Tulisan ini sebagai tanggapan terhadap teori Anti Bid'ah Hasanah yang ditulis oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin (Wahabi) dalam kedua kitabnya, Syarh Al-'Aqidah Al-Wasithiyyah dan Al-Ibda' Fi Kamal Al-Syar'i Wa Khathar Al-Ibtida'. Artikel ini sengaja kami tulis dalam format dialog agar mudah difahami.
Sebagian tulisan juga bagian dari dialog kami dengan salah seorang Ustadz Wahabi di Masjid Al-Hidayah Maasing Manado, Sulawesi Utara pada maret 26 Maret 2013 yang lalu.
Sebagian tulisan juga bagian dari dialog kami dengan salah seorang Ustadz Wahabi di Masjid Al-Hidayah Maasing Manado, Sulawesi Utara pada maret 26 Maret 2013 yang lalu.
SUNNI: “Membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keniscayaan dari pembacaan terhadap sekian banyak teks al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kami, Ahlussunnah Wal-Jama’ah membagi bid’ah menjadi dua, dan bahkan membagi bid’ah sebanyak hukum-hukum syar’i yang lima (wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh), karena berangkat dari sekian banyak dalil.
Para ulama mendefinisikan bid’ah sebagai berikut. Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M), ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam sebagai berikut:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، ۲/١٧۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M), hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata:
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام النووي، تهذيب الأسماء واللغات، ٣/۲۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW”. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,3/22 ).
Pembagian bid’ah menjadi dua, berangkat dari hadits-hadits berikut ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik upcapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itu kesesatan. Kemudian jangkauan hukum hadits tersebut dibatasi oleh sekian banyak dalil, antara lain hadits berikut:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim).
Dalam hadits pertama, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi SAW menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi SAW.”
WAHABI: “Maaf, kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi berapapun berdasarkan hujjah sebagai berikut. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:
WAHABI: “Maaf, kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi berapapun berdasarkan hujjah sebagai berikut. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:
قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) كُلِّيَّةٌ، عَامَّةٌ، شَامِلَةٌ، مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ، أَوْ إِلَى أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًا هَذَا لاَ يَصِحُّ.
“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 13, dan Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 315, cet. 5 Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh 1419 H).
SUNNI: “Owh, jadi Anda menolak pembagian bid’ah hasanah menjadi dua, dan lima, dengan mengambil hujjah dari pernyataan Syaikh Ibnu Utsaimin, bahwa dalam hadits kullu bid’atin dhalalah terdapat lafal kullu, yang bermakna keseluruhan bid’ah itu tersesat tanpa terkecuali, sehingga hadits berikutnya, yang kami sampaikan di atas, menurut Anda tidak membatasi terhadap hadits kullu bid’atin dhalalah. Bagus kalau begitu. Sekarang di sini kami akan menolak hujjah Anda dengan pernyataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga dalam kitab yang sama, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah.
Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan logika di atas, harus dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata “kullu” dalam al-Qur’an dan hadits, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnya berkata:
Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan logika di atas, harus dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata “kullu” dalam al-Qur’an dan hadits, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnya berkata:
أَنَّ مِثْلَ هَذَا التَّعْبِيْرِ (كُلُّ شَيْءٍ) عَامٌّ قَدْ يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ، مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالىَ عَنْ مَلِكَةِ سَبَأٍ: (وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ)، وَقَدْ خَرَجَ شَيْءٌ كَثِيْرٌ لَمْ يَدْخُلْ فِيْ مُلْكِهَا مِنْهُ شَيْءٌ مِثْلُ مُلْكِ سُلَيْمَانَ.
“Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)” adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna yang terbatas, seperti firman Allah SAW tentang Ratu Saba’: “Ia dikarunia segala sesuatu”. (QS. al-Naml : 23). Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman AS.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 1 hal. 430).
Dalam pernyataan di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin jelas sekali, bahwa kalimat kullu dalam ayat al-Qur’an yang dibawakan oleh beliau, tidak bermakna keseluruhan, akan tetapi bermakna sebagian. Nah, mengapa ketika menghadapi hadits kullu bid’atin dhalalah, beliau tidak konsisten dengan kaedah yang digunakan tersebut???? Apa bedanya hadits dengan al-Qur’an??? Jadi, kalau Anda menolak bid’ah hasanah dengan alasan lafal kullu, Anda juga tertolak dengan lafal kullu versi Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga.
