Namun Ulf Karlsson, pria Swedia itu, tak pernah tahu siapa itu Muslim dan juga apa itu Islam. Dan selama 25 tahun pertama hidupnya, ia tak pernah meyakini keberadaan Tuhan.
“Aku (dahulu) adalah contoh nyata manusia materialistis,” Ulf mengawali ceritanya. Ketika menuliskan mimpinya menikahi seorang perempuan Muslim, Ulf hanya tahu perempuan yang diimpikannya itu menggunakan baju panjang dan berkerudung. Ia bahkan tak ingat apa yang dibacanya saat menekuni terjemahan Al-Quran di perpustakaan bertahun-tahun lalu.
Karenanya, Ulf bertahan dengan ketidakberagamaannya. “Aku tak dapat menempatkan Tuhan di duniaku sehingga aku merasa aku tak membutuhkan Tuhan. Kupikir kita punya Newton untuk menjelaskan bagaimana sistem semesta berjalan,” lanjutnya.
Waktu berlalu. Ulf menyelesaikan studinya, bekerja, mendapatkan uang, dan mulai tinggal di apartemennya sendiri. Suatu ketika ia tertarik dengan perangkat fotografi yang ada di komputer, yang membuatnya bersemangat mendalami dunia gambar dua dimensi itu.
Suatu hari, saat sedang mendokumentasikan aktivitas pasar melalui lensa tele miliknya, seorang imigran yang tampak marah menghampirinya. Ulf diminta tidak melanjutkan aktivitasnya mengambil gambar ibu dan saudara-saudara si imigran. “Saat itu aku merasa mulai mengenal Muslim. Mereka orang yang aneh,” katanya.
Tak lama, Ulf segera tahu dirinya pun dikelilingi keanehan. Ia tak pernah tahu mengapa ia melakukan apa yang pernah dilakukannya. “Terlebih hal-hal yang berkaitan dengan Islam, karena aku sama sekali bukan seorang yang beriman pada agama apapun,” katanya.
Hingga sekarang ia tak pernah mengerti mengapa ia pernah menelepon sebuah organisasi informasi Islam di Swedia dan berlangganan newsletter mereka. Pun alasan membeli Alquran dan sebuah buku islami berjudul Islam; Our Faith. “Aku tak pernah tahu mengapa. Aku hanya melakukannya begitu saja.”
Dorongan-dorongan itu tak lantas membuat Ulf segera memberikan perhatian pada Islam. Bahkan, meski telah membaca hampir seluruh isi Alquran yang dibelinya dan menemukan bahwa isi kitab itu begitu indah dan logis, Ulf tetap berpendirian dirinya tak perlu Tuhan. “Tuhan tetap tidak punya tempat di hatiku,” kenangnya.
Setahun berselang, Ulf berkesempatan mengunjungi wilayah berjuluk “Pretty Island” untuk mengabadikan musim gugur di sana. Saat itulah, berhadapan dengan hamparan pemandangan alam yang luar biasa indah, Ulf, untuk pertama kalinya, dilanda perasaan yang luar biasa.
“Aku merasa diriku adalah sebuah bagian yang sangat kecil dari sesuatu yang lebih besar.” Dan sesuatu yang lebih besar itu, lanjutnya, berada di dalam sesuatu yang lebih besar milik Tuhan, yakni alam semesta. “Itu hebat! Aku tak pernah alami perasaan itu sebelumnya,” ujarnya.
Tenang, dipenuhi ledakan energi, dan di atas itu semua, Ulf tiba-tiba berada dalam kesadaran penuh tentang Tuhan pada detik-detik ajaib itu. Ia tak ingat berapa lama perasaan itu tertinggal di hatinya. Ketika akhirnya ketakjuban itu berakhir saat ia kembali pulang dari Pretty Island, Ulf merasa pengalaman itu tak berdampak apapun bagi dirinya.
Perkiraan Ulf keliru, karena meski tak berdampak langsung, pengalaman itu melekat kuat dalam pikirannya. Singkat cerita, dari internet, Ulf berkenalan dengan Shahida, seorang perempuan Amerika yang juga mualaf.
