Ikuti dialog antara wahabi dan sunni berikut ini:
Wahabi: “Bid’ah hasanah tidak ada.”
Sunni: “Bid’ah hasanah ada, terbukti Khalifah Umar telah berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah shalat taraweh ini.”
Wahabi: “Itu maksudnya bid’ah secara bahasa.”
Sunni: “Apakah Anda menafsirkan pernyataan Khalifah Umar tersebut dengan pengertian bid’ah secara bahasa, karena menerima langsung dari beliau, atau itu murni dari Anda sendiri?”
Wahabi: “Ya, dari saya sendiri. “
Sunni: “Memangnya Khalifah Umar berbicara bid’ah dalam kapasitas dosen bahasa di perguruan tinggi, atau sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam yang syar’i?”
Dapat ditebak, si Wahabi akan berbicara ke sana ke mari, keluar dari persoalan.
Contoh dialog lain:
Wahabi: “Bid’ah hasanah tidak ada.”
Sunni: “Bid’ah hasanah ada, terbukti Imam Izzuddin bin Abdussalam membagi bid’ah menjadi lima dalam kitabnya Qawa’idul Ahkam. Imam Nawawi juga mengutip pendapat tersebut dalam kitabnya Raudhatut Thalibin.”
Wahabi: “Itu maksudnya bid’ah secara bahasa.”
Sunni: “Anda menafsirkan pernyataan para ulama dengan berkhayal. Mereka membicarakan bid’ah bukan dalam kapasitas mereka sebagai ahli bahasa, akan tetapi sebagai ahli fiqih dan hukum agama. Mereka juga menjelaskan hal tersebut bukan dalam kitab kamus, akan tetapi dalam kitab fiqih dan syari’at.”
Dapat dipastikan, di sini Wahabi akan diam, tidak dapat menjawab.
Tapi meskipun demikian, kaum Wahabi akan tetap saja ikut ustadz-ustadz mereka, yang menafsirkan pernyataan para ulama dengan khayalan mereka.
Wahabi: “Bid’ah hasanah tidak ada.”
Sunni: “Bid’ah hasanah ada, terbukti Khalifah Umar telah berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah shalat taraweh ini.”
Wahabi: “Itu maksudnya bid’ah secara bahasa.”
Sunni: “Apakah Anda menafsirkan pernyataan Khalifah Umar tersebut dengan pengertian bid’ah secara bahasa, karena menerima langsung dari beliau, atau itu murni dari Anda sendiri?”
Wahabi: “Ya, dari saya sendiri. “
Sunni: “Memangnya Khalifah Umar berbicara bid’ah dalam kapasitas dosen bahasa di perguruan tinggi, atau sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam yang syar’i?”
Dapat ditebak, si Wahabi akan berbicara ke sana ke mari, keluar dari persoalan.
Contoh dialog lain:
Wahabi: “Bid’ah hasanah tidak ada.”
Sunni: “Bid’ah hasanah ada, terbukti Imam Izzuddin bin Abdussalam membagi bid’ah menjadi lima dalam kitabnya Qawa’idul Ahkam. Imam Nawawi juga mengutip pendapat tersebut dalam kitabnya Raudhatut Thalibin.”
Wahabi: “Itu maksudnya bid’ah secara bahasa.”
Sunni: “Anda menafsirkan pernyataan para ulama dengan berkhayal. Mereka membicarakan bid’ah bukan dalam kapasitas mereka sebagai ahli bahasa, akan tetapi sebagai ahli fiqih dan hukum agama. Mereka juga menjelaskan hal tersebut bukan dalam kitab kamus, akan tetapi dalam kitab fiqih dan syari’at.”
Dapat dipastikan, di sini Wahabi akan diam, tidak dapat menjawab.
Tapi meskipun demikian, kaum Wahabi akan tetap saja ikut ustadz-ustadz mereka, yang menafsirkan pernyataan para ulama dengan khayalan mereka.
0 komentar:
Post a Comment