kisah mualaf
Bagi Myriam Francois Cerrah, Alquran adalah puncak perenungan filosofisnya. Alquran pula yang kemudian mengantarkannya pada Islam.

Myriam Francois Cerrah Mahasiswa pascasarjana Oxford University bidang Politik Timur Tengah ini memeluk Islam pada tahun 2003 saat berusia 21. Padahal, sarjana filsafat lulusan Universitas Cambridge ini mulai membuka Alquran dengan "marah".

Ia berdiskusi soal Tuhan dengan teman kuliahnya. Sang teman, menggunakan dalil ketuhanan sesuai apa yang disebutkan dalam konsep Islam.

"Saya mempelajarinya sebagai bagian dari upaya untuk membuktikan pendapat teman saya yang seorang Muslim itu salah," ujarnya.

Kemudian ia mulai membaca dengan pikiran yang lebih terbuka. Pembukaan Al Fatihah, dengan alamat untuk seluruh umat manusia, mencengangkannya.

"Dalam Islam, seluruh tindakan manusia, dia sendiri yang akan menanggung konsekuensinya. Itulah pentingnya dia mengambil jalan lurus, jalan Tuhan," katanya.

Dalam dunia yang diatur oleh relativisme, katanya, maka hanya ada dua panduan: moral objektif dan landasan moralitas.

"Sebagai seseorang yang selalu memiliki minat dalam filsafat, Alquran terasa seperti puncak dari semua renungan filosofis saya. Hal ini dikombinasikan Kant, Hume, Sartre dan Aristoteles. Entah bagaimana berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis mendalam yang diajukan selama berabad-abad tentang eksistensi manusia dan menjawab satu yang paling mendasar, "mengapa kita di sini?" katanya.

Tentang Nabi Muhammad, Cerrah mengenalinya sebagai seorang pria yang ditugaskan dengan misi penting, seperti para pendahulunya, Musa, Isa, dan Ibrahim.

Makin lama ia belajar Alquran, makin besar keinginannya untuk menganut agama Islam. Tujuan semula, mendebat argumentasi temannya, berubah menjadi pengakuan, "Kamu benar tentang agamamu!"

Tak mau buang waktu, ia segera bersyahadat. "Beberapa teman dekat saya melakukan yang terbaik untuk mendukung saya dan memahami keputusan saya. Saya tetap sangat dekat dengan beberapa teman masa kecil saya dan melalui mereka saya mengakui universalitas pesan Ilahi, bahwa nilai-nilai Tuhan bersinar melalui perbuatan baik manusia, Muslim maupun bukan," katanya.

Ia menyatakan, konversi keimanannya bukan sebagai 'reaksi' terhadap, atau oposisi terhadap budaya Barat. "Sebaliknya, itu merupakan validasi dari apa yang selalu saya pikirkan," ujarnya, seraya mengkritik beberapa masjid di Inggris yang menutup pintu dialog tentang ketuhanan dan terlalu dogmatis.

"Catat: aturan dan protokol mereka banyak yang membingungkan dan malah bikin stres."

Aku tidak segera mengidentifikasi dengan komunitas Muslim. Saya menemukan banyak hal aneh dan banyak sikap membingungkan. Perhatian yang diberikan kepada luar atas ke dalam terus masalah saya sangat.

Menurutnya, adalah tugas Muslim untuk membuat Islam tampil tidak sebagai agama yang asing. Dan kini, ia menjadi bagian untuk turut mengemban tugas itu.

"Menjadi Muslim, tidak berarti kita kehilangan semua jejak diri kita sendiri. Islam adalah validasi yang baik dalam diri kita dan sarana untuk memperbaiki yang buruk," katanya. 

0 komentar:

Post a Comment

 
Top