fakta wahabi - tasawwuf
Ada definisi menyesatkan yang berkembang di sebagaian masyarakat tentang pengertian syari’at dan hakekat.Definisi menyesatkan ini berangkat dari pemahaman membeda-bedakan dalam tataran praktis antara hakikat dan syari’at, atau dalam istilah mereka antara zhahir dan batin. Kesimpulan sesat ini seringkali didasarkan, di antaranya, kepada kisah nabi Musa dan nabi Khadlir. Mereka mengatakan bahwa ahl azh-zhâhir yaitu para ulama syari’at hanya bergelut di medan ilmu-ilmu praktis saja, sementara ahlal-bâthin atau ahl al-haqîqah telah sampai kepada tujuannya. Dan karenanya, ahl al-bâthin ini, -menurut mereka-, tidak lagi membutuhkan kepada ajaran-ajaran syari’at, karena semua amalan syari’at pada dasarnya hanya merupakan sarana atau media belaka dalam usaha mencapai hakikat, sementara mereka telah sampai kepada hakikat tersebut [Ibn‘Arabi yang oleh sebagian orang dianggap telah membuat dikotomi antara hakekat dan syari’at justru sebaliknya, beliau menentang adanya pemilahan semacam ini.Beliau memandang bahwa hakekat dan syri’at adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Adanya dikotomi semacam ini adalah penyebab utama dari lahirnya faham yang membedakan antara ulama syari’at dan ulama hakekat. Kesimpulan selanjutnya dari faham sesat ini adalah menetapkan adanya perbedaan jalan yang ditempuh oleh dua kubu tersebut. Lebih lengkap ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabi tentang masalah ini lihat pada bab kajian karya-karya Ibn ‘Arabi dari buku ini.].

Keyakinan semacam ini jelas merupakan kesesatan dan kekufuran. Karena Rasulullah tidak datang dengan membawa dua syari’at; syari’at untuk ahlazh-zhâhir dan syari’at untuk ahl al-bâthin. Ajaran yang dibawa Rasulullah ditujukan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali. Benar, tujuan dari pengamalan ajaran-ajaran syari’at adalah untuk mencapai derajat ahl al-ma’rifah, ahl al-taqwâ, dan menjadi manusia-manusia yang dicintai oleh Allah (Auliyâ’ Allah). Tetapi derajat agung tersebut tidak akan pernah tercapai kecuali dengan hanya mengikuti ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah. Seorang yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam konsentrasi ibadah kepada Allah, namun tidak dengan jalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah maka semua amal ibadahnya tersebut hanyalah kesia-siaan belaka.

Simak pernyataan Imam al-Junaid al-Baghdadi:

“Sesungguhnya kaum yang berpendapat bahwa amalan-amalan syari’at dapat menjadi gugur (karena ketinggian derajat seseorang) adalah pendapat yang menyesatkan. Bagiku seorang yang mencuri atau yang berbuat zina lebih baik dari pada orang yang berpendapat demikian. Sesungguhnya orang-orang yang ‘ÂrifBillâh bahwa merekasampai kepada derajat ma’rifat tersebut adalah karena pengamalan mereka terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Jika aku hidup dalam seribu tahun maka aku tidak akan berbuat kebaikan sedikitpun kecuali didasarkan kepada perintah-perintah-Nya” [Lihatal-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 430].

Dalam kesempatan lain Imam al-Junaid berkata:

“Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk (untuk mencapai ma’rifat Allah), kecuali jalan orang yang benar-benar mengikuti jalan Rasulullah” [Ibid].

Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad, menuliskan sebagai berikut:

“Janganlah kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang mengaku sufi: “Kita ahli batin dan mereka (ulamasyari’at) ahli zhahir”. Karena dalam agama ini keduanya, zhahir dan batin adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Batin adalah inti dari zhahir,dan zhahir adalah wadah bagi batin. Kalaulah tidak ada zhahir tentu tidak akan ada batin. Ketiadaan zhahir pasti menuntut ketiadaan batin. Hati tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan adanya jasad. Kalaulah bukan karena jasad maka hati tidak akan pernah ada. Hati ini adalah cahaya bagi jasad. Ilmu yang oleh sebagain (kaum sufi) disebut ilmu batin adalah ilmu-ilmu yang terkait dengan pembersihan hati. Sementara ilmu zhahir ilmu-ilmu yang secara praktis terkait dengan anggota-anggota tubuh. Seandainya engkau meletakan niat yang baik dalam Hatimu dan Hatimu tersebut bersih dari kotoran-kotoran, namun dalam praktek anggota badan engkau mencuri, berzina, makan harta riba, minum khamr, berbohong,takabur, buruk kata-kata, maka apalah artinya niat baik yang telah engkau letakan dalam Hatimu?! Demikian pula apa bila engkau melaksanakan ibadah kepada Allah dengan sangat tekun, memelihara anggota tubuh dari hal-hal yang haram,berpuasa, bersedekah, bersopan santun kepada sesama, sementara dalam Hatimu engkau meletakkan riya, sombong, supaya dilihat dan mendapat pujian dari oranglain, maka apalah artinya amalan dengan anggota badan yang engkau perbuat tersebut?! Dengan demikian jelas batin adalah intisari dari pada zhahir dan zhahir adalah wadah bagi batin, tidak ada perbedaan pada keduanya [ar-Rifa’i, Maqâlât Min al-Burhân…, h. 50-51].

