fakta wahabi
Ini adalah jawaban dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli [Ahlussunnah Wal Jama'ah] yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Ustadz Firanda [Wahabi] di Websitenya yang berjudul “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ternyata Melarang Istighatsah”.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Idrus Menjawab Menjawab Firanda Mengenai "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ternyata Melarang Istighatsah"

IBNU TAIMIYAH, ULAMA KONTROVERSIAL DALAM BANYAK PERSOALAN

TANGGAPAN TERHADAP TULISAN USTAZD DR FIRANDA ANDIRJA, DI WEBNYA YANG BERJUDUL: “SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH TERNYATA MELARANG ISTIGHATSAH”

Setelah saya menulis posting di FP ini berjudul “IBNU TAIMIYAH MEMPERMALUKAN KAUM WAHABI YANG ANTI ISTIGHATSAH”, tulisan tersebut ditanggapi oleh Ustadz Dr Firanda, ahli hadits dan alumni Universitas Islam Saudi Arabia. Oleh karena tulisan beliau mengandung banyak kelemahan secara metodologis dan ilmiah, kami merasa perlu untuk mengomentarinya melalui catatan ini.

WAHABI (USTADZ DR. FIRANDA): “Bantahan terhadap Ust. Muhammad Ramli Idurs yang menuduh Ibnu Taimiyah mendukung dalam diri seorang ust. M.Ramli Idrus, iapun akhirnya memaksakan diri untuk mencari dan merangkai tulisan sebagai bekingan atas keyakinan itu, di antara yang telah ia tulis adalah sebuah status di laman FBnya yang ia beri judul: IBNU TAIMIYAH MEMPERMALUKAN KAUM WAHABI YANG ANTI ISTIGHATSAH”.

SUNNI: “Hukum tawasul dan istighatsah dengan Nabi SAW maupun wali yang sudah wafat, bukan tertanam di dalam benak Muslim Sunni sekarang, akan tetapi merupakan ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, ulama Salaf dan Ahli Hadits. Justru Ibnu Taimiyah adalah orang pertama yang mengharamkan tawasul dan istighatsah dengan Nabi SAW atau wali setelah wafat. Pendapat syadz/nyeleneh/bathil dan fasid Ibnu Taimiyah tersebut kemudian disebarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, pendiri Wahabi dan murid-muridnya termasuk Ustadz Dr Firanda. Bukti, bahwa istighatsah berlangsung sejak masa Nabi SAW, sahabat dan kaum Salaf sangat banyak untuk diuraikan di sini, terbukti Ibnu Taimiyah menceritakan dalam sebagian kitabnya dalil-dalil istighatsah, sebagaimana telah kami paparkan dalam posting sebelumnya dan akan disinggung dalam kajian di bawah ini.”

WAHABI: “Ust. M. Ramli Idrus hendak memojokkan Ahlussunnah Waljama'ah Assalafiy dengan cara membenturkan mereka dengan pendapat Syaikhul Islam, namun ternyata tipu daya ini hanya akan menjerat ust. M.Ramli sendiri.”

SUNNI: “Para ulama kami menganggap kaum Wahabi bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Para ulama dari madzahibul Arba’ah (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sepakat menganggap Wahabi sebagai bagian dari Khawarij dalam hal pengkafiran dan penghalalan darah dan harta benda umat Islam di luar alirannya, dan termasuk Mujassimah dalam masalah akidah. Di antara ulama madzahibul Arba’ah yang menetapkan bahwa Wahabi bagian dari Khawarij adalah:

1) Al-Imam Ibnu ‘Abidin al-Hanafi dalam Hasyiyah Raddul Muhtar, juz 6 hal. 403. Kitab ini menjadi rujukan Ustadz Firanda dalam mengharamkan jenggot.

2) Al-Imam Ahmad al-Shawi al-Maliki dalam Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3 hal. 307.

3) Al-Imam Syaikhul Islam as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dalam al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah. Beliau juga rujukan Ustadz Firanda dalam memerangi Kenduri Tahlilan.

