fakta wahabi
Orang-orang Salafi-Wahabi memang benar-benar bodoh. Misalnya, salah seorang ustadz mereka, Firanda Andirja, menulis artikel berjudul “ASWAJA Sufi Meniru-niru Syiah ataukah sebaliknya?” Dalam tulisan tersebut, jelas sekali kebodohannya. Berikut tanggapan terhadap artikel tersebut dalam format dialog:

WAHABI: “Sungguh kita menemukan permusuhan yang sangat sengit dari kaum syi’ah dan aswaja imitasi (baca : sufi) terhadap aswaja asli (baca : salafy atau yang dinamakan oleh kaum sufi sebagai wahabi). Seakan-akan musuh mereka hanyalah kaum wahabi. Ada apa gerangan antara Syi’ah dan Aswaja, kenapa sama-sama bersepakat memusuhi kaum wahabi..??!!”

SUNNI: “Itu karena Anda bodoh wahai Wahabi. Kaum shufi adalah golongan terbaik Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Sedangkan Wahabi termasuk bagian dari Khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalaupun Wahabi mengaku ASWAJA, itu imitasi. Sedangkan Syiah juga aliran sesat, bahkan lebih sesat dari Wahabi wahai Wahabi. Jadi sangat bodoh, kalau Anda beranggapan bahwa kaum shufi bergandengan tangan dengan Syiah dalam memusuhi Wahabi. Memang ajaran kaum shufi ada yang sama dengan syiah, tapi bukan berarti itu salah. Yang salah adalah, ajaran Wahabi yang berbeda dengan kaum shufi dan syiah, seperti dalam bahasan artikel Anda.”

WAHABI: “Ada kesamaan antara dua kelompok ini (SHUFI DAN SYIAH), terutama dalam peribadatan kepada penghuni kuburan dan para wali !!!”

SUNNI: “Umat Islam, baik kaum shufi maupun syiah, tidak beribadah kepada penghuni kuburan dan para wali. Mereka hanya bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah wafat. Hal ini tidak bisa dikatakan ibadah wahai Wahabi. Karena yang dinamakan ibadah menurut para ahli bahasa adalah:

Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin al-Sari al-Zajjaj (241-311 H/855-924 M) – pakar bahasa Arab dan tafsir– berkata:

الْعِبَادَةُ فِيْ لُغَةِ الْعَرَبِ الطَّاعَةُ مَعَ الْخُضُوْعِ.
“Ibadah dalam bahasa Arab adalah ketundukan yang disertai kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal yang dikenal dengan al-Raghib al-Ashfihani (w. 502 H/1108 M) -pakar bahasa dan tafsir- berkata dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an:

الْعِبَادَةُ غَايَةُ التَّذَلُّلِ.
“Ibadah adalah puncak dari kepatuhan dan kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki (683-756 H/1240-1355 M) –pakar fiqih, bahasa dan tafsir– ketika menafsirkan ayat:

اياك نعبد واياك نستعين
“Hanya Engkaulah yang kami sembah”. (QS. al-Fatihah : 5).
berkata:

أَيْ نَخُصُّكَ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ هِيَ أَقْصَى غَايَةِ الْخُشُوْعِ وَالْخُضُوْعِ.
“Yakni, kepada-Mulah kami khususkan beribadah yang merupakan puncak dari rasa kekhusyukan dan kerendahan diri”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan ketundukan, kepatuhan, puncak dari penghambaan diri dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Ibadah dalam pengertian ini, tentu hanya diberikan kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain-Nya.

Oleh karena itu memanggil orang yang hidup atau yang sudah meninggal, mengagungkan, ber-istighatsah, berziarah ke makam wali untuk tujuan tabarruk (mendapat barakah), meminta sesuatu yang secara umum tidak mampu dilakukan oleh manusia, dan meminta pertolongan kepada selain Allah bukanlah termasuk ibadah kepada selain Allah, dan sudah barang tentu juga bukan termasuk perbuatan syirik yang dilarang oleh agama. Camkan hal ini wahai Wahabi.

WAHABI: “Tidak heran jika SYI’AH & ASWAJA SUFI : - Sama-sama hobi meninggikan kuburan…??!!”

