Gambar di atas adalah scan dari hadits al-Bukhari, dan Syarh-nya Fathul Bari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Syafi’i al-Asy’ari, yang menegaskan bahwa Khalifah Umar mengakui bid’ah hasanah. Berikut kisah dialog kami dengan Wahabi:
Wahabi: “Bid’ah hasanah tidak ada.”
Sunni: “Bid’ah hasanah ada, berdasarkan perkataan Khalifah Umar, dalam riwayat al-Bukhari tentang shalat Tarawih, “Sebaik-baik bid’ah adalah shalat Tarawih ini.”
Wahabi: “Maksud perkataan Khalifah Umar, adalah bid’ah secara lughawi atau bahasa, bukan bid’ah secara syar’i.”
Sunni: “Anda mengarahkan perkataan Khalifah Umar terhadap bid’ah lughawi, apakah ada riwayat dari Khalifah Umar tentang maksud tersebut, atau itu murni penafsiran Anda?”
Wahabi: “Riwayat dari Khalifah Umar sih tidak ada. Itu penafsiran para ulama kami seperti Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani, al-Fauzan, al-Jibrin dan lain-lain.”
Sunni: “Apakah nama-nama ulama yang anda sebutkan tadi juru bicara resmi Khalifah Umar yang dapat menjelaskan maksud perkataan beliau?”
Wahabi: “Bukan Jubir beliau, tetapi para ulama yang kami ikuti. Mereka sangat menguasai maksud-maksud al-Qur’an dan Hadits seperti yang dipahami oleh ulama Salaf semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.’
Sunni: “Maaf, sepertinya para ulama yang anda sebutkan berbeda dengan Syaikh Ibnu Taimiyah. Dalam Majmu’ Fatawa-nya Ibnu Taimiyah tidak menafsirkan perkataan Khalifah Umar dengan makna lughawi, akan tetapi makna syar’i. dan Ibnu Taimiyah juga mengakui adanya bid’ah hasanah.”
Setelah si Sunni menunjukkan data dari kitab Ibnu Taimiyah, si Wahabi tidak bisa menjawab. Lalu Sunni bertanya: “Menurut anda, Khalifah Umar menjelaskan kebid’ahan gagasan beliau tentang shalat Tarawih tersebut, apakah dalam kapasitas beliau sebagai ahli bahasa Arab, atau dalam kapasitas beliau sebagai Khalifah dan pemimpin umat Islam yang syar’i dan harus ditaati?”
Sekali lagi, di sini si Wahabi tidak bisa menjawab. Kemudian si Sunni, melanjutkan perkataannya secara bijak: “Seandainya Khalifah Umar bermaksud dengan perkataan tersebut terhadap bid’ah secara lughawi, tentu tidak masuk akal. Beliau seorang Khalifah yang rasyid, mendapat petunjuk, selalu berkata tegas. Masak dalam persoalan agama seperti shalat Tarawih beliau akan melontarkan perkataan hanya untuk main-main saja, bukan bertujuan serius. Nah dari sini, harus kita pahami bahwa maksud perkataan beliau adalah bid’ah secara syar’i, bukan lughawi. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW tentang Khalifah Umar: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran melalui lidah Umar dan hatinya.” Ia mendapat gelar al-faruq, karena sikapnya dapat membedakan makna pengikut kebenaran dan kebatilan. Main-main termasuk kebatilan, tidak mungkin melalui lidah dan hati Khalifah Umar.”
Wahabi: “Bukankah shalat Tarawih sudah ada pada masa Rasulullah SAW? Sehingga apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar sebenarnya bukan bid’ah akan tetapi sunnah?”
Sunni: “Owh kalau begitu, berarti para sahabat telah meninggalkan shalat tarawih yang sunnah itu sejak masa Rasulullah SAW dan masa Abu Bakar? Bukankah mereka sebaik-baik generasi? Mengapa begitu lama meninggalkan sunnah Rasul? Nah, di sini letak kekeliruan logika Anda. Para ulama telah menjelaskan segi kebid’ahan shalat tarawih yang digagas oleh Khalifah Umar dari beberapa aspek. Pertama, Nabi SAW tidak menganjurkan para sahabat melakukannya. Beliau melaksanakan beberapa malam, lalu meninggalkannya. Kedua, Nabi SAW tidak memerintahkan sahabat berjamaah menjadi satu, sebagaimana gagasan Umar. Demikian pula pada masa Abu Bakar. Ketiga, Nabi SAW mengerjakannya tidak di awal malam, akan tetapi di akhir malam. Demikian ini sebagaimana dipaparkan oleh para ulama yang mengomentari hadits tersebut.”
