fakta wahabi

Sebagaimana dimaklumi, hadits dha’if itu memiliki otoritas dan dapat diterima dalam konteks fadha’il al-a’mal (amaliah-amaliah yang utama/sunnah), sejarah, manaqib, biografi, targhib, tarhib dan akhlaq. Hal ini adalah pendapat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari kalangan ahli hadits, fuqaha, ahli ushul fiqih dan lain-lain. Bahkan seluruh ulama salaf, secara kasuistik menerima otoritas hadits dha’if dalam aspek hukum-hukum syar’i, baik secara kolektif maupun secara individual. Dalam konteks ini al-Imam al-Nawawi berkata:

وَيَجُوْزُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَغَيْرِهِمْ التَّسَاهُلُ فِي اْلأَسَانِيْدِ وَرِوَايَةُ مَا سِوَى الْمَوْضُوْعِ مِنَ الضَّعِيْفِ وَالْعَمَلُ بِهِ مِنْ غَيْرِ بَيَانِ ضُعْفِهِ فِيْ غَيْرِ صِفَاتِ اللهِ تَعَالىَ وَاْلأَحْكَامِ كَالْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَغَيْرِهِمَا وَذَلِكَ كَالْقَصَصِ، وَفَضَائِلِ الْأَعْمَالِ، وَالْمَوَاعِظِ وَغَيْرِهَا مِمَّا لاَ تَعَلُّقَ لَهُ بِالْعَقَائِدِ وَالْأَحْكَامِ، وَاللهُ أَعْلَمُ. (الإمام النووي، التقريب والتيسير).
“Menurut ahli hadits dan selain mereka, boleh mentoleransi sanad-sanad dan periwayatan selain hadits palsu, yaitu hadits dha’if serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, dalam selain sifat-sifat Allah SWT, hukum-hukum seperti halal haram dan selainnya. Hal itu seperti dalam kisah-kisah, amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain, dari hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum. Wallahu a’lam.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, hal. 48).
Belakangan ini, di kalangan Wahabi, muncul aliran baru yang sangat ekstrem, yang dipimpin oleh Syaikh Nadhir al-Albani, dari Yordania. Al-Albani cs, dan diikuti oleh banyak kaum Wahabi di Indonesia, menolak peran hadits dha’if secara mutlak dan dalam konteks apapun. Kelompok ini juga tanpa memiliki rasa malu, mengklaim sebagai representasi ahli hadits. Hal ini membuat kita geli dan bertanya-tanya, “Kalau mereka (al-Albani cs), menolak otoritas hadits dha’if, sebagai representasi (perwakilan) ahli hadits, pertanyaannya adalah, ahli hadits yang mana yang mereka wakili? Bukankah ahli hadits menerima hadits dha’if dalam konteks tertentu, sebagaimana dipaparkan oleh al-Imam al-Nawawi di atas?”

