduk Yaman yang merupakan isyarat dari Rasulullah secara langsung akan kedudukan ilmu Abu al-Hasan al-Asy’ari”. Bahkan kabar gembira tentang kebenaran akidah Asy’ariyyah ini tidak hanya dalam beberapa hadits saja, tapi juga terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian hal ini merupakan bukti nyata sekaligus sebagai kabar gembira dari Rasulullah langsung bagi orang-orang pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Kita mulai bahasan materi ini dengan mengenal keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari yang merupakan moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Bahwa terdapat banyak sekali hadits-hadits Rasulullah yang menceritakan keutamaan sahabat Abu Musa al-Asy’ari ini, beliau adalah salah seorang Ahl ash-Shuffah dari para sahabat Muhajirin yang mendedikasikan seluruh waktunya hanya untuk menegakan ajaran Rasulullah. Sebelum kita membicarakan keutamaankeutamaan sahabat mulia ini ada beberapa catatan penting yang handak penulis ungkapkan dalam permulaan bahasan ini; adalah sebagai berikut:

Satu: Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî mengutip hadits mauqûf dengan sanad dari sahabat Hudzaifah ibn al-Yaman, bahwa ia (Hudzaifah) berkata:

صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تُدْرِكُ الرَّجُلَ وَوَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ وَلِعَقِبِهِ (رواه ابن عساكر)
Maknanya: “Sesungguhnya keberkahan doa Rasulullah yang beliau peruntukan bagi seseorang tidak hanya mengenai orang tersebut saja, tapi juga mengenai anak-anak orang itu, cucu-cucunya, dan bahkan seluruh orang dari keturunannya”. (HR Ibn Asakir)
Pernyataan sahabat Hudzaifah ini benar adanya, setidaknya al-Hâfizh Ibn Asakir mengutip hadits sahabat Hudzaifah ini dengan tiga jalur sanad yang berbeda. Sanad-sanad hadits tersebut menguatkan satu atas yang lainnya. [Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 73-74]

Dua: Sejalan dengan hadits mauqûf di atas terdapat sebuah hadits marfû’; artinya hadits yang langsung berasal dari pernyataan Rasulullah sendiri, yaitu hadits dari sahabat Abdullah ibn Abbas, bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ لَيَرْفَعُ ذُرّيَّةَ الْمُؤْمِنِ إِلَيْهِ حَتَّى يلُْحِقَهُمْ بِهِ وَإِنْ كَانوُْا دُوْنَهُ فِي اْلعَمَلِ لِيَقِرَّ عَِِْيْنُهُ (رواه ابن عساكر)
Maknanya: “Sesungguhnya Allah benar-benar akan mengangkat derajat keturunan-keturunan seorang mukmin hingga semua keturunan orang tersebut bertemu dengan orang itu sendiri. Sekalipun orang-orang keturunannya tersebut dari segi amalan jauh berada di bawah orang itu (moyang mereka), agar supaya orang itu merasa gembira dengan keturunan-keturunannya tersebut” (HR. Ibn Asakir).
Setelah menyampaikan hadits ini kemudian Rasulullah membacakan firman Allah dalam QS. ath-Thur: 21:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Maknanya: ”Sesungguhnya mereka yang beriman dan seluruh keturunan mereka yang mengikutinya dalam keimanan akan kami Kami (Allah) pertemukan mereka itu (moyang moyangnya) dengan seluruh keturunannya” (QS. Ath-Thur: 21).
Hadits ini diriwayatkan oleh Huffâzh al-Hadîts, di antaranya selain oleh Ibn Asakir sendiri dengan sanad-nya dari sahabat Abdullah ibn Abbas, demikian pula diriwayatkan oleh al-Imâm Sufyan ats-Tsauri dari Amr ibn Murrah, hanya saja hadits dengan jalur sanad dari al-Imâm Sufyan ats-Tsauri tentang ini adalah mauqûf dari sahabat Abdullah ibn Abbas. Dalam pada ini, lanjutan firman Allah dalam QS. ath-Thur: 21 di atas “... Wa Mâ Alatnâhum”, ditafsirkan oleh Ibn Abbas;

Wa Mâ Naqashnâhum”, artinya tidak akan dikurangi dari mereka suatu apapun, atau bahwa mereka semua; antara moyang dan keturunan-keturunannya akan disejajarkan. [Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 74-75]

Tiga: Diriwayatkan pula dari sahabat Abdullah ibn Abbas tentang firman Allah: ”Wa An Laysa Lil-Insân Illâ Mâ Sa’â” (QS. An-Najm: 39), artinya bahwa tidak ada apapun bagi seorang manusia untuk ia miliki dari kebaikan kecuali apa yang telah ia usahakannya sendiri. Setelah datang ayat ini kemudian turun firman Allah: ”Alhaqnâ Bihim Dzurriyatahum Bi-Imân” (QS. Ath-Thur: 21), artinya bahwa orang-orang mukmin terdahulu akan dipertemukan oleh Allah dengan keturunanketurunan mereka karena dasar keimanan. Dalam menafsirkan ayat ini sahabat Abdullah ibn Abbas berkata: “Kelak Allah akan memasukan anak-anak ke dalam surga karena kesalehan ayah-ayah mereka”. [Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 75]

Empat: Terkait dengan firman Allah: ”Alhaqnâ Bihim Dzurriyatahum Bi-Imân” (QS. Ath-Thur:21) diriwayatkan pula dari al-Imâm Mujahid; salah seorang pakar tafsir murid sahabat Abdullah ibn Abbas, bahwa dalam menafsirkan firman Allah tersebut beliau berkata: “Sesungguhnya karena kebaikan dan kesalehan seorang ayah maka Allah akan memperbaiki dan menjadikan saleh anakanak dan cucu-cucu (keturunan) orang tersebut”. [Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 73-74]

Dari beberapa bukti tekstual di atas dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya kesalehan, keilmuan, keberanian, kezuhudan, dan berbagai sifat terpuji lainnya yang ada pada sosok al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah sifat-sifat yang memang secara turun temurun beliau warisi dari kakek-kekeknya terdahulu. Dalam hal ini termasuk salah seorang moyang terkemuka beliau yang paling ”berperan penting” adalah sahabat dekat Rasulullah; yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Ini semua tentunya ditambah lagi dengan kepribadian-kepribadian saleh dari kakek-kakek beliau lainnya.

Pembahasan selanjutnya bersambung kepada bagian kedua.. InsyaAllah...

0 komentar:

Post a Comment

 
Top