fakta wahabi

Gambar tersebut adalah scan dari kitab Manaqib asy-Syafi’i karya al-Imam al-Baihaqi, juz 1 hal. 469; maknanya sebagai berikut:

“Dan perkara-perkara yang baru ada dua macam, yang pertama adalah yang menyelisihi al-Kitab atau as-Sunnah, atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, yang tidak menyelisihi dari salah satu hal ini (al-Kitab, Sunnah, atsar atau ijma’), maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela”.

Perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas telah didistorsi/ditahrif oleh kaum Wahabi di dunia maya, antara lain saudara Maulana Mufti di facebook, dan firanda di webnya, dan artinya menjadi begini:

"Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"(lihat juga manaqib As-Syafi'i 1/469)

Perhatikan, pernyataan Imam al-Syafi’i yang seharuanya diartikan, “Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, yang tidak menyelisihi dari salah satu hal ini (al-Kitab, Sunnah, atsar atau ijma’)”, oleh Wahabi diartikan “Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"(lihat juga manaqib As-Syafi'i 1/469)

Setelah mentaharif makna pernyataan Imam al-Syafi’i, kaum Wahabi, Maulana Mufti maupun Firanda kemudian memberikan kesimpulan sebagai berikut:

“Lihatlah Imam As-Syafi'i menyebutkan bahwa bid'ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi'i menghendaki dengan bid'ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah, yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid'ah jika ditinjau dari sisi bahasa.”

Di sini, si Wahabi terjerumus dalam dua kesalahan lagi. Pertama, mengartikan maksud bid’ah hasanah nya Imam al-Syafi’i, dengan bid’ah lughawi. Kedua, mengarahkan maksud perkataan Imam al-Syafi’i, terhadap teori maslahah mursalah, yang diakui dalam Madzhab Maliki, tidak dalam Madzhab Syafi’i, sebagai salah satu sumber hukum.

Sementara, Firanda sangat pinter dalam mengarahkan bid’ah hasanah nya Imam asy-Syafi’i kepada teori maslahah mursalah nya madzhab maliki dan bid’ah secara lughawi, dengan mengutip pernyataan Imam asy-Syafi’i, yang terdapat dalam kitab Tahdzib al-Asma wal-Lughat karya Imam al-Nawawi, juz 3 hal. 23, terbitan Penerbit al-Muniriyyah, miliknya Munir al-Dimasyqi, yang ditahqiq oleh kaum Wahabi, yang redaksinya berbeda dengan riwayat asli dalam Manaqib asy-Syafi’i karya al-Baihaqi. Di sini Firanda terjebak dalam dua kelemahan ilmiah:

Pertama, harusnya Firanda merujuk kepada al-Baihaqi dalam Manaqib asy-Syafi’i, karna Imam An-Nawawi mengutip pernyataan tersebut dari Imam al-Baihaqi. Dan Firanda memiliki kitab Manaqib asy-Syafi’i. Mengutip dari sumber kedua, dan meninggalkan sumber pertama, terutama ketika kedua sumber tersebut berbeda, adalah suatu kelemahan metodologis secara ilmiah.

Kedua, pernyataan Imam asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat karya Imam an-Nawawi, sepertinya telah ditahrif oleh Wahabi yang menerbitkan kitab tersebut. Sebagaimana dimaklumi, penerbit al-Muniriyah miliknya Munir al-Dimasyaqi, memang gemar mentahrif kitab para ulama, termasuk menisbatkan kitab al-Nashihah karya al-Wasithi, murid Ibnu Taimiyah, kepada Imam Abu Muhammad al-Juwaini, ayahnya Imam al-Haramain. Hal ini sebagaimana telah di paparkan dalam buku, BEKAL PEMBELA AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH MENGHADAPI RADIKALISME SALAFI WAHABI. Dalam buku ini, kami memaparkan pemalsuan Wahabi terhadap beberapa kitab para ulama Ahlussunnah.

Dalam Manaqib asy-Syafi’i, pernyataan Imam asy-Syafi’i tertulis begini:

المحدثات من الامور ضربان. أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا، فهذه البدعة الضلالة. والثانثة ما أحدث من الخير (لا خلاف فيه لواحد من هذا وهذه محدثة غير مذمومة). وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان نعمت البدعة هذه.

Sementara dalam Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat, terbitan kaum Wahabi tertulis begini:

المحدثات من الامور ضربان. أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا، فهذه البدعة الضلالة. والثانثة ما أحدث من الخير (لا خلاف فيه لواحد من العلماء وهذه محدثة غير مذمومة). وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان نعمت البدعة هذه.

Anda perhatikan, kedua teks dalam kurung tersebut berbeda. Padahal Imam Nawawi, mengutip dari Imam al-Baihaqi.

Memang Firanda sangat lihai dalam mengarahkan pandangan para ulama terhadap kemauannya. Misalnya, ia mengarahkan pernyataan Imam Izzuddin bin Abdussalam, terhadap bid’ah lughawi. Kemudian memperkuat arahannya dengan mengutip pernyataan al-Syathibi dalam al-I’tisham. Di sini Firanda, seperti tidak tahu, atau tidak tahu menahu, bahwa konsep al-Syathibi, memang berbeda dengan konsep mayoritas ulama dalam persoalan bid’ah. Tapi firanda menganggapnya satu. Firanda juga memperkuat usahanya dalam mengarahkan pernyataan Imam Syafi’i tentang bid’ah hasanah kepada bid’ah secara bahasan, dengan mengutip pernyataan Imam asy-Syafi’i tentang istihsan. Padahal antara teori istihsan dengan teori bid’ah sangat jauh, sebagiaman dapat dipahami dari kitab-kitab ushul fiqih. Demikian catatan singkat kami. Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top