Manaqib Habib Muhammad Mahdi Bin Hamzah Bin 'Alwi Asseggaf
Nama lengkap beliau ialah Muhammad Mahdi bin Hamzah bin ‘Alwi Asseggaf. Ayah beliau Habib Hamzah adalah salah satu tokoh masyarakat di kota Bogor, sedangkan ibu beliau adalah Syarifah Khodijah binti Ahmad Al ‘Atthos. Habib Muhammad Mahdi lahir pada tanggal 14 Juli 1990 di Bogor dan menikah dengan Syarifah Khoiriyah binti Husein Al ‘Atthos yang juga sama-sama berasal dari kota Bogor, pada awal tahun 2012 yang lalu.
Sejak usia 5 tahun, Habib Mahdi demikian biasa beliau dipanggil, sudah didik sangat ketat dan keras dalam bimbingan keislaman oleh orangtua. Habib Hamzah orangtua beliau termasuk sosok yang keras dalam sikap keagamaan di tengah masyarakatnya, khususnya terhadap kalangan habaib di lingkungannya. Bila ada di antara mereka yang perilakunya dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dicontohkan oleh para salaf mereka terdahulu, tak segan-segan Habib Hamzah menegurnya. Demikianlah sosok Habib Hamzah, sang ayah yang menjadi guru utamanya.
Kepada sang ayahlah Habib Mahdi mendapatkan dasar-dasar syari’at, terutama mempelajari Al-Qur’an.
Pendidikan yang keras terhadap dasar-dasar agama dari sang ayah telah melahirkan semangat tersendiri di hati Habib Mahdi kecil untuk memperdalam ilmu-ilmu syari’at. Itulah sebabnya, tak mengherankan, sejak dari SD, Habib Mahdi sudah memiliki tekad yang kuat untuk masuk pesantren. Namun, keinginan itu belum dapat diwujudkannya, karena sang kakek, Habib Ahmad Al-Attas, melarangnya untuk belajar ke pesantren. “Mahdi, kamu cukup belajar di sini sama Enjid (Kakek)," kata Habib Mahdi mengenang ucapan kakeknya waktu itu.
Meskipun demikian, tekad kuat yang ada di hati Habib Mahdi kecil tidak juga hilang, bahkan hasratnya untuk dapat belajar ke pesantren semakin kuat. Hingga suatu hari, saat beliau masih di bangku SMP, ada kisah unik yang selalu dikenang beliau.
Kisah itu berawal dari ketentuan di sekolah bahwa setiap murid diwajibkan untuk mengenakan sepatu hitam pada hari Kamis. Seperti biasa, di tiap-tiap sekolah selalu ada peraturan yang harus ditaati oleh seluruh siswanya. Dan salah satu peraturan itu adalah setiap hari Kamis diwajibkan mengenakan sepatu warna hitam. Kebetulan, saat itu Mahdi kecil hanya mempunyai sebuah sepatu hitam. Nah, karena hari Rabu sepatu tersebut dipakai, dan sedari siang hujan lebat, akibatnya sepatu itu menjadi basah dan kotor. Sedangkan besoknya beliau wajib mengenakan sepatu tersebut.
Dalam kebingungan, lahirlah satu ide yang kemudian mengubah jalan hidupnya. Sedikit takut-takut, beliau pun menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah dirasa aman dan tidak ada yang memergokinya, beliau pun membuka tutup mesin cuci, dan... dush! Keluarlah asap dari mesin cuci tersebut. Rupanya, entah kenapa, saat ia memutar tombol mesin cuci untuk mencuci sepatu, mesin tersebut berputar sejenak, namun tak sampai semenit langsung mati dan mengeluarkan asap.
Karena panik, beliau pun menjerit kaget.
Mendengar jeritan itu, ibunya pun masuk. Dan saat melihat mesin cucinya telah tak bisa lagi bekerja, beliau hanya bisa mengelus dada.
“Mahdi, ane cape ngurusin ente. Udah, berangkat ke pesantren sana,” kata ibu beliau kala itu. “Dan alhamdulillah, waktu itu akhirnya Kakek pun mengizinkan ane untuk berangkat ke pesantren,” kata Habib Mahdi.
Tahun itu Habib Mahdi pun berangkat ke pesatren. Dan pesatren yang menjadi tujuannya adalah Pesantren Darullughah Wadda`wah (Dalwa) Bangil, yang didirikan oleh Al-`Allamah Habib Hasan bin Muhammad Baharun.
