fakta wahabi
Dalil Akal Kesucian Allah Dari Tempat Dan Arah

Dasar keyakinan yang dianut oleh kaum teolog Ahlussunnah ialah bahwa akal sehat tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran-ajaran syari’at. Bahkan sebaliknya, akal sehat adalah sebagai saksi bagi kebenaran syari’at itu sendiri. Sangat tidak logis bila Allah dan Rasul-Nya meletakan ajaran-ajaran syari’at yang bertentangan dengan akal. Karena bila demikian berarti penciptaan akal sama sekali tidak memiliki faedah. Dalam pada ini al-Hâfizh al-Khathibal-Baghdadi berkata: “Segala ajaran syari’at datang sejalan dengan akal-akal yang sehat, dan sama sekali tidak ada ajaran dalam syari’at ini yang bertentangan dengan akal”.

Pada bagian ini kita kutip pernyataan beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Sekaligus untuk menetapkan bahwa keyakinan Allah bersemayam di ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta keyakinan-keyakinan tasybîh lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekai tidak dapat diterima oleh akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka satu persatu dengan referensi kuat dari karya-karya mereka sendiri.

Al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:

"والغرض من هذاالفصل نفي الحاجة إلى المحل والجهة خلافًا للكرّامية والحشوية والمشبهة الذينقالوا إن لله جهة فوق. وأطلق بعضهم القول بأنه جالس على العرشمستقر عليه، تعالى الله عن قولهم. والدليل على أنه مستغن عن المحل أنه لوافتقر إلى المحل لزم أن يكون المحل قديمًا لأنه قديم، أو يكون حادثًا كما أن المحلحادث، وكلاهما كفر. والدليلعليه أنه لو كان على العرش على ما زعموا، لكان لا يخلو إما أن يكون مِثْل العرش أوأصغر منه أو أكبر، وفي جميع ذلك إثبات التقدير والحد والنهاية وهو كفر. والدليل عليه أنه لو كان في جهة وقدرناشخصًا أعطاه الله تعالى قوة عظيمة واشتغل بقطع المسافة والصعود إلى فوق لا يخلوإما أن يصل إليه وقتًا ما أو لا يصل إليه. فإن قالوا لا يصل إليه فهو قول بنفي الصانعلأن كل موجودين بينهما مسافة معلومة، وأحدهما لا يزال يقطع تلك المسافة ولا يصلإليه يدل على أنه ليس بموجود. فإن قالوا يجوز أن يصل إليه ويحاذيه فيجوزأن يماسه أيضًا، ويلزم من ذلك كفران: أحدهما: قدم العالم، لأنا نستدل على حدوثالعالم بالافتراق والاجتماع. والثاني: اثبات الولد والزوجة"
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.

Dalil akal bahwa Allah Maha Sucidari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.

Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.

Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka - sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotong jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur.

Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena dalam keyakinan kita salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu yang ada padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah”.
Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:

"الأصلالرابع: العلم بأنه تعالى ليس بجوهر يتحيَّز، بل يتعالى ويتقدّس عن مناسبة الحيّز،وبُرهانُه أن كل جوهر متحيز فهو مختص بحيِّزه، ولا يخلو من أن يكون ساكنًا فيه أومتحركًا عنه، فلا يخلو عن الحركة أو السكون وهما حادثان، وما لا يخلو عن الحوادثفهو حادث"
“Dasar keempat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu”
Al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan penjelasan logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah.Di antara tulisan beliau adalah sebagai berikut:

"وللمجسمة شبهثلاثة:الأولى قولهم إن الموجودَيْنالقائِميْن بالذات لا يخلُوان من أن يكون كل واحد منهما بِجهةٍ من صاحبه. فنقول وبالله التوفيق: الموجودان القائمانبالذات كل واحد منهما في الشاهد يجوز أن يكون فوق صاحبه والآخر تحته، أتجوّزون هذافي الحق تعالى؟ فإن قالوا: نعم تركوا مذهبهم، فإنهم لا يجوزون أن يكون البارىء جلوعلا تحت العالم، وإن قالوا: لا، أبطلوا دليلهم، فإن قالوا: إنما لم نجوز هذا فيالحق تعالى لأن جهة تحت جهة ذم ونقيصة، والبارىء جل وعلا منزه عن النقائص وأوصافالذم. قيل لهم: فإذًا أثبتم التفرقة بين الشاهد والحق عند وجود دليل التفرقة
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab “iya” maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab “tidak” maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-Tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya”.
Al-Imâm Abu Nashr Abdurrahim bin AbdulKarim yang dikenal dengan sebutan Ibnul Qusyairi (w 514 H) dalam penjelasan kebolehan mentakwil “Istawâ” dengan “Qahara” (bermakna “menguasai”) menuliskan sebagai berikut:
“Di antara argumen yang dapat mematahkan kerancuan keyakinan mereka adalah kita katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam atau tempat, apakah Allah ada atau tidak? Tentunya bila mereka punya akal sehat mereka akan akan menjawab: “Ya, Allah ada”. Dari jawaban ini, -jika pendapat mereka benar bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat dan arah-, dapat disimpulkan adanya dua pemahaman. Pertama; Mereka berkesimpulan bahwa tempat, arah, ‘arsy, serta seluruh komponen alam ini adalah sesuatu yang tidak memiliki permulaan. (Artinya, alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan, sebagaimana Allah Qadim). Atau pemahaman kedua; Mereka berkesimpulan bahwa Allah sendiri yang baharu, sebagaimana alam ini baharu. Inilah ujung dari keyakinan sesat golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu. --Karena mereka berkeyakinan Allah ada pada tempat dan arah-. Bagaimana mungkin yang maha Qadim (Allah) dianggap baharu (Muhdats), dan yang baharu dianggap Qadim?!”.
Masih dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah, al-Imâm al-Qusyairi juga menuliskan sebagai berikut:
“Jika mereka berkata: “Bukankah Allah berfirman dalam QS. Thaha: 5: “ar-Rahmân ‘Alâal-‘Arsy Istawâ”, Bukankah zhahir ayat ini harus kita ambil? Kita jawab: Allah juga berfirman dalam QS. al-Hadid: 4 “Wa Huwa Ma’akum Ainamâ Kuntum”. Kemudian juga berfirman dalam QS. Fushshilat: 54 “Alâ Innahu Bi Kulli Syai-in Muhith”. Jika kaedahnya seperti yang kalian katakan, yaitu harus mengambil makna zhahir ayat, maka berarti dua ayat terakhir ini harus diambil makna zhahirnya pula. Dengan demikian, --dengan dasar keyakinan kalian-- berarti Allah berada di atas ‘arsy,-dan di saat yang sama- juga berada di sisi kita dan ada bersama kita, juga berada dengan meliputi dan mengelilingi alam ini dengan Dzat-Nya. Bagaimana mungkin pemahaman semacam ini dapat diterima?! Padahal jelas Dzat Allah maha Esa, mustahil bagi-Nya berbilang-berbilang semacam itu. Dzat yang Maha Esa mustahil pada saat yang sama berada di semua tempat (Karena jika demikian maka Dia berbilang, tidak Esa).

