fakta wahabi
Alhamdulillah, tidak terasa catatan demi catatan menjawab syubhat-syubhat dan kelicikan serta kebodohan kaum ekstrimis Salafy Wahabi kembali kami luncurkan, catatan kali ini akan membahas mengenai Syubhat Kaum wahabi terutama kepada situs Arrahmah.com mengenai Maulid Nabi SAW, sekaligus menanggapi gosip murahan serta fitnahan kaum wahabiyyun lainnya yang dari dulu hingga sekarang masih juga tidak cerdas dan makin menunjukkan IQ Jongkok nya dalam membahas perkara bab maulid Rasulullah SAW.

Saya akan menjawab Artikel Situs Arrahmah.com yang ini :

Situs Arrahmah.com (Wahabi) Anti Maulid

Untuk mengetahui catatan-catatan bantahan kepada Situs Arrahmah.com ini yang sebelumnya silahkan klik ini :

1. Menjawab Kebodohan Situs Arrahmah.com (Wahhabi) Mengenai Puasa Rajab

2. Menjawab Pemahaman Buruk Situs Arrahmah.com (Wahabi) Tentang Tabarruk

Bila Allah ta’ala bermaksud memberi petunjuk-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, maka tidak ada satupun yang dapat menghalangi nya, dan bila Allah menghendaki sesat kepada siapa yang Dia kehendaki, maka tidak ada yang akan dapat membendung nya, namun tugas kita adalah menyampaikan kebenaran dengan cara-cara yang benar, tidak dengan cara-cara licik apalagi dengan hawa nafsu dan kedustaan, tidak perlu terlalu ambisi apalagi dalam masalah Ijtihad dan Khilafiyah, tapi inilah yang terjadi pada Kaum anti Maulid Nabi [Salafi-Wahabi], minimnya stok dalil untuk membid’ahkan hasil Ijtihat dan Fatwa yang dipahami dari dalil-dalil syar’i, membuat mereka terpaksa berfatwa Bid’ah dengan tanpa dalil kecuali hanya sepotong Hadits tentang Bid’ah yang telah mereka salah artikan, akhirnya bukan memperkecil perbedaan dan mencari titik temu, malah permasalahan yang ada semakin melebar kepada hal-hal yang seharusnya tidak menjadi masalah.

Mari langsung saja kita memulai tulisan ini bermula dari sejarah singkat Maulid Rasulullah SAW

Situs Arrahmah.com menuliskan kalam dari Ibnu Katsir yang mengatakan begini :
"Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah (11\172) bahwa Daulah Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah nisbah kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Alqadah Alyahudi yang memerintah Mesir dari tahun 357 H-567 H. Merekalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan yang banyak sekali diantaranya perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keterangan ini ditulis juga oleh Al-Maqrizy dalam kitabnya Al- Mawa’idz wal I’tibaar (1\490), dan Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i mufti Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal Ahkam [halaman 44- 45], dan Syaikh ‘Ali Mahfudz menyetujui mereka dalam kitabnya yang baik Al-Ibdaa’ fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain mereka masih banyak lagi. Jadi yang pertama-tama mensyariatkan perayaan ini mereka adalah orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi. Mereka tidak mungkin melakukan yang demikian karena cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi karena ada maksud lain yang tersembunyi."
Jawab :

Orang-orang Wahhabi akan selalu memberi kesan negatif kepada Maulid, mereka menyatakan bahwa yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah golongan sesat Syi’ah Bathiniyyah, yahudi atau yang lainnya. Padahal para ahli hadits dan sejarah menegaskan bahwa orang yang pertama kali mengadakan maulid yang dianggap bid’ah hasanah oleh para ulama adalah raja al Muzhaffar, raja Irbil, Irak.

Pemahaman mereka hanya mereka gunakan untuk memotong-motong kalam para ulama dan hanya untuk mengikuti hawa nafsunya saja untuk selalu menyesatkan dan mengkafirkan kaum muslim di luar golongannya

Al Hafizh as-Suyuthi menegaskan: [As-Suyuthi, al Hawi Li al Fatawi, jilid I, hal. 183-185.]

