fakta wahabi
Ini adalah jawaban dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Abul Jauzaa' Al Wahhabi di Blognya.

Untuk Melihat Jawaban Ustadz Idrus Ramli kepada Abul Jauzaa' yang lalu silahkan klik ini :

Ustadz Idrus Ramli Menjawab Abul Jauzaa' - Kami Penyembah Kuburan atau Wahabi Pengagum Abu Jahal dan Abu Lahab ?

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Ramli Menjawab Menjawab Abul Jauzaa' masih mengenai Istighatsah. [Serial Kebohongan Abul Jauzaa' Al Wahhabi Part 2]

KEBOHONGAN DAN KEBODOHAN ILMIAH ABUL JAUZAA’, TENTANG ATSAR IBNU UMAR radhiyallahu ‘anhuma

SETELAH SAYA MENULIS CATATAN TENTANG KESHAHIHAN ATSAR IBNU ‘UMAR radhiyallahu ‘anhuma, KETIKA KAKINYA MATI RASA, LALU MENGATAKAN “YA MUHAMMAD”, SEBAGIAN TEMAN FB MEMBERITAHUKAN BAHWA ABUL JAUZAA’ (USTADZ WAHABI), MENULIS BANTAHAN TERHADAP TULISAN TERSEBUT. SETELAH SAYA LIHAT, TERNYATA ABUL JAUZAA’ MENDHA’IFKAN ATSAR TERSEBUT DENGAN BERTAKLID BUTA KEPADA PARA PENULIS DI MULTAQA AHLI HADATS (NAMA SITUS WAHABI). OLEH KARENA ITU, TULISAN INI AKAN MENGUNGKAP KEBOHONGAN ILMIAH ABUL JAUZAA’.

SUNNI: “Di antara dalil istighatsah adalah, atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: خَدِرَتْ رِجْلُ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ " يَا مُحَمَّدُ "
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, ia berkata : Kaki Ibnu ‘Umar pernah mati rasa (kesemutan). Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya : “Sebutlah orang yang paling engkau cintai”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Wahai Muhammad” [Al-Adabul-Mufrad no. 964].
Atsar tersebut telah kami buktikan keshahihannya dalam catatan kami di fans page ini, pada beberapa waktu yang lalu.”

WAHABI: “Riwayat tersebut lemah dengan alasan ‘an’anah Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Memang Sufyaan al-Tsauri dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari Zuhair bin Mu’aawiyyah, seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya (di akhir usia Abu Ishaaq).”.

SUNNI: “Telah saya jelaskan dalam tulisan saya, bahwa ikhtilath nya Abu Ishaq tidak berpengaruh dalam periwayatan haditsnya. Terutama berkaitan dengan atsar Ibnu Umar di atas. Terbukti riwayat Zuhair dari Abu Ishaq, setelah mengalami ikhtilath, sama dengan riwayat Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum ikhtilath. Sehingga antara riwayat Sufyan al-Tsauri dan riwayat Zuhair bin Mu’awiyah saling menguatkan. Riwayatnya Sufyan semakin kuat dengan mutaba’ah nya Zuhair. Sedangkan riwayat Zuhair, seandainya memang lemah, menjadi kuat dengan riwayat Sufyan al-Tsauri. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits??? Sedangkan terkait dengan ‘an’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i, telah kami jawab, terselamatkan dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq yang diriwayatkan oleh al-Harbi dalam Ghariibul-Hadiits 2/673 : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari orang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar. Syu’bah berkata :

كفيتكم تدليس ثلاثة: الأعمش وأبو إسحاق وقتادة
“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang : al-A’masy, Abu Ishaq, dan Qatadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29].”
Dengan demikian, kelemahan riwayat Sufyan al-Tsauri karena factor ‘an’anah nya Abu Ishaq, terlematkan dan dihukumi muttashil (sambung), dengan riwayatnya Syu’bah dari Abu Ishaq berkaitan dengan atsar tersebut. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???”

WAHABI: “Tapi bagaimanapun riwayat Syu’bah tetap lemah, karena terdapat perawi mubham (tidak jelas identitasnya), antara Abu Ishaq dengan Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma.”