Kemudian jika mereka berkata: “Firman Allah “Wa Huwa Ma’akum”, yang dimaksud adalah bahwa Allah dengan ilmu-Nya mengetahui segala apapun yang terjadi pada diri kita, dan firman Allah “Bi Kulli Syai-in Muhith”, yang dimaksud adalah bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, dan tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya”; maka kita katakan kepada mereka: “Jika begitu, maka demikian pula dengan firman Allah “ar-Rahmân ‘Ala al-‘Arsy Istawâ”, kata “Istawâ”di sini yang dimaksud adalah Qahara Wa Hafizha Wa Abqâ. (Artinya, bahwa Allah  menguasai ‘arsy, memeliharanya dan menetapkannya)".
Yang dimaksud oleh al-Imâm al-Qusyairi ialah bahwa jika mereka memberlakukan takwil terhadap beberapa ayat Mutasyabihat dan tidak mengambil makna-makna zhahirnya,seperti terhadap firman Allah (Wa Huwa Ma’akum) dan firman Allah (Innahu Bi Kulli Syai-in Muhith), lalu mengapa mereka mencela orang yang mentakwil kata “Istawâ” dengan “Qahara”, atau dengan makna “Istawla”?! Pemahaman semacam apa itu?! Ini adalah bukti bahwa pendapat mereka hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka.

Selanjutnya al-Imâm Abu Nashr al-Qusyairi menuliskan:

"ولوأشْعر ما قلنا توهم غلبته لأشْعر قوله:{وهو القاهر فوق عباده} [سورة الأنعام/61]بذلك أيضًا حتى يقال كان مقهورًا قبلَ خلقِ العباد، هيهاتَ، إذ لم يكن للعبادوجودٌ قبلَ خلقِه إيّاهم، بل لو كان الأمر على ما توهمَه الجهلةُ مِنْ أنه استواءٌبالذاتِ لأشعر ذلك بالتغيُّر واعوجاج سابقٍ على وقتِ الاستواء، فإن البارىء تعالىكان موجودًا قبلَ العرش. ومَنْ أنصفَ عَلِمَ أنّ قولَ مَن يقول: العرشُ بالربِّاستوى أمثلُ مِن قول مَن يقول: الربُّ بالعرشِ استوى، فالربُّ إذًا موصوفٌبالعُلُو وفوقية الرتبةِ والعظمةِ منزهٌ عن الكون في المكان وعن المحاذاة"
“Pemakanaan “Istawâ” dengan “Qahara” sama sekali tidak memberikan pemahaman bahwa Allah bertarung melawan ‘arsy dan Allah memenangkan pertarungan tersebut (Sabqal-Mughâlabah). Sama sekali tidak memberikan pemahaman semacam ini. Karena seandainya pemaknaan “Istawâ” dengan “Qahara” memberikan persangka demikian, maka berarti hal tersebut terjadi pula di dalam firman Allah QS.al-An’am: 18 “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih”, bahwa terjadi pertarungan antara Allah dengan para hamba-Nya yang kemudian Allah dapat menundukkan dan menguasai hamba-hamba-Nya tersebut. Apakah maknanya seperti ini?! Tentu maknanya tidak seperti ini. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah bertarung melawan hamba-hamba-Nya. Terlebih lagi bila dikatakan bahwa Allah mulanya dikalahkan (Maqhur) oleh para hamba tersebut, lalu kemudian Allah mengalahkan dan menguasai mereka. Perkataan semacam ini jelas kufur dan sesat. Bukankah seluruh hamba itu ciptaan Allah?! Bukankah mulanya mereka semua tidak ada, kemudian Allah mengadakan mereka?!

Sebaliknya, jika makna firman Allah QS. Thaha: 5 di atas seperti yang dipahami oleh orang-orang bodoh -dari kaum Hasyawiyyah Musyabbihah- yang mengatakan bahwa Dzat Allah bertempat di atas ‘arsy, maka hal ini berarti memberikan pemahaman adanya perubahan pada Dzat Allah. (Artinya, yang semula tanpa ‘arsy kemudian berubah menjadi bertempat di atasnya). Bukankah ‘arsy itu makhluk Allah?! Bukankah Allah ada sebelum ada ‘arsy?! Seorang yang obyektif -dan paham betul terhadap bahasa Arab- akan mengetahui bahwa perkataan “al-‘Arsy Bi ar-Rabb Istawâ” lebih tepat dari perkataan: “ar-Rabb Bi al-‘Arsy Istawâ”. Jadi Allah disifati dengan ketinggian derajat dan keagungan, maha suci dari berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu dengan jarak”.
Masih dalam tulisan Abu Nashr al-Qusyairi, beliau juga berkata:

