Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Ramli dalam menjelaskan tentang Keshahihan Atsar Ibnu Umar RA Mengenai Istighatsah, sekaligus menjawab kebodohan kaum wahhabi mengenai istighatsah seperti Abul Jauzaa' Al Wahhabi dkk.
KESHAHIHAN ATSAR IBNU ‘UMAR radhiyallaahu ‘anhuma, DAN PENJELASAN KEPADA PELAJAR WAHABI YANG BARU BELAJAR ILMU HADITS
BEBERAPA WAKTU YANG LALU KAMI MENULIS PENJELASAN TENTANG KESHAHIHAN ATSAR IBNU ‘UMAR radhiyallaahu ‘anhuma, YANG MENGATAKAN “YAA MUHAMMAD”, KETIKA KAKINYA MATI RASA, SEBAGAI BENTUK ISTIGHATSAH BELIAU KEPADA RASULULLAH shallallaahu ‘alaihi wasallam YANG SUDAH WAFAT. PENJELASAN TERSEBUT SEBENARNYA SANGAT GAMBLANG DAN LENGKAP DENGAN KUTIPAN DARI ILMU MUSHTHALAH AL-HADITS, RIJAL AL-HADITS DAN LAIN-LAIN. AKAN TETAPI SEBAGIAN ORANG (ENTAH HARUS SAYA SEBUT APA? MAU SAYA SEBUT SAUDARA SEAGAMA, IA MENGANGGAP SAYA SEBAGAI ORANG MUSYRIK DAN PENYEMBAH KUBURAN), TETAP NGEYEL DAN MENOLAK KESHAHIHAN ATSAR TERSEBUT DAN TIDAK MAU MENGERTI PENJELASAN SAYA, MUNGKIN KARENA TIDAK DIJELASKAN SECARA GAMBLANG SEPERTI PENJELASAN SEORANG GURU DI RUANG KELAS TINGKAT ALIYAH ATAU TSANAWIYAH. BERIKUT DIALOGNYA.
SUNNI: “Di antara dalil istighatsah adalah atsar Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma yang mengatakan “Yaa Muhammad”, ketika kakinya mati rasa, sebagai bentuk istighatsah beliau kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sudah wafat. Atsar tersebut shahih, dengan beberapa pendekatan, antara lain, penguatan riwayat Sufyan al-Tsauri yang ‘an’anah oleh riwayat Syu’bah yang menyelamatkan ‘an’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i dari kelemahan.”
WAHABI: “’An’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i tidak bisa diselamatkan dari kelemahan, karena kemungkinan ia membuang perawi yang lemah. Sedangkan riwayat Syu’bah juga lemah, karena faktor perawi mubham, yang kemungkinan juga seorang perawi lemah. Oleh karena itu riwayat tersebut tetap harus dilemahkan, apalagi riwayat tersebut mendukung ajaran istighatsah, yang telah dilarang oleh Syaikh Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, pendiri aliran Wahabi.”
SUNNI: “Anda terlalu menggebu dalam melemahkan atsar tersebut karena tidak mau berfikir sejenak tentang penjelasan kami sebelumnya dan keluar dari kaedah ilmu hadits. Dalam riwayat Abu Ishaq al-Sabi’i melalui jalur Sufyan al-Tsauri yang ‘an’anah, Anda memastikan bahwa Abu Ishaq al-Sabi’i membuang perawi (dan dimungkinkan lemah) antara beliau dengan gurunya Abdurrahman bin Sa’ad. Di sinilah letak kesalahan Anda yang memastikan bahwa ‘an’anah nya Abu Ishaq telah membuang perawi. Padahal dalam ilmu hadits tidak lah demikian. Ketika seorang perawi mudallis, seperti Abu Ishaq al-Sabi’i meriwayatkan secara ‘an’anah, maka kemungkinan nya dua. Mungkin ia menggugurkan seorang perawi, dan mungkin juga tidak menggugurkan seorang perawi. Ketika ada dua kemungkinan memiliki tingkatan yang sama, maka tinggal dicarikan penguat atau qarenah, kemungkinan mana yang lebih kuat, apakah membuang perawi, yang berarti konsekuensi riwayatnya dianggap lemah, atau kemungkinan tidak membuang perawi, dan berarti riwayatnya dinilai tidak lemah, dalam arti ‘an’anah nya perawi mudallis tersebut tidak berpengaruh. Nah, riwayat Syu’bah melalui jalur perawi yang mubham tersebut cukup dalam menguatkan kemungkinan bahwa Abu Ishaq al-Sabi’i meriwayatkan atsar tersebut, tidak membuang perawi antara dirinya dengan Abdurrahman bin Sa’ad, dalam jalur Sufyan al-Tsauri.