SUNNI: “Bukankah lemahnya riwayat Syu’bah, karena factor perawi yang mubham, telah dikuatkan oleh riwayat Sufyan al-Tsauri dan Zuhair bin Mu’awiyah yang menyebutkan bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.
“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, maka akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).
Dalam pernyataan al-Imam an-Nawawi dan as-Suyuthi di atas, hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalur yang dha’if, apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis dan jahalah, kelemahannya menjadi hilang karena ada jalur lain yang menguatkan dan menjelaskan. Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas sekali antara riwayat Syu’bah, Sufyan al-Tsauri dan Zuhair saling menguatkan. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???

WAHABI: “Atsar Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum di atas, juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 168, tetapi riwayat ini lemah dengan sebab Muhammad bin Khidaasy, seorang yang majhuul. Juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 170, tetapi riwayat dari jalur ini lemah dengan sebab Muhammad Mush’ab, dan al-Haitsam bin Hanasy juga seorang yang majhuul.”

SUNNI: “Anda terlalu gegabah dalam menghukumi ketiga perawi yang Anda sebutkan sebagai perawi lemah dan majhul. Berikut penjelasan status ketiga perawi yang Anda zhalimi itu.

1) Muhammad bin Khidasy, sepertinya beliau Mahmud bin Khidasy al-Thaliqani, hanya terkadang dalam sebagian kitab ditulis Muhammad bin Khidasy. Beliau seorang al-imam al-hafizh al-tsiqah, sebagaimana disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal. Meriwayatkan dari Husyaim, Ibnu al-Mubarak, Fudhail bin Iyadh, Sufyan bin Uyainah dan seangkatannya. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Nairuz al-Anmathi, perawi atsar Ibnu Umar dalam riwayat Ibnus-Sunniy.

2) Muhammad bin Mush’ab al-Qarqasani, kata al-Dzahabi, fiihi dhu’fun (terdapat kelemahan), dalam artian status kelemahan Muhammad bin Mush’ab adalah kelemahan yang ringan (khafif), bukan kelemahan mutlak. Bukan pula perawi lemah, dalam level menengah ke bawah, akan tetapi masih di atas mereka. Oleh karena itu, al-Tirmidzi masih men-shahih kan haditsnya. Anehnya, kelompok anti istighatsah hanya mengutip pendapat ulama yang menganggap nya lemah saja. Sementara para ulama yang menilainya adil dan tsiqah, tidak mereka kutip. Di antara ulama yang menilai nya adil adalah Ibnu Adi dalam al-Kamil, Ahmad bin Hanbal dan al-Bukhari dalam al-Tarikh. Perawi yang statusnya diperselisihkan antara lemah dan adil, haditsnya bernilai hasan, sebagaimana dalam ilmu mushthalah hadits. (Kalau Anda ingin tahu, redaksi bahasa Arabnya, akan kami kemukakan dalam catatan selanjutnya).

3) Al-Haitsam bin Hanasy, bukan perawi majhul, akan tetapi perawi yang tidak diragukan ke-tsiqah-annya. Beliau meriwayatkan hadits dari dua orang sahabat Ibnu Umar dan Hanzhalah bin Rabi’ah al-Usaidi al-Katib (sekretaris wahyu). Ulama yang meriwayatkan dari al-Haitsam bin Hanasy adalah Abu Ishaq al-Sabi’i dan Salamah bin Kuhail. Silahkan Anda cek dalam Ibnu Abi Hatim al-Jarh wa al-Ta’dil; al-Daraquthni, al-Mu’talif wa al-Mukhtalif; dan Abu Nu’aim al-Ashfihani, Ma’rifah al-Shahabah.

Dengan demikian, riwayat Ibnu al-Sunni melalui kedua jalur tersebut, kelemahannya hanya karena faktor ‘an’anah, dan telah dikuatkan oleh riwayat Syu’bah di atas, sehingga posisinya menjadi shahih atau hasan lighairihi. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.
“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).
WAHABI: “Itu kan mushthalah hadits ulama dulu. Kami mengikuti mushthalah hadits yang sekarang.”

SUNNI: “Apakah Anda pengikut al-Albani?”

WAHABI: “Ya tentu. Siapa lagi kalau bukan al-Albani.”