"وقدنَبَغَت نابغةٌ من الرَّعاعِ لولا استنزالُهم للعوامِ بما يقربُ مِن أفهامهمويُتصوّرُ في أوهامِهم لأَجْلَلْتُ هذا المكتوب عن تلطيخه بذكرهم. يقولون: نحننأخذُ بالظاهر ونجري الآياتِ الموهمةَ تشبيهًا والأخبارَ المقتضية حدًّا وعُضوًاعلى الظاهر ولا يجوز أن نطرقَ التأويلَ إلى شىء مِن ذلك، ويتمسكون بقول اللهتعالى: {وما يعلم تأويلَه إلا الله} [سورة ءال عمران/7]. وهؤلاء والذي أرواحنابيده أضَرُّ على الإسلام من اليهود والنصارى والمجوس وعَبَدةِ الأوثانِ، لأنضلالاتِ الكفارِ ظاهرةٌ يَتَجَنَّبُها المسلمون، وهؤلاء أَتَوا الدينَ والعوامَّمِن طريقٍ يَغْتَرُّ به المُسْتَضعفُون، فأَوْحَوا إلى أوليائهم بهذه البدعوأَحَلُّوا في قلوبهم وصفَ المعبودِ سبحانَه بالأعضاء والجوارح والركوب والنزولوالاتكاء والاستلقاءِ والاستواء بالذات والترددِ في الجهات، فمن أَصْغى إلى ظاهرهميبادرُ بوهمِه إلى تخيّلِ المحسوسات فاعتقدَ الفضائحَ فسالَ به السيلُ وهو لايَدْري"
“Telah muncul sekelompok orang-orang bodoh, kalau bukan karena mereka mendekati orang-orang awam dengan keyakinan rusak dan dengan perkara-perkara yang dibayangkan oleh benak mereka, maka aku tidak akan mengotori lembaran-lembaran buku ini dengan menyebut-nyebut mereka. Mereka berkata: “Kita mengambil semua nash-nash dalam makna zhahirnya. Ayat-ayat yang memberi prasangka bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, demikian pula hadits-hsdits yang memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk dan anggota badan, kita pahami semua dalam makna zhahirnya. Kita tidak boleh melakukan takwil terhadap nash-nash tersebut. Mereka beranggapan bahwa mereka berpegangan dengan firman Allah: “Wa Mâ Ya’lamu Ta’wilahu Illalâh”.

Demi Allah, orang-orang semacam ini lebih berbahaya bagi Islam dari pada orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi dan para penyembah berhala. Karena kesesatan orang-orang kafir seperti ini sangat jelas, telah diketahui dan dijauhi oleh orang-orang Islam. Sedangkan orang-orang yang anti takwil, mereka berbicara masalah agama dan mendatangi orang-orang awam dengan penampilan yang dapat mengelabui orang-orang lemah. Dengan cara ini kemudian mereka menanamkan berbagai bid’ah di dalam kelompok mereka. Mereka menanamkan dalam hati orang-orang awam keyakinan sesat bahwa Allah  memiliki anggota-anggota badan, naik, turun, bersandar, terlentang, bertempat atau bersemayam, dan datang-pergi dari satu arah ke arah yang lain. Seorang yang tertipu oleh penampilan luar mereka maka ia akan mempercayai mereka, dan dengan demikian, dengan prasangka sesatnya ia menjadi berkeyakinan bahwa Allah adalah seperti benda-benda yang dapat diindra. Maka orang ini menjadi berkeyakinan rusak, dan terjatuh dalam kesesatan-kesesatan tanpa dia sadari”.
Al-Imâm al-Muhaddits al-Hâfizh al-Mufassir Abdurrahman ibn al-Jawzi al-Hanbali (w 597 H) menjelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah, tidak disifati dengan dengan menempel (ittishâl) atau terpisah (infishâl), dan berkumpul (ijtimâ’) atau tercerai (iftirâq). Dalam karyanya berjudul al-Bâz al-Asyhab,beliau membantah tuntas salah seorang pemuka kaum Musyabbihah Mujassimah bernama “Ibn az-Zaghuni”. Di antara tulisan beliau sebagai berikut:

قال: "فلما قالـ تعالى ـ {ثمّ استوى} [سورة الأعراف/54] علمنا اختصاصه بتلك الجهة"، وقالابن الزاغوني أيضا والعياذ بالله :"ولا بد أن يكون لذاته نهايةٌ وغايةيعلمها" قال ابن الجوزي ما نصه :"قلتُ: هذا رجلٌ لا يدري ما يقول، لأنهإذا قَدّر غايةً وفصلاً بين الخالق والمخلوق فقد حدده وأقر بأنه جسم وهو يقول فيكتابه إنه ليس بجوهر لأن الجوهر ما يتحيز، ثم يثبت له مكانًا يتحيز فيه.

قلت: ـ أي ابن الجوزيـ وهذا كلام جهل من قائله وتشبيه محض فما عرف هذا الشيخ ما يجب للخالق تعالى ومايستحيل عليه، فإن وجوده تعالى ليس كوجود الجواهر والأجسام التي لا بد لها من حيز،والتحت والفوق إنما يكون فيما يُقابَل ويحاذَى، ومن ضرورة المحاذِي أن يكون أكبر منالمحاذَى أو أصغر أو مثله، وأن هذا ومثله إنما يكون في الأجسام، وكلّ ما يحاذِيالأجسام يجوز أن يمسها، وما جاز عليه مماسة الأجسام ومباينتها فهو حادث، إذ قد ثبتأن الدليل على حدوث الجواهر قبولها المماسةَ والمباينة، فإن أجازوا هذا عليه قالوابجواز حدوثه، وإن منعوا هذا عليه لم يبق لنا طريق لإثبات حدوث الجواهر، ومتىقدّرنا مستغنيًا عن المحل ومحتاجًا إلى الحيز، ثم قلنا: إما أن يكونا متجاورين أومتباينين كان ذلك محالاً، فإن التجاور والتباينَ من لوازم التّحيز في المتحيّزات.

