WAHABI: “Mengapa kalau orang meninggal dunia, kalian berkumpul sambil minum dan makan-makan di rumah keluarga duka cita?”
SUNNI: “Memangnya kenapa?”
WAHABI: “Itu bid’ah, haram”.
SUNNI: “Apakah ada dasar al-Qur’an dan hadits yang tegas membid’ahkan dan mengharamkannya? Terus siapa yang berfatwa bid’ah dan haram?”
WAHABI: “Tidak ada sih. Tapi Syaikh Ibnu Utsaimin berfatwa begitu.”
SUNNI: “Owh, jadi tidak ada dasar al-Qur’an dan hadits yang menegaskannya. Tapi Anda mengikuti fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin. Lalu bagaimana pendapat Anda tentang fatwa Syaikh Ibnu Baz yang membolehkan orang-orang yang berta’ziyah berkumpul di rumah keluarga duka cita sambil minum-minum???”
WAHABI: “Ah, mana mungkin Syaikh Ibnu Baz berfatwa begitu?”
SUNNI: “Ini, saya bukakan perkataan Syaikh Ibnu Baz, dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371, ia berkata:
حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه
س: هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟
ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم.
“Hukum menghadiri majliz ta’ziyah dan duduk-duduk di sana.Nah jelas kan, Syaikh Ibnu Baz membolehkan hidangan seperti dalam acara Tahlilan???
Soal: Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah (tahlilan) dan duduk-duduk bersama mereka?
Jawab: Apabila seorang Muslim menghadiri majliz ta’ziyah dan menghibur keluarga mayit maka hal itu disunnahkan, karena dapat menghibur dan memotivasi kesabaran kepada mereka. Apabila minum secangkir kopi, teh atau memakai minyak wangi (pemberian keluarga mayit), maka hukumnya tidak apa-apa, sebagaimana kebiasaan masyarakat terhadap para pengunjungnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371).
WAHABI: “Tapi Syaikh Ibnu Baz hanya membolehkan secangkir kopi, teh atau memakai parfum suguhan keluarga. Kalau dalam acara Tahlilan, malah makan nasi.?”
SUNNI: “Kamu perhatikan, Ibnu Baz membolehkan secangkir kopi, teh dan parfum, karena alasan tradisi. Di sini tradisinya, memang makan nasi. Jadi beda donk.”
WAHABI: “Tapi acara hidangan kematian kalau menurut jamaah kamu, bukan hanya tiga hari pasca kematian. Bahkan masih ada 40 hari, 100 hari dan seterusnya. Itu jelas bid’ah dan haram?”
SUNNI: “Loh, acara 40 hari, 100 hari dan seterusnya bid’ah dan haram?? Siapa yang memfatwakan?”
WAHABI: “Seorang yang sangat alim, Syaikh Ibnu Utsaimin.”
SUNNI: “Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang mengharamkan dan membid’ahkan itu tidak benar. Fatwa tersebut bertentangan dengan fatwa resmi mufti ‘aam Saudi Arabia, Syaikh Ibnu Baz. Yang benar adalah fatwa Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Jibrin dan al-Fauzan yang membolehkan. Syaikh Ibnu Baz berkata dalam fatwa resminya:
عشاء الوالدين
س: الأخ أ. م. ع. من الرياض يقول في سؤاله: نسمع كثيرا عن عشاء الوالدين أو أحدهما، وله طرق متعددة، فبعض الناس يعمل عشاء خاصة في رمضان ويدعو له بعض العمال والفقراء، وبعضهم يخرجه للذين يفطرون في المسجد، وبعضهم يذبح ذبيحة ويوزعها على بعض الفقراء وعلى بعض جيرانه، فإذا كان هذا العشاء جائزا فما هي الصفة المناسبة له؟
ج: الصدقة للوالدين أو غيرهما من الأقارب مشروعة؛ لقول «النبي صلى الله عليه وسلم: لما سأله سائل قائلا: هل بقي من بر أبوي شيء أبرهما به بعد موتهما؟ قال نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما » ولقوله صلى الله عليه وسلم: «إن من أبر البر أن يصل الرجل أهل ود أبيه » «وقوله صلى الله عليه وسلم لما سأله سائل قائلا: إن أمي ماتت ولم توص أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال النبي صلى الله عليه وسلم نعم » ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له » . وهذه الصدقة لا مشاحة في تسميتها بعشاء الوالدين، أو صدقة الوالدين سواء كانت في رمضان أو غيرهما
“HUKUM KENDURI UNTUK KEDUA ORANG TUADalam fatwa di atas, jelas sekali Syaikh Ibnu Baz membolehkan dan menganjurkan tradisi ‘asya’ al-walidain (kenduri untuk kedua orang tua, setelah meninggalnya dapat 1 bulan atau lebih), karena dalil-dalilnya sangat kuat dari hadits-hadits shahih di atas.”