SUNNI: “Menurut kaedah yang pernah dikemukakan oleh al-Albani, atsar Ibnu Umar tersebut seharusnya shahih dan menjadi hujjah. Al-Albani berkata dalam kitab nya Tamam al-Minnah:

تقوية الحديث بكثرة الطرق ليس على اطلاقه : من المشهور عند اهل العلم أن الحديث اذا جاء من طرق متعددة فإنه يتقوى بها ويصير حجة وان كان كل طريق منها على انفراده ضعيفا. ولكن هذا ليس على اطلاقه بل هو مقيد عند المحققين منهم بما اذا كان ضعف رواته في مختلف طرقه ناشئا من سوء حفظهم، لا من تهمة في صدقهم او دينهم، وإلا فإنه لا يتقوى مهما كثرت طرقه.
“Menilai kuatnya hadits berdasarkan banyaknya jalur tidak bersifat mutlak. Di antara yang populer menurut ahli ilmu, bahwa suatu hadits apabila datang dari jalur yang banyak, maka dapat menjadi kuat dan menjadi hujjah, meskipun masing-masing jalur secara parsial bernilah lemah. Tetapi ini tidak bersifat mutlak. Akan tetapi dibatasi menurut muhaqqiqin dari ahli ilmu, dengan batasan apabila kelemahan perawinya dalam berbagai jalurnya timbul dari hapalan mereka yang buruk, bukan karena kejujuran dan agama mereka yang dicurigai. Kalau tidak demikian, maka tidak bisa kuar meskipun jalur-jalurnya banyak.” (Al-Albani, Tamam al-Minnah, hal. 31).
Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas (meskipun sebenarnya kita tidak butuh pada al-Albani, karena kaedah tersebut berlaku umum dalam kitab-kitab mushthalah hadits), atsar Ibnu Umar di atas harus dinilah kuat dan menjadi hujjah, karena jalurnya banyak, dan kelemahannya bukan karena faktor perawinya tidak jujur, pendusta atau fasiq, akan tetapi karena faktor ‘an’anah.”

WAHABI: “Apakah riwayat Syu’bah (jalur kedua) dapat menguatkan riwayat Ats-Tsauriy dan Zuhair (jalur pertama) – sehingga dapat disimpulkan bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’d ?.
Jawabnya : Tidak, dengan sebab :
1. Riwayat Ats-Tsauriy tidak shahih hingga ‘Abdurrahmaan karena ‘an’anah Abu Ishaaq, sedangkan riwayat Syu’bah shahih hingga perawi mubham tersebut. Atau dengan kalimat singkat : Riwayat Syu’bah lebih shahih hingga tingkatan syaikh-nya Abu Ishaaq daripada riwayat Ats-Tsauriy.”

SUNNI: “Penilaian Anda bahwa atsar tersebut lemah, sesuai dengan kaedah ilmu mushthalah hadats (bid’ah) yang Anda ikuti. Kalau berdasarkan ilmu mushthalah hadits, seperti kami ketengahkan pernyataan para ulama di atas, riwayat atsar di atas, harusnya dinilai shahih.”

WAHABI: “2. Jalur riwayat ketiga dan keempat oleh Ibnus-Sunni, di mana Abu Ishaq meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Syu’bah dan al-Haitsam bin Hanasy, merupakan qarinah tambahan adanya idlthiraab dalam periwayatan Abu Ishaaq, sehingga hadits tersebut lemah.”

SUNNI: “Anda sungguh lucu dan mengherankan. Seorang wanita yang berduka cita karena anaknya mati, akan sangat terhibur dengan humor Anda dalam menghukumi hadits. Anda tidak mengerti kriteria hadits mudltharib, tapi dalam catatan-catatan Anda, seakan-akan Anda sudah sangat alim melebihi al-Baihaqi, al-Dzahabi dan al-Suyuthi dalam bidang hadits. Anda harus tahu, bahwa menghukumi suatu riwayat itu mudltharib, harus membuktikan adanya pertentangan dalam sanad atau matan. Dan sebelum menghukumi bahwa suatu riwayat dikatakan mudltharib, harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:

Pertama, apabila kedua riwayat tersebut dapat digabungkan, maka harus digabungkan. Khawatir riwayat tersebut bertentangan hanya secara lahiriah, sedangkan pada hakikatnya, tidak bertentangan.