Membuat dikotomi antara syari’at dan hakekat adalah kesalahan besar. Syari’at dan hakekat adalah laksana dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tujuan syari’at adalah pencapaian terhadap hakekat. Dan kahekat tidak akan pernah diraih kecuali dengan jalan syari’at.Sebagaian ulama membuat gambaran kesatuan perkara-perkara ini dalam tiga perumpamaan. Pertama; Syari’at diibaratkan sebagai perahu atau sampan. Kedua; Tarekat diibaratkan sebagai lautan. Dan yang terakhir, hakekat diibaratkan sebagai mutiara. Seorang yang hendak meraih mutiara, maka ia harus menaiki perahu dan melewati lautan. Sudah pasti bahwa kedua perantara ini; yaitu perahu dan luatan, adalah keharusan yang tidak boleh dilewatkan bagi yang benar-benar menginginkan mutiara.

Syaikh Zainuddin Ibn‘Ali al-Malibari dalam Nadzam Hidâyah al-Adzkiyâ’ membuat gambaran tersebut sebagai berikut:

فَشَـرِيْعَةٌ كَسَـفِيْنَةٍ وَطَرِيْـقَةٌ        #       كَالْبَـحْرِثُمَّ حَقِيْـقَةٌ دُرٌّ غَـلاَ

مَـنْ رَامَ دُرًّا لِلسَّفِيْنَةِ يَرْكَـبُ        #       وَيَغُـوْصُبَحْـرًا ثُمّ دُرٌّ حَصَلاَ

وَكَذَا الطّرِيْقَةُ وَالْحَقِيْقَةُ يَا أخِيْ        #       مِنْغَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تُحْصَلاَ

“Syari’at ibarat perahu, tarekat ibarat lautan, dan hakekat ibarat mutiara yang berharga. Siapa yang menginginkan mutiara, maka ia harus menaiki parahu, kemudian menyelam dilautan, maka dia akan meraih mutiara tersebut. Demikian pula tarekat dan hakekat, wahai saudaraku, dengan tanpa pengamalan terhadap syari’at maka hakekat tersebut tidak akan pernah didapatkan”. [Lihat Zainuddin Ibn ‘Ali al-Malibari, Hidâyah al-Adzkiyâ’…, h. 9-12.]

Syaikh Nawawi al-Bantani dalam menjelaskan bait di atas mengatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan melaksanakan tiga unsur yang merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan satu dari lainnya. Pertama; Syari’at; yaitu dengan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Kedua;Tarekat; ialah menteladani segala prilaku Rasulullah dalam berbagai keadaannya.Ketiga; Hakekat, yaitu buah yang akan dicapai dari perjalan syari’at dan tarekat [al-Bantani, Salâlim al-Fudlalâ’, h. 3.].

Sebagian ulama lain mencontohkan kesatuan tiga unsur  ini dengan sebuah kelapa.Syari’at diibaratkan sebagai kulit kelapa, tarekat sebagai daging kelapa dan hakekat sebagai minyak dari inti kelapa. Artinya bahwa perantara-perantara untuk dapat mendapatkan inti kelapa yang berupa minyak adalah keharusan yang tidak mungkin ditinggalkan [al-Bakri, Kifâyah al-Atqiyâ’…, h. 9. Perumpamaan-perumpamaan semacam ini banyak disebutkan oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, lihat kitab h. 221-222 ].

Imam Ahmad ar-Rifa’i pada bagian lain dalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad menyatakan bahwa puncak tujuan dari perjalanan kaum sufi adalah sama dengan puncak tujuan dari perjalanan para ulama fiqihatau ulama syari’at. Demikian pula sebaliknya, tujuan utama ulama fiqih adalahjuga merupakan tujuan utama para kaum sufi. Kemudian rintangan-rintangan jalanyang dilalui ulama fiqih dalam mencari ilmu adalah juga rintangan yang sama yang dihadapi kaum sufi dalam sulûk mereka. Maka syari’at adalah tarekat,dan tarekat adalah syari’at. Keduanya adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, kandungan atau isi dan tujuannya adalah satu. Perbedaan hanya dari segi lafazh saja. Jika seorang sufi mengingkari seorang ahli fiqih (al-faqîh), maka tidak lain sufi tersebut pasti seorang yang tertipu.Demikian sebaliknya, jika seorang ahli fiqih mengingkari seorang sufi maka tidak lain ahli fiqih tersebut pasti seorang yang dijauhkan oleh Allah dari karunia-Nya [ar-Rifa’i, Maqâlât Min al-Burhân…, , h. 80-81].