وقد ثبت أن الاجتماعوالافتراق من لوازم التحيز، والحق سبحانه وتعالى لا يوصف بالتحيز، لأنه لو كانمتحيزًا لم يخل إما أن يكون ساكنًا في حيّزهِ أو متحركًا عنه، ولا يجوز أن يوصفبحركة ولا سكون ولا اجتماع ولا افتراق، ومن جاورَ أو باين فقد تناهى ذاتًاوالتناهي إذا اختص بمقدار استدعى مخصِّصًا، وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخلٍ فيالعالم وليس بخارجٍ منه، لأن الدخول والخروج من لوازم المتحيزات فهما كالحركةوالسكون وسائر الأعراض التي تختصُّ بالأجرام.

وأما قولهم خلقالأماكن لا في ذاته فثبت انفصاله عنها قلنا: ذاته المقدس لا يَقبل أن يُخلَق فيهشىء ولا أن يحل فيه شىء، وقد حملهم الحِسُّ على التشبيه والتخليط حتى قال بعضهمإنما ذكَر الاستواء على العرش لأنه أقرب الموجودات إليه، وهذا جهل أيضًا لأن قربالمسافة لا يتصور إلا في جسم، ويَعِزُّ علينا كيف يُنْسَبُ هذا القائل إلى مذهبنا.واحتج بعضهم بأنه على العرش بقوله تعالى: {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُوَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ} [سورة فاطر/10] وبقوله:{وَهُوَ الْقَاهِرُفَوْقَ عِبَادِهِ} [سورة الأنعام/18] وجعلوا ذلك فوقية حسيّة ونسوا أن الفوقيةالحسية إنما تكون لجسم أو جوهر، وأن الفوقية قد تطلق لعلو المرتبة فيقال: فلان فوقفلان، ثم إنه كما قال تعالى:{فوق عباده} قال تعالى :{وهو معكم}، فمن حملها علىالعلم حمل خصمُه الاستواء على القهر، وذهبت طائفة إلى أن الله تعالى على عرشه وقدملأهُ والأشْبَه أنه مماس للعرش والكرسي موضِعُ قدميه. قلت: المماسة إنما تقع بينجسمين وما أبقى هذا في التجسيم بقية
Sementara Ibn az-Zaghuni al-Musyabbih pernah ditanya: “Apakah ada sifat Allah yang baharu sebelum Dia menciptakan arsy?” [Artinya; jika dikatakan Allah bertempat di arsy maka berarti sifat “bertempat” tersebut baharu karena Allah ada sebelum arsy], Ibn az-Zaghuni menjawab: “Tidak ada sifat Allah yang baharu. Allah menciptakan alam ini dari arah bawah-Nya, maka alam ini dari-Nya berada di arah bawah. Dengan demikian, jika telah tetap bahwa “arah bawah” bagi sesuatu selain Allah maka secara otomatis telah tetap bahwa “arah atas” sebagai arah bagi-Nya”.

Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Telah tetap bahwa segala tempat itu bukan didalam Dzat Allah, dan Dzat Allah juga bukan pada tempat. Dengan demikian maka sesungguhnya Allah terpisah dari alam ini. Dan ini semua mestilah memiliki permulaan hingga terjadi keterpisahan antara Allah dengan alam. Dan ketika Allah berfirman: “Istawâ” maka kita menjadi paham bahwa Dia berada di arah tersebut [bertempat di arsy]”.

Lalu Ibn az-Zaghuni juga berkata: “Dzat Allah pasti memiliki ujung dan penghabisan yang hanya Dia sendiri yang mengetahuinya”.

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Orang ini tidak mengerti dengan segala apa yangia ucapkannya sendiri. Padahal [akal sehat mengatakan] ketika ditetapkan adanya ukuran, ujung dan penghabisan serta jarak terpisah antara Allah dengan makhluk maka berarti orang itu telah berkeyakinan bahwa Allah sebagai benda. Benar, memang dia sendiri (Ibn az-Zaghuni) telah mengakui bahwa Allah sebagai benda (jism), karena dalam bukunya ia mengatakan bahwa Allah bukan jawhar (benda terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dilihat oleh mata) karena jawhar itu tidak memiliki tempat, sementara Allah --menurutnya-- memiliki tempat; yang Dia berada pada tempat tersebut”.

Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Apa yang diungkapkan oleh Ibn az-Zaghuni [dan orang musyabbih semacamnya] menunjukan bahwa dia adalah seorang yang bodoh, dan bahwa dia seorang musyabbih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). “Syaikh” ini benar-benar tidak mengetahui apa yang wajib pada hak Allah dan apa yang mustahil bagi-Nya. Sesungguhnya wujud Allah tidak seperti wujud segala jawhar dan segala benda; di mana setiap jawhar dan benda pastilah berada pada arah; bawah, atas, depan, [dan belakang], serta pastilah ia berada pada tempat. Lalu akal sehat mengatakan bahwa sesuatu yang bertempat itu bisa jadi lebih besar dari tempatnya itu sendiri, bisa jadi lebih kecil,atau bisa jadi sama besar, padahal keadaan semacam ini hanya berlaku pada benda saja. Kemudian sesuatu yang bertempat itu bisa jadi bersentuhan atau tidak bersentuhan dengan tempat itu sendiri, padahal sesuatu yang demikian inipastilah dia itu baharu. Logika sehat menetapkan bahwa segala jawhar [dan benda] itu baharu; karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah. Jika mereka menetapkan sifat menempel dan terpisah ini bagi Allah maka berarti mereka menetapkan kebaharuan bagi-Nya. Tapi jika mereka tidak mengatakan bahwa Allah baharu maka dari segi manakah kita akan mengatakan bahwa segala jawhar (dan benda) itu baharu -selain dari segi sifat menempel dan terpisah-? [artinya dengan dasar keyakinan mereka berarti segala jawhar  -dan benda- tersebut tidak baharu sebagaimana Allah tidak baharu]. Sesungguhnya bila Allah dibayangkan sebagai benda [seperti dalam keyakinan mereka] maka berarti Allah membutuhkan kepada tempat dan arah. [Oleh karena itu Allah tidak dapat diraih oleh segala akal dan pikiran, karena segala apapun yang terlintas dalam akal dan pikiran maka pastilah ia merupakan benda dan Allah tidak seperti demikian itu].