Kedua, jika tidak bisa digabungkan, maka solusinya dilakukan tarjih, mana yang lebih kuat dari sekian riwayat tersebut.

Ketiga, kalau tarjih tidak bisa dilakukah, karena semua riwayatnya memiliki kekuatan yang sejajar, maka hadits tersebut dihukumi tawaqquf, dan menunjukkan bahwa riwayat tersebut lemah. Ini sebenarnya yang harus Anda ketahui. Oleh karena itu, banyak sekali hadits mudltharib, tetapi tidak mempengaruhi dalam melemahkan hadits tersebut menurut para ulama huffazh.

Sekarang, sebelum saya menjelaskan lebih jauh pernyataan para ulama dalam mushthalah hadits, saya akan membantah Anda dengan pernyataan Ibnu Taimiyah, yang di-ma’shum-kan oleh kaum Wahabi, bahkan selevel dengan ke-ma’shum-an imam-imam Syiah di mata orang Syi’ah. Ibnu Taimiyah berkata:

إِنَّ أَبَا إسْحَاقَ كَانَ الْحَدِيثُ يَكُونُ عِنْدَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ يَرْوِيه عَنْ هَذَا تَارَةً وَعَنْ هَذَا تَارَةً كَمَا كَانَ الزُّهْرِيُّ يَرْوِي الْحَدِيثَ تَارَةً عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَتَارَةً عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وَتَارَةً يَجْمَعُهُمَا فَمَنْ لَا يَعْرِفُهُ فَيُحَدِّثُ بِهِ تَارَةً عَنْ هَذَا وَتَارَةً عَنْ هَذَا يَظُنُّ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّ ذَلِكَ غَلَطٌ وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ. (مجموع فتاوى ابن تيمية، 18/25).
“Sesungguhnya Abu Ishaq, hadits miliknya diriwayatkan dari banyak orang. Ia terkadang meriwayatkan dari ini, dan terkadang dari ini. Sebagaimana al-Zuhri meriwayatkan hadits terkada dari jalur Sa’id bin al-Musayyab dan terkadang dari jalur Abu Salamah, dan terkadang menggabungkan keduanya. Orang yang tidak tahu, maka menyampaikan haditsnya, kadang dari ini dan kadang dari ini. Sebagian manusia beraumsi bahwa riwayat tersebut keliru. Padahal keduanya shahih.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 18 hal. 25).
Pernyataan Ibnu Taimiyah, bagi kaum Wahabi sama dengan wahyu. Di sini Anda berada antara dua pilihan, yang termanispun dari keduanya pasti terasa pahit. Ada kalanya Anda salahkan imam Anda atau Anda harus mengakui kesalahan dan kebohongan Anda dalam ilmu hadits.

Al-Hafizh al-Sakhawi berkata dalam Fath al-Mughits:

إن اختلاف الرواة في اسم رجل أو نسبه لا يؤثر ذلك لأنه إن كان الرجل ثقة كما هو مقتضى صنيع من صحح هذا الحديث فلا ضير كا تقدم في كل من المعل والمنكر لا سيما وفي الصحيحين مما اختلف فيه على راويه جملة أحاديث وبذلك يرد على من ذهب من أهل الحديث إلى أن الاختلاف يدل على عدم الضبط في الجملة فيضر ذلك ولو كانت رواته ثقات إلا أن يقوم دليل على أنه عند الراوي المختلف عليه عنهما جميعا أو بالطريقتين جميعا والحق إنه لا يضر فإنه كيف ما دار كان على ثقة
“Perselisihan para perawi tentang nama seseorang atau nasabnya tidak akan berpengaruh. Karena apabila orang tersebut tsiqah, dipercaya, sebagaimana yang telah menjadi tuntutan sikap orang yang men-shahihkan hadits ini, maka tidaklah berbahaya sebagaimana telah dikemukakan, dalam hadits mu’all dan munkar. Lebih-lebih dalam Bukhari-Muslim, di antara perawi yang diperselisihkan, terdapat banyak hadits. Dengan demikian, dapat dibantah terhadap kalangan ahli hadits yang berpendapat bahwa perbedaan menunjukkan tidak adanya dhabth secara umum sehingga membahayakan meskipun para perawinya dipercaya, kecuali jika ada dalil bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh sang perawi yang diperselisihkan itu dari keduanya atau dengan kedua jalur itu. Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidaklah berbahaya, karena bagaimanapun, riwayat tersebut melalui perawi yang tsiqah.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, Fath al-Mughits, juz1 hal. 239).
Al-Imam al-Hafizh Ibnu Daqiqil-‘Id berkata dalam kitabnya al-Iqtirah fi Fann al-Ishthilah sebagai berikut:

الثامن عشر - المضطرب :
وهو أحد أسباب التعليل عندهم وموجبات الضعف للحديث .
والأمر فيه منقسم ، فإن كان أحد الوجوه مروياً من وجه ضعيف والآخر من وجه قوي ، فلا تعليل والعمل بالقويِّ متعيَّن .
وإن لم يكن كذلك ، فإن أمكن الجمع بين تلك الوجوه بحيثُ يمكن أن يكون المتكلم معبِّراً باللفظين الواردين عن معنى واحد ، فلا إشكال أيضاً ، مثل أن يكون في أحد الوجهين قد قال الراوي : عن رجل . وفي الوجه الآخر سُمِّي رجلاً ، فهذا يمكن أن يكون ذلك المُسمَّى ، هو ذلك المبهم ، فلا تعارض .
وإن لم يكن كذلك ، بأن يسمى مثلاً الراوي باسم معين في رواية ، ويسمى آخر باسم آخر في رواية أخرى . فهذا محل نظر إذ يتعارض فيه أمران :
أحدهما : أنه يجوز أن يكون عن الرجلين معاً .
الثاني : أن يغلب على الظن أنَّ الراوي واحد ، اختلف فيه .
فههنا لا يخلو إما أن يكون / الرجلان معاً ثقتين أو لا .
فإن كانا ثقتين ، فههنا مقتضى مذاهب الفقهاء والأصوليين أن لا يضر هذا الاختلاف ؛ لأنه إن كان الحديث عن هذا المعيَّن ، فهو عدل .
وإن كان عن الآخر ، فهو عدل ، فكيفما انقلبنا ، انقلبنا إلى عدل ، فلا يَضُرُّ هذا الاختلاف
Silahkan Anda artikan sendiri.
Al-Imam al-Zarkasyi berkata dalam al-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah:

( قوله ) " المضطرب هو الذي يختلف الرواة فيه فيرويه بعضهم على وجه وبعضهم على وجه آخر مخالف " ينبغي أن يقال " على وجه يؤثر " ليخرج ما لو روي الحديث عن رجل مرة وعن آخر أخرى قال ابن حزم " فهذا قوة للحديث وزيادة في دلائل صحته كما إذا روى الأعمش الحديث عن سهيل بن أبي صالح عن أبيه عن أبي هريرة ويرويه [ غير ] الأعمش عن [ سهيل عن ] أبيه عن أبي سعيد إذ من الممكن أن يكون أبو صالح سمع الحديث من أبي هريرة وأبي سعيد معا فرواه مرة عن هذا ومرة عن هذا " انتهى
“Mudltharib adalah, hadits yang dipertentangkan oleh para perawi, sehingga sebagian perawi meriwayatkannya dari satu jalur, dan sebagian dari jalur lain yang bertentangan. Hendaknya, dikatakan, dari jalur lain yang berpengaruh, agar dapat mengecualikan seandainya suatu hadits, diriwayatkan dari seseorang dalam suatu saat, dari orang lain pada saat yang lain. Ibnu Hazm berkata, ini justru kekuatan bagi hadits dan menambah bukti-bukti keshahihannya. Sebagaimana misalnya apabila al-A’masy meriwayatkan hadits dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya dari Abu Hurairah. Lalu selain al-A’masy meriwayatkannya dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Sa’id. Karena ada kemungkinan Abu Shaleh, memang mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id. Sehingga ia terkadang meriwayatkannya dari ini, dan terkadang dari ini.” (Al-Zarkasyi, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, juz 2 hal. 224).
WAHABI: “Selain itu, matan riwayat tersebut juga mengandung nakarah dengan adanya permintaan doa kepada selain Allah ta’ala ketika tertimpa musibah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” [QS. An-Nam : 62].”
SUNNI: “Pada dasarnya, atsar di atas tidak mengandung nakarah. Yang mengandung nakarah justru otak Anda, karena taklid buta kepada Ibnu Taimiyah, yang melarang istighatsah dengan Nabi SAW atau wali yang sudah wafat. Sudah kami tegaskan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah tidak ada yang melarang istighatsah. Larangan istighatsah adalah murni kebohongan Ibnu Taimiyah. Kalau Anda tidak percaya, silahkan Anda buktikan, bahwa Ibnu Taimiyah tidak berbohong. Kami sudah berkali-kali membuktikan kebohongan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ayat al-Qur’an yang Anda kemukakan, tidak mengandung larangan istighatsah. Karena dalam ber-istighatsah, seorang Mukmin meyakini bahwa Allah SWT sebagai Tuhan dan mustaghats bih (yang dimintai tolong) secara haqiqi, sedangkan nabi atau wali yang dipanggil, hanya sebagai mustaghats bih secara majazi. Oleh karena itu, doa istighatsah telah berlangsung dan diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Di antara bukti bahwa istighatsah telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW adalah hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah SAW yang diajarkan agar berdoa dengan redaksi berikut ini:

(اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan”.
Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW ini. Ia orang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya. Akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah ketika dia tidak berada di hadapan Nabi SAW (tidak di majlis Rasul SAW ) dan kembali ke majlis Rasul SAW dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang menjadi saksi mata atas peristiwa ini, mengajarkan petunjuk tersebut kepada orang lain pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA, yang tengah mengajukan permohonan kepadanya. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta tersebut pada masa Rasul SAW. Setelah itu ia mendatangi Utsman bin Affan dan akhirnya ia disambut oleh beliau dan permohonannya dipenuhi. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ulama ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al-Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Shaghir dan al-Du’â’ dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, al-Syaukani dan lain-lain.

Hadits ini adalah dalil dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Nabi SAW pada saat Nabi SAW masih hidup, di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman bin Hunayf kepada tamu Sayidina Utsman, karena hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi SAW hidup, tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (16605), al-Tirmidzi (3502) dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah (h. 417), Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah (I/441), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (IX/19) dan al-Du’â’ (II/1298) dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/313, 519) dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (VI/166) dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan dan dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari dan lain-lain.

Jika ada yang mengatakan bahwa makna:

(اَللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).

adalah:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ.

dengan dalil perkataan Nabi SAW di awal hadits:

إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ.
“Jika engkau mau, engkau bisa bersabar. Dan jika engkau mau, aku akan mendoakan kamu.”
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi SAW ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan!

Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa dalam rangkaian hadits di atas, tidak disebutkan Nabi SAW benar-benar mendoakan orang buta itu. Yang disebutkan dalam riwayat itu adalah bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudhu’, Rasulullah SAW kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu datang lagi dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits di atas:

فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرٌّ قَطُّ.
“Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW, dan demi Allah kita belum berpisah dan belum lama dalam majlis Rasulullah SAW, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang ke majlis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi SAW di awal hadits tersebut adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta itu, bukan mendoakannya secara langsung:

. . . وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.
“Apabila kamu mau, aku akan mengajarkan doa agar engkau berdoa dengannya”.
Jadi pemaknaan lafazh بنبينا dalam hadits di atas dengan بدعاء نبينا itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi ber-tawassul dengan redaksi nida’ (memanggil) sekalipun tidak di hadapan nabi atau wali adalah boleh berdasarkan hadits ini tanpa dilakukan penakwilan dan tanpa memperkirakan terjadinya kalimat yang dibuang.

Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi atau wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya tawassul dan istighatsah dengan para nabi atau wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jadi hadits ini membantah pendapat sebagian orang bahwa ber-tawassul hanya boleh dengan al-hayy al-hadhir (nabi atau wali yang masih hidup dan dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya. Dalam hal ini, Muhammad bin Ali al-Syaukani mengatakan:

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ اعْتِقَادِ اَنَّ الْفَاعِلَ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَنَّهُ الْمُعْطِيْ الْمَانِعُ، مَا شَاءَ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ. (الإمام الشوكاني، تحفة الذاكرين، ص/180).
“Hadits ini menjadi dalil bolehnya ber-tawassul dengan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dengan keyakinan bahwa yang memberi dan menolak secara hakiki adalah Allah. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan terjadi. Sesuatu yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi.” (Al-Syaukani, Tuhfat al-Dzakirin, hal. 180).
Dalam bagian lain (Tuhfat al-Dzakirin, hal. 72 dan al-Dur al-Nadhid, hal. 5) al-Syaukani juga mengatakan bahwa ber-tawassul kepada selain nabi seperti orang-orang saleh dan para wali, juga dibolehkan.

Al-Syaukani termasuk tokoh yang diakui oleh kelompok Wahhabi dan dianggap sebagai salah satu pelopor gerakan ijtihad dan anti madzhab. Mereka mengatakan bahwa al-Syaukani sejajar dengan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sebagaimana mereka sebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Muyassarah (juz I, hal. 139-143) yang diterbitkan oleh organisasi al-Nadwah al-‘Alamiyyah li al-Syabab al-Islami di Riyadh Saudi Arabia.

WAHABI: “Anda dalam menjelaskan dalil-dalil istighatsah, mengambil hadits dan atsar dari mana-mana. Itu bukti bahwa Anda sangat membela istighatsah.”

SUNNI: “Alhamdulillah, kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam menetapkan hukum-hukum syar’i, termasuk kebolehan istighatsah mengambil dalil-dalil dari berbagai kitab, dan semuanya bukan kitab sampah. Akan tetapi kitab-kitab yang memang diakui oleh para ulama ahli hadits. Hal ini berbeda dengan Anda, yang melarang dan mengkafirkan istighatsah, hanya mengambil dari informasi bohong si narapidana, Ibnu Taimiyah. Silahkan Anda buktikan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah ada ulama salaf yang melarang istighatsah. Kalau perlu, Anda cari dalam kitab-kitab sampah sebelum Ibnu Taimiyah, kalau memang ulama yang melarang istighatsah. Pasti tidak akan Anda dapatkan. Bukti bahwa ajaran anti istighatsah, adalah ajaran tidak benar, sesat dan menyesatkan.”

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli

3 komentar:

  1. bagus mas, alhamdulillah nambah pengetahuan banget ni. klo bisa update jawaban ust idrus di muat semua juga yah... ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. insyaallah mbak. terimakasih atas support nya..

      Delete
  2. kritikan untuk ustad idrus. 1) seandainya mau menyebut selain wahabi, karena saya tau beliau bukan menisbatkan pemahamannya kepada Syaikh 'Abdul wahab. saya yakin ustad idrus tahu orang salaf sedikitpun tidak menisbatkan kepadanya, dari sini ustad telah tergelincir dan sejalan dengan syaitan,yang mana suka memberi laqab-laqab yang buruk, 2) semasa Raslullah hidup ini di di bolehkan sebagaimana perempuan yang punya ayan yang di doakan dan orang buta yang di suruh berdoa, adapun setelah meninggalnya tak ada yang mendatangi kubur Nabi yang ada justru larangan, silahkan lihat jalan golongan yang selamat oleh Syaik jamil zainu. sekarang bandingkan ust. dengan orang yang mengelus-elus kuburan, meratap, bernadzar, dan lain2 tidakkah semua ini berangkat dari kesalahan dalam memahami keadaan sebagaimana ustad lakukan tentang istigisah. 3) diantara ciri pelaku bid'ah, lebih memilih hukum yang belum jelas dari pada yang telah jelas, seperti dalil-dalil yang jadi pembicaraan para ulama, tidak mengambil yang nyata-nyata meyakinkan. 4) sesuatu yang bakal menjadi orang terjerumus kepada yang lebih parah seperti keadaan sekarang salah kaprah dalam istighosah, seorang yang berilmu harus menutup jalan kesana. sebagaimana Rasulullah melarang dan melaknat ahlul kitab yang mengagungkan kubur-kubur mereka. semoga yang sedikit ini tidak sia-sia.

    ReplyDelete

 
Top