SUNNI: “Apa maksud sama-sama hobi meninggikan kuburan? Berapa meter? Apakah termasuk syirik akbar? Tolong dijawab ya Ustadz Wahabi. Apakah kalau meninggikan kuburan, berarti Syiah? Meninggikan kuburan berarti sesat??? Apa begitu wahai Wahabi bahlol??? Bukankah meninggikan kuburan telah terjadi sejak masa salaf yang saleh. Berikut data-datanya:

عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ الْمَدَنِىِّ عَنِ الْمُطَّلِبِ قَالَ لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ أَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ – قَالَ كَثِيرٌ قَالَ الْمُطَّلِبُ قَالَ الَّذِى يُخْبِرُنِى ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ – كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَقَالَ « أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِى وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِى ».
“Dari Katsir bin Zaid al-Madani, dari al-Muththalib berkata: “Ketika Utsman bin Mzh’un meninggal, jenazahnya dikeluarkan, lalu dimakamkan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seorang laki-laki membawakan sebuah batu besar. Ternyata laki-laki tersebut tidak mampu mengangkatnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi batu tersebut, lalu membuka kedua lengannya. Katsir berkata: “Al-Muththalib berkata: “Telah berkata orang yang mengabarkan hal itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Seakan-akan aku melihat putihnya kedua lengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika membuka keduanya, kemudian membawa batu itu, lalu menaruhnya di kepala kuburan itu dan beliau bersabda: “Aku tandai dengan batu itu, kuburan saudaraku, dan aku akan menguburkan keluargaku yang meninggal ke situ.” (HR. Abu Dawud [1641], Ibnu Majah [1651], Ibnu Abi Syaibah (3/334) dan al-Baihaqi (3/412).
Dalam hadits di atas, menunjukkan bolehnya menaruh tanda makam seseorang di atas tanah makamnya. Tanda tersebut tentu lebih tinggi dari permukaan tanah.

أخبرنا إبراهيم بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم رش على قبر إبراهيم ابنه ووضع عليه حصباء، والحصباء لا تثبت إلا على قبر مسطح
“Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memercikkan air pada makam Ibrahim putranya, dan meletakkan kerikil-kerikil.” Imam al-Syafi’i berkata: “Kerikil tidak akan tetap kecuali di atas kuburan yang diratakan.” (Musnad al-Imam al-Syafi’i [599] dan al-Umm (1/273).
عَنِ الْقَاسِمِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّهْ اكْشِفِى لِى عَنْ قَبْرِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَصَاحِبَيْهِ رضى الله عنهما فَكَشَفَتْ لِى عَنْ ثَلاَثَةِ قُبُورٍ لاَ مُشْرِفَةٍ وَلاَ لاَطِئَةٍ مَبْطُوحَةٍ بِبَطْحَاءِ الْعَرْصَةِ الْحَمْرَاءِ قَالَ أَبُو عَلِىٍّ يُقَالُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُقَدَّمٌ وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ رَأْسِهِ وَعُمَرُ عِنْدَ رِجْلَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Al-Qasim berkata: “Aku memasuki rumah Aisyah, lalu berkata: “Wahai bunda, bukakanlah untukku makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua sahabatnya.” Lalu beliau membukakan untukku tiga makam, yang tidak terlalu tinggi dan tidak rata dengan tanah, dibentangkan dengan kerikil halaman yang merah.” (HR. Abu Dawud [1564]).
عَنْ سُفْيَانَ التَّمَّارِ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا
“Sufyan at-Tammar telah bercerita telah melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditinggikan (seperti punuk)”. (HR al-Bukhari dalam Shahih-nya [1390]).
وَقَالَ خَارِجَةُ بْنُ زَيْدٍ رَأَيْتُنِي وَنَحْنُ شُبَّانٌ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَإِنَّ أَشَدَّنَا وَثْبَةً الَّذِي يَثِبُ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ حَتَّى يُجَاوِزَهُ
“Kharijah bin Zaid berkata: “Aku melihat diriku, ketika kami masih muda pada masa Utsman radhiyallahu ‘anhu, bahwa orang yang paling kuat lompatannya di antara kami, adalah dia yang mampu melompat makamnya Utsman bin Mahz’un, hingga melewatinya.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya [1360]).
عن عبد الله بن أبي بكر قال رأيت قبر عثمان بن مظعون مرتفعا
“Abdullah bin Abi Bakar berkata: “Aku melihat kuburan Utsman bin Mazh’un, tinggi.” (HR Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf [11746]).
Dalam hadits di atas, menunjukkan bahwa makam ‘Utsman bin Mazh’un itu ditinggikan, sehingga menjadi tempat ujian kekuatan lompatan anak-anak pada masa mudanya Kharijah bin Zaid. Hal ini membuktikan bahwa tingginya makam Utsman bin Mazh’un tidak kurang dari lima atau enam jengkal.