4) Al-Imam Abdullah bin Shufan al-Qaddumi al-Nabulusi dalam al-Rahlah al-Hijaziyyah wa al-Riyadh al-Unsiyyah, hal 117.”.

WAHABI: “berikut pendapat Syaikhul Islam tentang Istighatsah :

فأما ما لا يقدر عليه إلا الله تعالى، فلا يجوز أن يطلب إلا من الله سبحانه، لا يطلب ذلك لا من الملائكة، ولا من الأنبياء ولا من غيرهم، ولا يجوز أن يقال لغير الله: اغفر لي، واسقنا الغيث، وانصرنا على القوم الكافرين، أو اهد قلوبنا، ونحو ذلك. ولهذا روى الطبراني في معجمه أنه كان في زمن النبي صلى الله عليه وسلم منافق يؤذي المؤمنين، فقال الصديق: قوموا بنا نستغيث برسول الله صلى الله عليه وسلم من هذا المنافق، فجاءوا إليه فقال: " إنه لا يستغاث بي، وإنما يستغاث بالله" وهذا في الاستعانة مثل ذلك.
“Artinya: Maka adapun perkara yang tidak mampu diperbuat kecuali oleh Allah Ta'aala, maka tidak boleh memintanya kecuali kepada Allah yang maha suci, perkara tersebut tidak boleh diminta kepada para Malaikat, tidak kepada para nabi, dan tidak pula kepada selain mereka. Tidak boleh mengakatakan selain kepada Allah: "Ampunilah aku", "curahkanlah kami hujan", "tolonglah kami dari kaum yang kafir", atau "tunjukkanlah hati kami", dan yang semisalnya, dari itulah Al-Thabariy – Rahimahullah - di dalam kitab Mu'jamnya meriwayatkan: "Bahwasanya dulu pada zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ada seorang munafik yang sering menyakiti kaum mukmin, maka berkatalah Al-Shiddiq: "Ayo kita bangkit berIstighatsah kepada Rasulullah dari orang yang munafik ini!" maka mereka pun akhirnya datang kepada nabi, maka nabi pun bersabda: " sesungguhnya masalah ini tiadalah di Istighatsahkan denganku, namun hanya di Istighatsahkan dengan Allah ", dan (Hadits) ini dalam perkara meminta tolong sama seperti (hukum Istighatsah) itu.”.
Itulah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Qaidah Jalilah Fittawassul Wal Wasilah yang sangat jelas melarang Istighatsah berdasarkan dengan dalil yang jelas dan benar, lalu bagaimanakah dengan M.Ramli Idris ini, apakah ia akan meralat tuduhannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan berkata: "Ibnu Taimiyah yang menganjurkan istighatsah" ataukah bagaimana? Ia harus meralatnya kecuali jika malunya telah tertimbun oleh kebencian, dan ingatlah, jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu.”

SUNNI: “Dalam tawasul dan istighatsah, seseorang bukan meminta tolong kepada makhluq, akan tetapi berdoa kepada Allah, disertai dengan memanggil atau menyebut nama seseorang yang mulia menurut Allah, seperti Nabi SAW atau wali. Oleh karena itu, istighatsah dan tawasul tidak termasuk perbuatan syirik. Terbukti Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri berkata dalam al-Kalim al-Thayyib:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”
Kalau seandainya Ibnu Taimiyah tidak memperbolehkan istighatsah, mengapa beliau mengutip riwayat dari Ibnu Umar ketika kakinya mati rasa lalu berkata “Ya Muhammad”? Apakah Nabi SAW mampu, tanpa pertolongan Allah, menyembuhkan mati rasa seseorang??? Bukankah ini bagian dari istighatsah???

