fakta wahabi
Sejak beberapa waktu yang lalu, alfaqir diminta beberapa teman Ahlussunnah Wal-Jama’ah untuk menanggapi tulisan seorang Ustadz Salafi-Wahabi, Firanda Andirja, yang berjudul “Ternyata Ada Sahabat Nabi dari Indonesia !!! (Fenomena Guru Ijai Al-Banjari dan Habib Munzir).” Setelah saya membaca tulisan tersebut di webnya, ternyata Firanda – hadaahullah -, tidak menulisnya secara ilmiah dan sepertinya kurang mehamami terhadp pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari yang dikutipnya, dan ia memahaminya dengan terbawa keinginan pribadinya. Berikut jawaban terhadap tulisan tersebut dalam format dialog:

WAHABI: “Definisi sahabat –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar al-’Asqolaani (seorang ulama besar madzhab Syafi’i) adalah : Orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan beriman kepadanya pula. Karenanya barang siapa yang –setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih bisa bertemu dengan Nabi dalam keadaan terjaga (tidak tidur) maka ia adalah termasuk jajaran para sahabat.”

SUNNI: “Dalam pernyataan di atas, Ustadz Firanda mengutip pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar, lalu menyambungnya dengan komentarnya sendiri. Di sini, Firanda melakukan beberapa tindakan yang tidak ilmiah sebagai berikut.

Pertama) al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Ishabah:

الفصل الأول في تعريف الصحابي وأصح ما وقفت عليه من ذلك (أن) الصحابي من لقي النَّبيّ صَلى الله عَلَيه وسَلم مؤمنا به، ومات على الإسلام
“Fasal pertama, tentang definisi sahabat. Definisi yang paling shahih yang aku temukan, sesungguhnya sahabat adalah orang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya, dan mati dalam keadaan Islam”. (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, juz 1 hal. 16).
Dalam redaksi di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar mendefinisikan sahabat dengan kalimat laqiya, yang artinya bertemu. Sementara fenomena yang dikaji oleh Firanda di atas, adalah tentang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga. Ada perbedaan antara laqiya (bertemu) dengan ro’aa (melihat).

Kedua) al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Shahih:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من رآني في المنام فسيراني في اليقظة
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka akan melihatku dalam keadaan terjaga.”
Hadits di atas sengaja tidak dikaji terlebih dahulu oleh Firanda, karena dalam redaksinya jelas ada kalimat, “akan melihatku dalam keadaan terjaga”, dan hal ini akan membuka penipuan Firanda dalam kalimat yang disambungnya terhadap definisi al-Hafizh Ibnu Hajar di atas, yaitu menggiring pembaca agar membahas persoalan bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketiga) Firanda melanjutkan definisi sahabat di atas dengan berkata: “Karenanya barang siapa yang –setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih bisa bertemu dengan Nabi dalam keadaan terjaga (tidak tidur) maka ia adalah termasuk jajaran para sahabat”.

Perkataan di atas, jelas murni dari Firanda, dengan mengubah kosa kata melihat dalam fenomena yang dikaji menjadi bertemu. Sungguh ini merupakan upaya mengelabui pembaca yang awam agar tergiring kepada kutipan Firanda selanjutnya. Seandainya Firanda bermaksud baik dengan tulisannya tersebut, tentu dia akan membahas definisi sahabat secara jami’ (komprehensif) dan mani’ (protektif), sebagaimana yang ditulis oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah. Akan tetapi Firanda tidak melakukannya, sepertinya karena ada kepentingan tersembunyi dalam hatinya.

WAHABI: “Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau berkata :