Nah, sekarang Anda harus menjelaskan makna hadits man sanna sunnatan seperti yang dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi, sebagai pen-takhshish (yang membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah.”
WAHHABI: “hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul SAW. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Anda jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
SUNNI: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy SAW min qaulin au fi’lin au taqrir (segala apa yang datang dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul SAW itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu ushul fiqih telah kita kenal kaedah, al-‘ibrah bi’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”
WAHABI: “Bagaimanapun kami tidak menerima bid’ah hasanah. Hadits kullu bid’atin dhalalah masih diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi:
Nah, sekarang Anda harus menjelaskan makna hadits man sanna sunnatan seperti yang dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi, sebagai pen-takhshish (yang membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah.”
WAHHABI: “hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul SAW. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Anda jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
SUNNI: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy SAW min qaulin au fi’lin au taqrir (segala apa yang datang dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul SAW itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu ushul fiqih telah kita kenal kaedah, al-‘ibrah bi’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”
WAHABI: “Bagaimanapun kami tidak menerima bid’ah hasanah. Hadits kullu bid’atin dhalalah masih diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.
Allah SWT juga menegaskan, bahwa Islam telah sempurna, sehingga tidak perlu ditambah-tambahi lagi. Dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ.
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda tidak menjawab hujjah kami, dan berarti Anda lemah secara logika agama. Anda tidak punya dalil. Sedangkan hadits yang Anda ajukan barusan, justru memperkuat pandangan kami, bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Hadits tersebut berbunyi begini:
SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda tidak menjawab hujjah kami, dan berarti Anda lemah secara logika agama. Anda tidak punya dalil. Sedangkan hadits yang Anda ajukan barusan, justru memperkuat pandangan kami, bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Hadits tersebut berbunyi begini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.
Hadits ini jelas memperkuat bid’ah hasanah. Karena dalam hadits tersebut dinyatakan secara tekstual, “mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak”. Di sini, sangat jelas bahwa yang ditolak adalah sesuatu yang diada-ada dan bukan bagian dari agama. Berarti secara mafhum (pemahaman), sesuatu yang diada-ada di dalam agama, tetapi termasuk bagian dari agama, maka sesuatu tersebut tidak ditolak. Bukankah begitu??? Bukankah ini yang namanya bid’ah hasanah???
Sedangkan ayat 3 al-Maidah yang Anda sampaikan, tidak bisa dijadikan dalil anti bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud kesempurnaan agama dalam ayat tersebut, bukan penolakan bid’ah hasanah. Silahkan Anda baca penafsiran ayat tersebut dalam al-Durr al-Mantsur, karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi yang menghimpun semua penafsiran ulama salaf. Sebagian ada yang menafsirkan kesempurnaan agama, dengan sempurnanya dalil-dalil halal dan haram. Sebagian ada juga yang menafsirkan dengan penaklukan kota Makkah. Oleh karena itu, apabila ayat 3 al-Maidah tersebut dipaksakan sebagai penolak bid’ah hasanah, justru malah sebaliknya, adanya bid’ah hasanah termasuk bagian dari kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya diambil dari ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.”
WAHABI: “Anda mengada-ada. Di dalam al-Qur’an tidak ada dalil bid’ah hasanah.”
SUNNI: “Dalam al-Qur’an ada isyarat yang membenarkan bid’ah hasanah. Dalam al-Mu’jam al-Ausath karya al-Imam al-Thabarani disebutkan:
Sedangkan ayat 3 al-Maidah yang Anda sampaikan, tidak bisa dijadikan dalil anti bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud kesempurnaan agama dalam ayat tersebut, bukan penolakan bid’ah hasanah. Silahkan Anda baca penafsiran ayat tersebut dalam al-Durr al-Mantsur, karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi yang menghimpun semua penafsiran ulama salaf. Sebagian ada yang menafsirkan kesempurnaan agama, dengan sempurnanya dalil-dalil halal dan haram. Sebagian ada juga yang menafsirkan dengan penaklukan kota Makkah. Oleh karena itu, apabila ayat 3 al-Maidah tersebut dipaksakan sebagai penolak bid’ah hasanah, justru malah sebaliknya, adanya bid’ah hasanah termasuk bagian dari kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya diambil dari ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.”
WAHABI: “Anda mengada-ada. Di dalam al-Qur’an tidak ada dalil bid’ah hasanah.”
