fiqih
ZAKAT FITRAH

Zakat adalah salah Satu dari lima hal yang merupakan A'zhamumur al Islam (lima perkara yang paling agung dalam Islam) yang disebut dalam hadits Jibril 'alayhissalam ketika beliau mendatangi Nabi dan bertanya (dengan tujuan memberi pelajaran bagi para sahabat) mengenai Iman, Islam dan Ihsan. Karena itu, eksistensi zakat tidak bisa dipisahkan dari bangunan ajaran agama Islam. Zakat adalah hak dalam harta seseorang untuk mereka yang berhak menerimanya (Mustahiqqun) atau sesuatu yang diwajibkan atas jiwa setiap muslim dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Yang pertama dikenal dengan istilah Zakat Mal (harta benda) dan yang kedua adalah Zakat al Fithr. Dalam sebuah hadits yang   diriwayatkan oleh al  Baihaqi dengan sanad yang para rawinya tsiqah (terpercaya) bahwa: "Puasa menggantung antara langit dan bumi selagi belum dibayar zakat al Fithr". Ini tidak berarti bahwa bila tidak dibayar zakat al Fithr maka puasa kita sama sekali tidak diterima, melainkan yang dimaksud adalah bahwa puasa tersebut tidak mendapat pahala dengan derajat yang tinggi (pahala yang sempurna). Untuk lebih jelasnya pembahasan mengenai zakat al-fithr ini, marilah dengan seksama kita simak uraian berikut.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿ وَأَقِيْمُوْاالصَّلاَةَ وَءَاْتُوْا الزَّكَاةَ ﴾ (البقرة : 43)
Maknanya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat" (Q.S. al Baqarah :43)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : "الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ" (رواه مسلم)
Maknanya: "Agama (memerintahkan) nasehat" (H.R. Muslim)
Zakat al Fithr (Fithrah) ialah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang yang wajib ia beri nafaqah (ia tanggung biaya hidupnya), seperti orang tuanya yang fakir, istri dan anaknya yang belum baligh. Zakat al Fithr ini wajib ia keluarkan jika ia mempunyai harta yang lebih dari kebutuhan sandang, papan, makanan pokoknya dan makanan pokok orang-orang yang wajib ia nafkahi pada hari raya dan malamhari raya dan juga ada kelebihan untuk membayar hutangnya. Ukuran makanan pokok yang wajib dikeluarkan zakat fithrahnya adalah 1 sha' atau 4 mudd (sekitar 2 kg). Dalam mengeluarkan zakat ini diwajibkan untuk niat ketika memisahkan kadar zakat yang akan ia keluarkan. Sebagai contoh, ketika ia memisahkan kadar zakat untuk dirinya, dalam hati ia berniat :

" هَذِهِ زَكَاةُ بَدَنِيْ "
"ini zakat badan-ku".
Sedangkan jika seseorang ingin mengeluarkan zakat al Fithr untuk anaknya yang sudah baligh, maka diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu dari si anak tersebut. Jika tidak demikian, maka zakat itu tidak sah karena anak yang sudah baligh -secara hukum fiqh- nafaqah (biaya hidupnya) bukan lagi menjadi kewajiban orang tuanya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kebanyakan orang cenderung mengabaikannya.

Zakat al Fithr ini wajib bagi orang yang mendapati bagian dari bulan Ramadhan dan Syawwal. Oleh karena itu, bayi yang lahir setelah matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan (tidak mendapati bagian dari bulan Ramadhan) atau lahir pada bulan Ramadhan dan mati sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, tidaklah dikeluarkan zakatnya.

Waktu mengeluarkan zakat ini dimulai dari awal Ramadhan (Ta'jil) hingga terbenamnya matahari pada hari raya. Jika dikeluarkan setelah matahari terbenam pada hari raya tanpa udzur, maka hukumnya haram. Sedangkan yang paling utama (Afdlal) adalah dikeluarkan pada pagi hari raya sebelum shalat 'ied (hukumnya sunnah). Apabila dikeluarkan setelah shalat 'Ied, maka hukumnya adalah makruh.

Orang-Orang Yang Berhak Menerima Zakat (al Fithr)

Orang-orang yang berhak menerima zakat al Fithr adalah orang-orang yang juga berhak menerima zakat-zakat yang lain, mereka telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya :

﴿ إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَعَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوْبُهُمْ وَفِيْ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْسَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ...﴾ (سورة التوبة :60)
Maknanya:"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang :

1. Faqir : Orang yang tidak bekerja atau bekerja tetapi hasilnya tidak mencapai separuh dari kebutuhan pokoknya. Seperti orang yang sehari membutuhkan Rp.10.000,-, akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp. 4000,-.