Ketika di pesantren, Habib Mahdi berada di bawah bimbingan langsung Habib Zainal ‘Abidin bin Hasan Baharun, pengasuh pesantren, selain beliau juga belajar berbagai disiplin ilmu-ilmu syari’at dari guru-guru utama yang ada di Pesantren Dalwa.
"Di pesantren, tidur hanya dua tiga jam," kenang Habib Mahdi.
Di antara aktivitas pesantren yang sangat digemari oleh Habib Mahdi adalah berziarah ke makam Habib Hasan Baharun. Bahkan kegiatan ini dilakukannya hampir setiap malam. "Jam satu malam, kami datang ke makam Habib Hasan Baharun dan mengusap debu-debu yang ada nisan makam beliau dengan tangan kami."
Di saat-saat itulah Habib Mahdi sering berucap, "Wahai Habib Hasan, ridhoilah kami menjadi muridmu, meskipun kami tidak mengaji kepadamu."
Di antara doa yang selalu dipanjatkannya setiap kali menziarahi makam Habib Hasan adalah permohonan kepada Allah agar dijadikan sosok yang selalu didengar ucapannya di tengah-tengah masyarakat.
"Ya Allah, dengan keberkahan Habib Hasan, jadikanlah kami selepas dari pesantren ini orang-orang yang didengar ucapannya di tengah-tengah masyarakat untuk tegaknya ajaran Rasul-Mu," kata Habib Mahdi menirukan doa yang sering diucapkannya dahulu.
Sebagai salah satu guru utama, figur Habib Zainal ‘Abidin Baharun sangat banyak mempengaruhi kepribadian Habib Mahdi. Nasihat-nasihatnya selalu dijadikan pegangan, terutama dalam berdakwah. Di antaranya, "Barang siapa berkhidmah, niscaya dia akan dikhidmahi.”
Pesan inilah yang kemudian dijadikan pegangan dan falsafah Habib Mahdi dalam berdakwah. Khidmah yang biasa dilakukannya selama di pesantren terhadap para guru termasuk kepada pesantren dan lingkungannya diteruskan dengan pengabdian di masyarakat.
Sejak terjun ke tengah masyarakat, hari demi hari dipenuhinya untuk melayani masyarakat. Ia berprinsip, tidak akan duduk manis di majelis ta`lim, akan tetapi terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, siang maupun malam. Mengabdi kepada masyarakat.
Satu ketika, jam dua malam Habib Mahdi ditelepon oleh seorang muhibbin. Ia melaporkan bahwa ada seorang temannya ulang tahun dan sedang merayakan di rumah Fulan dengan pesta minuman keras. Muhibbin itu berharap agar Habib Mahdi datang ke tempat itu.
Maka saat itu juga Habib Mahdi datang ke tempat yang dimaksud dengan berpakaian layaknya anak muda.
Kedatangannya tidak lain dimaksudkan untuk merangkul mereka. "Saya hanya ingin mereka merasa nyaman dan diperhatikan," kata Habib Mahdi.
Lambat laun mereka pun menjadi dekat dan malu untuk melakukan hal serupa. "Dan bahkan alhamdulillah, sekarang mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan pengajian yang kami gelar."
Hari demi hari pemuda yang datang dan berkumpul di kediaman Habib Mahdi makin banyak dan bertambah. Bahkan, pemuda-pemuda yang dulu bangga dengan status mereka sebagai "preman" itulah yang di kemudian hari mengusulkan kepada Habib Mahdi agar dibentuk satu wadah formal bagi mereka.
Berangkat dari itu semua, terbersitlah niat di dalam hati Habib Mahdi untuk membentuk satu perkumpulan yang dibentuk agar nantinya dapat menjadi wadah bagi semua kalangan masyarakat yang ingin belajar dan memahami agamanya. "Menjadi wadah, baik bagi kalangan majelis, ormas, maupun dari kalangan mana pun dan siapa pun yang ingin mencari jati diri untuk mengenal agamanya."
Pada akhirnya, nama Syababul Mukhtarin (Pemuda Pilihan) pun dipilih sebagai nama perkumpulan tersebut, dengan harapan semoga mereka akan menjadi pemuda-pemuda yang terpilih yang dekat dan cinta kepada Allah SWT, cinta kepada Rasul-Nya, cinta kepada para ulama, cinta kepada tanah air dan bangsa, dan cinta kepada umat dan sesamanya.
