Cara Menentukan Awal Ramadhan

Diwajibkan untuk melihat hilal (bulan sabit) Ramadhan pada malam ke 30 bulan Sya’ban. Karena puasa Ramadhan diwajibkan jika sudah terjadi salah satu diantara dua hal:

1. Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

2. Melihat hilal Ramadhan pada malam 30 Bulan Sya’ban. Sebagaimana tuntunan Rasulullah:

"صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْفَأَكْمِلُوْا عَدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا " (رواه البُخارِيومُسلمٌ وأصحابُ السُّنَن وغيرُهم)
Maknanya: "Berpuasalah dengan melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah (berhari raya) dengan melihat hilal (bulan Syawwal), jika kalian terhalang mendung maka sempurnakanlah hitungan Sya'ban menjadi 30 hari" (H.R. al-Bukhari dan Muslim serta Ashhab as-Sunan).  
bulan ramadhan
Siapa saja yang melihat hilal Ramadhan, maka ia wajib berpuasa. Adapun orang yang tidak melihat tapi mendengar berita tentang dilihatnya hilal dari seorang muslim yang dapat dipercaya, adil, merdeka (bukan hamba sahaya) dan bukan seorang pembohong juga wajib baginya untuk berpuasa. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Umar berkata:“Aku pernah memberitahu Rasulullah bahwa aku telah melihat hilal, maka Rasulullah berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa”.(disahihkan oleh Ibn Hibban).

Adapun jika yang memberitahu tentang dilihatnya hilal tersebut adalah seorang anak  kecil atau seorang yang fasiq atau perempuan atau budak, bila mereka dapat dipercaya maka hukumnya boleh (jaiz) berpuasa. Tapi bila tidak dapat dipercaya, maka harus menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Jika qadhi sudah menetapkan untuk berpuasa, maka wajib bagi seluruh penduduk yang tinggal di daerah tempat ketetapan tersebut berlaku juga penduduk daerah-daerah lain yang dekat dari daerah tempat dilihatnya hilal dan sama mathla’nya (tempat terbit dan terbenamnya matahari) untuk berpuasa, tidak termasuk orang-orang yang tinggal di daerah yang berbeda mathla’nya dengan daerah tempat ketetapan qadli (ini menurut pendapat Imam Syafi’i), adapun menurut pendapat Abu Hanifah wajib berpuasa bagi seluruh penduduk suatu negara yang telah mengetahui ketetapan puasa di satu daerah, meskipun jauh dari daerah tempat dilihatnya hilal.Menurut pendapat Imam Abu Hanifah ini, diwajibkan berpuasa bagi penduduk ujung barat jika mengetahui ketetapan puasa di daerah timur, begitu juga sebaliknya.

Fardhu-Fardhu Puasa

Fardhu puasa ada dua; niat dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa :

1. Niat, berniat dilakukan dalam hati dan tidak disyaratkan untuk mengucapkannya dengan lisan. Niat wajib dilakukan di malam hari sebelum terbit fajar untuk tiap-tiap hari selama bulan Ramadhan walaupun untuk mengqadla puasa ramadhan (di lain bulan ramadhan). Jika ada seseorang yang berniat puasa untuk hari berikutnya setelah matahari terbenam sementara ia belum berbuka dan ia tidak mengulanginya kembali setelah ia makan maka niatnya tersebut sudah cukup baginya. Diwajibkan pula untuk menentukan puasa yang dilakukan pada waktu niat, seperti menentukan bahwa puasa yang dilakukan adalah puasa ramadhan atau puasa nadzar atau puasa kafarat walaupun tidak dijelaskan sebab kafaratnya. Niat puasa ramadhan wajib dilakukan setiap hari, tidak cukup niat sekali di awal bulan untuk sebulan penuh menurut Imam Syafi’i. Para ulama mengatakan: sempurnanya niat untuk puasa ramadhan adalah sebagai berikut:

"نَوَيْتُصَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضَ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ إِيْمَانًاوَاحْتِسَابًا للهِ تَعَالَى"
Maknanya: "Aku berniat puasa besok untuk menunaikan kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah ta’ala".
Sebagian ulama mengatakan bahwa cukup berniat sekali pada malam pertama bulan Ramadhan untuk sebulan penuh, misalnya dengan berniat:

"نَوَيْتُصِيَامَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا عَنْ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ"   

Wajib bagi perempuan yang haidh atau nifas (jika darahnya sudah berhenti keluar) agar berniat di malam hari untuk berpuasa hari berikutnya dari bulan ramadhan meskipun belum mandi besar. Sementara itu diperbolehkam baginya untuk makan, tidur dan bersetubuh (setelah mandi wajib) setelah berniat dan sebelum terbit fajar. Orang yang belum berniat, lalu tidur malam sampai setelah terbit fajar ia baru bangun, maka ia diwajibkan untuk menahan dirinya dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dan diwajibkan juga untuk mengqadha puasa hari tersebut. Berbeda dengan puasa sunnah, tidak disyaratkan dalam menjalankan puasa sunnah untuk berniat di malam hari (tabyiit). Jika seseorang baru bangun setelah terbit fajar, selama ia belum makan dan minum sesuatu apapun, kemudian ia ingin berniat puasa sunnah pada hari itu sebelum tergelincirnya matahari, hanya karena ta’at kepada Allah, maka sah puasanya.

 2. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa

Wajib bagi orang yang sedang berpuasa untuk menahan diri dari melakukan hal-hal sebagai berikut:

- Makan, minum dan memasukkan sesuatu yang berbentuk meskipun kecil ke dalam kepala atau perut melalui lubang-lubang yang terbuka seperti mulut, hidung (walaupun hanya bagian-bagian yang kecil seperti merokok), atau dari qubul dan dubur, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

- Apabila ada orang yang makan dan minum walaupun banyak sementara ia lupa bahwa ia sedang berpuasa, maka puasanya tidak batal meskipun dalam puasa sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"مَنْنَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَاأَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ" (رواه البخاري)
Maknanya: "Siapa saja yang lupa sementara ia sedang berpuasa, lalu makan dan minum maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah lah yang memberinya makan dan minum." (H.R. Bukhari)
- Istiqo’ah: sengaja mengeluarkan muntah dengan jari atau yang semisalnya meskipun tidak ada sedikitpun dari muntahnya tersebut yang kembali lagi ke perut. Adapun orang yang muntah bukan dengan disengaja mengeluarkannya, selama ia tidak menelan sedikitpun dari muntahnya maka puasanya tidak batal, tapi ia wajib mensucikan mulutnya sebelum menelan ludah dari mulutnya tersebut. Rasul bersabda:

"مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِقَضَاءُ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ"
Maknanya: "Orang yang terpaksa muntah (dengan tidak disengaja mengeluarkannya), maka ia tidak dikenai kewajiban mengqadha puasanya, sedangkan orang yang sengaja memancing muntahnya agar keluar, maka ia wajib untuk mengqadha puasanya" (H.R. al-Hakim dan Imam empat).
- Bersetubuh dan mengeluarkan mani dengan sengaja atau dengan bersetubuh, ketiga hal tersebut membatalkan puasa, sementara kalau seseorang yang sedang berpuasa kemudian mengeluarkan mani hanya   karena melihat hal-hal yang haram sekalipun  atau dengan berkhayal, maka tidak batal puasanya.

Karena waktu puasa dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, maka wajib bagi kita untuk mengetahui kepastian awal dan akhir waktu puasa tersebut bagi setiap mukallaf. Pada saat ini kebanyakan muadzdzin (tukang adzan) tidak mengetahui tentang waktu-waktu shalat, kebanyakan mereka hanya bertumpu pada piringan yang mereka putar untuk menentukan waktu fajar dan maghrib, oleh karenanya tidak boleh serta merta berpegangan dan mengikuti mereka ini.