Seorang wali Allah, seluhur apapun derajat takwa dan kemuliaan yang telah ia raih, maka kewajiban-kewajiban syari’at akan selalu tetap ada pada pundaknya dan tidak akan pernah gugur darinya. Rasulullah tidak pernah mengajarkan bahwa seseorang bila telah mencapai derajat tinggi maka kewajiban syari’at menjadi gugur darinya. Oleh karenanya,kita tidak menemui satupun keadaan di antara para sahabat nabi di mana kewajiban-kewajiban syari’at telah gugur dari sebagian mereka. Padahal banyak di kalangan sahabat tersebut yang notabene sebagai para wali Allah, bahkan sebagai para wali terkemuka (Kibâral-Auliyâ’). Sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq misalkan, adalah orang yang paling mulia dari seluruh umat Muhammad, pemimpin tertinggi dalam derajat kewalian, dan lebih utama dari seluruh wali Allah yang hidup sesudahnya, bahwa beliau tidak pernah sedikitpun merasa bahwa kewajiban-kewajiban syari’at telah gugur darinya. Dua puluh empat jam dari setiap detik waktunya beliau habiskan dalam ibadah kepada Allah dan dalam menegakkan syari’at Allah. Demikian pula dengan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab,‘Utsman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Karena itu para ulama Ahlussunnah telah bersepakat (Ijma’) bahwa orang yang mengatakan bahwa ibadah dan mujâhadah yang telah mencapai puncak tertingginya dapat menggugurkan ajaran-ajaran syari’at maka orang ini telah keluar dari Islam menjadi kafir [Lihat al-Qâdlî‘Iyad, asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Mushthafâ, j. 2, h. 239].

Simak kisah nyata yang terjadi pada Syaikh‘Abd al-Qadir al-Jailani. Suatu ketika, Syaikh ‘Abd al-Qadir dalam khlawah-nya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya. Iblis berkata: “Wahai hambaku, wahai ‘Abd al-Qadir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu segala sesuatu yang telah aku haramkan”. Tanpa berfikir panjang Syaikh ‘Abd al-Qadir menjawab:“Terlaknat engkau wahai Iblis...!”. Syaikh ‘Abd al-Qadir seorang ‘Ârif Billâh, beliau tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis.Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah tidak berkata-kata dengan suara dan huruf, juga Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, serta karena Allah tidak menghalalkan sesuatu yang telah diharamkannya [Lihat asy-Sya’rani, ath-Thabaqât…, j. 1, h. 218].

Kemudian Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam menjelaskan bahwa hukum-hukum syari’at tidak akan pernah gugur dari siapapun menyatakan bahwa seseorang yang memiliki sifat-sifat kewalian bukanlah seperti orang-orang semacam Fir’aun atau semacam Namrud. Orang semacam Fir’aun, -ketika telah meraih apa yang diinginkan- maka berkata: “Anâ Rabbukum al-A’lâ… (Saya adalah tuhan kalian yang maha tinggi)”.

Demikian pula kesombongan yang diungkapkan Namrud, dia mengaku sebagaiTuhan. Sikap kufur semacam ini jelas tidak akan pernah ada pada diri seorangwali Allah. Seorang yang dicintai oleh Allah tidak akan pernah berkata “Anâ Allah…”. Bagaimana mungkin seorang sufi dengan gelar “al-Faqîr” mengaku bahwa dirinya Tuhan. Lantas dimanakah letak kefakirannya?! Sementara Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ (فاطر: 15)

“Wahai sekalian manusia, kalian semua adalah orang-orang fakir yang membutuhkan kepada Allah”. (QS.Fâthir: 15).

Kemudian lebih dari pada ini, Rasulullah yang notabene merupakan panutan kaum sufi, dan seorang kekasih Allah yang telah mendapat derajat ma’rifat yang tidak pernah diraih oleh siapapun, beliau tidak pernah mengatakan kata-kata buruk semacam itu. Justru sebaliknya, dengan tegas beliau mengatakan bahwa dirinya berasal dari kalangan manusia. Sebagaimana firman Allah:

قُلْ إِنَّمَا أَنَابَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ(الكهف: 110)

“Katakanlah -wahai Muhammad- sesungguhnya saya adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku”. (QS. al-Kahfi: 110)

Kemudian dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

فَإنّيلَسْتُ بِمَلَكٍ إنّمَا أنَا ابْنُ امْرَأةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيْدَ(رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه وَالْحَاكِم)

“Sesungguhnya saya bukanlah malaikat, saya hanyalah seorang anak seorang perempuan dari suku Quraisy; seorang perempuan yang suka makan qadid” (daging yang dijemur). (HR. Ibn Majah dan al-Hakim).

0 komentar:

Post a Comment

 
Top