fakta wahabi
Ustadz Idrus Ramli Menjawab Tulisan Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Al Wahhabi Yang Dimuat di Majalah Al-Furqon, Sidayu Gresik (Bagian Ke 1 & 2).

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kabar dari seorang teman yang tinggal di Makassar Sulawesi Selatan, bahwa ia melihat seorang Wahabi menulis bantahan terhadap buku saya, Membedah Bid’ah dan Tradisi dan Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi. Kemudian setelah teman tersebut, mengirim scan bantahan seorang Wahabi tersebut, ternyata yang menulis bantahan bernama Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, dan dimuat di Majalah Wahabi al-Furqan, Sidayu Gresik.

Setelah itu, kami berusaha menghubungi redaksinya, melalui no HP yang tertulis di dalamnya, untuk menghubungi penulis bantahan tersebut, ternyata mereka tidak pernah membalas SMS maupun menjawab call kami.

Setelah saya amati, bantahan Arif, ternyata dia tidak membantah dalil-dalil yang saya ajukan dalam buku tersebut. Ia hanya menulis pengertian hadits yang saya ajukan sesuai dengan pengertian Wahabi dan tidak mampu membantah maksud hadits yang dipahami oleh para ulama ahli hadits dan kaum Salaf. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengomentari bantahan Arif yang Wahabi, dalam format dialog agar lebih mudah dipahami oleh pembaca.

WAHABI: “Bid’ah hasanah tidak ada. Karena agama telah sempurna, sebagaimana dalam firman Allah:


اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS al-Ma-idah : 3).
SUNNI: “Ayat di atas tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Dalil bid’ah hasanah terdapat dalam al-Qur’an dan sekian banyak hadits, yang tidak Anda komentari dalam artikel lemah Anda. Para ulama salaf, tidak ada yang menafsirkan ayat tersebut, dengan makna menolak bid’ah hasanah seperti yang dipahami oleh penganut faham Wahabi. Dalam kitab tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bil-Ma’tsur, al-Hafizh al-Suyuthi mengutip banyak riwayat dari ulama salaf tentang ayat tersebut, semuanya berkisar antara menafsirkan, bahwa keimanan umat Islam telah sempurna, dan makna bahwa ibadah haji umat Islam telah sempurna, dengan ditaklukkannya Kota Mekkah dan dilarangnya kaum Musyrik menunaikan ibadah haji. (Lihat, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 5 hal. 181 dan seterusnya).”

WAHABI: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Dan awaslah kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
SUNNI: “Anda tidak menanggapi pemahaman para ulama ahli hadits dan kaum salaf terhadap hadits tersebut wahai Wahabi. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi menyatakan:

قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Oleh karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya dibatasi, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela. Dalam konteks ini, Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:

وَمِنْ هُنَا  يُعْرَفُ  ضَلاَلُ  مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
WAHABI: “Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia anggap baik bid’ah tersebut, maka ia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah berfirman: ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.’ Oleh sebab itu, apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia bukan termasuk agama pula hari ini.” (Al-Ihkam, Ibnu Hazm 6/225 dan al-I’tisham, al-Syathibi 1/64).”

SUNNI: “Pernyataan Imam Malik bin Anas di atas bukan pernyataan tegas bahwa bid’ah hasanah tidak ada. Karena dalam konsep madzhab beliau, bid’ah hasanah dimasukkan ke dalam Mashalih Mursalah. Sebagaimana dimaklumi, Istihsan dan Mashalih Mursalah termasuk sumber pengambilan hukum dalam madzhab Maliki. Sementara madzhab Syafi’iy, tidak mengakui keduanya sebagai sumber pengambilan hukum.

WAHABI: “Salaf yang shaleh sangat keras dalam melarang setiap kebid’ahan, sebagaimana dinukil dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata:


كل بدعة ضلالة وإن رأها الناس حسنة
“Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai sesuatu kebaikan.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah! Sebab, sungguh itu telah cukup bagi kalian. Dan ketahuilah bahwa setiap bid’ah adalah sesat.” (Ibnu Nashr: 28 dan Ibnu Wadhdhah: 17).