Kemudian kita katakan pula: “Sesungguhnya sesuatu yang bertempat itua dakalanya bersampingan dengan tempat tersebut (at-Tajâwur) dan adakalanya berjauhan dari tempat tersebut (at-Tabâyun); tentu dua perkara ini mustahil bagi Allah. Karena sesungguhnya at-tajawur dan at-tabayun adalah di antara sifat-sifat benda [dan Allah bukan benda].

Akal sehat kita juga menetapkan bahwa berkumpul (al-Ijtimâ’) dan berpisah (al-Iftirâq) adalah di antara tanda-tanda dari sesuatu yang bertempat. Sementara Allah tidak disifati dengan tanda-tanda kebendaan dan tidak disifati dengan bertempat, karena jika disifati dengan bertempat maka tidak lepas dari dua kemungkinan; bisa jadi berdiam pada tempat tersebut, atau bisa jadi bergerak dari tempat tersebut. Sesungguhnya Allah tidak disifati dengan dengan gerak (al-Harakah), diam (as-Sukûn),berkumpul (al-Ijtimâ’), dan berpisah (al-Iftirâq).

Kemudian pula; sesuatu yang bersampingan dengan tempat (at-Tajâwur) dan berjauhan dari tempat (at-Tabâyun) maka pastilah sesuatu tersebut sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dan sesuatu yang memiliki bentukdan ukuran maka mestilah ia membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan ukurannya tersebut.

Kemudian pula; tidak boleh dikatakan bagi Allah di dalam alam, juga tidak dikatakan di luar alam ini, karena pengertian di dalam (Dâkhil) dan diluar (Khârij) hanya berlaku bagi segala benda yang memiliki tempat dan arah. Pengertian di dalam (dâkhil) dan di luar (khârij) samadengan gerak (al-harakah) dan diam (as-sukûn); semua itu adalah sifat-sifat benda yang khusus hanya tetap dan berlaku pada benda-benda”.

Adapun perkataan mereka: “Allah menciptakan segala tempat di luar diri-Nya”; ini berarti dalam keyakinan sesat mereka bahwa Allah terpisah dari tempat-tempat tersebut dan dari seluruh alam ini. Kita katakan kepada mereka:“Dzat Allah maha suci; Dzat Allah bukan benda, tidak dikatakan bagi-Nya; Dia menciptakan sesuatu [dari makhluk-Nya] di dalam Dzat-Nya, juga tidak dikatakan Dia menciptakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Dzat Allah tidak menyatu dengan sesuatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyatu dengan Dzat Allah”.

Sesungguhnya dasar keyakinan sesat mereka adalah karena mereka berangkat dari pemahaman indrawi tentang Allah [mereka berkeyakinan seakan Allah sebagai benda], karena itulah ada dari sebagian mereka berkata: “Mengapa Allah bertempat di arsy? Adalah karena arsy sebagai benda yang paling dekat dengan-Nya”.

Apa yang mereka ungkapkan ini adalah jelas kebodohan, karena sesungguhnya dekat dalam pengertian jarak --dalam pemahaman siapapun-- hanya berlaku pada setiap benda. Lalu dengan dasar apa orang bodoh semacam ini mengatakan bahwa keyakinan sesatnya itu sebagai keyakinan madzhab Hanbali?? Sungguh kita [Ibnul Jawzi dan para ulama saleh bermadzhab Hanbali] merasa sangat dihinakan karena keyakinan bodoh ini disandarkan kepada madzhab kita.

Sebagian mereka; dalam menetapkan keyakinan rusak Allah bertempat di arsy mengambil dalil --dengan dasar pemahaman yang sesat-- dari firman Allah:


إلَيْه يَصْعَدُ الْكَلِمُالطّيّبُ وَالعَمَلُ الصّالِحُ يَرْفَعُه (فاطر: 10)

Juga--dengan pemahaman yang sesat-- dari firman Allah:

وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقِعِبَادِهِ (الأنعام: 61)

Dari firman Allah QS. Fathir: 10 dan QS. al-An’am: 61 ini mereka menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas. Mereka lupa (tepatnya mereka tidak memiliki akal sehat) bahwa pengertian “fawq” dalam makna indrawi hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja. Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah” (derajat yang tinggi), padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “Fulan Fawq Fulan”; artinya;“Derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).

Kita katakan pula kepada mereka: “Dalam QS. al-An’am: 62 Allah berfirman: “Fawq‘ Ibâdih”, kemudian dalam ayat lainnya; QS. al Hadid: 4, Allah berfirman: “WaHuwa Ma’akum”, jika kalian memahami ayat kedua ini dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui setiap orang dari kita [artinya dipahami dengan takwil “Ma’iyyahal-‘Ilm”; maka mengapa kalian menginkari musuh-musuh kalian (yaitu kaum Ahlussunnah) yang mengartikan “fawq” atau “Istawâ” dalam pengertian bahwa Allah maha menguasai [artinya dipahami dengan takwil “Fawqiyyah al-Qahr wa al-Istilâ”]?”.

Lebih buruk lagi, sebagian kaum Musyabbihah tersebut berkata: “Allah bertempat di arsy dan memenuhi arsy tersebut, dan sangat mungkin bahwa Allah bersentuhan dengan arsy, sementara al-Kursy [yang berada di bawah arsy] adalah tempat kedua telapak kaki-Nya”. Na’ûdzubillâh.

Aku katakan: “Sifat bersentuhan itu hanya terjadi di antara dua benda. Sungguh, mereka kaum musyabbihah buruk itu tidak menyisakan sedikitpun dari sifat-sifat benda kecuali semua itu mereka sandangkan kepada Allah”.
Seorang ahli tafsir terkemuka, al-Imâmal-Fakhr ar-Razi (w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:

"فلو كانعلوّ الله تعالى بسبب المكان لكان علو المكان الذي بسببه حصل هذا العلوّ لله تعالىصفة ذاتية، ولكان حصول هذا العلوّ لله تعالى حصولاً بتبعية حصوله في المكان، فكانعلو المكان أتم وأكمل من علو ذات الله تعالى، فيكون علو الله ناقصًا وعلوّ غيرهكاملا وذلك محال"
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan, sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil”.
Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS.Thaha: 5 al-Imâm al-Fakhr ar-Razi menuliskan sebagai berikut:

"المسألةالثانية: المشبهة تعلقت بهذه الآية في أن معبودهم جالس على العرش وهذا باطل بالعقلوالنقل من وجوه:

أحدها:أنه سبحانه وتعالى كان ولا عرش ولا مكان، ولما خلق الخلق لم يحتجْ إلى مكان بل كانغنيًّا عنه، فهو بالصفة التي لم يزل عليها إلا أن يزعُمَ زاعم أنه لم يزل مع اللهعرش.