SUNNI: “Dalam al-Qur’an ada isyarat yang membenarkan bid’ah hasanah. Dalam al-Mu’jam al-Ausath karya al-Imam al-Thabarani disebutkan:
عن أبي أمامة الباهلي قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : إن الله فرض عليكم صوم رمضان ولم يفرض عليكم قيامه وإنما قيامه شيء أحدثتموه فدوموا عليه فإن ناسا من بني إسرائيل ابتدعوا بدعة فعابهم الله بتركها فقال : { رهبانية ابتدعوها وما كتبناها عليهم إلا ابتغاء رضوان الله } إلى آخر الآية
“Abu Umamah al-Bahili berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu puasa Ramadhan, dan tidak mewajibkan qiyam (ibadah sunnah pada malam harinya) pada kamu. Qiyam tersebut hanyalah sesuatu yang kamu ada-adakan, maka teruslah melakukannya. Karena sekelompok manusia dari kaum Bani Israil membuat-buat bid’ah, lalu Allah mencela mereka sebab meninggalkannya. Allah berfirman: “dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.”. (HR al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath [7450]. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, dalam sanad nya terdapat Zakariya bin Abi Maryam, yang didha’ifkan oleh al-Nasa’i dan lainnya.).
Hadits di atas, meskipun sanadnya dha’if, lemah, akan tetapi maknanya benar. Ayat al-Qur’an tersebut memberikan isyarat terhadap otoritas bid’ah hasanah. Karena Allah mencela kaum Bani Israil bukan karena mereka mengada-adakan rahbaniyyah, akan tetapi mencela mereka karena tidak istiqomah dan meninggalkan rahbaniyyah yang mereka ada-adakan. Ayat tersebut juga menjadi dalil, bahwa seseorang yang telah melakukan bid’ah hasanah, maka hendaklah, istiqomah melakukan bid’ah hasanah tersebut selamanya.”
WAHABI: “Kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi dua, karena hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, di atas bukan pen-takhshih (membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, bahwa yang dimaksud man sunnatan hasanatan adalah al-mubadaratu bifi’liha (segera melakukan), bukan yang pertama kali melakukan. (Lihat, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 319)”
SUNNI: “Kalau begitu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin perlu dipertanyakan. Mengapa? Karena dalam kitab-kitab kamus, tidak ada yang mengartikan sanna sunnatan dengan al-mubadartu bifi’liha. Justru yang ada adalah sebagai berikut:
WAHABI: “Kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi dua, karena hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, di atas bukan pen-takhshih (membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, bahwa yang dimaksud man sunnatan hasanatan adalah al-mubadaratu bifi’liha (segera melakukan), bukan yang pertama kali melakukan. (Lihat, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 319)”
SUNNI: “Kalau begitu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin perlu dipertanyakan. Mengapa? Karena dalam kitab-kitab kamus, tidak ada yang mengartikan sanna sunnatan dengan al-mubadartu bifi’liha. Justru yang ada adalah sebagai berikut:
سنّ فُلَان السّنة وَضعهَا وكل من ابْتَدَأَ أمرا عمل بِهِ قوم من بعده فَهُوَ الَّذِي سنه
“Si fulan men-sunnahkan suatu sunnah (perbuatan), maksudnya membuatnya. Setiap orang yang memulai suatu perkara, yang diamalkan oleh orang sesudahnya, maka dialah yang memulainya.” (al-Mu’jam al-Wasithi, hal. 455).
WAHABI: “Syaikh Ibnu ‘Utsaimin itu seorang ulama, dan jelas lebih alim dari pada Anda. Kutipan dari kitab Kamus yang Anda kemukakan tentu tidak ada dasar haditsnya.”