ونُقِلَ عن جماعة من الصالحين أنهم رأوا النبي صلى الله عليه وسلم في المنام ثم رأوه بعد ذلك في اليقظة وسألوه عن أشياء كانوا منها متخوفين فأرشدهم إلى طريق تفريجها فجاء الأمر كذلك قلت وهذا مشكل جدا ولو حمل على ظاهره لكان هؤلاء صحابة ولأمكن بقاء الصحبة إلى يوم القيامة ويعكر عليه أن جمعا جما رأوه في المنام ثم لم يذكر واحد منهم أنه رآه في اليقظة وخبر الصادق لا يتخلف ”
Dinukilan dari sekelompok orang-orang sholeh bahwasanya mereka telah melihat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam mimpi lalu merekapun melihatnya setelah itu dalam kondisi terjaga. Lalu mereka bertanya kepada Nabi tentang perkara-perkara yang mereka khawatirkan, maka Nabipun memberi arahan kepada solusi, lalu datanglah solusi tersebut. Aku (Ibnu Hajar) berkata : Ini merupakan perkara yang sangat menimbulkan permasalahan. Kalau nukilan ini dibawakan kepada makna dzohirnya maka para orang-orang sholeh tersebut tentunya adalah para sahabat Nabi, dan akhirnya kemungkinan menjadi sahabat Nabi akan terus terbuka hingga hari kiamat. Dan yang merusak makna dzohir ini bahwasanya ada banyak orang yang telah melihat Nabi dalam mimpi lalu tidak seorangpun dari mereka menyebutkan bahwa ia telah melihat Nabi dalam kondisi terjaga. Dan pengkhabaran orang jujur tidak akan berbeda” (Fathul Baari 12/385).
Karenanya orang-orang yang mengaku bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi terjaga (tidak tidur) maka mereka adalah para sahabat. Mereka adalah para sahabat “BARU”, yang belum sempat tertulis dalam buku-buku para ulama yang menjelaskan tentang nama-nama dan biografi para sahabat. Ternyata diantara para sahabat “baru” tersebut ada yang berasal dari tanah air Indonesia, yaitu (1) Guru Ijai dari kota Banjarmasin dan (2) Habib Munzir dari Pancoran Jakarta.”

SUNNI: “Firanda kurang bisa memahami pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar di atas. Sepertinya bahasa arabnya masih kurang bagus. Mengapa demikian?

Pertama, al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan bahwa ada informasi dari beberapa orang shaleh, bahwasanya mereka telah melihat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam mimpi lalu merekapun melihatnya setelah itu dalam kondisi terjaga.

Kedua, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وهذا مشكل جدا ولو حمل على ظاهره لكان هؤلاء صحابة ولأمكن بقاء الصحبة إلى يوم القيامة
“Aku (Ibnu Hajar) berkata : Ini merupakan perkara yang sangat menimbulkan permasalahan. Kalau nukilan ini dibawakan kepada makna dzohirnya maka para orang-orang sholeh tersebut tentunya adalah para sahabat Nabi, dan akhirnya kemungkinan menjadi sahabat Nabi akan terus terbuka hingga hari kiamat”.
Dalam kutipan di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan kemusykilannya terhadap kisah-kisah nukilan tersebut. Kemudian beliau berandai-andai dengan berkata: “Kalau seandainya ini dibawakan kepada makna dzohirnya maka para orang-orang sholeh tersebut tentunya adalah para sahabat Nabi, dan akhirnya kemungkinan menjadi sahabat Nabi akan terus terbuka hingga hari kiamat”. Artinya, dalam andai-andai beliau, seandainya kisah-kisah penglihatan orang-orang shaleh tersebut, dibawakan kepada makna zhahir, niscaya mereka akan menjadi sahabat. Permasalahannya, al-Hafizh Ibnu Hajar tidak mungkin mengartikan melihat tersebut secara zhahir. Karena beliau termasuk pengikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang ahli ta’wil. Dan ta’wilan beliau tidak dikutip oleh Firanda dalam artikelnya. Berikut ini ta’wilan al-Hafizh Ibnu Hajar yang tidak dikutip oleh Firanda dalam Fathul Bari:

وقد تفطن بن أبي جمرة لهذا فأحال بما قال على كرامات الأولياء فان يكن كذلك تعين العدول عن العموم في كل راء ثم ذكر أنه عام في أهل التوفيق وأما غيرهم فعلى الاحتمال فان خرق العادة قد يقع للزنديق بطريق الإملاء والإغواء كما يقع للصديق بطريق الكرامة والاكرام وانما تحصل التفرقة بينهما باتباع الكتاب والسنة انتهى
Ibnu Abi Jamrah sangat cerdas menyikapi kemusykian tersebut. Ia mengalihkan pendapatnya pada karomah para wali. Apabila memang demikian, haruslah beralih dari keumuman dalam setiap orang yang melihat (dalam mimpi). Kemudian Ibnu Abi Jamrah menyebutkan bahwa melihat dalam keadaan terjaga bersifat umum bagi orang yang memperoleh taufiq. Sedangkan selain ahli taufiq, maka kemungkinan saja. Karena sesungguhnya, menyalahi kebiasaan itu kadang terjadi bagi orang zindiq dengan tujuan membiarkan dan menyesatkan. Sebagaiman terjadi bagi orang Shiddiq dengan jalan karomah dan memuliakan. Keduanya hanya dapat dibedakan dengan mengikuti al-Kitab dan Sunnah.”
Dalam pernyataan di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibnu Abi Jamrah dan tidak menolaknya. Menurut Ibnu Abi Jamrah, maksud melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga, memang benar-benar melihat dalam konteks karomah yang terjadi pada para wali. Hanya saja al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari, karomah seperti ini (melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga), harusnya tidak terjadi pada setiap orang yang bermimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi Ibnu Abi Jamrah berpendapat, melihat dalam keadaan terjaga, dapat berlaku secara umum kepada para Shiddiq dan ahli taufiq.