SUNNI: “Memahami perkataan seorang ulama, jangan sepotong-sepotong. Misalnya, perkataan Abdullah bin Umar, tentang bid’ah yang dianggap sesat oleh beliau, hal ini jelas hanya bid’ah sayyi’ah, bukan bid’ah yang hasanah. Karena beliau sendiri termasuk pelaku bid’ah hasanah. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menunaikan ibadah haji adalah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لكَ.

Tetapi Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:

لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.

Hadits tentang doa talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar  radhiyallahu ‘anhu juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kalimat:

لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.

Sedangkan perkataan Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang melarang melakukan bid’ah, tentu harus kita artikan dengan bid’ah sayyi’ah. Sedangkan bid’ah hasanah, tidak termasuk dalam larangan beliau. Bukankah beliau telah berkata:

عن ابن مسعود قال فما رآه المسلمون حسنا فهو عند اللَّه حسن ، وما رآه المسلمون قبيحا فهو عند اللَّه قبيح
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal tersebut baik menurut Allah. Dan apa saja yang dianggap buruk oleh umat Islam, maka hal tersebut buruk menurut Allah.” (HR. Ahmad dalam as-Sunnah, al-Bazzar, al-Thayalisi, al-Thabarani, Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’, dan al-Baihaqi dalam al-I’tiqad. Menurut al-Hafizh al-Sakhawi, hadits ini mauquf yang hasan. Lihat, al-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, hadits no. 914).
Di sisi lain, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mencontohkan bid’ah hasanah, dalam menyusun bacaan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibnu Taimiyah, dan salah satu ulama otoritatif di kalangan kaum Wahabi, meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut ini:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام، ص/٣٦).

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum salaf dan para sahabat tidak menolak hal-hal yang memang termasuk bid’ah hasanah dalam pandangan agama. Kalaupun ada pernyataan dari mereka yang melarang berbuat bid’ah, itu maksudnya bid’ah sayyi’ah atau bid’ah dalam akidah, seperti bid’ah ajaran Wahabi. Bid’ah ajaran Wahabi, adalah bid’ah yang sangat ditentang oleh kaum salaf.

WAHABI: “Penulis begitu antusias mengajak kaum muslimin kepada bid’ah sebagaimana tampak sekali di dalam perkataan-perkataannya:

1) Hlm. 16: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah seperti shalat dan lainnya..”

2) Hlm. 21: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama.”

SUNNI: “Apa yang ditulis oleh kami, hanya menyampaikan ajaran Islam yang dipahami oleh para ulama salaf dan ahli hadits. Anjuran memperbanyak bid’ah hasanah, ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

عن جرير بن عبد الله -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «مَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِها بعْدَهُ كُتِب لَه مثْلُ أَجْر من عَمِلَ بِهَا وَلا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، ومَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وزر من عَمِلَ بِهَا ولا يَنْقُصُ من أَوْزَارهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم.
“Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan yang jelek dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
Hadits di atas, merupakan dalil yang tegas dan jelas, agar kita memotivasi umat Islam untuk selalu melakukan bid’ah hasanah. Dalam konteks ini, al-Imam al-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, ketika mengomentari hadits tersebut:

قوله صلى اللـه عليه وسلم من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها إلى آخره فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنات والتحذير من اختراع الأباطيل والمستقبحات وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى اللـه عليه وسلم “كل محدثةٍ بدعة وكل بدعة ضلالة” وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة ثم قال “والبدع خمسة أقسامٍ: واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة”انتهى أنظر شرح النووي لصحيح مسلم ج-6
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia akan memperoleh pahalanya …” Hadits tersebut mengandung motivasi untuk memulai perbuatan-perbuatan kebaikan dan memulai perbuatan-perbuatan yang baik, serta peringatan agar menjaduhi memulai kebatilan-kebatilan dan perbuatan-perbuatan yang dianggap buruk. Dalam hadits ini juga ada pembatasan terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah tersesat”. Dan bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang batil dan bid’ah-bid’ah yang tercela.” … Bid’ah itu ada lima bagian; yaitu bid’ah wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.” (Syarh Shahih Muslim, karya al-Imam an-Nawawi).
Demikianlah, dorongan kami kepada umat Islam agar menyebarkan dan memperbanyak bid’ah hasanah, semata-mata menyampaikan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadits-hadits beliau, seperti yang dipahami oleh para ulama ahli hadits, bukan pemahaman kaum Wahabi.