Saat ini di Indonesia, mayoritas kaum Wahabi taklid buta kepada al-Albani dalam menolak otoritas hadits dha’if. Mereka tidak menyadari, dan sepertinya memang tidak tahu, sehingga tidak sadar, bahwa para ulama Salafi-Wahabi sebelum generasi al-Albani, seperti pendiri Salafi-Wahabi, murid-murid dan anak cucunya juga menerima dan menyebarkan hadits dha’if dan riwayat palsu dalam kitab-kitab mereka. Bahkan para ulama panutan Salafi-Wahabi seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim, juga banyak menyebarkan hadits dha’if dan riwayat palsu dalam kitab-kitab mereka. Di antara bukti, bahwa pendahulu Salafi-Wahabi banyak menyebarkan hadits dha’if dan palsu, Syaikh al-Albani sendiri melakukan kritik terhadap beberapa kitab panutan mereka seperti kitab al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah, yang diedit dan direvisi oleh al-Albani menjadi Shahih al-Kalim al-Thayyib, dengan membuang 59 hadits dari 252 hadits yang dianggapnya dha’if.
(Untuk lebih jelasnya mengenai Kajian Tuntas tentang skandal penyebaran riwayat dha'if dan palsu di kalangan wahabi, silahkan beli buku karya Ust Muhammad Idrus Ramli : Bekal pembela Ahlussunnah wal jama'ah dalam menghadapi radikalisme salafy wahabi)
Hanya saja, dalam rangkan membenarkan penolakannya terhadap otoritas hadits dha’if, kaum Wahabi tidak segan-segan melakukan kebohongan ilmiah, hal ini seperti yang dilakukan oleh salah seorang Ustadz mereka, yang bernama Abdul Hakim bin Amir Abdat Abu Unaisah dalam bukunya, AL MASAA-IL (Masalah-Masalah Agama). Saya kurang tahu, apakah Abu Unaisah di sini adalah yang memiliki akun di fb, dengan gambar profilnya berupa kitab al-Umm karya al-Imam al-Syafi’i. Atau Abu Unaisah yang di fb, masih murid atau pengikut fanatik Hakim Abdat di atas. Berikut rincian kebohongan ilmiah dan kejahilan (meminjam bahasa dia sendiri dalam bukunya yang sedikit-sedikit bilang kejahilan), Ustadz Hakim Abdat Abu Unaisah dalam rangka menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, yang akan kami kemas dalam bentuk dialog.

WAHABI: “Menurut madzhab Imam Malik, Syafi’iy, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnul Madini, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm dan lain-lain dari para imam ahli hadits seperti Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh al-Albani (dua orang terakhir ini bukan imam ahli hadits, pen.), mereka semuanya tidak membolehkan secara mutlak mengamalkan hadits dha’if meskipun hanya untuk fadha-ilul a’mal dan lain-lain.” (BUKU AL MASAA-IL, HAL. 64)

SUNNI: “Anda tidak menjelaskan, dimana rujukan Anda dalam mengutip pendapat para imam tersebut, yang menolak otoritas hadits dha’if dalam semua hal secara mutlak. Di bagian belakang tulisan tersebut, Anda menuliskan nama-nama kitab yang menjadi sumber rujukan, seperti al-Muhalla dan al-Fashl karya Ibnu Hazm, al-Majmu’ karya al-Nawawi, Tadrib al-Rawi karya al-Suyuthi dan lain-lain. Tapi sepertinya Anda tidak membaca kitab-kitab tersebut secara tuntas, atau Anda membaca tapi tidak bisa memahami isinya dengan benar. Padahal kalau kitab-kitab tersebut dibaca, maka akan kelihatan, bahwa para ulama ahli hadits menerima otoritas hadits dha’if dalam fadha-ilul a’mal dan sesamanya. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Suyuthi berkata dalam Tadrib al-Rawi, salah satu rujukan Anda, tetapi tidak Anda baca isinya:

( ويجوز عند أهل الحديث وغيرهم التساهل في الأسانيد ) الضعيفة ( ورواية ما سوى الموضوع من الضعيف والعمل به من غير بيان ضعفه في غير صفات الله تعالى ) وما يجوز ويستحيل عليه وتفسير كلامه ( والأحكام كالحلال والحرام و ) غيرهما وذلك كالقصص وفضائل الأعمال والمواعظ وغيرها ( مما لا تعلق له بالعقائد والأحكام ) ومن نقل عنه ذلك ابن حنبل وابن مهدي وابن المبارك قالوا إذا روينا في الحلال والحرام شددنا وإذا روينا في الفضائل ونحوها تساهلنا
“Menurut ahli hadits dan selain mereka, boleh mentoleransi sanad-sanad dha’if (lemah) dan periwayatan selain hadits palsu, yaitu hadits dha’if serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, dalam selain sifat-sifat Allah SWT, dan sifat yang jaiz dan mustahil bagi Allah, serta menafsirkan firman Allah, dan hukum-hukum seperti halal haram dan selainnya. Hal itu seperti dalam kisah-kisah, amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain, dari hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum. Di antara ulama yang diriwayatkan berpendapat demikian adalah Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnul Mubarak. Mereka berkata: “Apabila kami meriwayatkan hadits mengenai halal dan haram, maka kami memperketat. Dan apabila kami meriwayatkan mengenai fadha-il dan sesamanya, maka kami memperlonggar/toleran.” (Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, juz 1 hal. 298)
Pernyataan al-Suyuthi di atas menegaskan, bahwa ahli hadits menerima otoritas dan peran hadits dha’if dalam konteks kisah-kisah, amalan-amalan yang utama, mau’izhah dan lain-lain. Al-Suyuthi mengutip pendapat tersebut dari kalangan ahli hadits, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi dan Ibnul Mubarak. Jelas sekali, kalau pernyataan Anda wahai Wahabi, tidak mewakili ahli hadits dan lainnya, tetapi mewakili al-Albani dan pengikut setianya saja.”

WAHABI: “Cukuplah saya turunkan perkataan Imam Syafi’iy radhiyallaahu ‘anhu yang sangat masyhur sekali, yaitu:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
“Apabila telah sah suatu hadits, maka itulah Madzhabku.” (BUKU AL MASAA-IL, HAL. 64).
SUNNI: “Anda tidak mengerti maksud perkataan Imam al-Syafi’i di atas dengan baik. Maksud perkataan tersebut adalah, bahwa madzhab beliau selalu bersandar kepada hadits shahih. Dan hal ini tidak bisa dibalik, bahwa kalau ada hadits dha’if, maka akan beliau tolak secara mutlak seperti yang ada dalam pemahaman Anda. Pernyataan tersebut menjadi bukti konsistensi madzhab fiqih yang ada dengan hadits-hadits shahih. Statemen di atas tidak bisa diartikan sebagai bentuk penolakan terhadap hadits dha’if secara mutlak sebagaimana yang ada dalam pikiran Anda yang jahil (maaf, meminjam bahasa Wahabi).

Justru pengamalan hadits dha’if dalam konteks hukum-hukum halal dan haram, telah menjadi ketetapan dalam madzhab Imam yang tiga, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Ahmad bin Hanbal. (Silahkan dirujuk dalam Ali al-Qari, Mirqatul Mafatih, juz 1, hal. 19; Ibnul Humam, Fathul Qadir, juz 1 hal. 417; Ibnun Najjar al-Hanbali, Syarhul Kaukab al-Munir, juz 2 hal. 573). Pengamalan hadits dha’if juga diikuti oleh banyak ulama ahli hadits, seperti Imam Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ibnu Abi Hatim.

Anda hai Wahabi, mengatakan bahwa Ibnu Hazm menolak hadits dha’if dalam konteks apapun. Berikut ini akan kami sampaikan pernyataan Ibnu Hazm yang dapat membuktikan bahwa Anda belum membaca kitab Ibnu Hazm. Beliau berkata dalam kitabnya al-Muhalla (juz 1 hal. 63):

"وهذا الأثر وإن لم يكن مما يحتج بمثله فلم نجد فيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم غيره، وقد قال أحمد بن حنبل رحمه الله: (ضعيف الحديث أحب إلينا من الرأي). قال علي-يعني ابن حزم نفسه-: وبهذا نقول"انتهى.
“Hadits ini, meskipun yang seperti itu tidak dapat dijadikan hujjah, tetapi kami tidak menemukan hadits lain dari Rasulullah SAW. Ahmad bin Hanbal RA telah berkata: “Hadits dha’if lebih kami senangi daripada pendapat nalar.” Ibnu Hazm berkata: “Dengan perkataan Ahmad bin Hanbal, kami berpendapat.”
Dalam kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Hazm berhujjah dengan hadits dha’if dalam masalah hukum, karena mengikutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafizh al-Sakhawi berkata dalam Fathul-Mughits (juz 1 hal. 287):