Mungkin Anda akan berkata, bahwa dalam jalur Syu’bah, telah melalui perawi yang mubham/tidak jelas identitasnya dan dimungkinkan seorang perawi yang lemah, karenanya atsar tersebut harus dilemahkan lagi. Nah di sini, Anda terjebak lagi dalam obsesi melemahkan riwayat atsar tersebut tanpa mengikuti ilmu mushthalah al-hadits mana pun. Anda harus tahu, bahwa perawi mubham dalam jalur Syu’bah, tetap berkemungkinan dua, mungkin ia seorang perawi yang lemah, dan mungkin bukan perawi yang lemah. Ketika dua kemungkinan sama-sama satu tingkat, maka tinggal dicarikan penguatnya, kemungkinan mana dari keduanya yang lebih kuat. Nah, ternyata dalam riwayat lain, yaitu riwayat Sufyan al-Tsauri misalnya, perawi tersebut dijelaskan sebagai perawi yang tidak lemah, dan justru perawi tsiqah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad. Hal ini cukup untuk menjelaskan siapa sebenarnya perawi mubham dalam riwayat Syu’bah. Bukankah dalam ilmu mushthalah al-hadits demikian??? Dan seandainya, perawi dalam jalur Sufyan al-Tsauri tersebut seorang perawi yang lemah, maka perawi mubham dalam jalur Syu’bah akan meningkatkan status atsar tersebut menjadi atsar yang hasan lighairihi. Bukankah demikian dalam ilmu mushthalah al-hadits??? Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata dalam Fath al-Bari:
إسناده حسن الا أن فيه مبهما اعتضد بمجيئه من وجه آخر
“Sanad hadits tersebut hasan, hanya saja di dalamnya terdapat perawi mubham, yang menjadi kuat sebab diriwayatkan melalui jalur lain.” (al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 1 hal. 284, tahqiq Ustadz Wahabi Abdurrahman bin Nashir al-Barrak).
WAHABI: “Tolong Anda jawab sanggahan kami terhadap catatan Anda yang mengutip madzhab Ya’qub bin Sufyan al-Fasawi, dalam men-shahih kan atsar tersebut yang terdapat ‘an’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i.”
SUNNI: “Dalam catatan tersebut memang saya tulis terlalu singkat, sehingga Anda tergesa-gesa untuk melemahkannya. Begini, atsar Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma tersebut dapat di-shahih kan tanpa penguatan antara jalur Syu’bah dengan jalur Sufyan al-Tsauri. Mengapa demikian? Al-Imam al-Bukhari dan Muslim, ternyata juga men-shahih kan riwayat Abu Ishaq al-Sabi’i yang ‘an’anah dalam kedua kitab nya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Padahal riwayat tersebut, tidak memiliki penguat dari jalur lain. Al-Imam al-Hafizh al-Mizzi, mengatakan bahwa penilaian shahih al-Bukhari dan Muslim terhadap riwayat tersebut, semata-mata berbaik sangka/tahsin al-zhann terhadap keduanya. Artinya bagaimana, berangkat dari manhaj al-Bukhari dan Muslim tersebut, riwayat Sufyan al-Tsauri yang ‘an’anah, dapat dinilai shahih dengan sendirinya, tanpa penguatan dari jalur Syu’bah. Nah ternyata, penilaian shahih atsar tersebut juga diikuti oleh madzhab nya al-Imam al-Hafizh Ya’qub bin Sufyan al-Fasawi, dan seorang Ustadz Wahabi kontemporer dalam kitabnya Manhaj al-Mutaqaddimin fi al-Tadlis.
