Sesungguhnya al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imâm Abu Manshur al- Maturidi tidak datang dengan membawa ajaran atau faham baru. Keduanya hanya menetapkan dan menguatkan segala permasalahan-pemasalahan akidah yang telah menjadi keyakinan para ulama Salaf sebelumnya. Artinya, keduanya hanya memperjuangkan apa yang telah diyakini oleh para sahabat Rasulullah. Al-Imâm Abu al-Hasan memperjuangkan teks-teks dan segala permasalahan yang telah berkembang dan ditetapkan di dalam madzhab asy-Syafi’i, sementara al-Imâm Abu Manshur memperjuangkan teks-teks dan segala permasalahan yang telah berkembang dan ditetapkan di dalam madzhab Hanafi. Dalam perjuangannya, kedua Imam agung ini melakukan bantahan-bantahan dengan berbagai argumen rasional yang didasarkan kepada teks-teks syari’at terhadap berbagai faham firqah yang menyalahi apa yang telah digariskan oleh Rasulullah. Pada dasarnya, perjuangan semacam ini adalah merupakan jihad hakiki, karena benar-benar memperjuangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan menjaga kemurnian dan kesuciannya. Para ulama membagi jihad kepada dua macam. Pertama; Jihad dengan senjata (Jihad Bi as-Silah), kedua; Jihad dengan argumen (Jihad Bi al-Lisan).
Dengan demikian, mereka yang bergabung dalam barisan al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Maturidi pada dasarnya melakukan pembelaan dan jihad dalam mempertahankan apa yang telah diyakini kebenarannya oleh para ulama Salaf terdahulu. Dari sini kemudian setiap orang yang mengikuti langkah kedua Imam besar ini dikenal sebagai sebagai al-Asy’ari dan sebagai al-Maturidi.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengutip perkataan al-Imâm al-Ma’ayirqi; seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki, menuliskan sebagai berikut:
“Sesungguhnya al-Imâm Abu al-Hasan bukan satu-satunya orang yang pertama kali berbicara membela Ahlussunnah. Beliau hanya mengikuti dan memperkuat jejak orang-orang terkemuka sebelumnya dalam pembelaan terhadap madzhab yang sangat mashur ini. Dan karena beliau ini maka madzhab Ahlussunnah menjadi bertambah kuat dan jelas. Sama sekali beliau tidak membuat pernyataanpernyataan yang baru, atau membuat madzhab baru.
Sebagaimana telah engkau ketahui, bahwa madzhab para penduduk Madinah adalah madzhab yang dinisbatkan kepada al-Imâm Malik, dan siapapun yang mengikuti madzhab penduduk Madinah ini kemudian disebut seorang yang bermadzhab Maliki (Mâliki). Sebenaranya al-Imâm Malik tidak membuat ajaran baru, beliau hanya mengikuti ajaran-ajaran para ulama sebelumnya. Hanya saja dengan adanya al-Imâm Malik ini, ajaran-ajaran tersebut menjadi sangat formulatif, sangat jelas dan gamblang, hingga kemudian ajaran-ajaran tersebut dikenal sebagai madzhab Maliki, karena disandarkan kepada nama beliau sendiri. Demikian pula yang terjadi dengan al-Imâm Abu al-Hasan. Beliau hanya memformulasikan dan menjelaskan dengan rincian-rincian dalil tentang segala apa yang di masa Salaf sebelumnya belum diungkapkan”. [Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, j. 2, h. 25.]
Kemudian al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Malikiyyah (orang-orang yang bermadzhab Maliki) adalah orang-orang yang sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Yang kami tahu tidak ada seorangpun yang bermadzhab Maliki kecuali ia pasti seorang yang berakidah Asy’ari. Sementara dalam madzhab lain (selain Maliki), yang kami tahu, ada beberapa kelompok yang keluar dari madzhab Ahlussunnah ke madzhab Mu’tazilah atau madzhab Musyabbihah. Namun demikian, mereka yang menyimpang dan sesat ini adalah firqah-firqah kecil yang sama sekali tidak berpengaruh”. [Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, j. 2, h. 25.]
Masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Aku telah mendengar dari ayahku sendiri, asy-Syaikh al-Imâm (Taqiyuddin as- Subki) berkata bahwa risalah akidah yang telah ditulis oleh Abu Ja’far ath- Thahawi (akidah Ahlussunnah yang dikenal dengan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah) persis sama berisi keyakinan yang diyakini oleh al-Asy’ari, kecuali dalam tiga perkara saja. Aku (Tajuddin as-Subki) katakan: Abu Ja’far ath-Thahawi wafat di Mesir pada tahun 321 H, dengan demikian beliau hidup semasa dengan Abu al- Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H). Dan saya tahu persis bahwa orang-orang pengikut madzhab Maliki semuanya adalah kaum Asy’ariyyah, tidak terkecuali seorangpun dari mereka. Demikian pula dengan para pengikut madzhab asy-Syafi’i, kebanyakan mereka adalah kaum Asy’ariyyah, kecuali beberapa orang saja yang ikut kepada madzhab Musyabbihah atau madzhab Mu’tazilah yang telah disesatkan oleh Allah. Demikian pula dengan kaum Hanafiyyah, kebanyakan mereka adalah orang-orang Asy’ariyyah, sedikitpun mereka tidak keluar dari madzhab ini kecuali beberapa saja yang mengikuti madzhab Mu’tazilah. Lalu, dengan kaum Hanabilah (para pengikut madzhab Hanbali), orang-orang terdahulu dan yang terkemuka di dalam madzhab ini adalah juga kaum Asy’ariyyah, sedikitpun mereka tidak keluar dari madzhab ini kecuali orang-orang yang mengikuti madzhab Musyabbihah Mujassimah. Dan yang mengikuti madzhab Musyabbihah Mujassimah dari orang-orang madzhab Hanbali ini lebih banyak dibanding dari para pengikut madzhab lainnya”. [Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, j. 2, h. 25.]
Al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam mengatakan bahwa sesungguhnya akidah Asy’ariyyah telah disepakati (Ijmâ’) kebenarannya oleh para ulama dari kalangan madzhab asy-Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi, dan orang-orang terkemuka dari kalangan madzhab Hanbali. Kesepakatan (Ijmâ’) ini telah dikemukan oleh para ulama terkemuka di masanya, di antaranya oleh pemimpin ulama madzhab Maliki di zamannya; yaitu al-Imâm Amr ibn al-Hajib, dan oleh pemimpin ulama madzhab Hanafi di masanya; yaitu al-Imâm Jamaluddin al-Hashiri. Demikian pula Ijma’ ini telah dinyatakan oleh para Imam terkemuka dari madzhab asy-Syafi’i, di antaranya oleh al-Hâfizh al-Mujtahid al-Imâm Taqiyyuddin as-Subki, sebagaimana hal ini telah telah dikutip pula oleh putra beliau sendiri, yaitu al-Imâm Tajuddin as-Subki.
Salah seorang ulama besar dan sangat terkemuka di masanya, yaitu al-Imâm Abu al-Abbas al-Hanafi; yang dikenal dengan sebutan Qadli al-Askari, adalah salah seorang Imam terkemuka di kalangan ulama madzhab Hanafi dan merupakan Imam terdahulu dan sangat senior hingga menjadi rujukan dalam disiplin Ilmu Kalam. Di antara pernyataan Qadli al-Askari yang dikutip oleh al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî adalah sebagai berikut:
Salah seorang ulama besar dan sangat terkemuka di masanya, yaitu al-Imâm Abu al-Abbas al-Hanafi; yang dikenal dengan sebutan Qadli al-Askari, adalah salah seorang Imam terkemuka di kalangan ulama madzhab Hanafi dan merupakan Imam terdahulu dan sangat senior hingga menjadi rujukan dalam disiplin Ilmu Kalam. Di antara pernyataan Qadli al-Askari yang dikutip oleh al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî adalah sebagai berikut:
“Saya menemukan kitab-kitab hasil karya Abu al-Hasan al-Asy’ari sangat banyak sekali dalam disiplin ilmu ini (Ilmu Usuluddin), hampir mencapai dua ratus karya, yang terbesar adalah karya yang mencakup ringkasan dari seluruh apa yang beliau telah tuliskan. Di antara karya-karya tersebut banyak yang beliau tulis untuk meluruskan kesalahan madzhab Mu’tazilah. Memang pada awalnya beliau sendiri mengikuti faham Mu’tazilah, namun kemudian Allah memberikan pentunjuk kepada beliau tentang kesesatan-kesesatan mereka. Demikian pula beliau telah menulis beberapa karya untuk membatalkan tulisan beliau sendiri yang telah beliau tulis dalam menguatkan madzhab Mu’tazilah terhadulu. Di atas jejak Abu al-Hasan ini kemudian banyak para pengikut madzhab asy-Syafi’i yang menapakkan kakinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya para ulama pengikut madzhab asy-Syafi’i yang kemudian menulis banyak karya teologi di atas jalan rumusan Abu al-Hasan”. [Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 139-140]
Al-Imâm al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam pasal ke dua pada Kitab Qawâ-id al-‘Aqâ-id dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, menuliskan sebagai berikut: “Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”. [Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, h. 6]
Asy-Syaikh Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H) dalam kitab Hâsyiyah Radd al- Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, menuliskan: “Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”.
