MELURUSKAN DUSTA WAHABI (FIRANDA) DALAM ARTIKEL “HARAMNYA NGALAP BAROKAH YANG TIDAK SYAR’I - http://www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/509-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-9-haramnya-nagalap-barokah-yang-tidak-syar-i”
Ustadz Firanda Andirja (Salafi-Wahabi), menulis artikel di webnya berjudul “Haramnya Ngalap Barokah Yang Tidak Syar’i”. Seperti kebiasaannya, Firanda selalu menisbatkan amaliah umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang berbeda dengan Wahabi, kepada ajaran Syiah Rofidhoh ala Khumaini. Padahal dalam masalah tersebut, kesesatan dan kesalahan terletak pada ajaran Wahabi sendiri, bukan pada aliran Syiah yang dihujatnya. Meskipun menurut kami, Syiah Rofidhoh lebih buruk dan lebih sesat dari pada Wahabi. Oleh karena itu, tulisan tersebut perlu diluruskan, agar tidak menyesatkan banyak orang. Berikut dialognya!
WAHABI: “Fenomena yang sangat menyedihkan adanya sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyyah berbondong-bondong untuk mengambili pasir yang ada di kuburan seseorang yang mereka anggap wali !!, bahkan sampai-sampai kuburan tersebut dikhawatirkan ‘ambles’ karena kehabisan pasir !!”
SUNNI: “Mengapa Anda bersedih dengan hal itu? Apakah ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa bertabaruk dengan tanah makam wali hukumnya haram dan syirik? Dan apakah umat Islam Syafi’iyah tidak boleh mengikuti madzhab lain sesama Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Pertanyaan ini seharusnya Anda jawab dan Anda kemukakan dalam permulaan dan prolog artikel Anda, baru kemudian Anda sampaikan kesedihan dan keprihatinan Anda. Jangan-jangan kesedihan Anda, hanya karena Anda wahabi, laisa illa, dan Anda juga tidak tahu hukum tabaruk menurut umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.”
WAHABI: “fenomena ngalap barokah dengan mengambili pasir dari kuburan atau mengusap-nugsap benda-benda tertentu ternyata merupakan pola beragama kaum syi’ah rofidhoh, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Al-Khumaini.”
SUNNI: “Pernyataan Anda berangkat dari ketidaktahuan Anda saja. Anda selalu menisbatkan amaliah umat Islam yang berlawanan dengan Wahabi, kepada ajaran Syiah Rofidhoh ala Khumaini. Pernyataan Anda pasti menyenangkan orang Syiah, karena Syiah akan merasa banyak umatnya. Umat Islam nahdhiyyin bukan murid Khumaini wahai Wahabi. Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:
حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).
“Hukum membawa tanah makam untuk tabaruk.WAHABI: “tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi’in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??”
Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).
SUNNI: “Pertanyaan Anda sungguh keliru. Anda harusnya menyampaikan dalil al-Qur’an, hadits, atsar dan pernyataan para ulama yang melarang tabaruk dengan tanah kuburan wali. Ternyata Anda tidak melakukannya. Anda justru bertanya kepada lawan bicara Anda. Justru kalau kami bertanya balik, bisakah Anda menjawab wahai Wahabi? Mana dalil al-Qur’an, hadits, atsar shahabat dan salaf yang mengharamkan dan mensyirikkan tabaruk dengan tanam makam wali???? Jelas tidak ada. Anda pasti tidak bisa menjawab, kecuali dengan atsar dari Syaikh Ibnu Taimiyah al-Harrani, kalau ada. Adapun kami, pasti bisa menjawab pertanyaan Anda. Berikut dasar-dasar umat Islam bertabaruk dengan tanah kuburan para auliya dan orang shaleh:
1) Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” HR Bukhari dan Muslim.Dalam mengoemntari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:
وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ، ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَمْسَحُ بِهِ عَلَى الْجُرْحِ، وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ لِمَا فِيهِ مِنْ بَرَكَةِ ذِكْرِ اسْمِ اللهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، … وَهَلِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” تُرْبَةُ أَرْضِنَا ” جَمِيعُ الْأَرْضِ أَوْ أَرْضُ الْمَدِينَةِ خَاصَّةً؟ فِيهِ قَوْلَانِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ مِنَ التُّرْبَةِ مَا تَكُونُ فِيهِ خَاصِّيَّةٌ يَنْفَعُ بِخَاصِّيَّتِهِ مِنْ أَدْوَاءٍ كَثِيرَةٍ، … وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي هَذِهِ التُّرْبَاتِ، فَمَا الظَّنُّ بِأَطْيَبِ تُرْبَةٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَأَبْرَكِهَا، وَقَدْ خَالَطَتْ رِيقَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَارَنَتْ رُقْيَتَهُ بِاسْمِ رَبِّهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، (ابن قيم الجوزية، زاد المعاد، 4/187).