Fajar adalah sinar putih mengarah horizontal yang berada di ufuk timur, pada awalnya terlihat agak kemerah-merahan yang bercampur dengan sinar putih tersebut, kemudian setelah sekitar setengah jam warna merah tersebut menjadi lebih tajam,sinar putih inilah yang dinamakan dengan fajar, niat puasa wajib dilakukan sebelum munculnya sinar putih tersebut. Yang dimaksud dengan terbenamnya matahari adalah terbenamnya bola matahari secara keseluruhan.

Siapa saja yang dengan sengaja makan setelah fajar terbit dengan meyakini bahwa fajar belum terbit maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha puasanya yang batal tersebut, begitu juga ia diwajibkan untuk menahan diri darihal-hal yang membatalkan puasa pada siang harinya. Namun jika ia berijtihad kemudian makan, setelah makan baru ia tahu bahwa waktu subuh sudah masuk (sudah terbit fajar) maka ia tidak berdosa, seperti orang yang bertumpu pada suara kokokan ayam yang sudah terdidik (dalam menentukan waktu subuh). Atau jika ada orang yang makan sebelum terbenamnya matahari dengan meyakini bahwa matahari sudah terbenam, kemudian setelah makan baru ia mengetahui bahwa matahari belum terbenam maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha puasanya yang batal tersebut. Adapun orang yang dengan sengaja makan sebelum terbenamnya matahari tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلىَ اللَيْلِ  (البقرة: 187)
Maknanya: "Sempurnakanlah puasa sampai malam". (Q.S. Al Baqarah: 187)
Terbenamnya matahari adalah tanda masuknya malam.

Wajib bagi setiap muslim untuk selalu menjaga keislamannya selamanya, baik di bulan Ramadhan  atau bulan-bulan  yang lain, oleh karenanya diwajibkan untuk menjauhi hal-hal yang menyebabkan kekufuran yang tiga, yaitu:

1. Kufur Qauli (perkataan): seperti mencaci-maki Allah, al-Qur’anatau Islam.

2. Kufur I’tiqadi (keyakinan): seperti meyakini bahwa Allah adalah benda atau cahaya atau ruh, atau bahwa Allah memiliki tempat dan arah, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki bagian-bagian dan anggota-anggota badan.

3. Kufur Fi’li (perbuatan): seperti melempar mushaf pada tempat-tempat kotor atau sujud kepada berhala.

Hal ini dikarenakan syarat sah puasa adalah keimanan orang yang berpuasa, sementara kekufuran bisa merusak keimanan. Barangsiapa jatuh dalam salah satu dari tiga macam kekufuran di atas maka batal puasanya dan ia diwajibkan untuk segera kembali masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa selama siangnya. Juga wajib segera  mengqadha puasanya (yang batal dengan jatuh pada kekufurun) sehabis Ramadhan dan hari raya.

Syarat-Syarat Wajib Puasa

Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan mampu melaksanakannya. Tidak sah puasa yang dilakukan oleh orang kafir asli atau orang murtad. Begitu juga perempuan yang sedang haidh atau nifas, seandainya keduanya tetap berpuasa pada waktu keluar darah, maka puasanya tidak sah dan keduanya berdosa serta tetap wajib mengqadha puasanya.

Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil, tapi diwajibkan bagi orang tua atau wali untuk menyuruh anaknya berpuasa jika anaknya sudah mencapai usia 7 tahun, dan memukulnya jika mengabaikan perintah untuk berpuasa jika sudah mencapai usia 10 tahun serta dipandang kuat untuk melaksanakannya, namun tidak ada kewajiban untuk mengqadha, jika anak tersebut membatalkan puasanya.