Kalau sekarang Anda berkata, kami menolak keshahihan atsar tersebut, meskipun Anda menggunakan pendekatan ilmu mushthalah al-hadits dalam penjelasan pertama di atas atau pendekatan madzhab al-Bukhari, Muslim, al-Fasawi dan lain-lain dalam pendekatan kedua berikutnya. Di sini kami akan menegaskan kepada Anda wahai kaum Wahabi, “Ya, itu tidak menjadi persoalan bagi kami. Silahkan Anda mengikuti pendapat Anda sendiri yang tidak mengikuti ilmu hadits. Kami akan tetap konsisten dengan istighatsah dengan Nabi yang kami cintai dan orang-orang shaleh, yang telah wafat, dengan mengikuti madzhab ahli hadits dan ilmu mushthalah hadits. Kami akan selalu konsisten dengan ilmu mereka.”
WAHABI: “Apakah Anda masih men-shahih kan atsar dari Abu Ishaq al-Qurasyi, yang meriwayatkan istighatsah dari sebagian kaum Salaf di Madinah? Bukankah dia seorang perawi yang majhul?”
SUNNI: “Atsar dari Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut juga shahih. Semua perawinya dalam Syu’ab al-Iman yang telah di-takhrij oleh kaum Wahabi Anda, menyatakan shahih. Hanya persoalannya Anda tidak mengetahui siapa sebenarnya Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut. Al-Hafizh Ibnu Mandah menjelaskan dalam kitabnya Fath al-Bab fi al-Kuna wa al-Alqab:
أَبُو إِسْحَاق: إِبْرَاهِيم بن إِسْحَاق التَّيْمِيّ، من ولد عبيد الله بن معمر. كناه: مُحَمَّد بن إِسْحَاق السراج.
“Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Taimi, dari keturunan Ubaidillah bin Ma’mar, telah di-kunyah-kan oleh Muhammad bin Ishaq al-Sarraj.” (Al-Hafizh Ibnu Mandah, Fath al-Bab fi al-Kuna wa al-Alqab, hal. 42, tahqiq Abu Qutaibah al-Faryabi, Maktabah al-Kautsar, Riyadh 1996). Penjelasan yang sama juga dinyatakan oleh al-Hafizh Abu Ahmad al-Hakim dalam kitabnya al-Kuna, makhthuth).
وَإِنَّ عِلْمَ الْحَدِيْثِ وَقَدْ أَبَى أَنْ يُنَاصِحَ لِمَنْ لَمْ يَتَطَفَّلْ عَلىَ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ رضي الله عنهم وَكُنْ طُفَيْلِيَّهُمْ عَلىَ أَدَبٍ، فَلاَ أَرىَ شَافِعًا سِوىَ اْلأَدَبِ.
“Sesungguhnya ilmu hadits benar-benar enggan memberi dengan tulus kepada orang yang tidak membenalu kepada Imam Syafi’i dan murid-muridnya radhiyallaahu ‘anhum. Jadilah kamu benalu kepada mereka dengan beretika, karena aku tidak melihat penolong selain etika”. (al-Imam Syah Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Sabab al-Ikhtilaf, hal. 38-39.).
Wassalam
Ustadz Muhammad Idrus Ramli
Simak Juga Catatan Ustadz Idrus Ramli Yang Lainnya :
0 komentar:
Post a Comment