tasawwuf
Setelah dipahami akan haramnya melakukan ghibah, maka bagaimana halnya dengan mendengarkan ghibah yang dilakukan sebahagian muslim terhadap muslim yang lain? Telah datang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an tentang salah satu sifat dari beberapa sifat orang mukmin yaitu ia senantiasa berpaling dan menghindarkan dirinya dari perkara-perkara yang tidak berguna untuk dirinya di dunia dan akhirat, apalagi jika perkara-perkara itu dapat menjerumuskannya ke dalam perbuatan dosa dan kehina'an.

Jadi meninggalkan majlis ghibah adalah salah satu dari sifat kaum mukminin, sebab ghibah itu tidak hanya perbuatan yang sia-sia namun juga mengandung dosa dan mengundang dosa-dosa lainnya. Hal ini telah diisyaratkan di dalam dalil-dalil berikut:

وَ إِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَ قَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَ لَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ لاَ نَبْتَغى الجَاهِلَينَ
"Dan apabila mereka mendengar perkata’an yang tidak bermanfa'at, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal-mu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil."" [QS Al-Qoshosh (28): 55].
وَ الَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
"Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkata'an) yang tiada berguna." [QS Al-Mukminun (23): 3].
Berkaitan dengan larangan mendengarkan ghibah, berkata Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Adzkar hlm 339, "Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana telah diharamkan bagi pelakunya, maka diharamkan pula bagi orang untuk mendengarkan dan mengakuinya. Wajib bagi siapapun yang mendengar seseorang mulai melakukan ghibah yang diharamkan untuk melarangnya, jika ia tidak khawatir akan adanya bahaya yang jelas.

Namun jika ia merasa khawatir, maka wajib baginya mengingkari dengan hatinya dan memisahkan diri dari majlis ghibah tersebut jika memungkinkan.

Jika ia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau memotong percakapan ghibah itu dengan ucapan yang lain hendaklah ia melakukannya. Jika ia tidak lakukan maka ia telah berbuat maksiat.

Jika ia mengatakan dengan lisannya, "diamlah" padahal di dalam hatinya, ia masih menginginkan diteruskan maka perilaku tersebut adalah suatu kemunafikan yang tidak mengeluarkannya dari dosa. Seharusnya ia juga membenci ghibah itu dengan hatinya.

Apabila ia terpaksa berada di majlis yang ada ghibahnya dan ia merasa tidak berdaya untuk mengingkarinya atau ia telah mengingkarinya namun tidak diterima atau tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan diri darinya, maka haram baginya untuk mendengar dan menyimak ghibah tersebut. Bahkan hendaklah ia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lisan dan hatinya, atau dengan hatinya saja, atau memikirkan persoalan yang lain agar ia mempunyai kesibukan (lain) daripada mendengarkan (ghibah itu). Setelah itu tidak mengapa baginya untuk hanya sekedar mendengar ghibah tanpa menyimak (yakni tidak berusaha untuk memperhatikan dan memahami ghibah tsb) di dalam kondisi seperti ini. Jika beberapa waktu setelah itu ada kemungkinan baginya untuk memisahkan diri sedangkan mereka masih terus asyik melanjutkan ghibah maka wajib baginya untuk memisahkan diri dari mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

وَ إِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِى ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَ إِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْــرَى مَعَ اْلقَوْمِ الظَّالِمِينَ
"Dan apabila kamu melihat orang-orang memper-olok-olokankan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicara'an yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)." [QS Al-An'am (6): 68].
Bersamaan dengan itu, Rasulullâh shalallahu 'alaihi wasallam telah menerangkan di dalam haditsnya yang shahih tentang keelokan Islam seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tiada arti baginya. Lalu jika ada seorang muslim belum mampu meninggalkan dan menanggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya bahkan mendatangkan kemudlaratan baginya di dunia ataupun akhirat, maka hal itu menunjukkan bahwa keislamannya itu masih buruk. Simaklah hadits berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلمـَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu berkata, Telah bersabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, "Termasuk dari bagusnya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya." [HR At-Turmudzi (2317); Ibnu Majah (3976) dan Ahmad (I/201); Shahih Sunan At-Turmudzi (1886); Shahih Sunan Ibni Majah (3211)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullâh berkata di dalam bab Tahriim Simaa' Al-Ghiibah (diharamkan mendengarkan ghibah) ketika menjelaskan bahaya, kerusakan dan dosa-dosa ghibah, beliau mengakhirinya dengan bab ini yakni haramnya mendengar ghibah. Maksudnya bahwa manusia itu apabila mendengar seseorang mengghibah yang lainnya, maka diharamkan baginya untuk mendengar hal tsb, bahkan melarangnya dari hal itu dan berusaha untuk memindahkannya kepada pembicara'an yang lain. Perbuatan ini mendatangkan pahala yang besar sebagaimana di dalam hadits Abu Darda' radliyallâhu 'anhu. Lalu jika orang yang berketetapan mengghibahi manusia itu tetap dalam ghibahnya maka wajiblah baginya untuk bangkit berdiri dari tempat tsb (untuk meninggalkannya). Karena Allâh Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman,

وَ قَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى اْلكِــتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَ يُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مَثْلُهُمْ
"Dan sungguh Allâh telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat² Allâh diingkari dan diper-olok-olok-kan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicara'an yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka." [QS An-Nisa' (4): 140].
Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya manusia itu apabila mendengar sesuatu yang diharamkan, maka berarti ia berserikat (atau bekerja sama) dengan orang yang mengerjakan hal yang diharamkan tsb. Maka dari sebab itu, wajib baginya untuk bangkit berdiri (untuk meninggalkannya [Al-Adzkar oleh An-Nawawi (hlm. 340)].

Seyogyanya bagi seorang muslim untuk senantiasa menjaga pendengarannya sebagaimana ia menjaga lisannya. Sebab dosa dan kesalahan itu tidak hanya dihasilkan oleh lisan saja tetapi juga oleh pendengaran. Allâh 'Azza wa Jalla kelak pada hari kiamat akan meminta pertanggung jawaban dari apa yang dilakukan oleh pendengaran, sebagaimana ayat berikut:

وَ لاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَ اْلبَصَرَ وَ اْلفُؤَادَ كُــلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." [QS Al-Isra’ (17): 36].
Bahkan tidak hanya sebatas menjaga pendengarannya saja, namun juga diwajibkan bagi seorang muslim yang baik keislamannya untuk mencegah adanya keburukan-keburukan yang dihasilkan oleh lisan, berupa ghibah, namimah dan buhtan serta yang sejenisnya, dengan batas kesanggupannya. Ia harus mempunyai sikap terhadap berbagai keburukan dengan sikap yang dibenarkan oleh dalil.

Wallahu A’lam bishshowab.

Wassalaam.

Aliy Faizal

0 komentar:

Post a Comment

 
Top