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ صلى الله عليه وسلم. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid; berupa berkumpulnya orang, membaca al Qur'an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Nabi dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan dan bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid'ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala, karena itu merupakan perbuatan mengagungkan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran Nabi yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al Muzhaffar Abu Sa'id Kawkabri ibnu Zainuddin ibnu Buktukin, salah seorang raja yang hebat, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al Jami' al Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.”
Ibnu Katsir memuji raja al Muzhaffar dalam kitab Tarikh-nya, ia berkata:

كَانَ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ الشَّرِيْفَ فِي رَبِيْع الأَوَّلِ وَيَحْتَفِلُ بِهِ احْتِفَالاً هَائِلاً وَكَانَ شَهْمًا شُجَاعًا بَطَلاً عَاقِلاً عَالِمًا عَادِلاً رَحِمَهُ اللهُ وَأَكْرَمَ مَثْوَاهُ.
“Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal dan beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan adil –semoga Allah merahmatinya.” [Lihat Kitab Bidayah wan-Nihayah 13 :136]
Penegasan ini disetujui oleh para ulama setelahnya seperti Muhaddits Marokko Syekh Abdullah al Ghumari, Muhaddits Daratan Syam Syekh Abdullah al Harari, al Muhaddits Syekh Muhammad Zahid al Kawtsari dan lainnya. [Lihat al Ghumari, al Hawi fi Fataawaa al Ghumari, jilid I, hal.48, al Harari, Sharih al Bayan, jilid I, hal.286, al Kawtsari, Maqaalaat al Kawtsari, hal.439.]

Ibnu Katsir juga berkata :

إن أول من أرضعته صلى الله عليه وسلم هي ثويبة مولاة أبي لهب وكان قد أعتقها حين بشرته بولادة النبي صلى الله عليه وسلم. ولهذا لما رآه أخوه العباس بعد موته في المنام بعدما رآه بشر خيبة، سأله: ما لقيت؟ قال: لم ألق بعدكم خيراً غير أني سقيت في هذه بعتاقتي لثويبة (وأشار إلى النقرة التي بين الإبهام والتي تليها من الأصابع).
“Sesungguhnya orang pertama kali menyusui Nabi SAW adalah Tsuwaybah yaitu budak perempuan Abu Lahab, dan ia telah dimerdekakan dan dibebaskan oleh Abu Lahab ketika Abu Lahab gembira dengan kelahiran Nabi SAW, karena demikian setelah meninggal Abu Lahab, salah seorang saudaranya yaitu Abbas melihatnya dalam mimpi, salah seorang familinya bermimpi melihat ia dalam keadaan yang sangat buruk,
dan Abbas bertanya : “Apa yang engkau dapatkan ?”

Abu Lahab menjawab : “Sejak aku tinggalkan kalian [mati], aku tidak pernah mendapat kebaikan sama sekali, selain aku diberi minuman di sini [Abu Lahab menunjukkan ruang antara ibu jarinya dan jari yang lain] karena aku memerdekakan Tsuwaybah”. [Lihat kitab Bidayah wan-Nihayah 2 : 272-273, kitab Sirah Al-Nabawiyah 1 :124, kitab Maulid Ibnu Katsir 21].

Ibnu Katsir pun mengagungkan malam Maulid Nabi, berikut kata beliau :

إن ليلة مولد النبي صلى الله عليه وسلم كانت ليلة شريفة عظيمة مباركة سعيدة على المؤمنين، طاهرة، ظاهرة الأنوار جليلة المقدار
“Sungguh malam kelahiran Nabi SAW adalah malam yang sangat mulia dan banyak berkah dan kebahagiaan bagi orang mukmin dan malam yang suci, dan malam yang terang cahaya, dan malam yang sangat agung”. [Lihat kitab Maulid iIbnu Katsir 19],
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Ad-Durar Al-Kaminah mengatakan bahwa kitab tersebut adalah kitab Ibnu Katsir yang membolehkan Maulid Nabi dan di dalam nya membahas tentang perayaan peringatan Maulid Nabi.

Wahabi seakan-akan membuat penjelasan bahwa Ibnu Katsir dan ulama yg lain itu anti maulid, tapi lihat buktinya, malah Ibnu Katsir sendiri yang dijadikan hujjah asal muasal maulid oleh wahabi itu malah mematahkan hujjah wahabi itu sendiri, Ibnu Katsir memuji Raja Muzhaffar dan tidak ada sedikitpun beliau melarang atau mengatakan bahwa perayaan maulid itu sesat.

Bahkan Al Hafizh as-Suyuthi mengatakan secara jelas bahwa asal muasal maulid itu pun dari Raja Muzhaffar.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al Muzhaffar. mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.

Bahkan segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.

Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-’Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Dari sini saja sudah terlihat betapa besar kebencian Wahabi terhadap Maulid Rasul dan wahabi juga membenci pelaku maulid Rasulullah SAW, dengan liciknya mereka memotong-motong kalam ulama demi hawa nafsunya.

Selanjutnya Arrahmah.com menulis seperti ini "Hukum Islam Dalam Peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam".

Jawab : Mohon dirubah saja kata ISLAM dalam kalimat HUKUM ISLAM itu karena islam tidak pernah memusuhi, menyesatkan dan mengharamkan perayaan maulid Rasulullah SAW, jadi silahkan di rubah menjadi "HUKUM WAHABI DALAM PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.

Selanjutnya Arrahmah.com menuliskan seperti ini :
"Belum pernah dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga Khulafa Ar-Rasyidin dan selain mereka dari para shahabat serta para Tabi’in yang mengikuti para shahabat dengan kebaikan yang merupakan generasi terbaik, dan mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang As-Sunnah dan paling sempurna cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan paling depan dalam mengikuti syariatnya, seandainya peringatan maulid itu baik niscaya mereka akan mendahului kita untuk memperingatinya.

Sebagaimana engkau ketahui yang pertama-tama melaksanakannya orang-orang Zindiq masa pemerintahan Fathimiyyah di abad ke-empat hijriyyah.

Menyerupai orang-orang Nashrani yang memperingati kelahiran Al-Masih ‘Alaihis Salam, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan meniru mereka dalam hari raya mereka. DLL"
Jawab :

Bukan Wahabi namanya jika tidak berfikiran kotor dan penuh hawa nafsu dalam menilai sebuah perkara. mereka secara tidak sadar telah menistakan ulama-ulama ahlussunnah dan ulama mereka sendiri dengan segala fitnahan yang wahabi keluarkan.

Harap diingat, segala sesuatu itu pasti dan harus menggunakan dalil, maka dari itu perhatikan dengan seksama beberapa dalil yang memperbolehkan Maulid Rasulullah SAW berikut :

Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
الحشر: 7
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
الحج: 77
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas.

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ
رواه الإمام مسلم في صحيحه
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
رواه مسلم
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan….”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.

Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?

Saya kutip kalam Syaikh Ibn Taimiyyah mengenai maulid :

فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مُوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَدَّمْتُهُ لَكَ
Jadi, mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai tradisi yang tidak jarang dilakukan oleh sebagian orang, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar karena tujuannya yang baik serta sikapnya yang mengagungkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah aku jelaskan sebelumnya padamu. (Iqtidho’us Shirootil Mustaqiim, hal. 297).
Apa kalian hay wahabiyun berani membantah kalam Imam kalian Syekh Ibn Taimiyyah itu yang mendukung maulid ??

Apa kalian mampu mengucapkan kepada Ibn Taimiyyah bahwa dia pendukung Acara kaum zindiq, nashoro, yahudi dan lain-lain sebagaimana yang kalian fitnahkan ??

Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah...

Selanjutnya Situs Arrahmah.com menjawab dalil maulid dengan pemahaman ala komunis PKI dengan seenak perutnya saja dengan dalil hawa nafsu.

Berikut ini adalah tulisan Situs Arrahmah dalam menjawab dalil maulid yang mereka sebut dengan Perkara Syubhat.

Saya kaji dalam beberapa point :

Arrahmah Menulis :
1. Pengambilan dalil dengan ayat ini [Q.S. Yunus 58 dan Q.S. Al-Anbiyaa’ 107] yang mereka kemukakan tidak pada tempatnya, dan penggunaan ayat yang tidak pada maksudnya, dan mereka menetapkan apa yang tidak ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang paling tahu tentang Al-Qur’an dan yang paling paham tentang sesuatu yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala dari nash-nash Al-Qur’an, pemahaman mereka menyimpang kaidah-kaidah syariah yang dipahami oleh As-Salaf Ash-Shalih dan seutama-utama generasi dalam memahami arti dan pengambilan istinbat dari Al-Qur’an, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan perkataan ulama salaf tentang makna dari ayat ini bahwa fadhlullah (karunia Allah) adalah Al-Qur’an sedangkan rahmat-Nya yang dimaksud adalah As-Sunnah.
Jawab :

Begitulah wahabi, jika ada dalil yang bertentangan dengan mereka, maka mereka akan segara ucapkan itu dalil bathil bla bla bla. Sejuta bahkan Milyaran dalil yang bertebaran pun pasti tetap akan di sebut Bathil dan salah oleh wahabi

