Sementara ciri khas kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap para ulama serta otoritas penuh dalam penafsiran teks-teks keagamaan. Rasulullah saw bersabda,
"Para ulama itu pewaris para nabi". (HR. Ibn Asakir dan Ibn al-Najjar).Apabila para ulama berposisi sebagai pewaris para nabi, tentu saja otoritas mereka dalam penafsiran teks-teks harus dijunjung tinggi dan diikuti oleh umat Islam. Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda:
"Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak memberikan otoritas terhadap ulama di antara kami (laisa minna man lam yu'thi li'alimina haqqahu)". (HR. Ahmad dan al-Hakim dalam al-Mustadrak)Dalam sebuah diskusi di Masjid al-Hikmah,Kesiman Denpasar Timur, beberapa waktu yang lalu, setelah saya memaparkan pandangan para ulama tentang suatu persoalan, seorang laki-laki Wahhabi dengan berapi-api berkata: "Kita harus mengikuti al-Qur'an dan Sunnah saja. Tidak perlu mengikuti ulama. Ulama belum tentu masuk surga." Demikian laki-laki Wahhabi tadi berbicara.
Pernyataan Wahhabi tersebut merupakan sebuah ajakan agar kita meninggalkan ulama. Memang pada dasarnya kaum Muslimin berkewajiban mengikuti al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi, tidak mudah bagi setiap orang memahami pesan-pesan agama yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu, al-Qur'an sendiri memerintahkan kaum beriman agar mengikuti petunjuk ulama dalam mengamalkan al-Qur'an dan Sunnah. Allah SWT berfirman,
"Bertanyalah kalian kepada ahli ilmu apabila kalian tidak tahu." (QS. 16 : 43).Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita agar merujuk kepada ulama, bukan kepada pemahaman setiap orang. Seandainya para ulama itu tidak punya otoritas dalam memahami dan menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah, tentu saja al-Qur'an akan memerintahkan kita agar berfikir dan membolak-bolak lembaran-lembaran al-Qur'an dan hadits. Akan tetapi tidak demikian. Allah SWT justru memerintahkan kaum beriman agar merujuk kepada ulama. Oleh karena itu, kaum Muslimin sejak dahulu kala mengikuti pola bermadzhab dalam mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan. Karena tidak semua orang mampu memahami isi al-Qur'an dan Sunnah. Di kalangan sahabat Nabi saw saja, generasi terbaik umat Islam, hanya sekitar sepuluh orang sahabat yang diakui sebagai mujtahid muthlaq dan berfatwa dalam berbagai persoalan keagamaan. Sementara dalam soal-soal parsial, ada sekitar dua ratus orang yang mampu melakukannya. Jika para sahabat, murid baginda Rasulullah saw, hanya sedikit yang mampu berijtihad, tentu saja orang-orang seperti kita tidak akan mampuber ijtihad.
Oleh karena itu, para pakar bersepakat bahwa di antara ciri khas liberalisme adalah menolak otoritas ulama. Karena dengan penolakan tersebut akan melahirkan penafsiran yang sembarangan dan ngawur terhadap teks-teks agama. Lebih-lebih ketika penafsiran mereka dilatarbelakangi oleh motif hawa nafsu dan kepentingan pemikiran liberalisme.
Dewasa ini ada kelompok yang sangat militan,tetapi juga menyemaikan paradigma liberalisme tanpa sadar, yaitu kelompok Hizbut Tahrir. Meskipun secara lahiriah, HT selalu berseberangan dengan kaum liberaldi tanah air, tetapi sebenarnya paradigma liberalisme telah merasuki ajaran HT tanpa sadar dengan menghapus otoritas ulama. Penghapusan otoritas ulama telah dikatakan oleh pendiri HT, Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam kitab al-Tafkir, hal. 149 sebagai berikut:
"Sesungguhnya seseorang apabila telah mampu melakukan istinbath, maka ia sudah menjadi mujtahid. Oleh karena itu sesungguhnya istinbath atau ijtihad itu mungkin dilakukan oleh semua orang dan mudah dicapai oleh siapa saja yang menginginkan lebih-lebih setelah buku-buku bahasa Arab dan buku-buku syari'at Islam telah tersedia di hadapan banyak orang dewasa ini".
Ajakan ijtihad oleh pendiri Hizbut Tahrir tersebut terhadap siapa saja yang ingin menjadi mujtahid, secara tidak langsung merupakan pembunuhan terhadap otoritas ulama yang ditetapkan oleh al-Qur'an dan Sunnah serta telah menjadi pola keagamaan kaum Muslimin sepanjang masa. Pembunuhan otoritas ulama berarti mengadopsi paradigma liberal secara kasatmata.
Karena itu, tidak aneh, jika kemudian kita dapati fatwa-fatwa HT yang menyimpang dari ajaran Islam, seperti membolehkan ciuman dengan wanita yang bukan muhrim, boleh menonton film porno, bahkan ada juga yang sempat berpendapat bahwa shalat, zakat dan kewajiban lainnya itu tidak wajib selama khilafah belum berhasil ditegakkan. Hal ini merupakan akibat pembukaan kran ijtihad seluas-luasnya oleh sang pendiri Hizbut Tahrir, yang merupakan ciri khas paradigma liberal.
Dalam berbagai tulisan, tidak aneh jika kita dapati anak-anak HT, yang sebelumnya malas belajar agama kepada para ulama, namun kemudian mereka menafsirkan teks agama dengan logikanya sendir serta idengan menolak penafsiran para ulama yang otoritatif dalam setiap bidangnya. Halini terjadi dalam penafsiran al-Qur'an, hadits dan hukum-hukum fiqih. Liberalisme dengan HT pada intinya tidak ada bedanya dalam paradigma pemikiran. Hanya saja, kaum liberal menolak otoritas ulama secara terang-terangan dan tidak sopan, sementara HT menolak otoritas ulama dengan terselubung dan tanpa sadar di belakang tameng terbukanya pintu ijtihad selebar-lebarnya kepada siapa pun. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Post a Comment