Asy-Syaikh al-Khayali dalam kitab Hâsyiyah ‘Alâ Syarh al-‘Aqâ’id menuliskan sebagai berikut: “Kaum Asy’ariyyah adalah kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Madzhab ini sangat mashur di wilayah Khurrasan (Iran), Irak, Syam (Siria, Lebanon, Yordania, dan Pelestina), dan di berbagai penjuru dunia. Adapun di wilayah seberang sungai Jaihun (Bilâd Mâ Warâ’ an-Nahr) Ahlussunnah lebih dikenal sebagai kaum al- Maturidiyyah; para pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi”.
Asy-Syaikh al-Kastuli al-Hanafi (w 901 H) juga dalam kitab Hasyiah ‘Alâ Syarh al- ‘Aqâ-id menuliskan:
Asy-Syaikh Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H) dalam kitab Hâsyiyah Radd al- Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, menuliskan: “Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”.
Asy-Syaikh al-Khayali dalam kitab Hâsyiyah ‘Alâ Syarh al-‘Aqâ’id menuliskan sebagai berikut: “Kaum Asy’ariyyah adalah kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Madzhab ini sangat mashur di wilayah Khurrasan (Iran), Irak, Syam (Siria, Lebanon, Yordania, dan Pelestina), dan di berbagai penjuru dunia. Adapun di wilayah seberang sungai Jaihun (Bilâd Mâ Warâ’ an-Nahr) Ahlussunnah lebih dikenal sebagai kaum al- Maturidiyyah; para pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi”.
Asy-Syaikh al-Kastuli al-Hanafi (w 901 H) juga dalam kitab Hasyiah ‘Alâ Syarh al- ‘Aqâ-id menuliskan:
“Yang dikenal sangat mashur sebagai Ahlussunnah di wilayah Khurrasan, Irak, Syam, dan di berbagai penjuru dunia adalah kaum Asy’ariyyah; para pengikut al- Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau adalah orang yang pertama kali menentang faham-faham Ali al-Jubba’i (pemuka kaum Mu’tazilah) dan keluar dari madzhabnya. Al-Imâm al-Asy’ari kemudian kembali kepada jalan sunnah, jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah, setelah sebelumnya ikut faham al-Jubba’i. Dan maksud dari al-Jama’ah adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka. Adapun di wilayah seberang sungai Jaihun, Ahlussunnah lebih dikenal sebagai kaum al-Maturidiyyah, para pengikut al-Imâm Abu Manshur al- Maturidi. Perbedaan antara keduanya hanya dalam beberapa masalah saja yang bukan dalam masalah-masalah prinsip. Karena itu kedua kelompok ini tidak pernah saling menyesatkan satu sama lainnya hanya karena perbedaan tersebut”.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam kitab Syarh ‘Aqîdah Ibn al-Hâjib menuliskan sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa Ahlussunnah telah sepakat di atas satu keyakinan tentang perkara-perkara yang wajib (al-Wâjibât), perkara-perkara yang boleh (al-Jâ-izât), dan perkara-perkara yang mustahil (al-Mustahilât), sekalipun ada beberapa perbedaan di antara mereka dalam hal metodologi untuk mencapai perkara yang telah disepakati tersebut.
Secara garis besar Ahlussunnah ini berasal dari tiga kelompok. Pertama; Ahl al- Hadîts, yaitu para ulama terkemuka yang bersandar kepada al-Kitab dan as- Sunnah dengan jalan Ijma’. Kedua; Ahl an-Nazhar al-‘Aqlyy Wa ash-Shinâ’ah al- Fikriyyah, yaitu para ulama terkemuka yang dalam memahami teks-teks syari’at banyak mempergunakan metode-metode logika, -dengan batasan-batasannya-. Kelompok kedua ini adalah kaum al-Asy’ariyyah dan al-Hanafiyyah. Pemuka kaum Asy’ariyyah adalah al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan pemuka kaum Hanafiyyah adalah al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Kedua kelompok ini semuanya sepakat dalam berbagai permasalahan pokok akidah. Ketiga; Ahl al- Wujdân Wa al-Kasyf, yaitu para ulama ahli tasawuf. Metodologi yang dipakai kelompok ketiga ini pada permulaannya adalah dengan menyatukan antara dua metodologi Ahl al-Hadîts dan Ahl an-Nazhar, dan pada puncaknya dengan jalan kasyaf dan ilham”.