Perlu juga dikemukakan di sini, bahwa Ustadz Firanda yang sangat rajin mencari kelemahan hadits-hadits yang kami ajukan, ternyata di sini tidak mengkaji hadits larangan istighatsah yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah dari riwayat al-Thabarani di atas. Padahal hadits tersebut dha’if/lemah, termasuk menurut guru-guru Ustadz Firanda sendiri ketika kuliah di Saudi Arabia. Dr Rabi’ bin Hadi ‘Umair al-Madkhali, ketika mentahqiq kitab Qa’idah Jalilah, hal. 254, mengatakan bahwa hadits tersebut adalah dha’if. Ternyata Syaikh Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits dha’if dalam melarang beristighatsah dengan makhluq. Sementara dalil beristighatsah dengan makhluq, riwayatnya shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Abdullah bin Umar berkata: “Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari mendekat pada hari kiamat, sehingga keringat mencapai separuh telinga. Ketika umat manusia demikian, mereka ber-istighatsah dengan Nabi Adam, kemudian dengan Nabi Musa dan kemudian dengan Nabi Muhammad SAW.” (HR al-Bukhari)”.
WAHABI: “Apakah benar ulama salaf, beristighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat seperti apa yang dikatakan Ustadz Idrus Ramli? Mari kita tinjau bersama, tentang apakah yang dibahas oleh Syaikhul Islam sebenarnya dalam scan yang telah diterjemahkan oleh ust. M. Idrus Ramli, maka untuk jelasnya berikut perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

وفي الباب حكايات عن بعض الناس، أنه رأى مناماً قيل له فيه: ادع بكذا وبكذا، ومثل هذا لا يجوز أن يكون دليلاً باتفاق العلماء. وقد ذكر بعض هذه الحكايات من جمع في الأدعية. ورُوي في ذلك أثر عن بعض السلف، مثل ما رواه ابن أبي الدنيا في كتاب مجابي الدعاء، قال: حدثنا أبو هاشم، سمعت كثير ابن محمد ابن كثير بن رفاعة يقول: جاء رجل إلى عبد الملك بن سعيد ابن أبجر، فجس بطنه فقال: بك داء لا يبرأ. قال: ما هو؟ قال: الدُّبَيْلة . قال: فتحول الرجل فقال: الله الله، الله ربي، لا أشرك به شيئاً، اللهم إني أتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة صلى الله عليه وسلم تسليماً، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك وربي يرحمني مما بي. قال فجس بطنه فقال: قد برئت ما بك علة .
“Artinya: Dan pada pembahasan bab ini juga terdapat beberapa cerita yang berasal dari sebagian orang, bahwasanya ia melihat di dalam mimpi ada yang berkata kepadanya: berdoalah dengan doa ini dan yang ini, maka mimpi seperti ini tidak boleh menjadi dalil berdasarkan kesepakatan para ulama, dan sungguh sebagian cerita-cerita ini telah disebutkan dari beberapa ulama dalam beberapa doa.

Dan telah diriwayatkan pada yang demikian itu suatu Atsar yang berasal dari sebagian salaf, seperti Atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya di dalam kitab Majabiddu'a, beliau berkata: Abu Haitsam telah mengatakan kepada kami: aku telah mendengar Katsir Bin Muhammad Bin katsir Bin Rifa'ah berkata: seorang lelaki datang kepada Abdul Malik Bin Sa'id Bin Abjar, tiba-tiba ia memegang perutnya, maka (Abdul malik) bertanya: sepertinya kamu terkena penyakit yang tiada akan sembuh. Lelaki itu berkata: penyakit apakah itu? Abdul Malik berkata: "Addubailah", dan Katsir Bin Rifa'ah berkata: Maka orang itu pun pergi dan berkata: "Allah, Allah, Allah adalah tuhanku, tiadalah aku menyekutukannya dengan apapun, ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai nabi Rahmah- Shallallahu 'Alaihi Wasallam- , wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada tuhanmu dan tuhanku agar ia mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku.

Katsir Bin Rifa'ah berkata: maka lelaki itu meraba perutnya, dan Abdul malik berkata: sungguh telah sembuh penyakit yang ada pada dirimu.”
Inilah riwayat yang menceritakan tentang sembuhnya penyakit perut seorang lelaki karena doanya kepada Allah yang disertai dengan bertawassul kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu dari manakah ust. M.ramli menyimpulkan bahwa ada "Ulama salaf, yang beristighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat" berdasarkan riwayat Atsar ini? Apakah ust. M.Ramli kurang teliti membedakan antara Istighatsah dan Tawassul?
Dan penting kita ingat kembali, bahwa Atsar di atas hanyalah contoh dari suatu cerita yang tidak pantas dijadikan sebagai dalil karena terbangun semata dari mimpi.”