Puasa juga tidak diwajibkan bagi orang gila dan ia juga tidak diwajibkan mengqadha. Bagi orang yang sakit atau yang sedang dalam perjalanan jauh (musafir) pada waktu bulan Ramadhan tidak diwajibkan berpuasa, tapi wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan. Jika keduanya tetap ingin melanjutkan  berpuasa, maka puasanya tetap sah, namun jika puasa yang mereka lakukan itu dirasa membahayakan, maka hukumnya haram bagi mereka untuk melanjutkan puasa.

Musafir jika ingin membatalkan puasanya di hari pertama perjalanannya, maka ia  wajib meninggalkan (keluar dari) daerahnya sebelum terbit fajar. Puasa juga tidak diwajibkan bagi orang yang sudah tua renta yang lemah dan sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, karena ditakutkan akan cepat mati atau lumpuh.

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa

1. Makan walaupun sebiji wijen atau yang lebih kecil dengan disengaja dan mengetahui keharamannya.

2. Minum walaupun hanya seteguk air atau obat.

Perhatian: debu jalanan dan ayakan tepung tidak membahayakan bagi orang yang sedang berpuasa, karena sulit menghindar dari keduanya. Begitu juga mencicipi rasa makanan tanpa menelan sedikitpun dari makanan yang dicicipi. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dalam berwudlu) sampai airnya masuk ke perut juga bisa membatalkan puasa. Mengeluarkan ludah walaupun hanya di bagian luar bibir, lalu menelannya kembali bisa membatalkan puasa. Sementara jika ludah masih berada dilidah, maka tidak berbahaya jika ditelan. Bahkan bila ada orang yang sengaja mengumpulkan ludahnya agar ditelan kembali,maka itu tidak membatalkan puasanya selama ludahnya itu masih murni (belum berubah). Adapun mengenai hukum menelan riya, terdapat perincian sebagai berikut:

1. Jika ditelan dari mulut maka membatalkan puasa

2. Jika masih berada di bawah makhraj (tempat keluar) huruf “ح” maka tidak membatalkan puasa. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah riya tidak membatalkan meskipun telah sampai di lidah.

Ludah yang sudah berubah rasanya, misalnya karena asap rokok yang dihisap sebelum fajar atau yang lainnya, bisa membatalkan puasa. Jika ada orang muntah, lalu setelah berhenti muntahnya ia langsung menelan ludah sebelum mensucikan mulutnya, maka puasanya batal karena ludah itu menjadi najis sebab muntah bercampur dengan ludah.

Infus melalui kemaluan dan dubur bisa membatalkan puasa, begitu juga meneteskan obat hidung dan telinga, jika obatnya sampai masuk keperut. Menurut salah satu pendapat, tetesan di hidung tidak membatalkan. Lain halnya dengan obat tetes mata, jika dipakai pada waktu berpuasa maka tidak membatalkan, begitu juga suntikan baik di kulit atau pembuluh darah.

Orang yang pingsan pada siang hari puasa, kemudian sadar sebelum habis satu hari penuh maka tidak batal. Namun jika pingsannya itu menghabiskan satu hari penuh dari terbit fajar sampai maghrib maka puasanya tidak sah. Apabila seseorang mengalami kegilaan walaupun hanya sebentar maka batal puasanya.

Begitu juga apabila seorang perempuan haidh atau nifas walaupun sesaat sebelum terbenam matahari, maka batal puasanya.

Adapun orang yang berpuasa, jika ia tidur dan kemudian bermimpi keluar mani, maka tidak batal, berbeda jika keluarnya mani itu sebab onani atau dengan jima' yang disengaja (tidak dalam keadaan lupa).

Orang yang bersetubuh pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, serta ia ingat bahwa ia sedang berpuasa dan tidak dipaksa,  maka puasanya batal walaupun tidak sampai keluar mani. Adapun jika bersetubuh karena lupa maka tidak batal puasanya dan tidak wajib mengqadha.