“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada jari telunjuknya, lalu meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu beliau usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat berkah Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya… Apakah yang dimaksud dengan tanah bumi kam, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah Madinah? Dalam hal ini ada dua pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat bagi banyak penyakit… apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana dengan tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan telah bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ruqyah beliau bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak ada-apa dan syar’i. Bukankah begitu wahai kawan??
2) Hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu
عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيْ صَالِحٍ قَالَ: أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلاً وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلىَ الْقَبْرِ فَقَالَ أَتَدْرِيْ مَا تَصْنَعُ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذًا هُوَ أَبُوْ أَيُّوْبَ فَقَالَ نَعَمْ جِئْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ آَتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ لاَ تَبْكُوْا عَلىَ الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ وَلَكِنْ اِبْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ. (َروَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ أَبِيْ خَيْثَمَةَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَالذَّهَبِيُّ والسُّيُوْطِيُّ).
“Dawud bin Abi Shalih berkata: “Pada suatu hari Marwan datang, lalu menemukan seorang laki-laki menaruh wajahnya di atas makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Marwan berkata: “Tahukan kamu, apa yang kamu perbuat?” Lalu laki-laki tersebut menghadapnya, ternyata ia sahabat Abu Ayyub. Lalu ia menjawab: “Ya, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan mendatangi batu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama apabila diurus oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama apabila diurus oleh bukan ahlinya.”Dalam hadits di atas, sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bertabaruk dengan mencium makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3) Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ يَدَهُ الْيَمِينَ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَسْتَدْبِرُ الْقِبْلَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. (رَوَاهُ الْقَاضِيْ فِيْ فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ).
“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua raka’at di Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”. (Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi, Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)4) Muhammad bin al-Munkadir, ulama terkemuka generasi tabi’in meletakkan pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tidak bisa berkata-kata. Al-Hafizh Ibnu Asakir dan al-Dzahabi meriwayatkan:
عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ يَعْقُوْبَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنِ الْمُنْكَدِرِ يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِهِ قَالَ فَكاَنَ يُصِيْبُهُ صُمَاتٌ فَكَان يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلىَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يَرْجِعُ فَعُوْتِبَ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّهُ يُصِيْبُنِيْ خَطْرَةٌ فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ اِسْتَغَثْتُ بِقَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِيْ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِدِ فِي السَّحَرِ يَتَمَرَّغُ فِيْهِ وَيَضْطَجِعُ فَقِيْلَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ هَذَا الْمَوْضِعِ أُرَاهُ قَالَ فِي النَّوْمِ.