Setelah tekad menjadi bulat dan niat pun semakin kuat, dan setelah minta restu para guru dan para alim ulama, Habib Mahdi mengajak anak-anak muda itu berziarah ke Makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas untuk meminta restu para wali, khususnya Shahib Makam Keramat Empang Bogor, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Di samping dengan maksud mengajarkan kepada mereka bahwa langkah yang harus ditempuh untuk mendapatkan ridha Allah SWT dalam setiap langkah dan upaya kita adalah dengan cara mendekat kepada para wali-Nya, kekasih-kekasih pilihan Allah SWT.
Bersama sekitar seratus pemuda dengan tujuh puluh motor, waktu itu, Habib Mahdi berkonvoi menuju Makam Keramat Empang Bogor. Di makam, Habib Mahdi meminta kepada Allah SWT dengan kemuliaan dan keberkahan Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas agar kelak anak-anak muda yang dahulunya tidak dipandang oleh masyarakat, bahkan dicap buruk karena masa lalu mereka yang kelam, menjadi orang-orang yang utama dalam memberikan manfaat kepada umat pada umumnya, dan masyarakat Bogor, tempat mereka tinggal, khususnya.
"Alhamdulillah, saat ini Forum Syababul Mukhtarin sudah memiliki tak kurang dari lima puluh majelis ta`lim dan diikuti ormas-ormas yang berada di Bogor dan sekitarnya, bahkan sudah sampai ke Bandung dan Jadetabek," kata Habib Mahdi penuh syukur.
Mengenai beragam perbedaan di tengah masyakat yang begitu plural, bagi Habib Mahdi, hal itu merupakan kenicayaan yang harus disikapi secara arif dan bijaksana. Karenanya, dalam setiap gerakan dakwahnya, dirinya selalu berusaha merangkul semua kalangan, termasuk kalangan Muhammadiyah, Persis, dan yang lainnya.
Di saat ia diminta untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah atau Persis, misalnya, Habib Mahdi dengan senang hati memenuhi undangan mereka.
Prinsipnya, menurut Habib Mahdi, semua kalangan hendaklah saling menghargai, demi terwujudnya persatuan umat. "Silakan masing-masing berpegang dengan keyakinan dan pendapatnya berdasarkan ilmu yang didapatkannya dari para gurunya masing-masing, tetapi dengan catatan, ketika sedang duduk bersama, janganlah masing-masing saling menunjukkan pendapatnya itu dan menonjolkannya dengan menyalahkan pendapat pihak lainnya, apalagi sampai menganggap sesat."
Terhadap majelis-majelis ta`lim di Bogor, dan bahkan di Indonesia pada umumnya, Habib Mahdi memiliki harapan agar semua bersatu, saling mendukung, dan tidak hanya membesarkan majelisnya, tetapi hendaknya saling membantu dan saling menguatkan.
Sejak usia 5 tahun, Habib Mahdi demikian biasa beliau dipanggil, sudah didik sangat ketat dan keras dalam bimbingan keislaman oleh orangtua. Habib Hamzah orangtua beliau termasuk sosok yang keras dalam sikap keagamaan di tengah masyarakatnya, khususnya terhadap kalangan habaib di lingkungannya. Bila ada di antara mereka yang perilakunya dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dicontohkan oleh para salaf mereka terdahulu, tak segan-segan Habib Hamzah menegurnya. Demikianlah sosok Habib Hamzah, sang ayah yang menjadi guru utamanya.
Kepada sang ayahlah Habib Mahdi mendapatkan dasar-dasar syari’at, terutama mempelajari Al-Qur’an.
Pendidikan yang keras terhadap dasar-dasar agama dari sang ayah telah melahirkan semangat tersendiri di hati Habib Mahdi kecil untuk memperdalam ilmu-ilmu syari’at. Itulah sebabnya, tak mengherankan, sejak dari SD, Habib Mahdi sudah memiliki tekad yang kuat untuk masuk pesantren. Namun, keinginan itu belum dapat diwujudkannya, karena sang kakek, Habib Ahmad Al-Attas, melarangnya untuk belajar ke pesantren. “Mahdi, kamu cukup belajar di sini sama Enjid (Kakek)," kata Habib Mahdi mengenang ucapan kakeknya waktu itu.
Meskipun demikian, tekad kuat yang ada di hati Habib Mahdi kecil tidak juga hilang, bahkan hasratnya untuk dapat belajar ke pesantren semakin kuat. Hingga suatu hari, saat beliau masih di bangku SMP, ada kisah unik yang selalu dikenang beliau.