Oleh karena itu, pernyataan Firanda selanjutnya yang berbunyi: “Karenanya orang-orang yang mengaku bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi terjaga (tidak tidur) maka mereka adalah para sahabat”, adalah tidak pada tempatnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar bertolak belakang dengan pendapat Anda. Hadaakallaah ya akhi.

Selanjutnya Firanda menulis beberapa pernyataan dan beralih dari tema di atas, yaitu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga.

WAHABI: “Pengingkaran Ulama Syafi’iyah Terhadap Khurofat Ini Para ulama madzhab Syafi’iyyah telah mengingkari khurofat bertemu Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dalam kondisi terjaga setelah wafatnya Nabi.”

SUNNI: “Anda mengalihkan persoalan dari melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menjadi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Anda juga mengaitkan persoalan ini dengan ulama Syafi’iyah. Saya beritahu Anda agar faham, masalah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan persoalan ilmu fiqih, akan tetapi terkait dengan ilmu tashawuf yang lintas madzhab dalam madzahibul-arba’ah. Karenanya, klaim Anda yang berupa pengingkaran Syafi’iyyah terhadap fenomena ini, sangat tidak ilmiah. Di sisi lain, Anda juga hanya mengutip sebagian Syafi’iyyah saja, dan tidak semuanya.”

WAHABI: “Diantara mereka adalah : Pertama : Al-Hafiz Ibnu Hajar al-’Asqolani rahimahullah, beliau telah menukil perkataan Abu Bakr bin al-’Arobi sbb : وَشَذَّ بَعْضُ الصَّالِحِيْنَ فَزَعَمَ أَنَّهَا تَقَعُ بِعَيْنِي الرَّأَسِ حَقِيْقَةً “Dan telah aneh sebagian orang-orang sholeh, mereka menyangka bahwa mimpi ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam akan menjadi kenyataan (di alam nyata)” (Fathul Baari 12/384) Ibnu Hajar juga berkata : وَقَدِ اشْتَدَّ إِنْكَارُ الْقُرْطُبِي عَلَى مَنْ قَالَ مَنْ رَآهُ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَأَى حَقِيْقَتَهُ ثُمَّ يَرَاهَا كَذَلِكَ فِي الْيَقْظَةِ “Sungguh Al-Qurthubi telah mengingkari dengan keras terhadap orang yang berkata bahwasanya barang siapa yang melihat Nabi dalam mimpi maka sungguh telah melihatnya hakikat Nabi, kemudian dia melihatnya juga dalam keadaan terjaga” (Fathul Baari 12/385)”

SUNNI: “Anda melakukan tindakan yang tidak terpuji dengan kutipan di atas, dan mengutip hanya sepotong-sepotong saja. Seandainya kutipan di atas Anda kutip secara sempurna, maka akan terbongkar kebohongan Anda wahai akhi Firanda – hadaakallaah. Coba akan saya kutip secara sempurna, agar Anda tahu maksud al-Hafizh Ibnu Hajar di atas:

قال القاضي أبو بكر بن العربي رؤية النبي صلى الله عليه و سلم بصفته المعلومة إدراك على الحقيقة ورؤيته على غير صفته إدراك للمثال فان الصواب أن الأنبياء لا تغيرهم الأرض ويكون إدراك الذات الكريمة حقيقة وإدراك الصفات إدراك المثل قال وشذ بعض القدرية فقال الرؤيا لا حقيقة لها أصلا وشذ بعض الصالحين فزعم أنها تقع بعيني الرأس حقيقة
“Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul-Arabiy berkata: “Melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam mimpi) dengan cirri-cirinya yang telah dimaklumi, adalah menangkapnya secara hakiki. Melihatnya tidak sesuai dengan ciri-cirinya, adalah menangkap gambarannya. Karena yang benar, jasad para nabi tidak dapat dirubah oleh bumi. Dan melihat dzat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, adalah hakiki. Sedangkan melihat sifat-sifatnya adalah menangkap gambarannya. Ibnul-Arabiy berkata: “Sebagian kaum Qadariyah telah aneh dan berkata, bahwa mimpi tidak ada hakikatnya sama sekali. Sebagian orang-orang shaleh telah aneh lalu berasumsi bahwa mimpi adalah melihat dengan kedua mata kepala secara hakiki.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul-Bari, juz 12, hal. 489).
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip dari Ibnul-‘Arabiy, yang mengutip asumsi aneh sebagian orang shaleh bahwa mimpi adalah melihat dengan kedua mata kepala secara hakiki. Pernyataan tersebut bukan berkaitan dengan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara terjaga, akan tetapi melihat dalam mimpi, yang diasumsikan melihat dengan mata telanjang, padahal orang bermimpi itu tidur, dan matanya merem.

Sedangkan kutipan Firanda dari al-Hafizh Ibnu Hajar, yang mengutip dari pengingkaran al-Qurthubi di atas, juga tidak dapat diklaim sebagai pendapat murni Syafi’iyyah. Al-Qurthubi bermadzhab Maliki. Dan itupun oleh pandangan al-Qurthubi masih diralat dengan kutipan dari al-Imam Ibnu Abi Jamrah, sebagaimana kami paparkan di atas. Hanya saja, Firanda tidak mengutipnya.

WAHABI: “Kedua : Adz-Dzahabi rahimahullah menyatakan bahwa orang yang mengaku telah mendengar suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga sebagai Dajjaal dan Pendusta, lantas bagaimana jika orang tersebut mengaku melihat dan bertemu ruh Nabi atau jasad Nabi?? Adz-Dzahabi rahimahullah berkata : الربيع بن محمود المارديني، دجال مفتر، ادعى الصحبة والتعمير في سنة تسع وتسعين وخمسمائة. “Ar-Robii’ bin Muhammad Al-Mardini : Dajjaal pendusta, ia mengaku sebagai seorang sahabat dan dipanjangkan umurnya pada tahun 599 Hijriyah” (Mizaanul I’tidaal 2/42)”.

SUNNI: “Saya pikir, Anda tidak mengerti maksud pernyataan al-Hafizh al-Dzahabi. Dalam kutipan di atas, Ar-Rabi’ bin Mahmud al-Mardini dikatakan Dajjal pendusta, karena mengaku sebagai seorang sahabat dan dipanjangkan umurnya, bukan karena mengaku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga.”

WAHABI: “Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Ar-Robii’ bin Mahmuud Al-Maardini. Ia termasuk syaikh-syaikh kaum sufiyah, dan ia mengaku sebagai seorang sahabat. Demikianlah yang disebutkan oleh Adz-Dzhabi dalam kita Mizaanul I’tidaal. Dan dikatakan ia adalah Dajjal (pendusta) yang pada tahun 599 H, ia mengaku sebagai seorang sahabat dan berumur panjang… Aku (Ibnu Hajar) berkata : Yang nampak bagiku dari ceritanya adalah yang dimaksud dengan “sahabat” yang diakui olehnya adalah kabar yang datang tentang dirinya bahwasanya ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mimpi tatkala ia di kota Madinah yang mulia. Maka Nabi berkata kepadanya, “Engkau telah beruntung di dunia dan di akhirat”. Lalu Ia (Ar-Robii’ bin Mahmud) setelah terjaga dari tidurnya mengaku bahwa ia mendengar Nabi mengatakan demikian.(Al-Isoobah 2/223, biografi no 2745)”.