Akhirnya, si Wahabi tidak dapat memberikan jawaban. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
Wahabi: “Bid’ah hasanah tidak ada.”
Sunni: “Bid’ah hasanah ada, berdasarkan perkataan Khalifah Umar, dalam riwayat al-Bukhari tentang shalat Tarawih, “Sebaik-baik bid’ah adalah shalat Tarawih ini.”
Wahabi: “Maksud perkataan Khalifah Umar, adalah bid’ah secara lughawi atau bahasa, bukan bid’ah secara syar’i.”
Sunni: “Anda mengarahkan perkataan Khalifah Umar terhadap bid’ah lughawi, apakah ada riwayat dari Khalifah Umar tentang maksud tersebut, atau itu murni penafsiran Anda?”
Wahabi: “Riwayat dari Khalifah Umar sih tidak ada. Itu penafsiran para ulama kami seperti Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani, al-Fauzan, al-Jibrin dan lain-lain.”
Sunni: “Apakah nama-nama ulama yang anda sebutkan tadi juru bicara resmi Khalifah Umar yang dapat menjelaskan maksud perkataan beliau?”
Wahabi: “Bukan Jubir beliau, tetapi para ulama yang kami ikuti. Mereka sangat menguasai maksud-maksud al-Qur’an dan Hadits seperti yang dipahami oleh ulama Salaf semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.’
Sunni: “Maaf, sepertinya para ulama yang anda sebutkan berbeda dengan Syaikh Ibnu Taimiyah. Dalam Majmu’ Fatawa-nya Ibnu Taimiyah tidak menafsirkan perkataan Khalifah Umar dengan makna lughawi, akan tetapi makna syar’i. dan Ibnu Taimiyah juga mengakui adanya bid’ah hasanah.”
Setelah si Sunni menunjukkan data dari kitab Ibnu Taimiyah, si Wahabi tidak bisa menjawab. Lalu Sunni bertanya: “Menurut anda, Khalifah Umar menjelaskan kebid’ahan gagasan beliau tentang shalat Tarawih tersebut, apakah dalam kapasitas beliau sebagai ahli bahasa Arab, atau dalam kapasitas beliau sebagai Khalifah dan pemimpin umat Islam yang syar’i dan harus ditaati?”
Sekali lagi, di sini si Wahabi tidak bisa menjawab. Kemudian si Sunni, melanjutkan perkataannya secara bijak: “Seandainya Khalifah Umar bermaksud dengan perkataan tersebut terhadap bid’ah secara lughawi, tentu tidak masuk akal. Beliau seorang Khalifah yang rasyid, mendapat petunjuk, selalu berkata tegas. Masak dalam persoalan agama seperti shalat Tarawih beliau akan melontarkan perkataan hanya untuk main-main saja, bukan bertujuan serius. Nah dari sini, harus kita pahami bahwa maksud perkataan beliau adalah bid’ah secara syar’i, bukan lughawi. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW tentang Khalifah Umar: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran melalui lidah Umar dan hatinya.” Ia mendapat gelar al-faruq, karena sikapnya dapat membedakan makna pengikut kebenaran dan kebatilan. Main-main termasuk kebatilan, tidak mungkin melalui lidah dan hati Khalifah Umar.”
Wahabi: “Bukankah shalat Tarawih sudah ada pada masa Rasulullah SAW? Sehingga apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar sebenarnya bukan bid’ah akan tetapi sunnah?”
Sunni: “Owh kalau begitu, berarti para sahabat telah meninggalkan shalat tarawih yang sunnah itu sejak masa Rasulullah SAW dan masa Abu Bakar? Bukankah mereka sebaik-baik generasi? Mengapa begitu lama meninggalkan sunnah Rasul? Nah, di sini letak kekeliruan logika Anda. Para ulama telah menjelaskan segi kebid’ahan shalat tarawih yang digagas oleh Khalifah Umar dari beberapa aspek. Pertama, Nabi SAW tidak menganjurkan para sahabat melakukannya. Beliau melaksanakan beberapa malam, lalu meninggalkannya. Kedua, Nabi SAW tidak memerintahkan sahabat berjamaah menjadi satu, sebagaimana gagasan Umar. Demikian pula pada masa Abu Bakar. Ketiga, Nabi SAW mengerjakannya tidak di awal malam, akan tetapi di akhir malam. Demikian ini sebagaimana dipaparkan oleh para ulama yang mengomentari hadits tersebut.”
Akhirnya, si Wahabi tidak dapat memberikan jawaban. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Post a Comment