Orang yang bangun tidur dalam keadaan junub karena bersetubuh atau yang lainnya, maka boleh baginya terus berpuasa dan mandi besar ketika ia hendak melakukan shalat. Dari Aisyah radliyallahu'anha berkata:

"كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُدْرِكُهُالْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَ يَصُوْمُ" (رواهالبخاري)
Maknanya: "Rasulullah pernah mendapati subuh sementara beliau dalam keadaan junub kemudian beliau mandi dan terus berpuasa". (H.R.Bukhari).
Juga termasuk yang membatalkan puasa adalah:

Jatuh dalam kekufuran dengan sengaja bukan salah ucap, meskipun hanya bergurau atau marah, baik ingat bahwa ia sedang berpuasa atau lupa, karena tidak sah ibadah yang dilakukan oleh orang kafir.

Mencium istri yang bisa merangsang syahwat bagi orang yang sedang berpuasa hukumnya haram, tapi tidak membatalkan puasa jika tidak sampai keluar mani.  Adapun hadits:

"خَمْسٌ يُفْطِرْنَالصَّائِمَ: النَّظْرَةُ المُحَرَّمَةُ وَالْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُوَالْقُبْلَةُ"
"Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa; melihat yang diharamkan, dusta, ghibah (membicarakan aib orang lain dibelakangnya), namimah (mengadu domba) dan mencium"
tidak ada dasarnya bahkan hanyalah kebohongan yang dinisbatkan kepada nabi, tapi sebagian dari kelima hal tersebut bisa menggugurkan pahala puasa.

Kewajiban Yang Harus Dipenuhi Oleh Orang Yang Membatalkan Puasa Dengan Sengaja

Membatalkan puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan adakalanya:

1. Wajib mengqadha saja.

2. Wajib mengqadha serta membayar fidyah.

3. Wajib membayar fidyah saja sebagai ganti dari puasa.

4. Wajib mengqadha dan kafarat.

1. Yang hanya wajib mengqadha saja adalah:
  • Yang membatalkan puasa sebab sakit.
  • Yang melakukan perjalanan jauh (musafir) dan membatalkan puasanya.
  • Perempuan yang haidh atau nifas.
  • Yang membatalkan puasa tanpa udzur, atau sudah berpuasa lalu membatalkan puasanya bukan dengan bersetubuh.
2. Yang wajib mengqadha dan membayar fidyah adalah :
  • Perempuan yang hamil atau menyusui, jika keduanya khawatir terhadap anaknya, sehingga membatalkan puasa.
  • Fidyah adalah satu mud (satu cakupan kedua telapak tangan orang sedang) makanan pokok mayoritas masyarakat setiap hari. Sementara dalam mazhab Hanafi fidyah adalah memberi makan orang miskin seukuran makan siang dan malamnya atau harganya jika diuangkan.
  • Bagi orang yang masih punya tanggungan untuk mengqadha puasa, lalu ia memperlambatnya sampai datang ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah setiap harinya satu mud.
3. Yang wajib membayar fidyah saja adalah:
  • Orang tua yang lemah yang tidak kuat berpuasa atau merasakan kesulitan yang berat maka ia boleh tidak berpuasa namun sebagai gantinya ia wajib membayar fidyah pada setiap harinya.
  • Orang yang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, orang seperti ini tidakwajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha puasa yang ia tinggalkan, tetapi hanya wajib membayar fidyah saja. Yaitu seukuran makan siang dan malam menurut mazhab Hanafi atau satu mud gandum atau yang lainnya sesuai makanan pokok kebanyakan masyarakat.
4. Yang wajib mengqadla dan wajib membayar kafarat adalah :
  • Orang yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh dengan sengaja, tidak dipaksa serta ingat bahwa ia sedang berpuasa, walaupun tidak sampai mengeluarkan mani.
Yang dimaksud dengan kafarat adalah:

1. Memerdekakan budak mukmin, jika tidak mampu

2. Berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak termasuk hari untuk mengqadha. Jika selama dua bulan tersebut ada satu hari yang tidak dilaksanakan puasa pada hari itu walaupun karena sakit, maka harus mengulang kembali dari awal. Jika tidak mampu juga maka,

3. Memberi makan 60 orang miskin, masing-masing dari mereka satu mud makanan pokok kebanyakan masyarakat. Sementara menurut  Imam Abu Hanifah yaitu memberi masing-masing dari mereka seukuran makan siang dan malam.

