fakta wahabi
Berikut ini penulis kutip tentang kisah nabi Musa dan nabi Khadlir untuk melihat bahwa syari’at dan hakikat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sekaligus sebagai bantahan kapada mereka yang membeda-bedakan antara zhahir dan batin. Pembahasan lugas tentang masalah ini sebenarnya telah dituliskan oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah [al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 220-221]. Dan secara tersirat dituliskan pula oleh as-Suhrawardi dalam ‘Awarif al-Ma’arif,dan dalam beberapa karya ulama lainnya. Termasuk oleh as-Sarraj dalam al-Luma’yang telah menuliskan satu bab dengan judul “Bab Fî Dzikr Man Ghalath Fîal-Nubuwwah Wa al-Wilayah” (Bab dalam penjelasan kesalahan dalam definisi kenabian dan kewalian).

Dalam kitab al-Luma’,as-Sarraj menuliskan bahwa salah besar pendapat yang mengutamakan al-Khadlir atas Nabi Musa dengan dasar peristiwa yang terjadi antara keduanya. Juga kesalahan yang sangat membahayakan pendapat yang mengatakan bahwa kewalian dapat lebih utama dari pada kenabian. Peristiwa antara Musa dan al-Khadlir sama sekali tidak menunjukan bahwa Musa di bawah derajat al-Khadlir. Masih menurut as-Sarraj,Nabi Musa dan al-Khadlir memiliki keutamaan dan kelebihan masing-masing, namun kita harus memposisikan keduanya secara proporsional. Dan derajat Nabi Musa jauh berada di atas al-Khadlir karena segala kelebihan yang telah dimilikinya,seperti bahwa Nabi Musa bergelar Kalim Allah, pembawa kitab Taurat, salah seorang Ulu al-‘Azm dari nabi dan rasul yang lima, serta bahwa seluruh nabi-nabi Bani Isra’il berada di bawah syri’atnya. Ini ditambah lagi dengan berbagai mu’jizat yang telah dikaruniakan Allah kepada nabi Musa yang kejadiannya berulang-ulang disebutkan dalam al-Qur’an [al-Luma’, h. 535-537].

Tentang Khadlir,terdapat beberapa pendapat ulama menyangkut derajatnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa Khadlir adalah seorang nabi Allah. Namun sebagian lainnya mengatakan bahwa beliau hanya seorang wali Allah. Jika Khadlir seorang nabi maka nabi Musa jauh lebih utama darinya karena nabi Musa tidak hanya seorang nabi tapi juga seorang rasul. Dan jika Khadlir seorang wali Allah maka sudah barang tentu derajat seorang nabi lebih tinggi dari derajat seorang wali. Jangankan untuk melebihi derajat kenabian, berada di dalam satu tingkatan saja adalah perkara yang mustahil. Bagaimana mungkin kawalian akan melebihi derajat kenabian?! Bukankah seorang wali Allah mendapatkan derajat kewaliannya tersebut dengan jalan mengikuti ajaran seorang nabi?!

Sesungguhnya Allah menjadikan derajat para nabi lebih utama di atas seluruh alam. Dalam al-Qur’an setelah penyebutan beberapa orang nabi, Allah berfirman:

وَكُلًّافَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ  (الأنعام: 86)

“Dan setiap orang dari mereka (para nabi tersebut) Kami (Allah) utamakan mereka di atas seluruh alam”. (QS. al-An’am: 86)

Imam Abu Ja’farath-Thahawi dalam risalah akidah Ahlussunnah yang lebih dikenal dengan Risalahal-‘Aqidah ath-Thahawiyyah menuliskan:

وَلاَ نُفَضِّلُ أحَدًا مِنَ الأوْلِيَاءِ عَلَى أحَدٍ مِنَالأنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السّلاَمُ، وَنَقُوْلُ نَبِيٌّ وَاحِدٌ أفْضَلُ مِنْجَمِيْعِ الأوْلِيَاءِ

“Kita tidak boleh mengutamakan siapapun dari para wali Allah di atas derajat seorang dari para nabi Allah. -Bahkan- kita katakan: Seorang nabi kedudukannya lebih utama dari seluruh wali Allah”.

Tulisan di bawah ini merupakan terjemahan dengan beberapa penyesuaian dan penyederhanaan dari tulisan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari yang beliau nukil dari Imam al-Qurthubi [Lihatal-‘Asqalani, Fath al-Bârî…, , Juz 1, h. 268.].

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahwa dari kisah nabi Musa dan Nabi Khadlir kita harus meluruskan dua kesalahan umum yang berkembang disebagaian masyarakat awam.