Beberapa riwayat di atas menunjukkan bahwa meninggikan kuburan, bukan tradisi yang dibuat-buat oleh Syiah. Akan tetapi telah berlangsung sejak masa sahabat. Kecuali kalau Wahabi beranggapan bahwa orang-orang yang makamnya ditinggikan di atas, adalah orang-orang Syiah.”

WAHABI: “Syiah dan Kaum Shufi - Sama-sama hobi beribadah di kuburan…??!!”

SUNNI: “Apakah beribadah di kuburan seperti shalat dan membaca al-Qur’an termasuk syirik akbar? Bukankah al-Bukhari meriwayatkan bahwa Anas bin Malik telah menunaikan shalat di samping makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

وَرَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يُصَلِّي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ الْقَبْرَ الْقَبْرَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ
“Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu melihat Anas bin Malik melaksanakan shalat di samping kuburan, lalu Umar berkata: “Itu kuburan, itu kuburan”. Umar tidak menyuruh Anas untuk mengulangi shalatnya.” (HR. al-Bukhari).
Hadits tersebut, menunjukkan bahwa larangan shalat di kuburan tidak menuntut batalnya shalat yang dilakukan. Terbukti Anas bin Malik terus menyelesaikan shalatnya, dan Umar tidak pula menyuruhnya mengulangi shalatnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (1/523-524) dan al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari.

Bukankah Imam al-Syafi’i, Yahya bin Ma’in dan Imam Ahmad bin Hanbal menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan? Dan masih banyak riwayat lain, tentang ibadah di kuburan yang dianjurkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyimil Jauziyyah. Apakah mereka semuanya berarti Syiah?

WAHABI: “Kaum Shufi dan Syiah : - Sama-sama hobi meminta dan beristighotsah kepada penghuni kuburan..??!!”

SUNNI: “Justru yang tersesat jalan dalam masalah ini bukan Syiah. Akan tetapi Wahabi, Khawarijul-‘ashri yang tersesat jalan karena mensyirikkan istighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah wafat. Berikut di antara dasar-dasarnya:

Hadits Ibn Umar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نَشِطَ مِنْ عِقَالٍ. حديث صحيح رواه البخاري في الأدب المفرد (964)، والحافظ إبراهيم الحربي في غريب الحديث (2/673-674)، والحافظ ابن السني في عمل اليوم والليلة (ص/72-73)، وذكره ابن تيمية في كتابه الكلم الطيب (ص/88).
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibn Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”
Hadits shahih ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (hal. 324), al-Hafizh Ibrahim al-Harbi dalam Gharib al-Hadits (2/673-674), al-Hafizh Ibn al-Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah (hal. 72-73), dan dianjurkan untuk diamalkan oleh Ibn Taimiyah –ideolog pertama kaum Wahhabi–, dalam kitabnya al-Kalim al-Thayyib (hal. 88).

Hadits di atas menunjukkan bahwa sahabat Abdullan bin Umar radhiyallahu ‘anhuma melakukan tawassul dan istighatsah dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil) «يا محمد» yang artinya: «أدركني بدعائك يا محمد» (tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Muhammad). Hal ini dilakukan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau wafat meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil), yang berarti nida’ al-mayyit (memanggil seorang nabi atau wali yang telah meninggal) bukanlah termasuk syirik.

Hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu

عَنْ مَالِكٍ الدَّارِ، قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. رواه ابن أبي شيبة في المصنف (12/31-32)، و ابن أبي خيثمة كما في الإصابة (3/484)، والبيهقي في دلائل النبوة (7/447) والخليلي في الإرشاد (1/313-314) ، وابن عبد البر في الاستيعاب (2/464)، وإسناده صحيح، وقد صححه الحافظ ابن كثير في البداية والنهاية (7/101) ، وصححه الحافظ ابن حجر في فتح الباري (2/495). وقال ابن كثير في جامع المسانيد – مسند عمر – (1/223) : إسناده جيد قوي. وأقر ابن تيمية بثبوته في اقتضاء الصراط المستقيم (ص/373) .
“Diriwayatkan dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (12/31-32), Ibn Abi Khaitsamah sebagaimana dalam al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (3/484), al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (7/47), al-Khalili dalam al-Irsyad (1/313-314) dan al-Hafizh Ibn Abdilbarr dalam al-Isti’ab (2/464). Sanad hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (7/101) dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (2/495). Al-Hafizh Ibn Katsir juga mengatakan dalam kitabnya yang lain, Jami’ al-Masanid di bagian Musnad Umar bin al-Khaththab (1/223) bahwa sanad hadits ini jayyid dan kuat. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang dimaksud laki-laki yang mendatangi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan tawassul dalam hadits ini adalah sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu.

Apakah para ulama dan tokoh yang menjadi sumber rujukan dan hukum dalam catatan di atas orang-orang Syiah? Tentu saja bukan. Pikirkan dengan hati yang jernih hal ini wahai Wahabi. Anda menyesatkan ajaran Syiah dalam masalah istighatsah, padahal sebenarnya Anda sendiri yang sesat wahai Wahabi.”

WAHABI: “Kaum Shufi dan Syiah - : Sama-sama hobi mencari barokah dari pasir yang ada dikuburan para wali??”

SUNNI: “Sayang sekali, Anda tidak menguraikan referensinya dalam kitab-kitab kaum Shufi. Dan sepertinya Anda tidak mengerti makna tabaruk beserta hukum-hukumnya.”

WAHABI: “Kaum Shufi dan Syiah - Sama-sama berlindung dibalik topeng “cinta kepada Ahlul Bait…”, atau “Demi menghormati Ahlul Bait”, seakan-akan kecintaan kepada Ahlul Bait dan kesyirikan adalah dua perkara yang saling melazimkan !!!”

SUNNI: “Bukankah cinta Ahlul Bait termasuk bagian dari ajaran Islam? Syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikhul-Islam antum juga menjelaskan kecintaan kepada Ahlul Bait dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Al-Imam al-Syafi’i sangat mencintai Ahlul-Bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ). Kecintaan kepada mereka beliau lukiskan dalam tawassul melalui sebuah syair yang sangat indah dan diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Shawa’iq al-Muhriqah (hal. 274):

آلُ النَّــِبيِّ ذَرِيْعَتِيْ   وَهُمُ إِلَيْهِ وَسِــيْلَتِيْ

أَرْجُوْ بِهِمْ أُعْطىَ غَدًا   بِيَدِي الْيَمِيْنِ صَحِيْفَتِيْ
Keluarga Nabi adalah pintu dan wasilahku kepada Allah

Aku berharap dengan mereka kelak memperoleh catatan amalku dengan tangan kananku
Syair al-Imam al-Syafi’i di atas juga diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafi’i dan al-Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya. Apakah dengan demikian Ibnu Taimiyah dan Imam Syafi’i Anda katakana Syiah???? Anda terlalu gegabah wahai Firanda. Lalu apa hubungannya antara kecintaan kepada Ahlul Bait dengan kesyirikan wahai Wahabi??? Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata:

ارقبوا محمدا في اهل بيته
“Perhatikan dan muliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui ahlul bait-nya.” (HR. al-Bukhari dalam Shahihnya).
Kecintaan kepada Ahlul Bait juga diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah dengan demikian ajaran cinta Ahlul Bait termasuk ajaran Syiah dan syirik wahai Wahabi??? Itu semua, karena konsep Anda tentang kesyirikan yang keliru dan sesat.”

WAHABI: “Entah…apakah kaum aswaja sufi yang ikut-ikutan taqlid buta kepada kaum syi’ah??, ataukah sebaliknya??!!”

SUNNI: “Yang benar adalah, ajaran Wahabi itu tidak benar, sesat dan menyesatkan.”

Bersambung ..

Ustadz Muhammad Idrus Ramli

0 komentar:

Post a Comment

 
Top