Jika masih tidak mampu juga melaksanakan ketiga hal tersebut maka kafarat tetap menjadi tanggungannya dan tidak ada lagi yang bisa menebusnya sebagai ganti dari kafarat tersebut.

Hal-Hal Yang Disunnahkan Ketika Berpuasa

1. Bersegera berbuka puasa jika matahari sudah dipastikan terbenam secara keseluruhan, Rasul bersabda:

"لاَ يَزَالُالنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ" (رواه مسلم)
Maknanya: "Manusia akan senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka puasa" (H.R. Muslim)
2. Disunnahkan untuk berbuka dengan kurma, atau dengan air putih jika tidak ada kurma (sebelum melakukan shalat maghrib) sebagaimana sabda Rasul:

"إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْفَلْيُفْطِرْ عَلىَ تَمْرٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُطَهُوْرٌ " (رواه أبو داود)
Maknanya: "Jika salah seorang dari kalian berbuka, maka hendaklah ia berbuka dengan kurma, atau jika tidak ada kurma, maka hendaklah berbuka dengan air putih, karena air itu suci" (H.R.Abu Daud)
Dan berdo'a (ketika berbuka): 

"اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَأَفْطَرْتُ"
Maknanya: "Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka"
Bagi yang hendak berbuka puasa, hendaklah ia memastikan terlebih dahulu bahwa matahari benar-benar telah tenggelam secara total, tidak cukup hanya berpegangan pada suara adzan di televisi atau radio saja, karena bisa jadi adzan di televisi atau radio itu belum masuk waktu maghrib sebagaimana yang pernah terjadi pada masa lalu.

3. Mengakhirkan sahur hingga akhir malam dan sebelum terbitnya fajar shadiq sekalipun hanya dengan seteguk air putih. Diriwayatkan dari sahabat Anas berkata, Rasulullah bersabda:

"تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِبَرَكَةٌ " (رواه مسلم)
Maknanya: "Bersahurlah, karena dalam sahur itu ada berkah" (H.R.Muslim)
4. Begitu juga dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk selalu menjaga lisannya dari berbohong, membicarakan keburukan orang lain atau perkataan-perkataan yang jorok dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya.

Ketahuilah bahwasanya sabar dalam menjalankan ta'at kepada Allah lebih ringan dari pada sabar menghadapi siksa.

Maka cegahlah perut dari makan barang haram waktu berbuka, palingkan pandanganmu dari melihat yang haram, dan perkataan kotor yang diharamkan seperti bohong, ghibah (membicarakan saudaramu yang muslim tentang sesuatu yang ia benci yang benar ada padanya tanpa ada sebab yang diperbolehkan oleh syara' dibelakangnya), dan cegah dari perbuatan keji, pertengkaran, percekcokan dan perdebatan.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:

"إِنَّمَاالصَّوْمُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَيَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌإِنِّي صَائِمٌ" 
Maknanya: "Sesungguhnya puasa adalah tameng, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa maka  janganlah bersikap keji dan jangan bertindak bodoh, jika ada orang yang memeranginya atau mengejeknya maka hendaklah ia berkata: Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa."
Cegahlah pendengaranmu dari mendengar omongan yang haram didengar.

Dan cegahlah anggota-anggota badan yang lain (seperti kaki dan tangan) dari maksiat, dosa dan perbuatan yang dibenci.

