mualaf
ISLAMFOBIA mulai menyebar luas di negara-negara Eropa seperti Prancis, Belgia, Swiss, Belanda, dan Spanyol. Mulai pertengahan tahun ini, berbagai tindakan rasial menyudutkan umat Islam di sana. Kelompok hak asasi Amnesty International melansir fakta mengejutkan, banyaknya muslim memakai atribut agamanya seperti jilbab atau memelihara janggut mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

Masyarakat Eropa memandang Islam sebagai kanker harus dimusnahkan. Perempuan muslim dan anak-anak menggunakan busana tertutup dilarang bersekolah, bahkan kaum hawa berjilbab tidak bisa mendapat pekerjaan, seperti dilansir stasiun televisi Al Arabiya (11/12).

Kondisi tidak jauh berbeda juga terjadi pada lelaki muslim di sejumlah negara Eropa. Mereka menumbuhkan janggutnya langsung dipecat dari pekerjaan. Banyak perusahaan melarang penggunaan budaya atau simbol keagamaan dengan alasan menganggu citra perusahaan.

"Ini bertentangan dengan hukum Uni Eropa melarang diskriminasi dengan alasan agama dan keyakinan dalam hal pekerjaan. Mereka tidak menanggapi ini dan pengangguran umat muslim semakin tinggi," ujat Marco Perolini, pakar diskriminasi dari Amnesty Internasional seperti dilansir BBC (24/4).

Di Prancis tindakan rasis ini dalam batas mengkhawatirkan, seperti dilansir situs france24.com. Lembaga nasional untuk menangani Islamfobia mencatat para anti-Islam tahun ini meningkat menjadi 42% dibanding 2011.

Ketua lembaga untuk penanganan Islamfobia Abdullah Zekri mengatakan kenaikan kasus rasial pada umat muslim ini lantaran kebangkitan sayap kanan Partai Front Nasional Anti-Imigran dan majunya sang ketua Marine Le Pen ke parlemen dengan perolehan suara cukup tinggi yakni 17,9 persen.

Zekri juga menuding pemerintah Prancis sengaja memelihara ketegangan rasial ini dengan meluncurkan perdebatan. Masih segar dalam ingatan saat mantan Presiden Nicolas Sarkozy mengeluarkan pernyataan mengenakan cadar bukan budaya Negeri Anggur itu. Ini membuat Prancis terpecah menjadi dua kubu dan lebih banyak mereka yang anti-Islam.

Pandangan sengit ke arah muslim ketambahan saat kelompok Al-Qaidah membunuh tujuh orang di Kota Toulouse, Maret lalu, termasuk seorang rabi dan tiga bocah Yahudi.

"Peristiwa ini membuat tokoh politik menargetkan kekerasan pada kelompok muslim, padahal kami juga mengutuk pembunuhan ini," ujar Zekri.

Zekri tengah mengusulkan mereka phobia Islam mendapat ganjaran hukuman sama seperti mereka anti-semit di Prancis. Kekerasan pada agama mana pun tidak dibenarkan dan harus mendapat pengadilan sesuai.

Setali tiga uang, Swiss pernah melarang pembangunan menara-menara masjid baru tiga tahun lalu lantaran tidak cocok dengan budaya setempat.

Baru belakangan setelah pegiat anti-Islam dari Partai Sayap Kanan Swiss (SVP), Daniel Streich, justru berpindah haluan menjadi seorang muslim, negara ini mulai terbuka untuk mendirikan kubah rumah Tuhan itu. Malah akhirnya anggota parlemen memperbolehkan perempuan muslim bercadar.

Tidak kalah garang pada agama Nabi Muhammad, pemerintah Spanyol selalu menolak permohonan pembangunan masjid. Di Kota Catalunia misalnya banyak muslim shalat di tempat terbuka dan pinggir jalan.

Alasan konyol dikemukakan pemerintah Negeri Matador tidak jauh beda dengan Swiss, masjid bukan tradisi dan budaya negara itu. Padahal Islam pernah berkembang sangat pesat pada abad kedelapan dan meninggalkan beberapa masjid cantik. Satu masih tersisa yakni Masjid Granada. Sementara masjid cantik lainnya yakni Masjid Cordoba telah beralih fungsi menjadi katedral.

Mualaf Justru malah Bertambah

Di Perancis misalnya, paham Sekularisme berikut dengan kebijakannya yang diskriminatif tidak menghalangi pertumbuhan populasi muslim. Hal itu diakui pejabat Kementerian Dalam Negeri Prancis yang menangani masalah isu-isu agama, Bernard Godard.

"Fenomena itu sangat mengesankan, terutama sejak tahun 2000," kata Godard seperti dikutip The New York Times, Senin (4/2) lalu.

Ia mengungkap jumlah warga Prancis yang memeluk Islam per tahunnya mencapai 150 orang. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat selama 25 tahun terakhir.

"Jumlah Muslim Prancis diperkirakan enam juta jiwa, sekitar 100 ribu orang di antaranya merupakan mualaf. Jumlahnya memang meningkat, coba anda lihat tahun 1986 silam, hanya ada sekitar 50 ribu mualaf," kata Godard.

Sementara itu, menurut versi asosiasi Muslim, jumlah mualaf mencapai 200 ribu orang. Asosiasi menyebutkan alasan di balik peningkatan itu ada semacam perubahan besar yang mendorong konversi tersebut. Namun, tidak dijelaskan perubahan besar apa yang dimaksud.

Di Marseille, yang dikenal sebagai kantong Muslim terbesar di Prancis, mencatat peningkatan jumlah mualaf yang luar biasa dalam tiga tahun terakhir. Imam Masjid Besar Marseile, Ghoul Abderrahmane, mengatakan lebih dari 130 sertifikat konversi yang ditandatanganinya selama 2012.

"Saya pikir fenomena ini didorong sekularisme Prancis yang melahirkan kekosongan spiritual pada warga Prancis," tandasnya.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top