SUNNI: “Dalam kutipan di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar secara tersirat membela al-Mardini yang dituduh mengaku sebagai shahabat. Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mardini dituduh mengaku sebagai sahabat, karena mengaku pernah mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga, tatkala beliau ada di kota Madinah. Bukan karena mengaku sebagai shahabat atau hidup pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertemu beliau. Persoalannya apakah pengakuan seseorang bahwa ia pernah mendengar ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari dalam makamnya, harus kita tolak? Tentu tidak bisa kita tolak secara mutlak, apabila hal tersebut terjadi pada orang-orang Shaleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah sebagai berikut ini:

ولا يدخل في هذا الباب: ما يروى من أن قوما سمعوا رد السلام من قبر النبي صلى الله عليه وسلم، أو قبور غيره من الصالحين. وأن سعيد بن المسيب كان يسمع الأذان من القبر ليالي الحرة  . ونحو ذلك. فهذا كله حق ليس مما نحن فيه، والأمر أجل من ذلك وأعظم.

وكذلك أيضا ما يروى: ” أن رجلا جاء إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فشكا إليه الجدب عام الرمادة فرآه وهو يأمره أن يأتي عمر، فيأمره أن يخرج يستسقي بالناس ” فإن هذا ليس من هذا الباب. ومثل هذا يقع كثيرا لمن هو دون النبي صلى الله عليه وسلم، وأعرف من هذا وقائع. وكذلك سؤال بعضهم للنبي صلى الله عليه وسلم، أو لغيره من أمته حاجة فتقضى له، فإن هذا قد وقع كثيرا، وليس هو مما نحن فيه. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم، 2/255).
“Tidak termasuk dalam bab ini, apa yang diriwayatkan bahwa suatu kaum mendengar jawaban salah dari makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau makam orang-orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bahwa Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam-malam peperangan Harrah, dan sesamanya. Ini semuanya adalah BENAR, bukan bahasan kami. Persoalannya lebih serius dan lebih besar dari hal tersebut. Demikian pula apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mengadukan kegersangan pada tahun ramadah, lalu ia bermimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyuruhnya mendatangi Khalifah Umar agar melakukan istisqa’ bersama masyaraka. Ini bukan termasuk bagian bab ini. Hal seperti ini banyak terjadi pada orang di bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mengetahui banyak kejadian seperti ini. Demikian pula permintahan sebagian mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau selainnya dari umatnya akan suatu hajat, lalu hajat itu dikabulkan. Hal seperti ini banyak terjadi dan bukan bahasan kami.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz 2 hal. 255).
Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, membenarkan fenomena orang-orang yang mendengar suara dari makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bahkan dari makam orang-orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

WAHABI: “Ketiga : Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah. Dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah –pada biografi Abul Fath At-Thuusy (Ahmad bin Muhammad bin Muhammad)- Ibnu Katsir berkata


: ثُمَّ أَوْرَدَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ أَشْيَاءَ مُنْكَرَةً مِنْ كَلَامِهِ فاللَّه أَعْلَمُ، مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ كَانَ كُلَّمَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَقَظَةِ فَسَأَلَهُ عَنْ ذلك فدله على الصواب “
Kemudian Ibnul Jauzi menyebutkan perkara-perkara yang mungkar dari perkataan Abul Fath At-Thusy –Allahu A’lam- diantaranya bahwasanya setiap kali Abul Fath mengalami kesulitan tentang sesuatu maka iapun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga, lalu ia bertanya kepada Rasulullah tentang perkara yang menyulitkan tadi, lalu Nabi menunjukkan kebenaran kepadanya” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 12/196).
Sangat jelas bahwasanya bertemunya seseorang -dalam keadaan terjaga- dengan Nabi merupakan perkara yang mungkar menurut Ibnul Jauzi, dan hal ini diakui oleh Ibnu Katsir.”

SUNNI: “Pernyataan Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Katsir di atas bersifat kasuistik, terkait dengan Abul-Fath al-Thusi, dan tidak bisa digeneralisasikan kepada semua kasus. Mengapa demikian? Karena Ibnul-Jauzi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, membicarakan Abul-Fath al-Thusi yang pembicaraannya banyak menyebarkan hadits palsu dan ngalor ngidul. Silahkan Anda baca sebelumnya akhi Firanda – hadaakallaah. Sementara dalam kasus lain, Ibnul-Jauzi justru tidak menolak pengakuan seseorang yang mengaku diberi sesuatu oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beristighatsah dengan beliau. Ibnul-Jauzi berkata:

وكان هبة الله بن عبد الوارث يحكي عن والدته فاطمة بنت علي قالت سمعت أبا عبد الله محمد بن أحمد المعروف بإبن أبي زرعة الطبري قال سافرت مع أبي إلى مكة فأصابتنا فاقة شديدة فدخلنا مدينة الرسول صلى الله عليه و سلم وبتنا طاويين وكنت دون البالغ فكنت أجيء إلى أبي وأقول أنا جائع فأتى بي أبي إلى الحضرة وقال يا رسول الله أنا ضيفك الليلة وجلس فلما كان بعد ساعة رفع رأسه وجعل يبكي ساعة ويضحك ساعة فقال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فوضع في يدي دراهم ففتح يده فإذا فيها دراهم وبارك الله فيها إلى أن رجعنا إلى شيراز وكنا ننفق منها توفي هبة الله في هذه السنة بمرو. (الحافظ ابن الجوزي، المنتظم، 16/314).
“Hibatullah bin Abdul Warits bercerita tentang ibunya, Fathimah binti Ali, yang berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Abi Zur’ah al-Thabari berkata: “Aku bepergian bersama ayahku ke Mekkah. Lalu kami dilanda kefakiran yang sangat. Lalu kami memasuki Madinah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kami bermalam dalam keadaan tidak makan, sedang usiaku masih belum baligh. Lalu aku mendatangi ayahku dan aku berkata: “Aku lapar”. Lalu ayahku membawaku ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tamu paduka pada mala mini. Dan ayahku duduk. Setelah sesaat, ayahku mengangkat kepalanya, sesaat menangis dan sesaat tertawa. Lalu ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu menaruh beberapa dirham di tanganku”. Lalu ayah membuka tangannya, ternyata ada beberapa dirham di dalamnya. Allah memberkahinya bagi kami sampai kami pulang ke Syiraz. Kami berbelanja dari uang tersebut. Hibatullah wafat pada tahun ini di Marwa.” (Ibnul-Jauzi, al-Muntazham, juz 16, hal. 314, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut).
Dalam riwayat di atas, ada kasus seseorang yang datang ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beristighatsah dan duduk sesaat. Kemudian ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan uang beberapa dirham ke dalam tangannya, setelah dibuka, ternyata uang tersebut benar-benar ada. Al-Hafizh Ibnul-Jauzi tidak mengingkari istighatsah, karena beliau Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan Ibnu Taimiyah masih belum lahir, yang kelak akan menjadi orang pertama melarang istighatsah. Ibnu-Jauzi juga tidak mengingkasi kasus serah terima uang tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

WAHABI: “Keempat : As-Sakhoowi rahimahullah Al-Qostholaani berkata :


 وأما رؤيته- صلى الله عليه وسلم- فى اليقظة  بعد موته- صلى الله عليه وسلم- فقال شيخنا: لم يصل إلينا ذلك عن أحد من الصحابة، ولا عن من بعدهم. وقد اشتد حزن فاطمة عليه- صلى الله عليه وسلم- حتى ماتت كمدا بعده بستة أشهر- على الصحيح- وبيتها مجاور لضريحه الشريف، ولم ينقل عنها رؤيته فى المدة التى تأخرت عنه “
Adapun melihat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dalam keadaan terjaga (tidak tidur) setelah wafatnya Nabi, maka guru kami (As-Sakhoowi rahimahullah) berkata : “Tidaklah sampai kepada kami hal tersebut (melihat Nabi dalam keadaan terjaga) dari seorangpun dari kalangan para sahabat Nabi, dan juga dari kalangan setelah para sahabat. Dan sungguh telah berat kesedihan Fathimah atas wafatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sampai-sampai Fathimah -setelah enam bulan menurut pendapat yang shahih- akhirnya meninggal karena kesedihan yang amat parah. Padahal rumahnya berdekatan dengan kuburan Nabi yang mulia, akan tetapi tidak dinukilkan dari Fathimah bahwa beliau melihat Nabi di masa –enam bulan tersebut-” (Al-Mawaahib Al-Laduniyah bi Al-Minah Al-Muhammadiyah 2/371).
SUNNI: “Tulisan di atas tidak menyatakan bahwa melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga sebagai hal yang tidak mungkin. Tulisan di atas hanya menjelaskan bahwa tidak ada riwayat kasus melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga pada masa-masa sahabat. Itu saja.”

WAHABI: “Demikianlah perkataan para ulama madzhab Syafi’iyyah dan pengingkaran mereka terhadap orang yang mengaku melihat Nabi dalam keadaan terjaga (tidak tidur)”.