"لكنه-يعني: الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه- احتج رحمه الله بالضعيف حين لم يكن في الباب غيره، وتبعه أبو داود، وقدماه على الرأي والقياس. ويقال عن أبي حنيفة أيضا ذلك. وإن الشافعي يحتج بالمرسل إذا لم يجد غيره
“Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal RA berhujjah dengan hadits dha’if, apabila dalam permasalahan tersebut tidak ada hadits selainyan. Ia diikuti oleh Abu Dawud. Keduanya mendahulukan hadits dha’if daripada nalar dan Qiyas. Demikian pula hal itu diriwayatkan dari Abu Hanifah dan bahwa Imam al-Syafi’i berhujjah dengan hadits mursal apabila tidak menemukan hadits lagi.”
Beberapa kutipan di atas membuktikan bahwa Ustadz Hakim Abdat yang Wahabi, tidak memiliki data-data ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Dan bahwa hadits dha’if, tidak hanya diterima dalam ranah fadha-ilul a’mal, dan sesamanya, akan tetapi diterima dalam konteks ahkam/hukum-hukum ketika hadits-hadits yang shahih tidak ada.”

WAHABI: “Mereka telah salah faham terhadap perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan lain-lain ulama salaf yang semakna perkataannya dengan beliau:

إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
“Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah SAW tentang halal dan haram, dan sunnah-sunnah dan hukum-hukum niscaya kami keraskan yakni kami periksa dengan ketat sanad-sanadnya. Dan apabila kami meriwayatkan dari Nabi SAW tentang fadha-ilul a’mal yang tidak menyangkut masalah hukum dan tidak disandarkan kepada beliau SAW, niscaya kami permudah sanad-sanadnya.” (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam al Khathib al Baghdadi di kitabnya al Kifaayah fi Ilmir Riwaayah hal 134)”. (BUKU AL MASAA-IL, KARYA HAKIM ABDAT Al-WAHHABI AL-ALBANIY HAL. 67).”
SUNNI: “Anda membicarakan persoalan hukum yang agak pelik, tetapi Anda tidak mampu dan salah dalam menerjemahkan pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal di atas. Coba Anda perhatikan, Imam Ahmad berkata:

وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
LALU ANDA TERJEMAHKAN: “Dan apabila kami meriwayatkan dari Nabi SAW tentang fadha-ilul a’mal yang tidak menyangkut masalah hukum dan tidak disandarkan kepada beliau SAW, niscaya kami permudah sanad-sanadnya”.
Terjemahan Anda jelas keliru. Terjemahan yang benar, seharusnya begini: “Dan apabila kami meriwayatkan dari Nabi SAW tentang fadha-ilul a’mal, dan hadits yang tidak menjatuhkan hukum hukum dan tidak mengangkatnya, (maksudnya tidak menghalalkan dan tidak mengharamkan), niscaya kami permudah sanad-sanadnya.”

Nasehat kami, kepada saudara Hakim Abdat, sebaiknya Anda belajar bahasa Arab lagi bro.”

Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum.
    Maaf pak ustad apa belum baca kitab Al-Majmu yang di tulis oleh Imam Nawawi,
    ini saya kutipkan ucapan Imam Nawawi dalam Kitab Al-Majmu:
    Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi berkata :”Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha'ib berjumlah dua belas raka'at dikerjakan antara maghrib dan isya' pada malam jum'at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka'at pada malam nisfu sya'ban, dua sholat ini adalah bid'ah dan mungkar. “

    Mohon Pak Ustad Pelajari. Kitab Al-Majmu Karangan Imam Nawawi (ahli Hadist) tersebut).
    Terimakasih.
    Wassalam.


    ReplyDelete

 
Top