Dalam tinjauan bahasa kata Ahlussunnah Wal Jama’ah tersusun dari tiga kata; Ahl, as-Sunnah, dan al-Jamâ’ah. Kata Ahl dalam pengertian bahasa adalah keluarga, golongan atau komunitas. Salah seorang pakar bahasa, al-Imâm Ar-Raghib al-Ashbahani dalam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân mengatakan bahwa penggunaan kata Ahl biasa dipakai pada perkumpulan beberapa orang yang mungkin disatukan oleh satu keturunan, satu agama, satu pekerjaan, satu rumah, satu negara, atau perkumpulan apapun. Namun pada dasarnya, dalam bahasa Arab jika dikatakan “Ahl ar-Rajul”, maka yang dimaksud adalah bahwa orang tersebut adalah bagian dari anggota keluarga yang sama-sama berasal dari satu tempat atau satu rumah.
Sementara kata Ahl dalam pemaknaan yang lebih khusus adalah dalam pengertian nasab atau keturunan, seperti bila dikatakan “Ahl Bayt ar-Rajul”, maka yang dimasud adalah bahwa orang tersebut adalah bagian dari anggota yang berasal dari satu keturunan. Adapun penggunaan secara mutlak, seperti bila dikatakan “Ahl al-Bayt”, maka yang dimaksud adalah khusus keluarga Rasulullah dan keturunannya. Penyebutan secara mutlak semacam ini seperti dalam firman Allah:
( إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزاب: 33
Maknanya: “Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dari kalian wahai Ahl al-Bayt akan syirik (kufur) dan untuk mencucikan kalian” (QS. Al Ahzab: 33).
Kata Ahl al-Bayt yang dimaksud dalam ayat ini adalah keluarga Rasulullah; artinya bahwa Allah secara khusus membersihkan keluarga Rasulullah dari syirik dan kufur [Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, h. 25].
Kata as-Sunnah dalam tinjauan bahasa memiliki beberapa arti. Dalam al-Qâmûs al-Muhîth, al-Imâm al-Fairuzabadi menuliskan beberapa maknanya. Kata as-Sunnah, -- dengan di-zhammah-kan pada huruf sin-nya--, di antara maknanya; wajah atau muka (al-Wajh), bulatan wajah (Dâ-irah al-Wajh), bentuk wajah (Shûrah al-Wajh), kening (al- Jab-hah), perjalanan hidup (as-Sîrah), tabi’at (ath-Thabî’ah), jalan menuju Madinah, dan hukum-hukum Allah; artinya segala perintah dan larangan-Nya (Hukmullâh). Al-Imâm Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqin menyebutkan bahwa di antara makna as-Sunnah dalam pengertian bahasa adalah jalan yang ditapaki (ath-Tharîqah al-Maslûkah).
Demikian pula kata as-Sunnah dalam pengertian syari’at juga memiliki ragam definisi, di antaranya; as-Sunnah dalam makna sejarah hidup Rasulullah dan ajaran - ajarannya, as-Sunnah dalam makna hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah; dari segala perkataannya, perbuatannya, ketetapannya, ataupun sifat-sifat pribadinya; baik sifat dalam makna gambaran fisik atau dalam makna akhlak-akhlak-nya, dan as- Sunnah dalam makna sesuatu yang apa bila dilakukan maka pelakunya akan mendapatkan pahala, namun bila ditinggalkan tidak berdosa.
Sementara kata al-Jamâ’ah dalam tinjauan bahasa adalah perkumpulan sesuatu yang terdiri dari tiga anggota atau lebih, seperti bila dikatakan dalam bahasa Arab “Jamâ’ah an-Nâs” maka artinya perkumpulan manusia yang terdiri dari tiga orang atau lebih, atau bila dikatakan “Jamâ’ah ath-Thuyûr” maka artinya perkumpulan burungburung yang terdiri dari tiga ekor atau lebih lebih.
