fakta wahabi
Sebagaimana dimaklumi, dalam posting-posting sebelumnya, tidak ada kaum Wahabi yang mampu membantah dalil-dalil para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah tentang adanya bid’ah hasanah. Kaum Wahabi bisanya hanya mengajukan syubhat, keganjilan dalam hati mereka, yang menghalangi mereka untuk menerima bid’ah hasanah.

WAHABI: “Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap perbuatan yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perbuatan tersebut” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/127). Berdasarkan pengertian di atas, maka ada dua poin penting yang dapat diambil : Bid’ah hanya berkaitan dengan masalah agama. Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama.”

SUNNI: “Anda tidak mengerti maksud perkataan Ibnu Rajab dalam kitab tersebut. Ibnu Rajab bukan ulama yang anti bid’ah hasanah. Akan tetapi beliau menamakan hukum-hukum yang terkategori sebagai bid’ah hasanah, dengan nama Sunnah. Itu saja maksud pernyataan beliau. Oleh karena itu, Ibnu Rajab mendefinisikan bid’ah hasanah dengan, “perbuatan yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perbuatan tersebut”. Sebagaimana dimaklumi, berbagai persoalan yang dihukumi sebagai bid’ah hasanah oleh para ulama, memiliki dasar hukum yang syar’i; al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Kaum Wahabi, karena kebodohannya, berpaling dari dalil Ijma’ dan Qiyas. Di sini Ibnu Rajab, tidak menamakan bid’ah hasanah termasuk bid’ah, akan tetapi beliau namakan sebagai Sunnah.”

WAHABI: “Maulid adalah ibadah dan perayaan yang sangat agung yang dapat mendatangkan keridhoan Allah Ta’ala dan syafa’at Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

SUNNI: “Tidak ada ulama yang mengatakan seperti perkataan Anda, bahwa Maulid itu ibadah sepertihalnya shalat, puasa dan haji yang lengkap dengan syarat dan rukunnya. Coba Anda jelaskan, dimana keterangan seperti itu?”

WAHABI: “Maulid Nabi adalah perayaan yang rutin digelar setiap tahunnya sehingga maulid Nabi termasuk hari ‘ied dimana banyak dari kaum muslimin berkumpul di hari tersebut.” Definisi ‘ied Ibnu Taimiyyah mengatakan, “’Ied adalah istilah yang diambil karena berulangnya sesuatu untuk sebuah perkumpulan besar. Bisa jadi yang berulang adalah tahun, pekan, bulan, atau semisalnya” (Fathul Majid, hal. 267). Dengan demikian, maulid dapat dikategorikan sebagai hari ‘ied berdasarkan pengertian di atas karena kesesuaian sifat-sifatnya, sama-sama rutin dan sama-sama merupakan perkumpulan besar kaum muslimin.”

SUNNI: “’Ied yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah di atas, adalah ‘Ied dalam pengertian secara bahasa atau lughawi, yaitu sesuatu yang berulang-ulang dan dilakukan secara rutin. Kalau ‘ied kita arahkan dalam pengertian ini, lalu apa yang tidak dinamakan ‘ied dalam kehidupan kita? Bukankah semua aktivitas kehidupan ini berulang-ulang dan dilakukan secara rutin? PERLU ANDA KETAHUI, BAHWA IBNU TAIMIYAH JUGA MENGANJURKAN DAN MEMBENARKAN HARI RAYA MAULID, SEBAGAIMANA KAMI PAPARKAN DALAM POSTING SEBELUMNYA.”

WAHABI: “Penentuan ibadah atau hari ‘ied kaum muslimin membutuhkan dalil. Akan tetapi, untuk menentukan suatu hari itu adalah ‘ied atau bukan maka membutuhkan dalil dari Al Qur’an atau As Sunnah.”

SUNNI: “Perayaan Maulid Nabi SAW, sudah ada dalilnya, baik dari al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW, sebagaimana kami bahas dalam posting sebelumnya.”

WAHABI: “Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidaklah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘ied kecuali yang ditetapkan oleh syari’at sebagai hari ‘ied. Hari ‘ied (yang ditetapkan syari’at) tersebut adalah ‘iedul fithri, ‘iedul adha, hari-hari tasyrik dimana ketiga ‘ied tersebut adalah ‘ied tahunan, serta hari jum’at dimana hari jum’at adalah ‘ied pekanan. Selain dari hari-hari ‘ied tersebut, maka menetapkan suatu hari sebagai hari ‘ied yang lain adalah kebid’ahan yang tidak ada asalnya dalam syari’at” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 228)”.