Disunnahkan juga untuk banyak berbuat baik, silaturrahim, memperbanyak membaca al-Qur'an, i'tikaf di masjid terutama di 10 hari terakhir bulan ramadhan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasul beri'tikaf pada 10 hari terakhir bulan ramadhan. (H.R. Muslim)

Memberi ifthar orang-orang yang berpuasa, Rasulullah bersabda:

"مَنْفَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْأَجْرِ الصَّائِمِ شَىْءٌ" (رواه التِّرمِذي وقال حديثٌ حسنٌ صحيحٌ)
Maknanya: "Barangsiapa yang memberi makan (untuk berbuka) bagi orang yang berpuasa maka ia mendapat pahala seperti orang yang diberi makan tersebut, tanpa dikurangi dari pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun." (H.R. at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits hasan shahih).
Dan hendaklah berkata (jika dimaki orang): "Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa"

Peringatan:

Barang siapa yang mati sementara ia masih punya tanggungan mengqadha puasa maka bisa diganti oleh walinya. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda:

"مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُوَلِيُّهُ " (رواه مسلم)
Maknanya: "Barangsiapa yang mati sementara ia masih punya tanggungan puasa maka bisa diganti oleh walinya" (H.R. Muslim).
Hari-Hari Yang Diharamkan Berpuasa

1. Hari raya Idul Fitri yang pada waktu itu dilakukan shalat Idul Fitri.

2. Hari raya Idul Adha yang pada waktu itu dilakukan shalat Idul Adha. Dari Aisyah radliyallahu 'anha berkata:

"نَهَى رَسُوْلُاللهِ عَنْ صَوْمَيْنِ : يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ الأَضْحَى"
Maknanya: "Rasulullah melarang untuk berpuasa pada dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha."
3. Hari-hari tasyriq, yaitu tiga hari setelah hari raya Idul Adha (11, 12 dan 13 Dzul Hijjah). Rasulullah bersabda:

"أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍوَشُرْبٍ" (رواه مسلم)
Maknanya: "Hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan dan  minum."
4. Hari Syak, yaitu hari ke-30 bulan Sya’ban, jika diberitahu tentang awal puasa oleh orang-orang yang tidak boleh dijadikan pegangan untuk menentukan ketetapan awal Ramadhan, yaitu orang fasiq, perempuan, anak kecil atau yang semisal mereka yang memberitahukan bahwa mereka telah melihat hilal Ramadhan.

"لاَتُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِيَوْمً أَوْ يَوْمَيْنِ، صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِوَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَشَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا" (رواه البخاري)
Maknanya: "Janganlah kalian mendahulukan Ramadhan satu atau dua hari, berpuasalah sebab melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah juga sebab melihat hilal (Syawwal), apabila kalian (dalam melihat hilal) terhalang mendung, makas empurnakanlah hitungan bulan Sya'ban 30 hari".(H.R. Bukhari)
5. Setengah bulan terakhir bulan Sya’ban, tidak sah berpuasa pada hari-hari itu kecuali jika disambung dengan hari-hari sebelumnya atau untuk mengqadha puasa atau untuk melaksanakan puasa nadzar.

Disunnahkan puasa enam hari dari bulan Syawwal, dan disunnahkan dilaksanakan secara berturut-turut setelah hari raya. Jika ia melaksanakannya secara terpisah tidak bersambung ia tetap memperoleh kesunnahan. Diriwayatkan dari Abu Ayyub al Anshari bahwa Rasulullah bersabda:

"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّامِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ" (رواه مسلم)
Maknanya: "Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawwal maka pahalanya seperti puasa Dahr (puasa setahun penuh selain hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa)"  (H.R. Muslim).
Barang siapa telah memulai melaksanakan puasa fardhu, baik ada' atau Qadha' atau Nadzar maka diharamkan baginya untuk membatalkannya, berbeda jika puasa tersebut adalah puasa sunnah maka boleh baginya untuk membatalkannya.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top