“Ismail bin Ya’qub al-Taimi berkata: “Muhammad bin al-Munkadir duduk bersama murid-muridnya. Lalu ia tidak bisa berbicara. Lalu ia berdiri, sehingga menaruh pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia kembali. Lalu ia ditegur karena perbuatannya itu. Ia berkata: “Aku terkena penyakit yang berbahaya. Apabila aku rasakan hal itu, aku beristighatsah dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Ia sering mendatangi suatu tempat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu sahur, berguling-guling dan tidur miring di situ. Lalu ditanya tentang hal tersebut. Ia menjawab: “Aku pernah melihat Rasulullah di tempat ini.” Aku mengira, ia melihatnya dalam mimpi”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (56/50-51) dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ (5/358-359).5) Al-Husain bin Abdullah bin Abdullah bin al-Husain, tokoh ahlul-bait dari generasi Salaf. Al-Hafizh al-Sakhawi al-Syafi’i meriwayatkan:
قَالَ يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ جَعْفَرٍ فِيْ كِتَابِهِ أَخْبَارِ الْمَدِيْنَةِ وَلَمْ أَرَ فِيْنَا رَجُلاً أَفْضَلَ مِنْهُ، كَانَ إِذَا اشْتَكَى شَيْئاً مِنْ جَسَدِهِ: كَشَفَ الْحَصَى عَنِ الْحَجَرِ الَّذِيْ كَانَ بِبَيْتِ فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءِ يُلاَصِقُ جِدَارَ الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ، فَيَمْسَحُ بِهِ.
“Yahya bin al-Hasan bin Ja’far berkata dalam kitabnya Akhbar al-Madinah: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari al-Husain bin Abdullah di antara kami ahlul-bait. Kebiasaannya, apabila ia merasakan sakit pada sebagian tubuhnya, ia membuka kerikil dari batu yang di rumah Fathimah al-Zahra yang menempel ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Lalu ia mengusapkannya.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Tuhfah al-Lathifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah (1/292).6) Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang diakui oleh Salafi-Wahabi sebagai madzhab mereka dan madzhab Ibnu Taimiyah, telah berfatwa bolehnya bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada Allah. Abdullah, putra al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:
سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ
“Aku bertanya kepada ayahku tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya, dan ia melakukan hal yang sama ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang sesamanya, ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa”. (Abdullah bin al-Imam Ahmad, al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (2/492).7) Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, bertabaruk dengan menyentuh makam al-Imam Ahmad bin Hanbal, ketika tangannya terkena penyakit bisul yang lama tidak dapat sembuh.
WAHABI: “Fenomena ngalap berkah dengan cara yang salah dan tidak disyari’atkan telah diperingatkan oleh para ulama madzhab syafi’iyah sejak zaman dahulu. (Silahkan tela’ah kitab جُهُوْدُ الشَّافِعِيَّةِ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الْعِبَادَةِ karya DR Abdullah bin Abdil ‘Aziz Al-’Anqori, hal 581-595)”
SUNNI: “Sayang sekali, Anda wahai Wahabi tidak menyuruh pembaca merujuk kepada kitab-kitab Syafi’iyah. Tetapi Anda justru menyuruh kami merujuk kepada kitab Wahabi yang Anda sampaikan di atas. Kami tidak perlu merujuk kitab Wahabi tersebut. Cukuplah kitab-kitab ahli hadits dan ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti di atas yang menjadi rujukan kami.”