SUNNI: “Perkataan Ibnu Rajab di atas tidak mengarah pada kebid’ahan perayaan Maulid Nabi SAW. Sepertinya Anda tidak tuntas membaca Latho-if al-Ma’arif karya Ibnu Rajab. Dalam kitab tersebut, Ibnu Rajab membahas Maulid secara panjang lebar, yang indikasinya beliau membenarkan dan menganjurkan Maulid. Silahkan, Anda baca kitab tersebut.”

WAHABI: “Adakah dalil dianjurkannya maulid?”

SUNNI: “ADA, dan telah kami jelaskan secara detil.”

WAHABI: “Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (maulid Nabi-pen) padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan” (lihat Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 198)”.

SUNNI: “Pernyataan Ibnu Taimiyah ini bertentangan dengan pernyataannya sendiri yang membenarkan dan menganjurkan Maulid. Dan pendapat yang menganjurkan ini yang benar, bukan yang melarang. Pernyataan Ibnu Taimiyah yang anda kutip, itu adalah logikan kaum yang anti bid’ah hasanah. Anda belum mematahkan dalil bid’ah hasanah yang kami ajukan, lalu anda mengajukan syubhat untuk menolak bid’ah hasanah, dengan berkata: “Seandainya bid’ah hasanah yang Anda lakukan ini benar, tentu para Salaf akan melakukannya terlebih dahulu.” Jawaban kami terhadap persoalan ini, logika dan pernyataan yang Anda kemukakan, adalah keliru. Karena para sahabat dan ulama Salaf telah mencontohkan banyak bid’ah hasanah, seperti penghimpunan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar, penyatuan Shalat Taraweh oleh Khalifah Umar, Adzan jum’at dua kali oleh Khalifah Utsman, proses arbitrase pada masa Khalifah Ali dan lain-lain. Syubhat yang Anda kemukakan, ajukan saja kepada para sahabat tadi.”

WAHABI: “Seandainya Rasulullah, para sahabat, tabi’in, maupun 4 imam mazhab mau merayakan maulid Nabi, tentu mudah bagi mereka untuk merayakannya. Faktor pendorong merayakan maulid sudah ada, yakni kecintaan mereka kepada Nabi yang teramat besar, ditambah lagi tidak ada faktor yang menghalangi mereka untuk merayakannya. Namun, mengapa mereka tidak merayakannya? Apa sih susahnya maulidan? Hal ini semata karena keyakinan mereka bahwa maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

SUNNI: “Mengapa kaum Salaf yang Anda sebutkan, tidak merayakan Maulid? Jawabannya, karena mereka belum pernah memikirkannya. Sedangkan keyakinan Anda, bahwa maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu karena Anda tidak tahu dalilnya. Kalau memang keyakinan Anda benar, bahwa maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, tolong Anda jelaskan satu dalil yang secara khusus melarang Maulid? Anda pasti tidak bisa.”

WAHABI: “Sebagai penutup, marilah sejenak kita renungi bersama kisah berikut ini. Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

SUNNI: “Contoh yang Anda kemukakan tidak ada hubungannya dengan Maulid. Anda ini lucu. Katanya dalil itu hanya al-Qur’an dan Sunnah. Tidak ada qiyas dalam ibadah. Tetapi di sini Anda justru menolak Maulid dengan dalil Qiyas juga. Cuma saying sekali, Qiyas Anda tidak nyambung. Mengqiyaskan penolakan Maulid dengan penolakan Sa’id bin al-Musayyab terhadap seseorang yang banyak melakukan shalat sunnah setelah terbitnya fajar. Itu memang tidak ada dalilnya. Kalau Maulid, sangat jelas dalilnya bro.”

WAHABI: “Al Albani berkomentar, “Jawaban Sa’id bin Musayyab adalah senjata ampuh bagi orang yang gemar berbuat bid’ah yang menganggap baik banyak bid’ah dengan alasan isinya adalah zikir dan sholat! Merekapun mengingkari kaum Wahabi dengan memanfaatkan alasan tersebut. Mereka menuduh bahwa Wahabi mengingkari zikir dan sholat! Padahal sejatinya, yang mereka ingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam berzikir, sholat, dan sejenisnya” (Irwa-ul Ghalil, 2/236, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 71-72)”

SUNNI: “Sampaikan kepada Al-Albani dan Ali Hasan al-Halabi penulis ‘Ilmu Ushul al-Bida’, atau murid-muridnya, dari kaum Salafi di Indonesia. Katakana kepada mereka, “Anda lucu. Anda ini kaum yang sangat anti Qiyas, tetapi justru di sini diam-diam menggunakan dalil Qiyas untuk menolak bid’ah hasanah? Sementara para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam menetapkan bid’ah hasanah semuanya menggunakan dalil nash al-Qur’an dan Hadits.”

Wallahu a’lam.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top