SUNNI: “Maaf, Syaikh Ibnu Utsaimin memang alim, akan tetapi para ulama yang kami bela, dan menetapkan bid’ah hasanah, justru ulama salaf dan jauh lebih alim dari pada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Mereka yang menetapkan adanya bid’ah hasanah mulai dari Khulafaur Rasyidin, Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Kemudian Imam al-Syafi’i dan lain-lain. Sedangkan kutipan dari kitab Kamus, itu tidak perlu ada dasar dari hadits. Karena makna suatu bahasa, itu sudah tradisi. Justru makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang belum kita fahami harus kita cari di kamus. Sedangkan bahwa lafal sanna sunnatan itu bermakna memulai perbuatan pertama kali, justru sangat banyak dasar haditsnya. Misalnya dalam kasus, tata cara makmum masbuq dalam shalat berjama’ah, orang yang pertama kali melakukan nya adalah Sayyidina Mu’adz bin Jabal, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bersabda tentang perbuatan Mu’adz tersebut:
SUNNI: “Maaf, Syaikh Ibnu Utsaimin memang alim, akan tetapi para ulama yang kami bela, dan menetapkan bid’ah hasanah, justru ulama salaf dan jauh lebih alim dari pada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Mereka yang menetapkan adanya bid’ah hasanah mulai dari Khulafaur Rasyidin, Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Kemudian Imam al-Syafi’i dan lain-lain. Sedangkan kutipan dari kitab Kamus, itu tidak perlu ada dasar dari hadits. Karena makna suatu bahasa, itu sudah tradisi. Justru makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang belum kita fahami harus kita cari di kamus. Sedangkan bahwa lafal sanna sunnatan itu bermakna memulai perbuatan pertama kali, justru sangat banyak dasar haditsnya. Misalnya dalam kasus, tata cara makmum masbuq dalam shalat berjama’ah, orang yang pertama kali melakukan nya adalah Sayyidina Mu’adz bin Jabal, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bersabda tentang perbuatan Mu’adz tersebut:
قد سن لكم معاذ وهكذا فاصنعوا
“Mu’adz telah memulai cara baru dalam shalat untuk kalian. Dan demikianlah seharunya kamu lakukan.” (HR. Ahmad, al-Thabarani dan lain-lain.”
Nah, dalam hadits ini, jelas sekali, sanna disabdakan oleh Nabi SAW untuk tatacara makmum masbuq yang dibuat pertama kali oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dan tentu saja masih ada hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa kalimat sanna sunnatan bermakna memulai suatu perbuatan, dari tidak ada menjadi ada.”
WAHABI: “Maaf, mungkin maksud pernyataan Khalifah Umar, itu tentang shalat tarawih, beliau berkata, ini sebaik-baik bid’ah. Nah, itu Anda berarti tidak tahu bro. Itu maksudnya bid’ah lughawiyah, bid’ah secara bahasa.”
SUNNI: “Maaf, Anda beralih dari persoalan tadi. Berarti Anda mengaku kalah dan takluk dengan hujjah kami. Sekarang saya bertanya, apakah Anda sebagai juru bicara Sayyidina Umar?
WAHABI: “Ya tentu saja bukan.”
SUNNI: “Yang mengakatan, bahwa maksud bid’ah dalam perkataan Khalifah Umar, sebagai bid’ah secara bahasa, apakah Khalifah Umar sendiri atau justru dari Anda?”
WAHABI: “Ya itu penafsiran dari golongan kami yang Anda katakan Wahabi itu lah, bukan beliau Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.”
SUNNI: “Nah itu letak kesalahan Anda. Yang jelas, Khalifah Umar menyampaikan pernyataannya, bukan dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di perguruan tinggi. Akan tetapi dalam kapasitas sebagai Khalifah syar’i yang Rasyid. Oleh karena itu, pernyataan beliau harus diartikan secara syar’i, bukan lughawi. Lagi pula Rasulullah SAW bersabda tentang Khalifah Umar:
WAHABI: “Maaf, mungkin maksud pernyataan Khalifah Umar, itu tentang shalat tarawih, beliau berkata, ini sebaik-baik bid’ah. Nah, itu Anda berarti tidak tahu bro. Itu maksudnya bid’ah lughawiyah, bid’ah secara bahasa.”
SUNNI: “Maaf, Anda beralih dari persoalan tadi. Berarti Anda mengaku kalah dan takluk dengan hujjah kami. Sekarang saya bertanya, apakah Anda sebagai juru bicara Sayyidina Umar?
WAHABI: “Ya tentu saja bukan.”
SUNNI: “Yang mengakatan, bahwa maksud bid’ah dalam perkataan Khalifah Umar, sebagai bid’ah secara bahasa, apakah Khalifah Umar sendiri atau justru dari Anda?”
WAHABI: “Ya itu penafsiran dari golongan kami yang Anda katakan Wahabi itu lah, bukan beliau Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.”
SUNNI: “Nah itu letak kesalahan Anda. Yang jelas, Khalifah Umar menyampaikan pernyataannya, bukan dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di perguruan tinggi. Akan tetapi dalam kapasitas sebagai Khalifah syar’i yang Rasyid. Oleh karena itu, pernyataan beliau harus diartikan secara syar’i, bukan lughawi. Lagi pula Rasulullah SAW bersabda tentang Khalifah Umar:
عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Ibnu Umar berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran melalui lidah Umar dan hatinya.” (HR Ahmad dan al-Tirmidzi, hadits hasan shahih).