WAHABI: “Ketidaktahuan penulis terhadap Sunnah Taqririyah dan menganggapnya sebagai bid’ah hasanah. (Ustadz Arif, menulis panjang lebar tentang makna Sunnah, tetapi tidak menanggapi dalil-dalil kami serta pernyataan para ulama salaf dan ahli hadits tentang bid’ah).”

SUNNI: “Para ulama yang biasa membaca kitab-kitab hadits, akan memahami bahwa Sunnah-sunnah Taqririyah termasuk dalil-dalil bid’ah hasanah. Misalnya hadits shahih berikut ini:

عَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ: أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري (799) والنسائي (1016) وأبو داود (770) وأحمد (19018) وابن خزيمة (614).
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (799), al-Nasa’i (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340) dan Ibn Khuzaimah (614).

Hadits atau sunnah taqririyah di atas termasuk dalil adanya bid’ah hasanah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور اذا كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه. (الحافظ ابن حجر، فتح الباري، 2/361).
“Hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru yang tidak ma’tsur dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 2 hal. 361).
Dari paparan di atas, jelas sekali, bahwa Sunnah Taqririyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk dalil bid’ah hasanah dalam shalat menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Kalau Anda menolak pandangan beliau, karena mengikuti pendapat Syaikh Ibnu Baz atau Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, itu bagian dari hak Anda untuk taklid kepada mereka. Biarkan kami, umat Islam mengikuti al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Tapi mana hujjah Anda???

WAHABI: “Di antara contoh lain dari ketidakpahaman penulis terhadap pengertian “sunnah dan bid’ah” bahwa dia banyak menyatakan bahwa sunnah-sunnah Khulafaur Rasyiidin adalah bid’ah, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan setiap muslim agar berpegang teguh dengan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan “sunnah Khulafaur Rasyidin”, sebagaimana dalam sabda beliau.

Di antara sunnah-sunnah Khulafaur Rasyidin yang dianggap bid’ah oleh penulis dalam Membedah Bid’ah dan Tradisi, adalah penghimpunan al-Qur’an di dalam Mushhaf pada zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dan adzan ketiga pada hari Jum’at di Pasar Madinah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.”

SUNNI: “Sebenarnya yang tidak mengerti perbedaan Sunnah dan Bid’ah itu Anda, sehingga tulisan Anda kacau balau, tidak jelas yang dituju, kecuali tujuan agar terbangun kesan bahwa ada Ustadz Wahabi seperti Anda yang telah membantah buku saya. Nah, berikut ini akan saya terangkan makna bid’ah, kemudian pandangan para ulama tentang Sunnah Khulafaur Rasyidin yang sebenarnya bid’ah hasanah.

Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، ۲/١٧۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
Definisi bid’ah di atas, sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَإِياَّكمُ ْوَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Dan awaslah kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Dalam hadits di atas, jelas sekali, bahwa bid’ah adalah setiap perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Berdasarkan hadits ini, definisi al-Imam Izzuddin di atas lebih kuat dan dipilih oleh para ulama daripada definisi al-Syathibi dalam al-I’tisham. Oleh karena itu, para ulama yang mengakui adanya bid’ah hasanah, menganggap penghimpunan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah yang wajib. Kaum Wahabi seperti penulis bantahan terhadap buku saya, enggan menyebutnya bid’ah, karena tidak tahu teks asli hadits al-Bukhari tentang penghimpunan al-Qur’an. Teks tersebut berbunyi begini:

جَاءَ سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه إِلَى سَيِّدِنَا أَبِيْ بَكْرٍ رضي الله عنه يَقُوْلُ لَهُ: يَا خَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللهِ  أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِي الْقُرَّاءِ فَلَوْ جَمَعْتَ الْقُرْآنَ فِي مُصْحَفٍ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ: كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ: إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إِلَى زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه فَيَقُوْلاَنِ لَهُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: كَيْفَ تَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ : إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ فَلاَ يَزَالاَنِ بِهِ حَتَّى شَرَحَ  اللهُ صَدْرَهُ كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. رواه البخاري.
“Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu mendatangi Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Wahai Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal al-Qur’an, bagaimana kalau Anda menghimpun al-Qur’an dalam satu Mushhaf?” Khalifah menjawab: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam?” Umar berkata: “Demi Allah, ini baik”. Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam?” Keduanya menjawab: “Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam rencana ini”. (HR. al-Bukhari).
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa penghimpunan al-Qur’an belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti bid’ah. Kemudian, Abu Bakar, Umar dan Zaid  radhiyallahu ‘anhum sepakat menganggapnya baik, berarti hasanah. Lalu apa yang mereka lakukan, disepakati oleh seluruh para sahabat, berarti ijma’. Dengan demikian, bid’ah hasanah sebenarnya telah disepakati keberadaannya oleh para sahabat . Dalam hadits di atas, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak menyebut tindakan mereka sebagai Sunnah, dan justru menyebutnya, belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti bid’ah hasanah. Bukankah begitu?? Demikian pula, penambahan adzan menjelang shalat Jum’at, pada masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, termasuk bid’ah hasanah.

Perlu diketahui, bahwa si Wahabi penulis bantahan tersebut, tidak menyebut tentang Shalat Taraweh pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu, dalam bantahannya terhadap buku saya. Padahal dalam buku tersebut, saya memasukkan shalat taraweh sebagai salah satu bid’ah hasanah pada masa sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu. Mengapa demikian??? Jelas, si penulis Wahabi tersebut, kebingungan dengan pernyataan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu, yang menyebut shalat taraweh sebagai sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah), alias bid’ah paling hasanah. Karenanya ia memilih tidak membahasnya.

Dengan demikian, Sunnah Khulafaur Rasyidin di atas, bisa kita katakan sebagai bid’ah hasanah, berdasarkan hadits di atas (kullu muhdatsatin bid’ah). Atau bisa juga kita katakan sebagai sunnah hasanah. Bukankah dalam hadits Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عن جرير بن عبد الله -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «مَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِها بعْدَهُ كُتِب لَه مثْلُ أَجْر من عَمِلَ بِهَا وَلا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، ومَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وزر من عَمِلَ بِهَا ولا يَنْقُصُ من أَوْزَارهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم.
“Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan yang jelek dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
Jadi, perkara-perkara baru pada masa sahabat bisa dikatakan bid’ah, karena termasuk muhdatsat, juga bisa dikatakan Sunnah, karena ada dasarnya. Dan tidak ada persoalan dalam perbedaan istilah, selama substansinya sama.

WAHABI: “Penulis menyatakan bolehnya tradisi-tradisi seperti mitoni, tingkepan (pelet kandung), dan yang lainnya dengan mengatakan (hal. 39):

Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama”. (Kemudian, Ustadz Arif, membahas maksud kaedah fiqih, al-‘adah muhakkamatun, sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum).

SUNNI: “Anda sepertinya kurang dapat memahami kutipan saya tentang tradisi dan adat istiadat dalam Islam. Dan Anda sebenarnya tidak perlu membahas kaedah fiqih yang berbunyi al-‘adah muhakkamatun (sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum), karena kami menganjurkan mengikuti tradisi selama tidak diharamkan oleh agama, tidak didasarkan pada kaedah tersebut. Kaedah tersebut tidak ada kaitannya dengan bahasan dalam buku kami.

