Ada kisah menarik berkaitan dengan perpecahan di kalangan Wahhabi. AD, salah seorang teman saya bercerita pengalaman pribadinya kepada saya. “Pada April 2010 saya mengikuti daurah (pelatihan) tentang aliran Syi’ah di Jakarta yang diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Daurah itu dilaksanakan di Gedung LPMP Jakarta Selatan dengan peserta dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dalam daurah tersebut, salah seorang pemateri yang beraliran Salafi berkata,“Aliran Syi’ah itu pecah belah menjadi 300 aliran lebih. Antara yang satu dengan yang lain, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah tanda-tanda ahli bid’ah, sesama kelompoknya saja saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Tidak saling membid’ahkan, apalagi saling mengkafirkan.”Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya, “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah itu, sesama kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah Wal-Jama’ah menurut Ustadz? Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jama’ah, juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan?
Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij.
Kemudian Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan al-Halabi adalah ahli-bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya al-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampir saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin.
Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama Salafi seperti ini, menurut Ustadz, layakkah para ulama Salafi tadi disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah, kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri, tokoh Wahhabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Musri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali Musri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember. Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, karangan Dr. Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Musri ketika kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh. Ternyata dalam kitab Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, Dr. Abdul Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus hubungan dan sebagainya.
Subhanallah, kesesatan suatu golongan dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya”, (QS. 12 : 26).
Mengenai terjadinya perpecahan di antara mereka, hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Imam Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam,tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam. Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat,“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.” Demikian uraian Asy-Syathibi.
Setelah menguraikan demikian, kemudian Asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Di mana Khawarij memecah belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Mereka akan membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah belah umat Islam dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.
Sumber : Sarkub
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya, “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah itu, sesama kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah Wal-Jama’ah menurut Ustadz? Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jama’ah, juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan?
Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij.
Kemudian Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan al-Halabi adalah ahli-bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya al-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampir saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin.
Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama Salafi seperti ini, menurut Ustadz, layakkah para ulama Salafi tadi disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah, kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”. Demikian jawaban Ustadz Salafi itu yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri, tokoh Wahhabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Musri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali Musri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember. Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, karangan Dr. Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Musri ketika kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh. Ternyata dalam kitab Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, Dr. Abdul Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus hubungan dan sebagainya.
Subhanallah, kesesatan suatu golongan dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya”, (QS. 12 : 26).
Mengenai terjadinya perpecahan di antara mereka, hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Imam Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam,tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam. Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat,“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.” Demikian uraian Asy-Syathibi.
Setelah menguraikan demikian, kemudian Asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Di mana Khawarij memecah belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Mereka akan membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah belah umat Islam dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.
Sumber : Sarkub
hati-hati bos, salah satu gerakan penhancuran islam berkedok islam nih. sapa lagi dalangnya kl bukan YAHUDI <---
ReplyDeleteAllohu'alam bishshowab
sipp mumtaz,, yahudi dan nashoro selalu berusaha menghancurkan islam, yahudi mulai meracuni umat islam melalui gerakan berkedok islam itu sendiri yg bernama syi'ah dan wahabi...
DeleteWaAllahu'alam..