Ayah beliau adalah seorang Ulama Besar, pemuka dalam Thariqat al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir al Jaelani. Guru beliau yang terkenal adalah Syaikh al Quthub, Mulana Umar, seorang wali Allah yang tinggal di Irbil, Irak. Guru beliau inilah yang banyak menggembleng beliau dengan ilmu-ilmu syari’at dan thariqat, sehingga membuat beliau memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir dan batin.
Syaikh Amin al Kurdi adalah seorang pelajar yang gigih, di mana masa mudanya dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu agama dari guru-guru besar yang masyhur pada zaman beliau. Setelah menamatkan pelajaran di Irbil beliau memulai perjalanan spiritual mengunjungi orang-orang shalih dan makam orang-orang shalih. Kemudian dengan bekal tawakkal kepada Allah dan doa dari para guru, beliau memulai perjalanan ke Hijaz dengan menumpang kapal laut dari kota Basrah, Irak. Beliau tinggal di Mekkah belajar dari guru-guru terkemuka di Mekkah dan tenggelam dalam berbagai amal sholih. Pada tahun 1300 H. beliau berangkat ke Madinah dan menetap di sana, belajar dan menempa rohani di Baqi’ dan jabal Uhud.
Pada akhir usia beliau, beliau pindah ke Mesir karena didorong rasa rindu dan cinta kepada para Ahlul Bait Rasulullah SAW., yang saat itu sangat banyak menetap di Mesir, ketimbang di Mekkah dan Madinah sendiri. Saat menetap di Mesir inilah beliau meneguk habis pelajaran-pelajaran berharga dari kitab fiqih as Syafi’i dan kitab-kitab hadis yang utama. Tercatat guru beliau dalam fiqih adalah: Syaikh Asymuni dan Syaikh Musthafa ‘Izz as Syafi’i, dua orang ulama Universitas Al- Azhar paling terkemuka di zaman itu di Mesir. Dalam ilmu hadis beliau belajar dari Syaikh Samin al Bisyri, serta para Masyaikh di al Azhar dengan menamatkan kitab Shohih Bukhari dan Muslim, Musnad as Syafii, al Muatha’ Imam Maliki, serta Tafsir Baidhawi.
Beliau diangkat sebagai Syaikh Besar pada thariqat al Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir. Kemasyhuran beliau menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi. Dan, beliau wafat pada tahun 1332 H. dan dimakamkan di sebelah makam dua Imam besar dunia, Imam Jalaluddin al Mahali dan Imam Tajuddin as Subki.
Isi Kitab dan Pandangan Penulis
Kitab Tanwirul Qulub dibagi atas tiga bagian besar. Pertama, bagian Aqidah Biddiniyyah terdiri atas 3 bab. Kedua, bagian Fiqih terdiri atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal. Dan ketiga, bagian Tasawwuf dibagi atas 22 pasal.
Pada pembahasan akidah dengan terang-terangan beliau mengatakan bahwa pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jama’ah al Asy’ariyah dan Maturidiyah saja dengan menyertakan dalil-dalil aqli dan naqli serta menolak suybhat yang dimunculkan oleh ajaran sesat di luar Ahlussunah (halaman 66).
Beliau mengatakan bahwa Allah memiliki 20 sifat yang wajib atas Allah antara lain: Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu Lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashr, Kalam, Qadirun, Muridun Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakalimun.
Dan 20 sifat yang Mustahil atas Allah antara lain: Adam, Huduts, Fana’, Mumatsalutuhu Lilhawadits, Qiyamuhu Bighayrih, Ta’addud, Ajz, Karahah, Jahil, Maut, Saman, Umy, Bukm, Kaunuhu Ajizan, Kaunuhu Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu Mayyitan, Kaunuhu Asam, Kaunuhu A’ma, Kaunuhu Abkam
Adapun sifat Jaiz yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya. Dalil atas sifat ini adalah surat Al Qashash ayat: 68 “dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.”
Dalam bab Fiqih beliau menjelaskan dalam kitabnya secara lengkap pada hampir seluruh permasalah fiqih Imam Syafii. Meskipun pembahasannya tidak dilakukan secara panjang lebar namun mencukupi untuk bekal para pelajar pesantren memahami ilmu fiqih dalam mazhab Syafii, karena di samping cukup lengkap dalam berbagai permasalahan yang diperlukan, juga disertai dengan dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis nabi. Dibandingkan dengan kitab-kitab sejenisnya, misalnya kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin, kitab Tanwirul Qulub ini memiliki keunggulan tersendiri. Di mana dalam kitab ini terdapat pembahasan bab Fara’idh (warisan) dengan cukup lumayan luas, yang tidak terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar itu.
Sedangkan dalam pembahasan Tasawwuf, beliau memulainya dengan pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawwuf, yaitu: 1. Taqwa kepada Allah, wara’ dan istiqamah, 2. Mengikuti sunnah nabi perkataan dan perbuatannya, 3. Memalingkan diri dari makhluk, bersabar dan bertawakal kepada Allah, 4. Ridha, dan 5. Taubat dan Syukur kepada Allah.