وثانيها:أن الجالس على العرش لا بد وأن يكون الجزء الحاصل منه في يمين العرش غير الحاصل فييسار العرش، فيكون في نفسه مؤلَّفًا مركَّبًا، وكل ما كان كذلك احتاج إلى المؤلِّفوالمركِّب، وذلك محال.

وثالثها:أن الجالس على العرش إما أن يكون متمكنًا من الانتقال والحركة أو لا يُمْكِنُهذلك، فإن كان الأول فقد صار محل الحركة والسكون فيكون مُحْدَثًا لا محالة، وإن كانالثاني كان كالمربوط بل كان كالزَّمِن بل أسوأ حالاً منه، فإن الزَّمِنَ إذا شاءالحركة في رأسه وحدقته أمكنه ذلك وهو غير ممكن على معبودهم.

ورابعها:هو أن معبودهم إما أن يحصل في كل مكان أو في مكان دون مكان، فإن حصل في كل مكانلزمهم أن يحصل في مكان النجاسات والقاذورات وذلك لا يقوله عاقل، وإن حصل في مكاندون مكان افتقر إلى مخصص يخصِّصه بذلك المكان فيكون محتاجًا وهو على اللهمحال
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa Tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;

Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. (Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah)”.

Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan adanya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.

Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepadaatau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada diatas arsy tersebut diam saja.

Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah”.
al-‘Allâmah Saifuddin al-Amidi (w631 H) dalam kitab Ghâyah al-Marâm menuliskan sebagai berikut:

"فإن قيل مانشاهده منَ الموجودات ليس إلا أجسامًا وأعراضًا، وإثبات قسم ثالث مما لا نعقِله،وإذا كانت الموجودات منحصرة فيما ذكرناه فلا جائز أن يكون البارىء عرضًا لأن العرضمفتقِر إلى الجسم والبارىء لا يفتقِر إلى شىء، وإلا كان المفتقرُ إليه أشرفَ منهوهو محال، وإذا بطل أن يكون عرضًا بقي أن يكون جسمًا.

قلنا:منشأ الخبط ههنا إنما هو من الوهم لإعطاء الحق حكم الشاهد والحكم على غير المحسوسبما حكم به على المحسوس، وهو كاذب غير صادق، فإن الوهم قد يرتمي إلى أنه لا جسمإلا في مكان بناء على الشاهد، وإن شهد العقل بأن العالم لا في مكان لكَون البرهانقد دلَّ على نهايته، بل وقد يشتد وهم بعض الناس بحيث يقضي به على العقل، وذلك كمنينفِر عن المبيت في بيت فيه ميت لتوهمه أنه يتحرك أو يقوم، وإن كان عقله يقضيبانتفاء ذلك، فإذًا اللبيب من ترك الوهم جانبًا ولم يتخذ غير البرهان والدليلصاحبًا. وإذا عرف أن مستند ذلك ليس إلا مجرد الوهم، فطريق كشف الخيال إنما هوبالنظر في البرهان فإنا قد بيَّنا أنه لا بد من موجودٍ هو مُبدىء الكائنات،وبيَّنا أنه لا جائز أن يكون له مثل من الموجودات شاهدًا ولا غائبًا، ومع تسليمهاتين القاعدتين يتبين أن ما يقضي به الوهم لا حاصل له. ثم لو لزم أن يكون جسمًاكما في الشاهد للزم أن يكون حادثًا كما في الشاهد وهو ممتنع لما سبق، وليس هوعرضًا وإلا لافتقر إلى مقوم يقومه لوجوده، إذ العرض لا معنى له إلا ما وجوده فيموضوع، وذلك أيضًا محال
“Jika dikatakan; Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segalayang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada (segala makhluk) ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda maka berarti Allah yang menciptakan itu semua mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.

Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.

Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran. Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuan-ketentuan yang berlaku pada benda itu sendiri (yaitu sifat-sifat benda), dan ini jelas tertolak. Di atas sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda, karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri, ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah”.
Masih dalam kitab Ghâyahal-Marâm, al-Imâm al-Amidi menuliskan sebagai berikut:

"لو كان فيجهة لم يخل إما أن يكون في كل جهة أو في جهة واحدة، فإن كان في كل جهة فلا جهة لناإلا والرب فيها، وهو محال، وإن كان في جهة مخصوصة، فإما أن يستحقها لذاته أولمخصص، لا جائز أن يستحقها لذاته، إذ نسبة سائر الجهات إليه على وتيرة واحدة،فإذًا لا بد من مُخصصٍ، وإذ ذاك فالمحال لازم من وجهين:

الأول:أن المخصص إما أن يكون قديمًا أو حادثًا، فإن كان قديمًا لزم منه اجتماع قديمينوهو محال، وإن كان حادثًا استدعى في نفسه مخصصًا ءاخر، وذلك يفضي إلى التسلسل وهوممتنع.