SUNNI: “Ustadz Firanda tidak mengerti hakikat istighatsah dan tawasul. Karenanya dalam pernyataan di atas ada beberapa kerancuan:

Pertama, Ustadz Firanda berkata: “lalu dari manakah Ust. M. Idrus Ramli menyimpulkan bahwa ada "Ulama salaf, yang beristighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat" berdasarkan riwayat Atsar ini?” Jawabannya, dari riwayat di atas, di mana Ibnu Taimiyah mengutip dari Ibnu Abi al-Dunya, yang hidup pada masa salaf, yang meriwayatkan dalam kitabnya Mujabi al-Du’a’, dari kisah Abdul Malik bin Sa’id bin Abjar yang hidup pada masa Salaf juga. Jadi kisah tersebut terjadi pada masa Salaf dan diriwayatkan oleh ulama Salaf untuk diamalkan.

Kedua, Ustadz Firanda berkata: “Dan penting kita ingat kembali, bahwa Atsar di atas hanyalah contoh dari suatu cerita yang tidak pantas dijadikan sebagai dalil karena terbangun semata dari mimpi”. Jawaban kami, kisah yang dikutip dari Ibnu Abi al-Dunya, tentang al-Imam Abdul Malik bin Sa’id bin Abjar, bukan kisah dalam mimpi. Tapi Ustadz Firanda yang bermimpi ketika menulis artikelnya. Ibnu Taimiyah mengutip kisah tersebut dari kitab Mujabi’ al-Du’a’ (orang-orang yang dikabulkan doanya), tentu orang-orang yang berdoa di alam sadar bukan di alam mimpi. Sebagaimana dimaklumi, al-Hafizh Ibnu Abi al-Dunya juga menulis kitab al-Manamat (kisah-kisah tentang mimpi kaum Salaf). Nah, kisah di atas kutipan dari kitab Mujabi al-Du’a’, bukan kitab al-Manamat.

Ketiga, Ustadz Firanda berkata: “Apakah ust. M.Ramli kurang teliti membedakan antara Istighatsah dan Tawassul?” Jawabannya, pembaca bisa menilai, siapa yang kurang teliti, kami atau beliau Ustadz Firanda???” Bukankah dalam doa si pasien dalam kisah di atas terdapat redaksi, “wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu dan Tuhanku agar Dia mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku.?” Dalam redaksi doa ulama Salaf tersebut, sangat jelas ada kalimat memanggil nama Nabi SAW, padahal Nabi SAW sudah wafat lebih dua ratus tahun? Bukankah ini namanya istighatsah???”

WAHABI: “Setelah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menukilkan contoh cerita yang ternyata hanya berasal dari mimpi, beliau juga menggaris bawahi Atsar di atas, yakni tentang doa tawassul yang terkandung pada Atsar tersebut, beliau berkata:

قلت: فهذا الدعاء ونحوه قد روي أنه دعا به السلف، ونقل عن أحمد بن حنبل في منسك المروذي التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في الدعاء، ونهى به (5) آخرون. فإن كان مقصود المتوسلين التوسل بالإيمان به وبمحبته وبموالاته وبطاعته، فلا نزاع بين الطائفتين، وإن كان مقصودهم التوسل بذاته فهو محل النزاع، وما تنازعوا فيه يرد إلى الله والرسول.
Artinya: Aku katakan: jelasnya doa ini dan yang semisalnya, sebenarnya telah diriwayatkan bahwasanya generasi Salaf pernah berdoa dengannya, dan telah dinukilkan dari imam Ahmad Bin Hanbal di dalam kitab Mansakul Marudzi tentang Tawassul dengan nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam berdoa, dan sebagian ulama lainnya melarang akan hal ini.