Kisah itu berawal dari ketentuan di sekolah bahwa setiap murid diwajibkan untuk mengenakan sepatu hitam pada hari Kamis. Seperti biasa, di tiap-tiap sekolah selalu ada peraturan yang harus ditaati oleh seluruh siswanya. Dan salah satu peraturan itu adalah setiap hari Kamis diwajibkan mengenakan sepatu warna hitam. Kebetulan, saat itu Mahdi kecil hanya mempunyai sebuah sepatu hitam. Nah, karena hari Rabu sepatu tersebut dipakai, dan sedari siang hujan lebat, akibatnya sepatu itu menjadi basah dan kotor. Sedangkan besoknya beliau wajib mengenakan sepatu tersebut.
Dalam kebingungan, lahirlah satu ide yang kemudian mengubah jalan hidupnya. Sedikit takut-takut, beliau pun menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah dirasa aman dan tidak ada yang memergokinya, beliau pun membuka tutup mesin cuci, dan... dush! Keluarlah asap dari mesin cuci tersebut. Rupanya, entah kenapa, saat ia memutar tombol mesin cuci untuk mencuci sepatu, mesin tersebut berputar sejenak, namun tak sampai semenit langsung mati dan mengeluarkan asap.
Karena panik, beliau pun menjerit kaget.
Mendengar jeritan itu, ibunya pun masuk. Dan saat melihat mesin cucinya telah tak bisa lagi bekerja, beliau hanya bisa mengelus dada.
“Mahdi, ane cape ngurusin ente. Udah, berangkat ke pesantren sana,” kata ibu beliau kala itu. “Dan alhamdulillah, waktu itu akhirnya Kakek pun mengizinkan ane untuk berangkat ke pesantren,” kata Habib Mahdi.
Tahun itu Habib Mahdi pun berangkat ke pesatren. Dan pesatren yang menjadi tujuannya adalah Pesantren Darullughah Wadda`wah (Dalwa) Bangil, yang didirikan oleh Al-`Allamah Habib Hasan bin Muhammad Baharun.
Ketika di pesantren, Habib Mahdi berada di bawah bimbingan langsung Habib Zainal ‘Abidin bin Hasan Baharun, pengasuh pesantren, selain beliau juga belajar berbagai disiplin ilmu-ilmu syari’at dari guru-guru utama yang ada di Pesantren Dalwa.
"Di pesantren, tidur hanya dua tiga jam," kenang Habib Mahdi.
Di antara aktivitas pesantren yang sangat digemari oleh Habib Mahdi adalah berziarah ke makam Habib Hasan Baharun. Bahkan kegiatan ini dilakukannya hampir setiap malam. "Jam satu malam, kami datang ke makam Habib Hasan Baharun dan mengusap debu-debu yang ada nisan makam beliau dengan tangan kami."
Di saat-saat itulah Habib Mahdi sering berucap, "Wahai Habib Hasan, ridhoilah kami menjadi muridmu, meskipun kami tidak mengaji kepadamu."
Di antara doa yang selalu dipanjatkannya setiap kali menziarahi makam Habib Hasan adalah permohonan kepada Allah agar dijadikan sosok yang selalu didengar ucapannya di tengah-tengah masyarakat.
"Ya Allah, dengan keberkahan Habib Hasan, jadikanlah kami selepas dari pesantren ini orang-orang yang didengar ucapannya di tengah-tengah masyarakat untuk tegaknya ajaran Rasul-Mu," kata Habib Mahdi menirukan doa yang sering diucapkannya dahulu.
Sebagai salah satu guru utama, figur Habib Zainal ‘Abidin Baharun sangat banyak mempengaruhi kepribadian Habib Mahdi. Nasihat-nasihatnya selalu dijadikan pegangan, terutama dalam berdakwah. Di antaranya, "Barang siapa berkhidmah, niscaya dia akan dikhidmahi.”
Pesan inilah yang kemudian dijadikan pegangan dan falsafah Habib Mahdi dalam berdakwah. Khidmah yang biasa dilakukannya selama di pesantren terhadap para guru termasuk kepada pesantren dan lingkungannya diteruskan dengan pengabdian di masyarakat.
Sejak terjun ke tengah masyarakat, hari demi hari dipenuhinya untuk melayani masyarakat. Ia berprinsip, tidak akan duduk manis di majelis ta`lim, akan tetapi terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, siang maupun malam. Mengabdi kepada masyarakat.
Satu ketika, jam dua malam Habib Mahdi ditelepon oleh seorang muhibbin. Ia melaporkan bahwa ada seorang temannya ulang tahun dan sedang merayakan di rumah Fulan dengan pesta minuman keras. Muhibbin itu berharap agar Habib Mahdi datang ke tempat itu.