Pertama: Sebagian orang-orang bodoh mengambil kesimpulandari kandungan kisah ini bahwa Khadlir lebih utama dari nabi Musa. Pemahaman semacam ini hanya datang dari seorang yang lemah penelitian dan pemahamannya. Ia tidak melihat kepada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada nabi Musa,seperti kerasulan, sebagai orang yang bergelar Kalîm Allah, dan sebagai orang yang telah diturunkan kepadanya kitab Taurat yang mencakup banyak ilmu. Kemudian seluruh nabi-nabi Bani Isra’il mengikuti syari’at yang dibawanya. Para nabiBani Isra’il tersebut diperintah oleh Allah untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi Musa, termasuk harus diikuti oleh nabi Isa dalam beberapa diantaranya. Dalil bagi ini di dalam al-Qur’an cukup banyak, di antaranya firman Allah:

قَالَيَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي (الأعراف: 144)

“Wahai Musa sesungguhnya Aku telah memilih engkau atas seluruh manusia dengankerasulan dari-Ku dan dengan kalam-Ku”. (QS. al-A’raf: 144)

Kemudian berbagai hadits nabi tentang keutamaan-keutamaan nabi Musa sangat banyak. Sementara nabi Khadlir sekalipun bila benar sebagai seorang nabi, namun para ulama sepakat bahwa dia bukan seorang rasul. Dan telah disepakati oleh para ulama bahwa seorang yang bergelar “rasul” lebih tinggi tingkatannya dari seorang yang bergelar “nabi” saja. Karena itu para ulama mengatakan seorang rasul pasti sebagai seorang nabi, tapi tidak setiap nabi sebagai seorang rasul. Bahkan seandainya Khadlir sebagai seorang rasul, jelas kerasulan Musa lebih agung dan umatnya lebih banyak, karena itu ia lebih utama dari pada Khadlir. Dalam pada ini Khadlir tidak ubahnya seperti nabi-nabi Bani Israel yang lain, di mana nabi Musa lebih utama dari mereka semua.

Kemudian bila kita ambil pendapat bahwa Khadlir bukan seorang nabi, hanya seorang wali saja, maka sudah dipastikan baik secara logika maupun nash-nash syari’at bahwa seorang nabi jauh lebih utama dari seorang wali. Hal ini telah menjadi kesepakatan (ijma’) para ulama. Orang yang tidak mengakui tingkatan ini, misalkan ia mengatakan bahwa tingkatan seorang wali lebih utama dari seorang nabi maka ia dihukumi kafir, karena ia telah menyalahi sesuatu yang telah pasti hukumnya dalam agama. Dengan demikian, pemahaman yangbenar dari kisah Khadlir dengan Musa ini adalah sebagai ujian bagi nabi Musa sendiri, untuk dijadikan pelajaran bagi orang-orang sesudahnya dikemudian hari.

Kedua: Dari kisah ini sebagian kaum zindik mengambil kesimpulan sesat yang dapat menghancurkan hukum-hukum syari’at. Mereka berkata bahwa hukum-hukum syari’at atau ajaran-ajaran agama hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang bodoh saja, sementara para wali Allah dan orang-orang khusus tidak membutuhkan kepada ajaran-ajaran tersebut. Dalam pendapat mereka, bahwa yang hanya dijadikan sandaran oleh para wali dan orang-orang khusus tersebut adalah segala apa yang terbersit di dalam hati mereka. Hal ini karena hati mereka telah sucidari kotoran-kotoran dan jauh dari kecemburuan-kecemburuan. Mereka telahmendapatkan ilmu-ilmu dan hakikat-hakikat ketuhanan. Mereka telah mengetahui rahasia-rahasia seluruh makhluk dan rahasiah-rahasiah dari ajaran agama secara terperinci. Karenanya mereka tidak butuh kepada ajaran-ajaran agama yangsifatnya masih global tersebut. Sebagaimana Khadlir tidak membutuhkan segalaajaran-ajaran yang dipegang oleh Musa. Menurut mereka hal ini sesuai dengan hadits nabi yang sangat mashur:

اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإنْ أفْتَاكَ النّاسُ وَأفْتَوْكَ(رَوَاهُ أحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ)

“Mintalah fatwa kepada Hatimu, (jangan engkau hiraukan orang lain) sekalipun orang-orang meminta fatwa kepadamu atau mereka semua memberikan fatwa kepadamu” (HR. Ahmaddalam kitab Musnad).