Ini akan menjelaskan bahwa khususnya Arrahmah.com dan umumnya para Wahabiyyun akan menggunakan segala macam bentuk kelicikan untuk menolak dalil yang bertentangan dengan pemahamannya

Allah berfirman:

وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ
“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (QS.Al-Anbiya:107)
Didalam Tafsir Ruuhul Ma’aani juz VIII halaman 41, karya Syeikh Al Alusi (wafat tahun  1270 H) :

 وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ الْفَضْلَ اَلْعِلْمُ وَالرَّحْمَةَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Imam Abu syeikh mengeluarkan dari shahabat Ibnu Abbas –radhiyallaahu Ta’aalaa ‘anhumaa- sesungguhnya AL FADHL (karunia Allah) adalah ilmu dan sesngguhnya ARRAHMAH (rahmat Allah) adalah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam
Pengertian "Arrahmah" dalam Surat Al Anbiya' 107 itu bukanlah Sunnah Tapi adalah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Sudahi saja kalian wahabi wahabi untuk memecah belah umat, karena topeng busuk kalian telah terbuka bahwa sebenarnya kalian lah kaum yang memutar balikkan ayat demi kepuasan hawa nafsu kalian.

Selanjutnya Arrahmah menulis :
2. Pengambilan dalil dengan hadits puasa hari Asy-Syura adalah pengambilan dalil yang batil dan qiyas yang rusak dikarenakan kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat diutusnya Nabi ini bukan atas kelahirannya, saya tambah lagi bahwa puasa hari Asy-Syura disyariatkan dan disukai berdasarkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau tidak mensyariatkan kepada kita untuk merayakan hari kelahirannya.
Jawab :

Masih sama seperti pada point pertama tadi, Jika terdapat dalil yang tidak sesuai dengan pemahaman IQ Jongkok Kaum Wahabi maka akan mereka bantah.

Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:

أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.

Faedah Hadits:

Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.

Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.

Selanjutnya Arrahmah.com Menulis :
4. Imam Malik rahimahullah menjadikan hadits ini salah satu dari hadits-hadits yang batil sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rusyd dalam bab Aqiqah dari kitab “Al- Muqaddimaat Al-Mumahhadaat”, dan hadits ini telah dilemahkan oleh para ulama seperti Abdur Razaq dan Abu Daud dari Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dan Al-Bazzar rahimahullah dikarenakan lemahnya salah seorang rawi yang bernama Abdullah bin Al-Muhawwar, seumpama hadits ini shahih tetap tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Jawab :

Sebuah pernyataan paling aneh yang dikeluarkan oleh orang yang katanya berpendidikan tinggi, membabi buta menolak hadits dengan mafhuman yang berantakan, katakan saja terus terang kalau dalil itu dhoif karena belum di shahih kan oleh albani, tidak perlu di satu sisi anda sebut itu dalil bathil tapi di satu sisi anda sebut itu dalil shahih tapi tidak bisa dijadikan hujjah.

Selanjutnya Arrahmah.com menulis :
5. Hadits ini mursal (salah satu istilah untuk hadits yang lemah) sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, begitu pula mimpi dalam tidur tidak bisa dijadikan hujjah, dan ini bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyebutkan dalam ayat-ayatnya bahwa amal shalih yang dilakukan oleh seorang kafir tidak dapat memberi manfaat di hari akhirat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amalitu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S.Al-Furqan 23)
Jawab :

Simak dan perhatikan, tadi di pembahasan pertama mengenai asal usul maulid, ini situs wahabi mengambil dalil dari Ibnu Katsir di kitab Bidayah Wan Nihayah, tapi apakah sadar bahwa Keterangan ini pun ada dikitab Bidayah wan nihayah Ibnu Katsir, dan ini disebut senjata makan tuan, di satu sisi Arrahmah.com memakai hujjah dari Ibnu Katsir tapi di satu sisi dia juga yang menbatahnya.

Anak madrasah ditempat saya aja faham kalau mandi itu pakai air bersih, dan anak madrasah di tempat saya juga faham sampai kapanpun mereka tidak akan mengatakan bahwa air bersih yang digunakan mandi itu adalah air kotor.

Tapi Arrahmah.com ternyata berbeda, bagai pepatah Habis manis sepah dibuang, giliran ada butuh dia pake, giliran ga butuh, di tendang.

Terlaluuuuhhhh......