Sedemikian kokohnya pemahaman beliau atas tiga prinsip dasar akidah, fiqih dan tashawwuf itu, sehingga beliau mengatakan dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat yang hidup di akhir zaman ini untuk bertaqlid kepada Imam-Imam Mujtahid dari faham Ahlussunnah dan Imam madzhab yang Empat saja. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat dalam kehidupan beragama. Sebaliknya, beliau menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan mengucapkan bahwa dia terlepas dari Madzhab yang Empat serta hanya menggali langsung dari kitab al Qur’an dan Sunnah saja, maka orang tersebut tidak akan selamat, dan termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan!
Menurut beliau, hal itu terjadi adalah karena keterbatasan waktu orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya pengaruh rusak akibat lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan tingginya kecintaan pada hal-hal duniawiyah. Di samping tidak tersusun rapinya buku-buku pembahasan masalah agama di luar Madzhab yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang kedalaman ilmu, jelas orang sekarang tertinggal jauh jika dibandingkan dengan ilmu para Imam Madzhab yang Empat. (Lihat Tanwirul Qulub, halaman 65-66, cetakan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut).
Sanjungan dan Kritik
Kitab Tanwir al Qulub ini mendapat sanjungan yang luas dari kalangan ilmuwan di negeri Indonesia. Para ulama pesantren menjadikan kitab ini sebagai ‘kitab wajib’ untuk seluruh pelajar, terutama pesantren di tanah Jawa dan Sumatera. Di negeri Malaysia, kitab ini juga dipakai pada sekolah-sekolah Agama di sana dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Lembaga Bahasa milik Pemerintah Malaysia. Selain dipakai di pesantren, ternyata kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka Hidayah, Bandung dengan judul Manusia Bumi Manusia Langit, Rahasia Menjadi Muslim Sempurna, terbit pada tahun 2010.
Demikian terkenalnya kitab ini di Indonesia, sehingga telah beredar tidak kurang dalam enam edisi cetakan dengan penerbit yang berbeda, meskipun kesemuanya masih dalam bahasa Arab, antara lain: Terbitan Maktabah Keluarga Semarang, Terbitan Surabaya, Terbitan Darul Kutubi al Arabiyah, Indonesia, Terbitan Darul Fikri, Mesir, Terbitan Maktabul Taufiqiyyah, dan terbitan Darul Kutubi al Ilmiyah, Beirut, Libanon, yang dilengkapi dengan catatan pinggir oleh Muhammad Riyadl. Sayangnya, edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia hanya ada satu saja, dan itupun tidak dilengkapi dengan teks ayat-ayat al Qur’an dan hadis-hadis yang semestinya ada di dalamnya. Dengan keterbatasan ini, orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab sangat sulit untuk menikmati apalagi memahamkan, dan meyakini kitab penting ini.
Salah satu penyebab kitab ini masyhur dan tersebar di Indonesia adalah isi kandungannya yang bersesuaian dengan faham yang dianut oleh hampir seratus persen rakyat Indonesia. Dalam akidah misalnya, sudah dimaklumi bahwa faham masyarakat luas adalah faham Ahlussunnah Wal Jama’ah al Asy’ari, sedangkan dalam fikih juga dimaklumi bahwa hampir seratus persen bangsa Indonesia bermadzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam bidang tashawwuf, mayoritas penganut tashawwuf di negeri ini adalah penganut thariqat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Dan kalaupun mungkin ada orang tidak menganutnya, paling tidak masyarakat luas sudah menerima dan tidak menolak keberadaan aliran thariqat yang sudah dianggap mu’tabarah, dalam hal ini tentu termasuk ajaran tariqat an Naqsyabandiyah ini.
Kritik dan Kecaman
Secara umum kritik bahkan kecaman sudah sering dialamatkan kepada para penganut aqidah al Asy’ariyah dan khususnya para penganut ajaran thariqat. Sebut misalnya kitab Manhaj al Imam asy-Syafii fi Itsbati al Aqidah oleh Doktor Muhammad bin Abdul Wahab al Aqil, terbitan Maktabah Abwa asy Salaf, Riyadl, tahun 1998 M. Dalam edisi bahasa Indonesia, kitab ini diberi judul Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i, penterjemah Nabhani Idris dan Saefuddin Zuhri, terbitan Pustaka Imam Syafi’i, tahun 2002.
Keberadaan kitab itu cukup menghebohkan para ulama Indonesia, bahkan juga masyarakat awam karena isinya dianggap sebagai pemelintiran terhadap Akidah Imam asy-Syafi’i yang dikenal murni pengikut generasi awal Salaf as Shalih, menjadi Akidah Salaf ajaran Ibnu Taimiyyah. Kini, beberapa ulama di Indonesia mulai membahas keberadaan kitab ini, bahkan beberapa di antaranya telah mulai menulis kitab sanggahan, antara lain, Syahamah Jakarta dan LBM Nadhatul Ulama Jember.