Al-‘Ârif Billâh al-Imâm as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad (w 1132 H), Shâhib ar-Râtib, dalam karyanya berjudul Risâlah al-Mu’âwanah menuliskan sebagai berikut:
“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Nâjiyah). Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah, golongan yang namanya dinisbatkan kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari -Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut. Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu al Qasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risâlah-nya (ar-Risâlah al-Qusyairiyyah). Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sâdah al-Husainiyyîn, yang dikenal pula dengan keluarga Abi Alawi (Al Abî ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini. Adalah al-Imâm al-Muhâjir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sâdah al-Husainiyyîn, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali Ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua-, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfa’at di tempat manapun yang beliau pijak, hingga akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat banyak orang yang berasal dari keturunannya dikenal sebagai orang-orang ahli ilmu, ahli ibadah, para wali Allah dan orang-orang ahli ma’rifat. Sedikitpun tidak menimpa atas semua keturunan Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari keikhlasan al-Imâm al-Muhâjir Ahmad ibn Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah. Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah maha pengasih. Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan”. [Risâlah al-Mu’âwanah, h. 14]
Al-Imâm al-‘Allâmah as-Sayyid Abbdullah Alydrus al-Akbar, dalam karyanya berjudul ‘Uqûd al-Almâs menuliskan: “Akidahku adalah akidah Asy’ariyyah Hasyimiyyah Syar’iyyah sebagaimana akidah para ulama madzhab Syafi’i dan kaum Ahlussunnah Shufiyyah”.
Al-Imâm Abu Nashr Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi, salah seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, berkata:
Al-Imâm Abu Nashr Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi, salah seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, berkata:
شَيْئَانِ مَنْ يَعذلُنِي فِيْهِمَا ... فَهُوَ عَلَى التَّحْقِيْقِ مِنّي بَرِي
حُبُّ أبِي بَكْرٍ إمَامِ الهدَُى ... وَاعْتِقَادِيْ مَذْهَبَ الأشْعَرِيّ
حُبُّ أبِي بَكْرٍ إمَامِ الهدَُى ... وَاعْتِقَادِيْ مَذْهَبَ الأشْعَرِيّ
“Ada dua perkara, apa bila ada orang yang menyalahiku di dalam keduanya, maka secara nyata orang tersebut terbebas dari diriku (bukan golonganku (Pertama); Mencintai sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Imâm al-Hudâ (Imam pembawa petunjuk), dan (kedua), adalah keyakinanku di dalam madzhab al- Asy’ari”.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn ‘Asakir dalam kitab Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan:
“Tidak mungkin bagiku untuk menghitung bintang di langit, karenanya aku tidak akan mampu untuk menyebutkan seluruh ulama Ahlussunnah di atas madzhab al-Asy’ari ini; dari mereka yang telah terdahulu dan dalam setiap masanya, mereka berada di berbagai negeri dan kota, mereka menyebar di setiap pelosok, dari wilayah Maghrib (Maroko), Syam (Siria, lebanon, Palestin, dan Yordania), Khurrasan dan Irak”. [Tabyin Kadzib al-Muftari, h. 331]
Al-Muhaddits al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari al-Habasyi (w 1430 H) dalam banyak karyanya menuliskan syair sebagai berikut:
البَيْهَقِيُّ أشْعَرِيّ المعُْتَقَدْ ... وَابْنُ عَسَاكِرِ الإمَامِ المعُْتَمَدْ