Demikian pula al-Jamâ’ah dalam pengertian syari’at memiliki ragam definisi, di antaranya; al-Jamâ’ah dalam makna seseorang yang melaksanakan shalat yang mengikatkan dan mengikutkan shalatnya tersebut kepada shalat orang lain, dengan syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu; yaitu shalat jama’ah. Al-Jamâ’ah bisa dalam makna perkumpulan orang-orang Islam di bawah satu pemimpin atau seorang Imam yang telah sah dibai’at oleh Ahl al-Hilli Wa al-‘Aqdi dengan syarat-syarat tertentu. Makna ini sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah bahwa siapa yang keluar dari al-Jamâ’ah dan memberontak kepada Imam, -setelah sah Imam tersebut diangkat-, kemudian orang tersebut meninggal dalam keadaannya tersebut, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah. Artinya mati dengan membawa dosa besar. (HR. Muslim).
Adapun definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam pengertian terminologis adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dalam mengikuti ajaran-ajaran mereka.
Tarik menarik seputar siapakah yang berhak disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah terus memanas, terlebih di akhir zaman ini. Hal ini terjadi karena hanya Ahlussunnah satu-satunya kelompok yang dijamin keselamatannya oleh Rasulullah. Kelompok siapapun tidak ingin dicap sebagai kelompok sesat dan akan masuk neraka karena berseberangan dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Namun kebenaran tidak hanya dinilai dari klaim atau penampilan zahir semata. Orang-orang Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah Sya’b Allâh al-Mukhtâr (kaum pilihan Allah) dan orang-orang Nasrani mengaku sebagai anak-anak dan para kekasih Allah. Lalu apakah dengan hanya klaim semata kemudian pengakuan mereka dibenarkan? Tentu tidak, karena faktanya mereka telah menyimpang jauh dari ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Demikian pula halnya dengan kaum Khawarij, yang secara zahir mereka adalah kaum yang sangat rajin dalam melaksanakan berbagai bentuk ibadah kepada Allah, bahkan seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat hadits, amalan shalat atau puasa para sahabat Rasulullah dibanding dengan shalat dan puasa kaum Khawarij tersebut dari segi kuantitas sangatlah sedikit, namun demikian Rasulullah justru mengatakan bahwa seandainya beliau bertemu dengan kaum Khawarij tersebut maka beliau akan memerangi mereka. Hal ini karena faham akidah kaum Khawarij berseberangan dengan akidah Islam yang benar, berseberangan dengan akidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Di antara akidah sesat Kaum Khawarij, adalah mereka mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib karena menurut mereka beliau tidak menerapkan hukum Islam. Karenanya, di antara doktrin mendasar dari akidah kaum Khawarij adalah pengkafiran secara mutlak terhadap siapapun yang tidak memberlakukan hukum-hukum Allah. Dari mulai bentuk instistusi kecil seperti sebuah keluarga, hingga institusi besar seperti negara, bila tidak memakai hukum - hukum Allah, maka semua orang yang terlibat di dalamnya menurut mereka adalah orang-orang kafir. Dan karena itu pula di antara ajaran kaum Khawarij ini adalah bahwa setiap orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia telah menjadi kafir, keluar dari Islam.
Dengan demikian klaim kelompok-kelompok yang mengaku Ahlussunnah tidak mutlak dibenarkan, terlebih apa bila mereka tidak memegang teguh ajaran Ahussunnah itu sendiri dan jauh dari dari ciri-cirinya. Sebuah klaim tidak dapat dibenarkan jika hanya slogan atau label semata, terlebih lagi bila menyangkut akidah. Ahlussunnah memiliki karakteristik tersendiri yang telah disepakati di kalangan mereka. Kelompok yang memiliki karakteristik inilah yang benar-benar berhak disebut dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Kelompok Ahlussunnah Wal Jama’ah ini adalah kelompok mayoritas umat Rasulullah dari masa ke masa. Dalam sebuah hadits Rasulullah mengatakan bahwa mayoritas umatnya ini tidak akan berkumpul di dalam kesesatan. Dengan demikian golongan ini mendapat jaminan keselamatan dari Rasulullah, yang karenanya Ahlussunnah Wal Jama’ah ini disebut dengan sebutan al-Firqah an-Nâjiyah.
0 komentar:
Post a Comment