Kritik terhadap ajaran thariqat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini pun sudah sangat gencar dilakukan, terutama oleh para pengikut Mazhab Salafi Indonesia antara lain: Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya “Belitan Iblis”, dan buku “Kesesatan Tahlilan dan Yasinan”. Juga Rapot Merah Aa Gym, MQ Dalam Penjara Tasawwuf, oleh Abdurrahman Al Mukaffi, (buku ini sudah penulis jawab dalam buku yang berjudul Salah Faham Penyakit Umat Islam Masa Kini). Dari luar negeri adalagi kitab terjemahan yang berjudul “Darah Hitam Tasawwuf” oleh Dr. Ilahi Dhohir.
Namun secara spesifik, kritik terhadap kitab Tanwir al Qulub baru sekali dilontarkan oleh seorang ulama Timur Tengah bernama Muhammad Riyadl. Kitab tersebut berjudul Tanwir al Qulub fi Muamalati Allam al Ghuyub, terbitan Darul Kutub al Ilmiyah, Beirut Lebanon, cetakan pertama tahun 1955 M. Di dalam kitabnya yang tebalnya mencapai 621 halaman ini, Muhammad Riyadl membantah, bahkan menyatakan sesat beberapa masalah yang telah dibahas oleh Syaikh Muhammad Amin al Kurdi. Kritikan terbanyak dilontarkan terutama dalam pembahasan Aqidah (ushuluddin) dan Thariqat Naqsyabandi.
Salah satu kritikan Muhammad Riyadl yang agak keras adalah masalah sifat Wujud Allah, di mana beliau mengatakan wajib meyakini wujud Allah secara dhahiriyah apa yang tertulis pada ayat al Qur’an dengan menolak takwil. Sehingga jika ditanyakan di mana Allah, maka wajib menjawab Allah ada di seluruh tempat, tetapi keberadaan Allah di seluruh tempat itu adalah dengan Ilmu-Nya bukan dengan Dzat-Nya. Kemudian beliau mengatakan lagi, bahwa wajib meyakini Allah itu dengan Dzat-Nya bertempat di langit-Nya, di atas Arasy-Nya, di atas segala yang paling tinggi sesuai dengan Keperkasaan dan Keagungan-Nya! Sebagai penyokong pendapatnya ini dikemukakannya dalil “Dialah Tuhan yang di langit” (QS. Ah Zukhruf: 84) dan firman Allah: “Tuhan yang Ar Rahman duduk di atas Arasy” (QS. Thaha ayat: 5). (Lihat halaman 30)
Hal tersebut bertolak belakang dengan pemahaman Syaikh Amin al Kurdi yang meyakini Allah itu ada tanpa memerlukan tempat, tanpa memerlukan waktu, dan tidak memiliki pencipta, senada dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah yang meyakini Allah maujud bi la makan, wa la zaman, (Allah ada tanpa tempat dan Allah ada tanpa waktu). Imam Hanafi, seorang Imam dari generasi Salaf as Shalih mengatakan dalam kitabnya al Washiyyah, :“Penduduk surga melihat Allah dengan pasti tanpa mensifati-Nya dengan sifat benda, tidak menyerupai makhluknya dan tanpa berada di satu arah pun ” (tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di bumi dan tidak di langit-pen)”. Sementara, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Allah itu ada sebelum adanya tempat, dan sekarang,(setelah menciptakan tempat) Allah tetap seperti semula,yakni ada tanpa tempat” (lihat kitab al Farq baina al Firaq halaman 333).
Penulis mencoba meneliti ayat al Qur’an yang dikemukakan oleh Muhammad Riyadl, ternyata ayat itu dipotong sedemikian rupa, sehingga tidak sempurna lagi wujud dan maksudnya. Seharusnya ayat tersebut berbunyi, “Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi, dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.( al Qur’an surat al Zukhruf 84). Sebagai catatan, kata ‘yang disembah di dalam kurung’ adalah makna takwil yang dilakukan mufassir ahli sunnah. Sayangnya, secara sengaja beliau memotong ayat itu sampai kepada bunyi “Tuhan di langit saja”, lengkapnya “Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit” dengan menghilangkan sambungan berikutnya dari ayat ini yang lengkapnya ada sambungan,“Dan Tuhan (yang disembah) di bumi.” Dalam kaidah ilmiah, perbuatan menggunting dan memotong dalil agar sesuai selera, dan dapat dipergunakan untuk membela faham sendiri, adalah perbuatan tercela yang pada ujungnya akan merugikan diri sendiri. Bagaimana pun para pembaca yang kritis akan mengetahui juga perbuatan itu setelah meneliti dalil-dalil yang dikemukakan dengan merujuk kepada sumber dalilnya yang asli.
Wallahu a’lam bishowab
0 komentar:
Post a Comment