Dalam buku kami, telah dijelaskan dasar kami, yaitu pernyataakn al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Perlu Anda ketahui, bahwa Ibnu Muflih, bermadzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Sauri Arabia, dan kitab al-Adab al-Syar’iyyah tersebut juga diterbitkan oleh lembaga resmi pemerintahan Saudi Arabia. Coba Anda perhatikan, dasar mengikuti tradisi masyarakat di atas, adalah hadits Shahih Bukhari dan Muslim, lalu kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, lalu sikap pribadi al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Dasarnya sangat terang dan kuat.

Harusnya, kalau Anda faham, kutipan dari Ibnu Muflih di atas Anda bahas dalam bantahan Anda, bukan dasar yang tidak kami tulis dalam buku. Agar bantahan Anda benar-benar ilmiah. Bukankah begitu??

WAHABI: “BERARGUMEN DENGAN HADITS LEMAH DAN PALSU. Penulis di dalam hlm. 29 membawakan hadits Walid bin Surai’ bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak shalat Sunnah sebelum dalm sesudah ‘Id.  Hadits ini dilemahkan oleh al-Imam al-Haitsami (Majma’ Zawaid 4/438)”

SUNNI: “Hadits Abi bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tersebut disebutkan oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam bab, shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Dalam bab tersebut al-Haitsami menyebutkan tujuh hadits. Sebagian shahih, dan sebagian tidak shahih. Antara yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Yang sanadnya dha’if, bisa menjadi hasan lighairihi. Bukankah begitu dalam ilmu hadits???

Anda juga harus faham, bahwa hadits Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, di atas, kami kutip dalam rangka mendalili bid’ah hasanah pada masa shahabat. Dalam Majma’ Zawaid, sebagian salaf melakukan shalat Sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id, sebagian yang lain tidak. Bukankah itu bid’ah hasanah???”

WAHABI: “Penulis di dalam hlm 45 membawakan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan: “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La ilaha illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”

Hadits ini termasuk hadits yang palsu. Ibnu Adi menyatakan bahwa hadits ini termasuk kemungkaran Ibrahim bin Abi Humaid.”

SUNNI: “Maaf, Anda sepertinya kurang mengerti ilmu mushthalah hadits. Hadits munkar itu bukan hadits palsu. Bukankah begitu dalam ilmu hadits???

Oleh karena itu, hadits tersebut dijadikan dalil oleh al-Hafizh al-Zaila’i dalam kitabnya, Nashb al-Rayah li-Ahadits al-Hidayah, juz 2 hal. 292, dengan mengatakan bahwa: “Ibnu Adi menganggap hadits ini termasuk kemungkaran Ibrahim bin Abi Humaid, kemudian Ibnu Adi menyebutkan lagi hadits ini, dalam biografi Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar, dan mendha’ifkannya dengan kedha’ifan yang ringan.”

Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam kitabnya al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, juz 1 hal. 238, mengatakan, bahwa hadits ini hanya didha’ifkan saja oleh Ibnu Adi. (Tidak dinilai palsu, seperti keputusan Anda yang tidak mengerti ilmu hadits).”

Walhasil, hadits di atas, adalah hadits dha’if yang ringan, dan tidak sangat dha’if. Bukankah begitu??? Anda yang menilai palsu, terlalu gegabah.”

WAHABI: “Penulis di dalam hlm. 46 membawakan hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang saudara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya … (Hadits tentang pembacaan talqin setelah pemakaman).

Hadits ini adalah hadits yang lemah, dilemahkan oleh para ulama seperti al-Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 5/304, Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/145, dan al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ 4/216.”