Shahida segera menjadi sahabat pena Ulf. Melalui email, Ulf kerap berdiskusi tentang Islam dan Tuhan. “Ia memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Ia berpesan padaku, ‘Dengarkan kata hatimu, maka kau akan menemukan kebenaran’,” tutur Ulf.
Ulf menemukan kebenaran itu. “Lebih cepat dari yang kuharapkan,” katanya. Suatu hari, dalam bus yang membawanya pulang dari tempat kerja, Ulf kembali menikmati lukisan indah Tuhan yang tercipta saat matahari tenggelam. “Awan yang berpencar-pencar tampak begitu indah dengan warna merah muda dan oranye, dengan keindahan yang menyatu.”
Dalam perjalanan itu, Ulf mulai berpikir tentang bagaimana Tuhan mengatur kehidupan manusia, juga tentang bagaimana dirinya yang berorientasi pada hal-hal fisik dapat meyakini keberadaan Tuhan. Untuk kedua kalinya, Ulf dilanda perasaan takjub.
Pengalaman indah lainnya ia dapati saat terbangun di pagi hari. “Pikiran pertama yang terlintas di otakku pagi itu adalah betapa bersyukurnya aku pada Tuhan karena Ia telah membuatku terbangun di hari yang baru dengan banyak kesempatan.”
Pengalaman itu seolah menjadi ketukan palu akhir yang memberi Ulf keputusan akhir tentang keyakinannya. “Aku tak lagi dapat menyangkal keberadaan Tuhan,” ujarnya. Namun setelah 25 tahun hidup tanpa keyakinan tentang Tuhan, Ulf kesulitan menanamkan keyakinan itu di hatinya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berdoa dan memfokuskan pikirannya pada Tuhan. “Aku mencoba mendengarkan kata hatiku.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya kemudahan, saat berada di New York, ia berkesempatan bertemu Shahida, perempuan Muslim yang dikenalnya melalui internet. Dan setelah pertemuan itu dirasa Ulf tak memberinya banyak perubahan, ia memberanikan diri mengontak masjid terdekat dan meminta agar dipertemukan beberapa Muslim.
“Aku menyetir mobilku menuju masjid dengan kaki bergemetar,” kenang Ulf. Sampai di masjid, ia bertemu dengan sejumlah Muslim yang memberinya banyak bacaan tentang Islam dan membuatkannya rencana kunjungan ke rumah beberapa Muslim.
Ulf mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya, dan Islam segera menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mulai shalat secara teratur, dan mengikuti shalat Jumat untuk pertama kalinya. “Itu pengalaman yang luar biasa. Sekitar 200 orang berserah diri untuk satu hal; mengagungkan Tuhan,” katanya.
Perlahan, Ulf mulai menemukan kebenaran lewat kata hatinya. “Aku mulai memerankan diriku sebagai seorang Muslim,” katanya. Hanya saja, di saat yang sama, Ulf meragukan pilihannya untuk masuk Islam. Respon keluarga dan teman, kebiasaan-kebiasaan lamanya, serta larangan dan kewajiban yang akan mengikutinya sebagai Muslim membayangi pikirannya.
Ulf lalu mulai banyak menggali informasi dari internet dan menemukan banyak informasi tentang Islam, termasuk kisah seorang mualaf yang membuatnya berlinang air mata. Di titik itu, ia sadar dirinya tak bisa lebih lama lagi menolak Islam.
Maka, suatu pagi di musim dingin, Ulf bersiap. Dari dalam kamarnya, ia melihat langit berwarna kelabu lengkap dengan angin dingin yang berhembus kencang. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia bergegas menuju mobil dan menyetir mobilnya ke masjid terdekat, satu jam perjalanan dari tempat tinggalnya.
Setelah shalat Dhuhur, disaksikan imam masjid dan sejumlah Muslim, Ulf bersyahadat. Ulf bersyukur atas dua hal, atas keislamannya serta respon baik keluarga dan teman-temannya. “Hingga saat ini mereka masih berpikir semua hal baru yang kulakukan adalah kebiasaan asing yang akan hilang seiring waktu.”
“Aku akan membuktikan pada mereka itu tidak akan terjadi, Insya Allah,” ujar pria yang kini bangga memperkenalkan dirinya sebagai Ulf Ibrahim Karlsson.
0 komentar:
Post a Comment