Simak kalam Ibnu Katsir berikut :

إن أول من أرضعته صلى الله عليه وسلم هي ثويبة مولاة أبي لهب وكان قد أعتقها حين بشرته بولادة النبي صلى الله عليه وسلم. ولهذا لما رآه أخوه العباس بعد موته في المنام بعدما رآه بشر خيبة، سأله: ما لقيت؟ قال: لم ألق بعدكم خيراً غير أني سقيت في هذه بعتاقتي لثويبة (وأشار إلى النقرة التي بين الإبهام والتي تليها من الأصابع).
“Sesungguhnya orang pertama kali menyusui Nabi SAW adalah Tsuwaybah yaitu budak perempuan Abu Lahab, dan ia telah dimerdekakan dan dibebaskan oleh Abu Lahab ketika Abu Lahab gembira dengan kelahiran Nabi SAW, karena demikian setelah meninggal Abu Lahab, salah seorang saudaranya yaitu Abbas melihatnya dalam mimpi, salah seorang familinya bermimpi melihat ia dalam keadaan yang sangat buruk,

dan Abbas bertanya : “Apa yang engkau dapatkan ?”

Abu Lahab menjawab : “Sejak aku tinggalkan kalian [mati], aku tidak pernah mendapat kebaikan sama sekali, selain aku diberi minuman di sini [Abu Lahab menunjukkan ruang antara ibu jarinya dan jari yang lain] karena aku memerdekakan Tsuwaybah”. [Lihat kitab Bidayah wan-Nihayah 2 : 272-273, kitab Sirah Al-Nabawiyah 1 :124, kitab Maulid Ibnu Katsir 21].
Bahkan Ibnu Katsir memuji raja al Muzhaffar dalam kitab Tarikh-nya, ia berkata:

كَانَ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ الشَّرِيْفَ فِي رَبِيْع الأَوَّلِ وَيَحْتَفِلُ بِهِ احْتِفَالاً هَائِلاً وَكَانَ شَهْمًا شُجَاعًا بَطَلاً عَاقِلاً عَالِمًا عَادِلاً رَحِمَهُ اللهُ وَأَكْرَمَ مَثْوَاهُ.
“Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal dan beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan adil –semoga Allah merahmatinya.” [Lihat Kitab Bidayah wan-Nihayah 13 :136]
Sebuah catatan penting, Kalian menolak amal dengan hadits dhoif, tapi kalian senang dan bangga beramal dengan kemungkaran, silahkan hadits dan dalil yang menyebutkan Rasulullah Membagi Tauhid menjadi 3 ??

Apa kalian tidak sadar bahwa kalian telah menyimpang, sesat dan menyesatkan ??

Selanjutnya Arrahmah.com menulis :
6. Ini pengakuan yang batil dan ucapan yang tertolak karena ibadah dan syariat itu adalah tauqifiyyah (harus berdasarkan nash baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah), tidak boleh kita beribadah dengan tata cara tertentu yang tidak terdapat dalam syariat meskipun dalam bentuk dzikrullah, atau membaca sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kenyatannya juga membuktikan bahwa perayaan maulid banyak dilakukan pada bulan Rabiul Awwal.
Jawab :

Sebagaimana yang sudah saya ulang-ulang diatas, apapun itu jika tidak sesuai dengan pemahaman wahabi makan ditolak mentah-mentah, dikatakan bathil, sesat dan lain lain.

Mari simak saja penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
Ahlussunah Memperingati Maulid dengan Amal Shalih dan inilah yang disebut dengan mengandung kebaikan.

Tapi Wahabi memperingati Maulid dengan Amal Salah, dengan mengumbar kebencian, menyesatkan amal maulid, menyesatkan pelaku maulid, membabi buta dalam menggunakan dalil untuk menyerang dan mengusik amal ibadah yang telah jelas jelas banyak di dukung oleh para Ulama. Wahabi menghalalkan segala cara, dengan mengotori hati dan lisan mereka untuk menolak amal Maulid dan mendoktrin masyarakat ummum agar membenci Amal Maulid Nabi SAW, dan ini lah yang disebut mengandung keburukan. Maka Tinggalkanlah Wahabi.