2. Miskin : Orang yang hanya bisa memenuhi separuh saja dari kebutuhan pokoknya. Seperti orang yang dalam sehari membutuhkan Rp.10.000,- akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp. 8000,- atau Rp.7000,-.

3. 'Amil : Orang yang ditunjuk oleh khalifah atau sulthan dengan tanpa diberi gaji dari Baitul Mal (kas Negara) untuk mengambil (menerima) dan membagikan zakat. Dikarenakan tidak adanya khalifah di masa ini, maka 'Amil pun menjadi tidak ada. Sedangkan panitia yang biasanya dibentuk di setiap daerah, mereka bukanlah 'Amil dalam pengertian syara', yang berhak mendapatkan zakat. Namun jika mereka tergolong fakir atau miskin atau termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat (selain 'Amil), mereka boleh  menerima zakat atas nama golongan-golongan tersebut. Jadi, status mereka hanyalah wakil dari orang-orang yang mengeluarkan zakat untuk menyalurkannya ke tangan orang-orang yang berhak menerimanya.

4. Al Muallafah Qulubuhum : Seperti orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah. Mereka diberi bagian zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat. Atau mereka adalah orang-orang yang terpandang di antara kaumnya. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan orang-orang semacam mereka yang masih kafir tertarik untuk masuk Islam.

5. Riqab : Budak mukatab, yakni hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya, jika dia bisa membayar uang dalam jumlah tetentu, maka ia merdeka. keberadaan budak saat ini sangat jarang dijumpai, kecuali di beberapa tempat seperti di Mauritania (kebanyakan para budak di sana tidak lagi diperjualbelikan layaknya budak-budak zaman dulu).

6. Gharim : Orang yang berhutang bukan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan tidak mampu melunasinya pada waktu-nya (sudah jatuh tempo).

7. Fi Sabilillah : Akan diuraikan dibawah ini dengan detail Insya Allah.

8. Ibn as-Sabil : Musafir yang kehabisan bekal untuk bisa sampai ke tujuannya. (Q.S. At-Taubah : 60).
Fi Sabilillah, Siapakah Mereka ?

Secara umum, Fi Sabilillah dapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam. akan tetapi dalam hal zakat, para ulama mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian, yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeser pun dari khalifah atau penguasa (pejuang sukarelawan).

Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumah sakit, masjid atau madrasah dan aktifitas lain yang baik seperti mengajar adalah masuk dalam kategori Fi Sabilillah yang berhak menerima (mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak bisa dibenarkan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

- Tidak satupu ndi antara ulama salaf, imam mujtahid atau yang setingkat dengan mereka yang mengatakan bahwa Fi Sabilillah dalam hal zakat adalah mencakup semua amal kebaikan.

- Pendapat tersebut muncul dari orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat ijtihad.

- Pendapat tersebut menyalahi perkataan Imam Malik: "Jalan menuju Allah sangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan para ulama) bahwa yang dimaksud fi sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan dengan peperangan" (Ibn al 'Arabi al Maliki, Ahkam al Qur'an).

- Adanya Ijma' (konsensus) para pakar tafsir bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah dalam ayat tersebut adalah para pejuang suka relawan. Hal ini dapat ditela'ah dalam kitab-kitab tafsir mu'tabar seperti al Bahr al Muhith atau an-Nahr al Madd karya Abu Hayyan, at-Tafsir al Kabir karya ar-Razi, Zad al Masir karangan al Hafizh Ibn al Jawzi, Tafsir al Baidlawi, Tafsir al Qurthubi, Tafsir Ibn 'Athiyyah dan masih banyak lagi.

- Pendefinisian Fi Sabilillah dengan para pejuang suka relawan merupakan ijma' para ulama yang telah dinyatakan oleh para fuqaha' (ahli fiqih), mereka antara lain: Imam Syafi'i dalam al Umm, Juz VI, h. 62, Imam Malik  dalam  al  Muwaththa', h. 179, Muhammad ibn al Hasan dalam al Mudawwanah, Juz II, h. 59, Ibnu Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah, h. 108, Ibn Qudamah dalam al Mughni, Ibn al Mundzir dalam al Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja Imam Ahmad menambahkan bahwa termasuk juga Fi Sabilillah dalam hal ini adalah Haji.

Cukup sebagai dalil, bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai dengan penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari surat at-Taubah tersebut menggunakan lafazh "innama" (termasuk lafazh yang berfungsi Hashr yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti, zakat hanya sah jika diberikan kepada delapan golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan, maka tidak ada artinya al Hashr (pembatasan) dengan lafazh tersebut.