الوجهالثاني: هو أن الاختصاص بالجهة صفة للرب تعالى قائمة بذاته، أي على قول معتقدالجهة في الله، ولو افتقرت إلى مخصص لكانت في نفسها ممكنة، لأن كل ما افتقر فيوجوده إلى غيره فهو باعتبار ذاته ممكن، وذلك يوجب كون البارىء ممكنًا بالنسبة إلىبعض جهاته، والواجب بذاته يجب أن يكون واجبًا من جميع جهاته
"
“Jika Allah berada pada arah maka tidak lepas dari ada pada seluruh arah atau ada pada satu arah saja. Jika Ia ada pada seluruh arah maka berarti tidak ada satu arah pun bagi kita kecuali Allah berada pada arah tersebut. Dan ini jelas mustahil. Kemudian jika ia berada pada satu arah maka tidak lepas dari dua keadaan; ada yang menjadikannya pada arah tersebut atau arah tersebut ada azali; tanpa permulaan bersama-Nya.Tentunya mustahil jika arah tersebut ada azali bersama-Nya. Karena pada dasarnya seluruh arah bagi Allah itu sama saja, satu atas lainnya tidak lebih istimewa, artinya semuanya makhluk Allah. Bila Allah berada pada satu arah maka itu berarti ada yang mengkhususkan-Nya pada arah tertentu tersebut. Ini tentunya sesuatu yang mustahil, dengan melihat kepada dua segi:

Pertama: Bahwa yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut tidak lepas dari dua keadaan; antara qadim atau baharu (hâdits). Jika qadim maka berarti ada dua yang qadim; yaitu Allah dan yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut, ini jelas mustahil. Dan jika baharu maka berarti ia membutuhkan kepada lainnya. Dan lainnya ini butuh pula kepada yang yang lainnya pula. Dan seterusnya berantai demikian tanpa penghabisan (Tasalsul). Ini tentunya mustahil.

Kedua: Bahwa menurut pendapat yang mengatakan Allah memiliki arah berarti kekhususan arah tersebut bagi Allah merupakan sifat-Nya. Itu berarti kekhususan sifat tersebut membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dan yang mengadakannya, dengan demikian secara akal berarti Dia tidak ubahnya seperti makhluk. Karena sesuatu yang ada yang membutuhkan kepada yang mengadakannya berarti sesuatu tersebut adalah makhluk. Kemudian jika ada pada Allah satu sifat saja yang baharu seperti sifat yang ada makhluk maka ini berarti dimungkinkan adanya kebaharuan pada sifat-sifat Allah yang lainnya. Padahal Allah wajib Qadim pada seluruh sifat-sifat-Nya”.
Al-Imâm al-Mujtahid al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki, sebagaimana dikutip oleh al-Imâm al-Hâfizh Murtadla az-Zabidi, berkata:

"صانعالعالم لا يكون في جهة لأنه لو كان في جهة لكان في مكان ضرورة أنها المكان أوالمستلزمة له، ولو كان في مكان لكان متحيزًا ولو كان متحيزًا لكان مفتقِرًا إلىحيّزه ومكانه فلا يكون واجب الوجود وثبت أنه واجب الوجود وهذا خُلْفٌ، وأيضًا فلوكان في جهة فإما في كل الجهات وهو محال وشنيع، وإما في البعض فيلزم الاختصاصالمستلزم للافتقار إلى المخصِّص المنافي للوجوب"
“Pencipta alam (Allah) ada tanpa arah,karena bila berada pada arah maka berarti Dia ada pada tempat, dan bila demikian maka berarti secara pasti bahwa tempat tersebut sebagai sesuatu yang harus bagi-Nya. Padahal bila Dia berada pada arah maka berarti Dia bertempat,dan bila demikian maka berarti Dia membutuhkan kepada tempat-Nya tersebut, dan bila demikian maka berarti Dia tidak lagi disebut “Wajib al-Wujud”, padahal bukankah Dia “Wajib al-Wujud” (Maha ada tanpa membutuhkan kepada suatu apapun dan tanpa permulaan)? Sementara bila Dia “membutuhkan tempat” maka berarti Dia menyalahi sifat “Wajib al-Wujud” ini. Kemudian pula jika Allah berada pada arah maka bisa jadi Dia berada disemua arah; dan jelas ini perkara mustahil dan buruk, atau bisa jadi Dia berada pada sebagian arah saja; dan bila demikian maka berarti Dia membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kekhususan sebagian arah tersebut, dan ini juga jelas menafikan sifat-Nya sebagai Yang “Wajib a;-Wujud”.
al-Imâm al-Bayyadli al-Hanafi (w1098 H) dalam kitab Isyârât al-Marâm membahas dengan sangat detail argumen rasional bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Beliau menuliskan:

"الخامس: ما أشار إليه ـ أبو حنيفة ـ (وقال في "الفقهالأبسط": كان الله تعالى ولا مكان، كان قبل أن يخلق الخلق كان ولم يكن أين)أي مكان (ولا خلق ولا شىء و{هو خالق كل شىء} [سورة الأنعام/102]) مُوجِد له بعدالعدم فلا يكون شىء من المكان والجهة قديمًا وفيه إشارات:

الأولى: الاستدلالبأنه تعالى لو كان في مكان وجهة لزم قدمهما، وأن يكون تعالى جسمًا، لأن المكان هوالفراغ الذي يشغله الجسم، والجهة اسم لمنتهى مأخذ الإشارة ومقصد المتحرك فلايكونان إلا للجسم والجسماني، وكل ذلك مستحيل كما مر بيانه، وإليه أشار بقوله:"كان ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء وهو خالق كل شىء". وبطل ما ظنه ابنتيمية منهم من قدم العرش كما في شرح العضدية.

الثانية: الجواب بأنلا يكون البارىء تعالى داخل العالم لامتناع أن يكون الخالق داخلاً في الأشياءالمخلوقة، ولا خارجًا عنه بأن يكون في جهة منه لوجوده تعالى قبل خلق المخلوقاتوتحقق الأمكنة والجهات، وإليه أشار بقوله:{هو خالق كل شىء} [سورة الأنعام/102] وهوخروج عن الموهوم دون المعقول"
Ke lima; Apa yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Absath; “Bahwa Allah azali; tanpa permulaan, Dia ada sebelum ada makhluk-Nya, Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah, Dialah Pencipta segala sesuatu. Maka setelah menciptakan segala sesuatu Dia tetap tidak membutuhkan kepada segala sesuatu. Dia maha Qadim, sementara tempat dan arah itu baharu”, dalam ungkapan al-Imâm Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqhal-Akbar tersebut al-Imâm al-Bayyadli menyimpulkan beberapa poin penjelasan penting berikut ini.