Seandainya pernyataan Khalifah Umar tentang shalat taraweh di atas kita artikan dengan bid’ah lughawi, tentu sabda Nabi SAW di atas akan tersia-sia. Karena Anda akan berkata, bahwa kebenaran yang dijadikan Allah melalui lidah Umar dan hatinya adalah kebenaran secara bahasa/lughawi, bukan secara syar’i. Apakah begitu???”
WAHABI: “Sebagian ulama mendefinisikan bid’ah, tidak seperti definisi yang dikutip oleh Anda. Tetapi ada definisi bid’ah versi yang lain. Dalam hal ini al-Imam Asy-Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah :
WAHABI: “Sebagian ulama mendefinisikan bid’ah, tidak seperti definisi yang dikutip oleh Anda. Tetapi ada definisi bid’ah versi yang lain. Dalam hal ini al-Imam Asy-Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah :
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda beralih ke persoalan lain, dan membuktikan bahwa Anda kehabisan hujjah. Bukti bahwa pendapat kaum Wahabi yang Anda ikuti sangat lemah dan rapuh sekali.
Justru menurut saya, definisi versi al-Syathibi yang Anda kutip, termasuk definisi bid’ah versi bid’ah, bukan definisi bid’ah versi sunnah. Mengapa begitu??? Dalam hadits shahih, Nabi SAW telah mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
Justru menurut saya, definisi versi al-Syathibi yang Anda kutip, termasuk definisi bid’ah versi bid’ah, bukan definisi bid’ah versi sunnah. Mengapa begitu??? Dalam hadits shahih, Nabi SAW telah mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:
كل محدثة بدعة
“Setiap perkara baru adalah bid’ah.” (HR. Muslim).
Nah, dalam hadits di atas, Nabi SAW mendefinisikan bid’ah dengan, “Setiap perkara baru”, secara mutlak. Definisi bid’ah versi al-Syathibi, ternyata banyak tambahan terhadap definisi bid’ah versi hadits shahih, karena itu sangat tidak tepat untuk diikuti.”
WAHABI: “Maaf, kami tidak setuju bid’ah hasanah, karena sahabat Ibnu Umar berkata:
WAHABI: “Maaf, kami tidak setuju bid’ah hasanah, karena sahabat Ibnu Umar berkata:
أَعَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
“Ibnu ‘Umar, berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
SUNNI: “Ada tiga jawaban terhadap pernyataan Anda. Pertama, dalil bid’ah hasanah adalah ayat al-Qur’an dan hadits shahih, sebagaimana Anda tidak bisa menjawabnya tadi. Kalau sudah ada dalil ayat al-Qur’an dan hadits shahih, mengapa harus mengutip Ibnu Umar???
Kedua, maksud pernyataan Ibnu Umar tersebut, adalah bid’ah yang bertentangan dengan dalil-dalil syar’i (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas). Jadi bukan semua bid’ah. Mengapa harus kita artikan demikian? Karena Ibnu Umar sendiri termasuk pengamal bid’ah hasanah. Ada fakta yang tidak bisa Anda tolak, bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:
Kedua, maksud pernyataan Ibnu Umar tersebut, adalah bid’ah yang bertentangan dengan dalil-dalil syar’i (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas). Jadi bukan semua bid’ah. Mengapa harus kita artikan demikian? Karena Ibnu Umar sendiri termasuk pengamal bid’ah hasanah. Ada fakta yang tidak bisa Anda tolak, bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لكَ.
Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Hadits tentang doa talbiyah Nabi SAW dan tambahan Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:
لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.
Ketiga, pernyataan Ibnu Umar juga harus dipadukan dengan pernyataan para sahabat Nabi SAW yang lain, misalnya Sayyidina Abdullah bin Mas’ud yang menetapkan bid’ah hasanah berdasarkan perkataan beliau:
مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ
“Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal itu baik menurut Allah. Dan apa saja yang dianggap buruk oleh umat Islam, maka menurut Allah juga buruk.” (HR Ahmad dalam al-Musnad [3600], dengan sanad hasan.”
WAHABI: “Maaf, sebagian ustadz-ustadz kami yang pakar hadits dan punya situs di internet, berpendapat bahwa pernyataan para ulama seperti al-Imam Izzuddin bin Abdussalam, al-Imam an-Nawawi dan lain-lain yang membagi bid’ah menjadi dua dan lima, itu bid’ah secara bahasa/lughawi, bukan bid’ah secara syar’iy. Bagaimana jawaban Anda?”