SUNNI: “Hadits tentang pembacaan Talqin tersebut memang dha’if, akan tetapi para ulama fuqaha dari madzahib al-arba’ah mensunnahkan pembacaan Talqin. Mereka antara lain, al-Imam al-Nawawi (yang Anda kutip), dalam kitab al-Adzkar, beliau berkata:

وَأَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلىَ ذَلِكَ اْلقَاضِيْ حُسَيْنٌ وَالْمَقْدِسِيُّ وَالرَّافِعِيُّ.
“Adapun mentalqin mayit setelah dimakamkan, maka jamaah yang banyak dari ulama kami Syafi’iyah berpendapat kesunnahannya. Di antara yang menegaskan demikan adalah al-Qadhi Husain, al-Maqdisi dan al-Rafi’i.” (Hal. 123).
Bahkan Ibnu Qayyimil Jauziyyah, yang melemahkan hadits Talqin dalam kitabnya Zadul Ma’ad (seperti yang Anda kutip), juga mengakui kebenaran ajaran Talqin dan menganjurkannya dalam kitabnya, al-Ruh. Ibnul Qayyim berkata:

وَيَدُلُّ عَلىَ هَذَا أَيْضًا مَا جَرىَ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ قَدِيْمًا وَإِلىَ اْلآَن ، مِنْ تَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ فِيْ قَبْرِهِ وَلَوْلاَ أَنَّهُ يَسْمَعُ ذَلِكَ وَيَنْتَفِعُ بِهِ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَائِدَةٌ ، وَكَانَ عَبَثًا . وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ ، فَاسْتَحْسَنَهُ وَاحْتَجَّ عَلَيْهِ بِالْعَمَلِ .

وَيُرْوَى فِيْهِ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ : ذَكَرَ الطَّبَرَانِيُّ فِيْ مُعْجَمِهِ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ أُمَامَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم  إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَسَوَّيْتُمْ عَلَيْهِ التُّرَابَ ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلىَ رَأْسِ قَبْرِهِ ، فَيَقُوْلُ : يَا فُلاَن بن فلانة ” ، الحديث . وفيه : ” اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة ألا إله إلا الله ، وأن محمدا رسول الله ، وأنك رضيت بالله ربا ، وبالإسلام دينا ، وبمحمد نبيا ، وبالقرآن إماما ” ، الحديث . ثم قال ابن القيم : فَهَذَا الْحَدِيْثُ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ ، فَاتِّصَالُ الْعَمَلِ بِهِ فِيْ سَائِرِ اْلأَمْصَارِ وَالأَعْصَارِ مِنْ غَيْرِ إِنْكَارٍ كَافٍ فِي الْعَمَلِ بِهِ.
“Hal ini juga dituntukkan oleh pengamalam manusia, pada masa silam dan sampai sekarang, berupa talqin mayit di kuburannya. Seandainya ia tidak mendengar hal tersebut dan dapat mengambil manfaat dengannya, tentu talqin tersebut tidak ada faedahnya dan hanya main-main saja. Al-Imam Ahmad rahimahullah telah ditanya tentang talqin, lalu beliau menganggapnya baik dan beliau berhujjah dengan pengamalan (tradisi) masyarakat.

Telah diriwayatkan hadits dha’if tentang talqin. Al-Thabarani menyebutkan dalam Mu’jam nya dari hadits Abu Umamah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang saudara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya … (dan seterusnya).”

Hadits ini meskipun tidak shahih, maka kesinambungan pengamalan dengan hadits tersebut, dalam setiap negeri dan semua masa tanpa ada ulama yang mengingkari, cukup dalam mengamalkan dengan hadits tersebut.” (Ibnul Qayyim, al-Ruh hal. 14).
Dalam paparan di atas, Ibnu Qayyimil Jauziyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah, dan ulama panutan kaum Wahabi, ternyata menganjurkan talqin, sesuai dengan ijtihad al-Imam al-Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, yang menganjurkan talqin, dengan hujjah, bahwa masyarakat telah menjadikannya sebagai tradisi atau pengamalan. Dengan demikian, Ustadz Arif atau Wahabi yang lain, jika tidak mau dengan talqin, silahkan ikuti pendapat Anda. Dalam masalah ini, kami mengikuti umat Islam sejak masa silam yang mengamalkan talqin, dan dianggap baik oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam an-Nawawi, Ibnu Qayyimil Jauziyyah dan lain-lain rahimahumullah. Wallahu a’lam.

Bersambung….

Wassalam

Ustadz Muhammad Idrus Ramli

0 komentar:

Post a Comment

 
Top