Soal: Sda AMA, Riyadh. Kami banyak mendengar tentang kenduri untuk kedua orang tua atau salah satunya. Dan banyak caranya. Sebagian masyarakat mengadakan kenduri khusus pada bulan Ramadhan dengan mengudang sebagian pekerja dan fakir miskin. Sebagian lagi mengeluarkannya bagi mereka yang berbuka puasa di Masjid. Sebagian lagi menyembelih hewan dan membagikannya kepada sebagian fakir miskin dan tetangga. Apakah kenduri ini boleh? Lalu bagaimana cara yang wajar?
Jawab: “Sedekah untuk kedua orang tua, atau kerabat lainnya memang dianjurkan syara’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika seseorang bertanya: “Apakah aku masih bisa berbakti kepada kedua orang tua setelah mereka wafat?” “Iya, menshalati jenazahnya, memohonkan ampunan, menepati janjinya, memuliakan teman mereka, menyambung tali kerabatan yang hanya tersambung melalui mereka.” Dan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Termasuk kebaktian yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan mereka yang dicintai ayahnya.” Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketiak seseorang bertanya: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan tidak berwasiat. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Iya”. Dan karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, sedekah yang mengalir, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang mendoakannya.” Sedekah semacam ini, tidak menjadi soal dinamakan kenduri kedua orang tua atau sedekah kedua orang tua, baik dilakukan pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 253-254).
WAHABI: “Tapi Syaikh Ibnu Baz kan membid’ahkan kenduri yang ditentukan harinya seperti dengan 40, 100 atau 1000 hari. Jadi fatwa Syaikh Ibnu Baz tidak nyambung dengan kaum antum.”
SUNNI: “Begini, ketika Syaikh Ibnu Baz membolehkan kenduri kematian setelah yang meninggal dapat satu bulan atau lebih, maka itu fatwa yang benar, karenanya tidak menjadi persoalan. Tetapi ketika Syaikh Ibnu Baz, berfatwa melarang menentukan kenduri dalam waktu hari ke 40, 100 atau lainnya, maka itu fatwa yang tidak benar, tidak ada dalilnya. Karenanya tidak perlu kami perhitungkan. Menentukan amal shaleh dengan hari-hari tertentu, hukumnya jelas boleh dan tidak dilarang berdasarkan hadits shahih berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setiap hari Sabru dengan berjalan kaki dan menaiki kendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya.” (HR al-Bukhari).Berdasarkan hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك
“Hadits ini dengan jalur-jalurnya yang berbeda-beda menjadi dalil bolehnya menentukan sebagian hari-hari dengan sebagian amal shaleh dan melakukannya secara rutin.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul-Bariy juz 3 hal. 69).Oleh karena itu, Syaikhul-Islam Syaikh Nawawi Banten, guru para ulama Nusantara, membolehkan tradisi kenduri 40 hari, 100 hari dan seterusnya. Beliau berkata dalam kitabnya Nihayatuz-Zain sebagai berikut:
والتصدق عن الميت على وجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه سبعة أيام او أكثر او أقل، وتقييد ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان، وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاد شيخنا يوسف السنبلاويني (نهاية الزين 281)
“Bersedekah atas nama mayit dengan cara yang syar’iy adalah dianjurkan, tanpa ada ketentuan harus 7 hari, lebih atau kurang 7 hari. Sedangkan penentuan sedekah pada hari-hari tertentu itu hanya merupakan kebiasaan masyarakat saja, sebagaimana difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga kematian, hari ketujuh, dua puluh, empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh guru kami Syaikh Yusuf al-Sunbulawaini.” (Syaikh Nawawi Banten, Nihayatuz-Zain hal. 281).Wallahu a’lam.
Wassalam
Ustadz Muhammad Idrus Ramli
0 komentar:
Post a Comment