Setelah keterangan di atas, Firanda Andirja mengutip pernyataan para ulama Syafi’iyah seperti al-Imam al-Baihaqi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibdu Daqiqil-‘Id dan al-Hafizh Ibnu Hajar, seakan-akan mereka anti tabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para auliya’. Firanda sepertinya hanya copas dari kitab Wahabi yang ditunjukkannya di atas. Ia sepertinya tidak pernah membaca sampai tamat kitab-kitab Syafi’iyah yang dijadikannya rujukan dalam tulisan artikelnya. Seandainya Firanda membaca kitab-kitab Syafi’iyah yang ditunjukkannya sampai tamat, ia akan tahu, bahwa para ulama Syafi’iyah tersebut justru menganjurkan tabaruk dengan peninggalan orang shaleh dalam banyak tempat dalam kitab tersebut. Misalnya al-Imam al-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim berkata:
فيه التبرك بآثار الصالحين واستعمال فضل طهورهم وطعامهم وشرابهم ولباسهم
“Hadits tersebut mengandung anjuran bertabaruk dengan peningggalan orang shaleh, memakai sisa air suci mereka, makanan, minuman dan pakaian mereka.” (Al-Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 4 hal. 219).Pernyataan seperti di atas tidak pernah terbaca oleh Ustadz Firanda. Padahal al-Imam al-Nawawi menganjurkan tabaruk, dalam kitab tersebut dalam 15 tempat lebih, berdasarkan hadits-hadits shahih. Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bariy banyak menganjurkan tabaruk dengan atsar orang shaleh, tetapi Firanda tidak pernah membacanya. Wallahul-musta’an.
WAHABI: “Pengingkaran Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap orang-orang yang bertabarruk dengan songkok Al-Imam Malik. … Akhirnya Imam al-Syafi’i menulis bantahan terhadap Imam Malik, gurunya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi Manaaqib Asy-Syaafi’i 1/508-509)”.
SUNNI: “Menurut hemat kami, riwayat di atas tidak bisa dijadikan dasar bahwa al-Imam al-Syafi’i melarang bertabaruk dengan atsar orang shaleh seperti al-Imam Malik. Kalau Firanda mau jujur, al-Imam al-Syafi’i menulis bantahan terhadap Imam Malik, gurunya, karena dua hal. 1) penduduk Andalusia terlalu fanatik kepada Imam Malik sampai-sampai menjadikan songkok beliau sebagai sarana tabaruk. 2) karena fanatiknya mereka selalu menolak hadits-hadits shahih ketika berbeda dengan pendapat Imam Malik. Perlu dicamkan, sikap Imam al-Syafi’i tersebut karena dua hal, bukan murni karena tabaruk dengan songkok. Mengapa demikian? Riwayat yang Anda kutip jelas sekali. Disamping itu Imam al-Syafi’i sendiri ternyata bertabaruk dengan air rendaman baju muridnya, al-Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Imam al-Syafi’i meminta muridnya, al-Rabi’ agar merendam baju tersebut, lalu airnya beliau usapkan ke wajahnya dengan tujuan tabaruk. Padahal sudah dimaklumi, al-Qur’an dan Hadits tidak pernah menegaskan keberkahan baju al-Imam Ahmad bin Hanbal. (Riwayat al-Hafizh Ibnu Asakir [Tarikh Madinah Dimasyq, V/311], al-Hafizh Ibnu al-Jauzi [Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, 610], al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Mihnah al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Tajuddin al-Subki, [Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, II/35]).
Kemudian Ustadz Firanda Andirja menulis judul “Pengingkaran para ulama Syafi’iyah atas orang-orang yang mengusap Maqom Ibrahim karena ngalap berkah” dan mengutip pernyataan banyak ulama Syafi’iyah yang melarang mengusap maqom Ibrahim. Semuanya tidak berkaitan dengan hukum tabaruk dengan tanah makam para wali yang diinginkan Firanda. Dan cukup bagi kami, bahwa banya para ulama Hanabilah sendiri, (madzhab Hanbali, adalah madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam banyak fatwanya), membolehkan bertabaruk dengan menyentuh dan mencium makam orang shaleh, seperti ditegaskan oleh al-Imam Ibrahim al-Harbi (murid Imam Ahmad bin Hanbal), Syaikh Mar’iy bin Yusuf al-Karomi dalam Ghayatul Muntaha, al-Mirdawi dalam al-Inshaf, dan lain-lain. Sebelumnya telah kami kutip, Imam Ahmad membolehkan bertabaruk dengan mencium makam dan mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah begitu wahai kawan??? Wallahu a’lam.
Wassalam
Ustadz Muhammad Idrus Ramli
0 komentar:
Post a Comment