Imam al-Qurthubi secara tegas menyatakan bahwa perkataan di atas nyata sebagai perkataan zindik dan kufur.Karena hal itu adalah bentuk pengingkaran terhadap syari’at-syari’at Allah.Padahal Allah sudah menentukan bahwa hukum-hukum dan ajaran-ajaran-Nya tidak diturunkan kecuali dengan perantara para rasul-Nya. Dan kerasulan terjadi pada golongan malaikat dan dari bangsa manusia. Allah berfirman:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَالْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ (الحج: 75)

“Allah telah memilih utusan-utusan [para rasul] dari para Malaikat dan manusia”. (QS.Al-Hajj; 75).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُيَجْعَلُ رِسَالَتَهُ (الأنعام:124)

“Allah lebih mengetahui di mana Ia menjadikan risalah-Nya”. (QS. al-An’am: 124).

Allah memerintahkan seluruh makhluk untuk ta’at kepada utusan-utusan-Nya tersebut, tunduk dan berpegang teguh dengan segala ajaran yang telah dibawa oleh mereka. Karena hakekatnya itulah petunjukdari Allah. Dan siapa yang meyakini terdapat jalan lain yang lebih baik dariapa yang telah dipilih oleh Allah dalam menyampaikan ajaran-ajaran-Nya lewat para rasul-Nya tersebut, maka orang ini telah menjadi kafir yang harus dibunuh tanpa diminta terlebih dahulu untuk melakukan taubat. Sebab pengakuan semacam ini sama dengan menetapkan adanya kenabian setelah nabi Muhammad. Sesungguhnya seseorang yang mengambil hukum-hukum atau ajaran-ajaran semaunya dari hatinya sendiri,sambil mengaku bahwa itu adalah hukum-hukum Allah yang harus dikerjakan, maka orang semacam ini telah menetapkan kenabian bagi dirinya. Dalam pada ini ia telah menyamakan dirinya dengan Rasulullah yang bersabda:

إنّرُوْحَ الْقُدُس نَفَثَ فِي رَوْعِيْ (رَوَاهُ الْحَاكِم)

“Sesungguhnya Ruh al-Qudus [Jibril] meniupkan [ilmu-ilmu] pada hatiku” (HR. al-Hakim).

Di antara kaum zindik tersebut terkadang ada yang berkata “Saya tidak mengambil ilmu dari orang-orang yang mati (makhluk), saya hanya mengambil ilmu dari yang Maha Hidup yang tidak pernah mati (Allah)”. Sebagian lainnya terkadang berkata “Saya hanya mengambil ilmu dari hatiku yang berasal dari tuhanku”. Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa perkataan-perkataan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai perkataan kufur. Kemudian para ulama juga berkata bahwa siapa yang mengambil kesimpulan dari kisah Khadlir dan Musa bahwa seorang wali dapat mengetahui berbagai rahasia di balik segala perkara, dan bahwa wali itu boleh meraih rahasiah-rahasia tersebut walau dengan jalan yang menyalahi syari’at, maka orang ini telah menjadi sesat. Orang yang mengambil kesimpulan seperti ini jelas telah melenceng dari kebenaran. Karena apa yang dilakukan oleh Khadlir tidak sedikitpun menyalahi ketentuan-ketentuan syari’at. Yang beliau lakukan dalam melubangi perahu adalah untuk mencegah dirampasnya perahu tersebut oleh penguasa yang zhalim saat itu. Apa yang diperbuat oleh Khadlir ini dapat diterima baik oleh akal maupun secara syara’. Hanya saja nabi Musa terburu-buru mengingkarinya, karena beliau saat itu hanya melihat secara zhahir. Hal ini sebagaimana terungkap dalam riwayat Muslim dari Abu Ishaq, bahwa ia (Abu Ishaq) berkata:“Ketika datang orang yang hendak merampas perahu tersebut ia mendapatinya telah terlubangi, maka ia meninggalkannya. Setelah itu kemudian perahu tersebut ditambal dengan kayu” [Lihat Muslim ibn Hajjaj, al-Jami’ al-Shahih; Kitab al-Fadla’il; Bab Min Fadla’il al-Khaldir.].

Dari riwayat ini dapat diambilpelajaran bahwa tidak layak untuk terburu-buru dalam mengingkari perkara yang banyak mengandung kemungkinan-kemungkinan. Adapun nabi Khadlir membunuh anak kecil maka kemungkinannya adalah bahwa ia dalam syari’at tersebut. Artinya,nabi Khadlir diberi ilham oleh Allah bahwa anak tersebut bila tumbuh dewasa akan menjadi durhaka kepada kedua orang tuanya, dan karenanya nabi Khadlir dengan izin Allah membunuh anak itu. Adapun ketika Khadlir mendirikan tembok yang hendak roboh maka beliau lakukan hal itu adalah dalam pengertian sebagai balasan keburukan dengan kebaikan. Wa AllahA’lam.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top