Maka saat itu juga Habib Mahdi datang ke tempat yang dimaksud dengan berpakaian layaknya anak muda.
Kedatangannya tidak lain dimaksudkan untuk merangkul mereka. "Saya hanya ingin mereka merasa nyaman dan diperhatikan," kata Habib Mahdi.
Lambat laun mereka pun menjadi dekat dan malu untuk melakukan hal serupa. "Dan bahkan alhamdulillah, sekarang mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan pengajian yang kami gelar."
Hari demi hari pemuda yang datang dan berkumpul di kediaman Habib Mahdi makin banyak dan bertambah. Bahkan, pemuda-pemuda yang dulu bangga dengan status mereka sebagai "preman" itulah yang di kemudian hari mengusulkan kepada Habib Mahdi agar dibentuk satu wadah formal bagi mereka.
Berangkat dari itu semua, terbersitlah niat di dalam hati Habib Mahdi untuk membentuk satu perkumpulan yang dibentuk agar nantinya dapat menjadi wadah bagi semua kalangan masyarakat yang ingin belajar dan memahami agamanya. "Menjadi wadah, baik bagi kalangan majelis, ormas, maupun dari kalangan mana pun dan siapa pun yang ingin mencari jati diri untuk mengenal agamanya."
Pada akhirnya, nama Syababul Mukhtarin (Pemuda Pilihan) pun dipilih sebagai nama perkumpulan tersebut, dengan harapan semoga mereka akan menjadi pemuda-pemuda yang terpilih yang dekat dan cinta kepada Allah SWT, cinta kepada Rasul-Nya, cinta kepada para ulama, cinta kepada tanah air dan bangsa, dan cinta kepada umat dan sesamanya.
Setelah tekad menjadi bulat dan niat pun semakin kuat, dan setelah minta restu para guru dan para alim ulama, Habib Mahdi mengajak anak-anak muda itu berziarah ke Makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas untuk meminta restu para wali, khususnya Shahib Makam Keramat Empang Bogor, Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Di samping dengan maksud mengajarkan kepada mereka bahwa langkah yang harus ditempuh untuk mendapatkan ridha Allah SWT dalam setiap langkah dan upaya kita adalah dengan cara mendekat kepada para wali-Nya, kekasih-kekasih pilihan Allah SWT.
Bersama sekitar seratus pemuda dengan tujuh puluh motor, waktu itu, Habib Mahdi berkonvoi menuju Makam Keramat Empang Bogor. Di makam, Habib Mahdi meminta kepada Allah SWT dengan kemuliaan dan keberkahan Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas agar kelak anak-anak muda yang dahulunya tidak dipandang oleh masyarakat, bahkan dicap buruk karena masa lalu mereka yang kelam, menjadi orang-orang yang utama dalam memberikan manfaat kepada umat pada umumnya, dan masyarakat Bogor, tempat mereka tinggal, khususnya.
"Alhamdulillah, saat ini Forum Syababul Mukhtarin sudah memiliki tak kurang dari lima puluh majelis ta`lim dan diikuti ormas-ormas yang berada di Bogor dan sekitarnya, bahkan sudah sampai ke Bandung dan Jadetabek," kata Habib Mahdi penuh syukur.
Mengenai beragam perbedaan di tengah masyakat yang begitu plural, bagi Habib Mahdi, hal itu merupakan kenicayaan yang harus disikapi secara arif dan bijaksana. Karenanya, dalam setiap gerakan dakwahnya, dirinya selalu berusaha merangkul semua kalangan, termasuk kalangan Muhammadiyah, Persis, dan yang lainnya.
Di saat ia diminta untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah atau Persis, misalnya, Habib Mahdi dengan senang hati memenuhi undangan mereka.
Prinsipnya, menurut Habib Mahdi, semua kalangan hendaklah saling menghargai, demi terwujudnya persatuan umat. "Silakan masing-masing berpegang dengan keyakinan dan pendapatnya berdasarkan ilmu yang didapatkannya dari para gurunya masing-masing, tetapi dengan catatan, ketika sedang duduk bersama, janganlah masing-masing saling menunjukkan pendapatnya itu dan menonjolkannya dengan menyalahkan pendapat pihak lainnya, apalagi sampai menganggap sesat."
Terhadap majelis-majelis ta`lim di Bogor, dan bahkan di Indonesia pada umumnya, Habib Mahdi memiliki harapan agar semua bersatu, saling mendukung, dan tidak hanya membesarkan majelisnya, tetapi hendaknya saling membantu dan saling menguatkan.
0 komentar:
Post a Comment