Perhatikan Screenshoot berikut, inilah yang di gembar gemborkan oleh Para kaum ekstrimis Wahabi.

fakta wahabi

Selanjutnya Arrahmah.com menulis :
7. Benar, banyak hadits-hadits yang shahih menganjurkan untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shadaqah, dan yang lainnya. Tetapi tidak ada satu keteranganpun yang menganjurkan untuk berkumpul secara khusus, dengan bentuk dan waktu yang khusus pula, begitu pula dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang biasa dibaca pada malam tersebut tidak ada asalnya dalam syariat dan tidak ada dalilnya dari wahyu, dan bait-bait syair yang dibacakan berisikan hal-hal yang berlebih-lebihan dan kebatilan di dalamnya.
Jawab :

Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku “ghuluw” (berlebihan) dalam beragama. Sisi “berlebihan” yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara “amalan bernuansa agama” dengan “amalan di dalam agama”.

Para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan-amalan tersebut sesungguhnya tidak pernah menganggapnya bagian dari agama atau syari’at, melainkan hanya sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata “berlebihan”, sebab rumusnya di dalam agama, “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik” (QS. At-Taubah: 120). Jadi, “semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan”. Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan “berlebihan di dalam agama”, sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.

Dari sini terlihat siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang “berlebihan di dalam agama”, apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!

Perhatikanlah vonis-vonis “berlebihan” yang sering dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: “Tidak ada pahalanya!”, “sesat!”, “sia-sia”, “musyrik!”, “kafir!”, “masuk neraka!”, “tidak ada dalilnya!”, “menambah-nambahi agama!”, “mengada-ngada!”, “haram!”, “jangan bergaul dengan ahli bid’ah!”, dan lain sebagainya.

Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan “Quburiyyun”,   bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan “Abdun-Nabi” (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur’an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).

Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk mengucapkan kalimat-kalimat tersebut?

Kembali mengulang Penjelasan dari Al Hafizh as-Suyuthi

Al Hafizh as-Suyuthi menegaskan: [As-Suyuthi, al Hawi Li al Fatawi, jilid I, hal. 183-185.]

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ صلى الله عليه وسلم. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid; berupa berkumpulnya orang, membaca al Qur'an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Nabi dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan dan bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid'ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala, karena itu merupakan perbuatan mengagungkan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran Nabi yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al Muzhaffar Abu Sa'id Kawkabri ibnu Zainuddin ibnu Buktukin, salah seorang raja yang hebat, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al Jami' al Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.”
Selanjutnya Arrahmah.com menulis :
8. Yang diminta pada hari Senin setiap seminggu sekali adalah puasanya, tidak lebih dari itu, maka mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berpuasa di hari Senin saja, tidak terikat dengan tanggal tertentu, sedangkan mereka mengkhususkannya satu hari dalam setahun pada bulan Rabiul Awwal, ditambah lagi bahwa mereka tidak mengagungkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa pada setiap hari Senin yang mempunyai banyak keutamaan, tetapi mereka mengagungkannya dengan makan dan minum dan menabuh rebana, ini sekurang-kurangnya, padahal sebagaimana telah diketahui olehmu bahwa ibadah itu adalah tauqifiyyah sehingga mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri pada Allah subhanahu wa ta’ala) secara tertentu pula membutuhkan kepada dalil syar’i dan nyatanya tidak ada dalilnya atas perbuatan bid’ah tersebut. Dan jangan lupa pula sebagaimana telah kami sebutkan bahwa pada tanggal dua belas Rabiul Awwal adalah hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terputusnya wahyu dari langit ini yang masyhur dari ulama Salaf. Maka katakanlah kepadaku demi Rabbmu apakah engkau merayakan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau hari kelahirannya? Apakah mungkin menyatukan antara keduanya?
Jawab :

Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:

ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ

“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)

Faedah Hadits:

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.

Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun.

Beberapa Fatwa Ulama Ahlussunnah

Diatas sebagian telah saya jelaskan dalil dari pada ulama, dan ini tambahannya yang lain.

1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً” وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:

لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”.
Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .

Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:

إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.

Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang ”Bodoh” semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.

Akhirul Kalam, Semoga Allah merahmati kita semua dan merahmati para ulama kita dimanapun mereka berada. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Aamiin Allahumma Aamiin.

اَللَّهُمّ صَـلٌ علَےَ سيدنامُحمَّدْ و علَےَ آلِ سيدنا مُحمَّدْ

Walillahittaufiq

Syukron kepada Kawan - kawan Ahlussunnah yang telah membantu meluangkan fikiran hingga terbuatnya catatan ini, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik.. Aamiin Allahumma Aamiin

2 komentar:

 
Top