Pertama: Dari pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas terdapat argumen yang sangat kuat, ialah bahwa jika Allah ada pada tempat dan arah maka berarti arah dan tempat tersebut mestilah qadim, dan berarti pula bahwa Allah adalah benda. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang dipenuhi oleh suatu benda. Dan definisi arah adalah nama bagi objek penghabisan bagi suatu isyarat. Keduanya; tempat dan arah hanya berlaku bagi suatu benda dan apapun yang memiliki bentuk. Semua ini mustahil atas Allah sebagaimana telah kita jelaskan. Inilah yang dimaksud oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya: “Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dan Dialah Pencipta segala sesuatu”. Dengan demikian adalah pendapat batil apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy tidak memiliki permulaan, sebagaimana penjelasan bantahan atasnya telah panjang lebar dalam kitab Syarh al-‘Aqîdah al-Adludiyyah.

Kedua: Perkataan al-Imâm Abu Hanifah adalah merupakan jawaban bahwa Allah tidak boleh dikatakan di dalam alam; karena tidak bisa diterima akal Sang pencipta berada di dalam yang diciptakannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di luar alam dengan mengatakan bahwa Dia di arah tertentu dari alam ini. Hal ini karena Allah ada sebelum menciptakan segala makhluk-Nya, ada sebelum segala arah dan tempat. dan Dialah Pencipta segala sesuatu. Allah berfirman: “Dia Allah Pencipta segala sesuatu” (QS. al-An’am: 102). Keyakinan ini dibangun diatas akal sehat bukan di atas prasangka”.
Seorang teolog terkemuka (al-Mutakallim), ahi fiqih (al-Faqîh) dan pakar sejarah (al-Mu’arrikh), al-Imâm Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725 H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imâm Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Ansharial-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah, berisi argumentasi logis dari al-Qurthubi yang hal ini sekaligus disepakati oleh ibn al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut:

"قال الإمام أبو عبد الله محمد بن عمر الأنصاري القرطبي:والذي يقتضي بطلان الجهة والمكان مع ما قررناه من كلام شيخنا وغيره من العلماءوجهان: أحدهما: أن الجهة لو قدّرت لكان فيها نفيُ الكمال، وخالق الخلقمستغنٍ بكمال ذاته عمّا لا يكون به كاملاً. والثاني: أن الجهةإما أن تكون قديمة أو حادثة، فإن كانت قديمة أدّى إلى مُحالين، أحدهما أن يكون معالبارىء في الأزل غيرُه، والقديمان ليس أحدهما بأن يكون مكانًا للثاني بأولى منالآخر، فافتقر إلى مخصِّصٍ يُنقَلُ الكلام إليه، وما يُفْضي إلى المحال محال"
“Al-Imâm Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di antara yang dapat membatalkan pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua hal:

Pertama: Bahwa arah jika benar ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.

Kedua: Jika Allah ada pada tempat dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan dua perkara mustahil. Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu yang qadimbagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil”.
Al-Hâfizh al-Muhaddits al-Imâm as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithâfas-Sâdah al-Muttaqîn menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imâm al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, al-Imâm al-Ghazali menuliskan sebagai berikut:

"الاستواءلو ترك على الاستقرار والتمكن لزم منه كون المتمكِّن جسمًا مماسًا للعرش: إما مثلهأو أكبر منه أو أصغر، وذلك محال، وما يؤدي إلى المحال فهو محال"
“al-Istiwâ’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah”.
Dalam menjelaskan tulisan al-Imam al-Ghazali di atas al-Imâm az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:

"وتحقيقه أنه تعالى لو استقر على مكان أو حاذى مكانًا لم يخلمن أن يكون مثل المكان أو أكبر منه أو أصغر منه، فإن كان مثل المكان فهو إذًامتشكل بأشكال المكان حتى إذا كان المكان مربعًا كان هو مربعًا أو كان مثلَّثا كانهو مثلَّثا وذلك محال، وإن كان أكبر من المكان فبعضه على المكان، ويُشْعِرُ ذلكبأنه متجزىء وله كلٌّ ينطوي على بعض، وكان بحيث ينتسب إليه المكان بأنه ربعه أوخمسه، وإن كان أصغر من ذلك المكان بقدر لم يتميز عن ذلك المكان إلا بتحديد وتتطرقإليه المساحة والتقدير، وكل ما يؤدي إلى جواز التقدير على البارىء تعالى فتجوّزهفي حقه كفر من معتقِدِه، وكل من جاز عليه الكون بذاته على محل لم يتميز عن ذلكالمحل إلا بكون، وقبيح وصف البارىء بالكون، ومتى جاز عليه موازاة مكان أو مماستهجاز عليه مباينته، ومن جاز عليه المباينة والمماسة لم يكن إلا حادثًا، وهل علمناحدوث العالم إلا بجواز المماسة والمباينة على أجزائه. وقصارى الجهلة قولهم: كيفيتصوّر موجود لا في محل؟ وهذه الكلمة تصدر عن بدع وغوائل لا يَعْرِفُ غورَهاوقعرها إلا كلُّ غوّاص على بحار الحقائق، وهيهات طلب الكيفية حيث يستحيل محال. والذي يَدْحَضُ شُبَهَهُمْ أن يُقال لهم: قبلَ أن يَخْلُقَالعالم أو المكانَ هل كان موجودًا أم لا؟ فمِن ضرورة العقلِ أن يقول: بلى، فيلزمهلو صحَّ قولُه: لا يُعلمُ موجود إلا في مكان أَحَدُ أمرين: إما أن يقول: المكانوالعرش والعالم قديم، وإما أن يقول: الربُّ تعالى محدَثٌ، وهذا مآلُ الجهلةوالحشويةِ، ليس القديمُ بالمحدَثِ، والمُحدَثُ بالقديم. ونعوذ بالله من الحَيْرةفي الدين"
“Penjabaran rinciannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadilebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy.Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah Yang Azali ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel diatas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah yang menyerupakan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda-

Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian - bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu - seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak”.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top