Yang jelas apabila tujuan orang yang bertawassul itu adalah berwasilah dengan Iman kepadanya (Nabi), dengan mencintainya, dengan loyalitas penuh kepadanya, dan berwasilah dengan mentaatinya, maka sebenarnya tiadalah ada sengketa di antara kedua belah pihak, namun jika tujuan mereka yang bertawassul adalah berwasilah dengan diri nabi, maka hal inilah yang menjadi letak sengketa, dan perkara apa saja yang orang orang saling bersengketa padanya harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul.”
SUNNI: “Dalam kutipan di atas, ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi:

Pertama, Ustadz Firanda berkata: “Setelah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menukilkan contoh cerita yang ternyata hanya berasal dari mimpi”. Di sini kami katakan, bahwa kisah bukan di alam mimpi, tapi Ustadz Firanda yang bermimpi, sehingga tidak bisa membaca tulisan Syaikh Ibnu Taimiyah dengan teliti.

Kedua, Ibnu Taimiyah berkata: “Aku katakan: jelasnya doa (istighatsah) ini dan yang semisalnya, sebenarnya telah diriwayatkan bahwasanya generasi Salaf pernah berdoa dengannya”. Pernyataan Ibnu Taimiyah ini membuktikan bahwa istighatsah dilakukan oleh kaum Salaf.

Ketiga, Ibnu Taimiyah berkata: “telah dinukilkan dari imam Ahmad Bin Hanbal di dalam kitab Mansakul Marudzi tentang Tawassul dengan nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam berdoa”. Pernyataan ini membuktikan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan tawasul dan istighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat. Pertanyaannya, apakah menurut Syaikh Ibnu Taimiyah dan Wahabi, Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ahli bid’ah, orang musyrik dan penyembah kuburan???? Bukankah yang dilakukan mayoritas umat Islam Indonesia, adalah pendapat Imam Ahmad dan kaum Salaf??

Keempat, Ibnu Taimiyah berkata: “sebagian ulama lainnya melarang akan hal ini”. Di sini kita bertanya kepada Ibnu Taimiyah, siapa ulama lain dari kaum Salaf yang melarang tawasul??? Mengapa dia hanya melontarkan isu atas nama ulama Salaf dan tidak menyebutkan nama-namanya? Jangan-jangan Syaikh Ibnu Taimiyah salah ingat atau memang berbohong??? Yang jelas isi pernyataan ini adalah kebohongan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang memalukan. Karena tidak ada ulama salaf yang melarang tawasul dan istighatsah dengan Nabi SAW atau wali yang sudah wafat. Tetapi pendapat bohong ini diikuti oleh Wahabi. Ibnu Taimiyah memang sering membuat isu, bahwa ada orang ini melarang dan lain sebagainya, padahal maksudnya adalah dia sendiri, bukan ulama Salaf.”

Kelima, Ibnu Taimiyah berkata: “namun jika tujuan mereka yang bertawassul adalah berwasilah dengan diri nabi, maka hal inilah yang menjadi letak sengketa, dan perkara apa saja yang orang orang saling bersengketa padanya harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul”. Di sini perlu dipertanyakan, siapa yang bersengketa Syaikh? Bukankah yang bersengketa itu Anda sendiri Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melawan pendapat kaum salaf dan ahli hadits?? Lalu kalau harus kembali kepada Allah dan Rasul, bukankah Anda sendiri yang menyimpang dari pendapat kaum Salaf yang mengikuti ajaran Allah dan Rasul???”

WAHABI: “Siapa saja yang membaca kitab Qaidah Jalilah Fittawassul dan Wasilah dengan niat yang baik, insyaallah ia akan mendapatkan cahaya kebenaran. Amiin.”

SUNNI: “Siapa yang membaca kitab tersebut, akan bingung, karena isinya membingungkan. Paling tidak akan menganggap alam sadar sebagai alam mimpi seperti yang dialami oleh Ustadz Firanda.”

Astaghfirullaahal ‘azhiim, wa shallallaahu wa sallama ‘ala Sayyidina Muhammad wa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Aamin ya Robbal ‘aalamiin.
Wallahu a’lam.

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli

0 komentar:

Post a Comment

 
Top