SUNNI: “Itu sudah kami jawab dalam posting sebelumnya. Saya pikir ustadz-ustadz Anda yang Wahabi itu sedang di alam mimpi, bukan di alam sadar. Beliau mungkin sedang bermimpi bahwa Imam ‘Izzuddin dan Imam an-Nawawi berbicara bid’ah dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di universitas wahabi. Itu namanya ya alam mimpi. Perlu Anda sadari (jangan bermimpi), bahwa beliau berdua menjelaskan bid’ah dalam kapasitas sebagai ulama fiqih atau syari’at, dan dalam kitab fiqih dan syari’at, bukan kitab kamus. Karena itu pembagian bid’ah oleh mereka, jelas bid’ah secara syari’at, bukan bahasa. Jadi kalau kuliah jangan tidur terus.”
WAHABI: “Apakah Anda seorang pakar hadits?”
SUNNI: “Saya hanyalah seorang santri dan pencari ilmu, bukan pakar hadits seperti seperti ustadz-ustadz Wahabi yang kalian banggakan. Maaf, mulai tadi Anda selalu beralih dari persoalan inti, dan bukti kalau hujjah Anda lemah semua, alias tidak kuat. Bukti ajaran Wahabi itu lemah dan batil.”
WAHABI: “Saya memang meragukan kebenaran ajaran Wahabi. Tapi kenapa ya, hujjah kaum kami selalu lemah menghadapi kelompok Anda, padahal ustadz-ustadz kami selalu mengaku pakar hadits?”
SUNNI: “Itu karena aliran Anda Wahabi, dan mereka Cuma ngaku saja sebagai pakar hadits. Kenyataannya ya, saya tidak tahu. Mungkin juga ngakunya karena mereka telah bermimpi diwisuda oleh Syaikh al-Albani sebagai pakar hadits. Sedangkan kami adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang selalu diberi pertolongan oleh Allah SWT, karena ajaran kami benar, mengikuti ajaran kaum salaf.”
WAHABI: “Kalau begitu, kami akan ikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah saja, keluar dari Wahabi.”
SUNNI: “Ya itu yang lebih bagus, semoga Anda semakin rajin mencari ilmu. Amin.”
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
SUNNI: “Itu sudah kami jawab dalam posting sebelumnya. Saya pikir ustadz-ustadz Anda yang Wahabi itu sedang di alam mimpi, bukan di alam sadar. Beliau mungkin sedang bermimpi bahwa Imam ‘Izzuddin dan Imam an-Nawawi berbicara bid’ah dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di universitas wahabi. Itu namanya ya alam mimpi. Perlu Anda sadari (jangan bermimpi), bahwa beliau berdua menjelaskan bid’ah dalam kapasitas sebagai ulama fiqih atau syari’at, dan dalam kitab fiqih dan syari’at, bukan kitab kamus. Karena itu pembagian bid’ah oleh mereka, jelas bid’ah secara syari’at, bukan bahasa. Jadi kalau kuliah jangan tidur terus.”
WAHABI: “Apakah Anda seorang pakar hadits?”
SUNNI: “Saya hanyalah seorang santri dan pencari ilmu, bukan pakar hadits seperti seperti ustadz-ustadz Wahabi yang kalian banggakan. Maaf, mulai tadi Anda selalu beralih dari persoalan inti, dan bukti kalau hujjah Anda lemah semua, alias tidak kuat. Bukti ajaran Wahabi itu lemah dan batil.”
WAHABI: “Saya memang meragukan kebenaran ajaran Wahabi. Tapi kenapa ya, hujjah kaum kami selalu lemah menghadapi kelompok Anda, padahal ustadz-ustadz kami selalu mengaku pakar hadits?”
SUNNI: “Itu karena aliran Anda Wahabi, dan mereka Cuma ngaku saja sebagai pakar hadits. Kenyataannya ya, saya tidak tahu. Mungkin juga ngakunya karena mereka telah bermimpi diwisuda oleh Syaikh al-Albani sebagai pakar hadits. Sedangkan kami adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang selalu diberi pertolongan oleh Allah SWT, karena ajaran kami benar, mengikuti ajaran kaum salaf.”
WAHABI: “Kalau begitu, kami akan ikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah saja, keluar dari Wahabi.”
SUNNI: “Ya itu yang lebih bagus, semoga Anda semakin rajin mencari ilmu. Amin.”
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
0 komentar:
Post a Comment