قَدْ كَانَ أفْضَلَ المحَُدِّثِيْنَا ... فِيْ عَصْرِهِ بِالشَّامِ أجمَْعِيْنَا
كَذَلِكَ الْغَازِيْ صَلاَحُ الدِيْنِ .... مَنْ كَسَرَ الكُفَّارَ أهْلَ الميَْنِ
جمُْهُوْرُ هذي الأمةِ الأشَاعِرَة ... حُجَجُهُمْ قَوِيّةٌ وَسَافِرَة
أئمَِّةٌ أكَابِرٌ أخْيَارُ ... لمَْ يُحْصِهِمْ بِعَدَدٍ دَيَّارُ
قُوْلُوا لِمَنْ يَذُمُّ الأشْعَرِيَّة ... نِحْلَتُكُمْ بَاطِلَةٌ رَدِّيةّ
والماتُرِيْدِيّةُ مَعْهُمْ فِي الأصُوْل ... وَإِنّمَا الخِلاَفُ فِي بعَْضِ الفُصُوْل
فهَؤلاَءِ الفِرْقَةُ النَّاجِيَة ... عُمْدَتهُُمُ السُّنة الماَضِيَة
قَدْ جمََعُوا الإثبَاتَ وَالتّنْزِيْهَا ... وَنفََوْا التّعْطِيْلَ وَالتّشْبِيْهَا
فَالأشْعَرِيُّ مَاتُرِيْدِيٌّ وَقُلْ ... الماَتُرِيْدِيْ أشْعَرِيٌّ لاَ تبَُلْ
قَدْ كَانَ أفْضَلَ المحَُدِّثِيْنَا ... فِيْ عَصْرِهِ بِالشَّامِ أجمَْعِيْنَا
كَذَلِكَ الْغَازِيْ صَلاَحُ الدِيْنِ .... مَنْ كَسَرَ الكُفَّارَ أهْلَ الميَْنِ
جمُْهُوْرُ هذي الأمةِ الأشَاعِرَة ... حُجَجُهُمْ قَوِيّةٌ وَسَافِرَة
أئمَِّةٌ أكَابِرٌ أخْيَارُ ... لمَْ يُحْصِهِمْ بِعَدَدٍ دَيَّارُ
قُوْلُوا لِمَنْ يَذُمُّ الأشْعَرِيَّة ... نِحْلَتُكُمْ بَاطِلَةٌ رَدِّيةّ
والماتُرِيْدِيّةُ مَعْهُمْ فِي الأصُوْل ... وَإِنّمَا الخِلاَفُ فِي بعَْضِ الفُصُوْل
فهَؤلاَءِ الفِرْقَةُ النَّاجِيَة ... عُمْدَتهُُمُ السُّنة الماَضِيَة
قَدْ جمََعُوا الإثبَاتَ وَالتّنْزِيْهَا ... وَنفََوْا التّعْطِيْلَ وَالتّشْبِيْهَا
فَالأشْعَرِيُّ مَاتُرِيْدِيٌّ وَقُلْ ... الماَتُرِيْدِيْ أشْعَرِيٌّ لاَ تبَُلْ
“(al-Hâfizh) al-Bayhaqi adalah seorang yang berkeyakinan Asy’ari, demikian pula (al-Hâfizh) Ibn Asakir; seorang Imam yang menjadi sandaran.
Dia (al-Hâfizh Ibn Asakir) adalah seorang ahli hadits yang paling utama di masanya di seluruh daratan Syam (sekarang Siria, Lebanon, Yordania, dan Palestina).
Demikian pula panglima Shalahuddin al-Ayyubi berakidah Asy’ari; dialah orang yang telah menghancurkan tentara kafir yang zhalim (Membebaskan Palestina dari tentara Salib).
Mayoritas umat ini adalah Asy’ariyyah, argumen-argumen mereka sangat kuat dan sangat jelas.
Mereka adalah para Imam, para ulama terkemuka, dan orang-orang pilihan, yang jumlah mereka tidak dapat dihitung.
Katakan oleh kalian terhadap mereka yang mencaci-maki Asy’ariyyah: “Kelompok kalian adalah kelompok batil dan tertolak”.
Dan al-Maturidiyyah sama dengan al-Asy’ariyyah di dalam pokok-pokok akidah. Perbedaan antara keduanya hanya dalam beberapa pasal saja (yang tidak menjadikan keduanya saling menyesatkan).
Mereka adalah kelompok yang selamat. Sandaran mereka adalah Sunnah Rasulullah terdahulu.
Mereka telah menyatukan antara Itsbat dan Tanzîh. Dan mereka telah menafikan Ta’thil dan Tasybîh.
Maka seorang yang berfaham Asy’ari ia juga pastilah seorang berfaham Maturidi. Dan katakan olehmu bahwa seorang Maturidi pastilah pula ia seorang Asy’ari."
Dengan demikian akidah yang benar dan telah diyakni oleh para ulama Salaf terdahulu adalah akidah yang diyakini oleh kelompok al-Asy’ariyyah dan al- Maturidiyyah. Akidah Ahlussunnah ini adalah akidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam di seluruh penjuru dunia dari masa ke masa, dan antar generasi ke generasi. Di dalam fiqih mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi, dan orang-orang terkemuka dari madzhab Hanbali. Akidah Ahlussunnah inilah yang diajarkan hingga kini di pondok-pondok pesantren di negara kita, Indonesia. Dan akidah ini pula yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia, Malasiya, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al- Azhar yang giat mengajarkan akidah ini), negar-negara Syam (Siria, Yordania, Lebanon, dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Dagestan, Checnya, Afganistan, dan negara-negara lainnya.
0 komentar:
Post a Comment