Juga sabda Rasulullah ketika beliau berbicara tentang zakat :

"إِنَّهَالاَ تَحِلُّ لِغَنِّيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ" (رواه أبو داود والبيهقي)
Maknanya: "Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang yang mempunyai pekerjaan yang mencu-kupinya" (H.R. Abu Dawud dan al Baihaqi)
Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah, kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang, baik kaya atau pun miskin maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut.

Kutipan al Fakhrur Razi dari al Qaff al asy-Syasyi bahwa sebagian Fuqaha' mengatakan: "Sabilullah" mencakup semua jalan kebaikan adalah kutipan dari orang-orang yang Majhul (tidak dikenal) dan merupakan pendapat yang rusak (menyimpang dari kebenaran) dari al Majahil (orang-orang yang tidak dikenal) dan ini menyalahi ijma' yang telah dinyatakan oleh para ulama seperti Imam Malik. Karenanya pendapat ini tidak bisa diterima sebab menyalahi ijma' (Muhammad Zahid al Kautsari, Maqalat al Kautsari, h. 222).

Jika ada sebagian orang yang menukil dari Imam Ahmad bahwa ia mengatakan: "Zakat boleh diberikan untuk semua amal kebaikan", perlu diketahui bahwa ia menyalahi nash-nash Fuqaha Hanabilah (para ahli fiqih dari Madzhab Hanbali) sendiri seperti yang telah dikemukakan oleh Ibn Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah, Ibn Qudamah al Hanbali dalam al Mughni, dan juga ulama-ulama mujtahid atau yang di bawah derajat mereka dari luar kalangan Fuqaha' Hanabilah.

Karena semua inilah, maka para ulama seperti Sulthan al Ulama al 'Izz ibn Abdis salam berfatwa bahwa tidak boleh mengambil bagian zakat untuk diberikan kepada tentara muslim yang sudah mendapat gaji dari uang kas Negara, meskipun para penguasa waktu itu sangat memerlukan biaya untuk berperang melawan pasukan tartar. Beliau tidak mengatakan kepada penguasa waktu itu: "Gunakanlah harta zakat untuk setiap yang dinamakan jihad". Peristiwa ini diceritakan oleh imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi'iyyah dan Ibn Katsir dalam al Bidayah wa an-Nihayah.

Bahwa yang di maksud Fi Sabilillah hanyalah para pejuang suka relawan, hal ini juga ditegaskan oleh mantan mufti mesir yang terkenal, Syekh Muhammad Bakhit al Muthi'i dan Syekh Muhammad Zahid al Kautsari yang merupakan wakil Syekh al Islam terakhir dalam Khilafah Utsmaniyyah.

Faedah Penting

Bagi setiap muslim hendaklah menjadikan tujuan hidupnya adalah mencari ridha Allah semata dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan hendaklah ia senantiasa  mengingat  bahwa Allah akan menghisab segenap perbuatannya. Rasulullah  bersabda:

"لاَتَزُوْلُقَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلُ عَنْ أَرْبَعٍ "- وَذَكَرَفِيْهِ -  "وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَأَخَذَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ" (رواه الترمذي)
Maknanya: "Tidaklah seorang hamba berpindah dari satu mawqif (pos) ke mawqif yang lain pada hari kiamat sehingga dia ditanya tentang empat perkara, di antaranya tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia menafkahkannya"  (H.R. at-Tirmidzi)
Karenanya, hendaklah setiap muslim berusaha dengan segenap upayanya sehingga ia yakin bahwa zakatnya telah sampai ke tangan orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Oleh karena itu, para ulama di antaranya Imam Ahmad menyatakan: "Disunnahkan bagi seseorang untuk menyalurkan zakatnya (kepada mustahiq) dengan tangannya sendiri". Bahkan ats-Tsauri menyatakan: "Sumpahlah mereka (penguasa) dan jangan percayai mereka dan jangan beri mereka apapun jika mereka tidak menempatkan sesuai dengan tempat yang semestinya" (asy-Syarhal Kabir fi al Fiqh al Hanbali, Juz II, h. 673).

Bagi mereka yang tidak menempatkan zakat sesuai dengan tempatnya atau mengambil bagian zakat yang bukan haknya, hendaklah ia ingat sabda Rasulullah:

"إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَفِيْ مَالِ اللهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" (رواهالبخاري)
Maknanya: "Sesungguhnya orang-orang yang mengambil atau membelanjakan harta Allah (harta Bait al Mal) tanpa ada hak, maka mereka berhak mendapatkan siksa neraka di hari kiamat". (H.R. al Bukhari).
Semoga semua amal ibadah kita, shalat, puasa, bacaan alQur'an, zakat fitrah, dan sebagainya selama bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah ta'ala. Aamiin.

Wallahu A’lam bishshowab.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top