SUNNI: “Tolong Anda telaah lagi kutipan-kutipan di atas. Anda baca pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar secara tuntas, jangan sepotong-sepotong. Insya Allah, Anda tidak akan ekstrem dalam tulisan Anda. Anda pahami juga, hal-hal yang bersifat kasuistik dan jangan digeneralisasikan. Atau kalau Anda mau, silahkan Anda baca al-Hawi lil-Fatawi juz 2 hal. 255, yang memaparkan tentang mungkinnya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga. Penulisnya, al-Hafizh al-Suyuthi, lebih diakui daripada as-Sakhawi, oleh para ulama dalam bidang fiqih Syafi’i. Semua pandangan yang menentangnya, beliau jawab di sana, termasuk isykal yang diajukan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di atas.”

WAHABI: “Jika perkaranya demikian maka para sahabat tidak hanya terhenti pada zaman Nabi shallahu ‘alaihi wasallam tapi akan bisa berlanjut hingga hari kiamat. Karenanya buku yang ditulis oleh Ibnu Hajar rahimahullah dengan judul (الإِصَابَةُ فِي مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ) yang menjelaskan tentang nama-nama sahabat adalah buku yang penuh dengan kekurangan.”

SUNNI: “Maaf, ini hanya kelaziman menurut Anda saja. Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak menegaskan bahwa kelaziman ini beliau jadikan madzhab. Beliau bukan ahli zhahir, akan tetapi ahli ta’wil.”

WAHABI: “Mereka yang menyatakan bisa bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kondisi terjaga, telah berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 مَنْ رآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقْظَةِ “
Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga” (HR Al-Bukhari no 6993 dan Muslim no 2266)
Sisi pendalilan adalah sabda Nabi “Ia akan melihatku dalam kondisi terjaga”. Bantahan terhadap pendalilan ini adalah: Pertama : Hadits ini tidaklah sebagaimana yang mereka pahami. Para ulama telah menjelaskan maksud dan makna hadits ini. Diantaranya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :

“…سيراني في اليقظة ففيه أقوال أحدها المراد به أهل عصره ومعناه أن من رآه في النوم ولم يكن هاجر يوفقه الله تعالى للهجرة ورؤيته صلى الله عليه وسلم في اليقظة عيانا والثاني معناه أنه يرى تصديق تلك الرؤيا في اليقظة في الدار الآخرة لأنه يراه في الآخرة جميع أمته من رآه في الدنيا ومن لم يره والثالث يراه في الآخرة رؤية خاصته في القرب منه وحصول شفاعته” “…
(Dia akan melihatku dalam keadaan terjaga), maka ada beberapa pendapat. Pertama : Maksudnya adalah orang-orang yang tinggal semasa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan maknanya adalah : Barang siapa yang melihatnya di dalam tidur dan belum berhijroh, maka Allah akan memberikan taufiq kepadanya untuk berhijroh dan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi terjaga . Kedua : Maknanya adalah ia melihat kebenaran mimpi tersebut dalam kondisi terjaga di akhirat, karena semua umat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan melihat Nabi di akhirat, baik yang pernah melihatnya di dunia ataupaun yang tidak melihatnya di dunia Ketiga : Ia akan melihat Nabi di akhirat dengan penglihatan yang khusus yaitu dekat dengan Nabi dan akan memperoleh syafa’atnya” (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 15/26).
SUNNI: “Imam Nawawi tidak mengutip semua pendapat tentang maksud hadits tersebut. Para ulama lain, masih banyak yang berpendapat bolehnya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga, seperti al-Imam al-Ghazali dalam al-Munqidz mina al-Dhalal, Ibnul-‘Arabiy dalam Qanun al-Ta’wil, Ibnu Abi Jamrah dalam Bahjatun-Nufus, Ibnul-Haj al-‘Abdari al-Maliki dalam al-Madkhal, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi. Di sisi lain, Imam Nawawi tidak menafikan pendapat lain yang tidak dikutipnya. Karena itu, beliau mengakhiri komentarnya dengan berkata, “wallahu a’lam”. Tetapi Anda sepertinya kurang faham ya akhi Firanda – hadaakallaah.”

Wallahu a’lam.

Wassalam

Ustadz Muhammad Idrus Ramli

0 komentar:

Post a Comment

 
Top