Albani Merasa Dirinya Lebih Pintar dari Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ulama Ahli Hadits Lainnya

Mari kita lihat perkataan Syaikh Al Bani dalam kata pengantar cetakan pertama kitabnya Shahih al-Kalim ath-Thayyib li ibn Taimiyyah yang tercantum di halaman 16, cetakan ke-1 tahun 1390 H:

انصح لكل من وقف على هذا الكتاب و غيره, ان لا يبادر الى العمل بما فيه من الاحاديث الا بعد التأكد من ثبوتها, وقد سهلنا له السبيل الى ذلك بما علقناه عليها, فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه
“Aku nasihatkan kepada setiap orang yang membaca buku ini atau buku yang lainnya, untuk tidak cepat-cepat mengamalkan hadits-hadits yang tercantum di dalam buku-buku tersebut, kecuali setelah benar-benar menelitinya. Aku telah memudahkan jalan tersebut dengan komentar-komentar yang aku berikan atas hadits tersebut, apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya. Jika tidak ada (komentar dariku), maka tinggalkanlah hadits tersebut.”
Scan lengkapnya:

fakta wahabi

Perhatikan, dari perkataan al-albani diatas (perhatikan juga bahwa tata bahasa arab yang beliau gunakan dalam beberapa kalimat terakhir di atas juga sedikit kacau balau, namun meskipun susunannya kacau balau masih dapat ditangkap maksudnya) dapat dipahami bagaimana al-albani memposisikan dirinya sebagai ahli hadits yang kemampuannya melebihi ulama hadits mu’tabar yang terdahulu. Dia melarang umat muslim untuk  mengamalkan hadits-hadits shahih dari para imam muhaddits besar seperti al-Imaam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan lain-lain terkecuali setelah ada komentar dari al-albani bahwa hadits-hadits itu dinyatakan sebagai hadits shahih oleh al-albani. Jika tidak dikatakan shohih oleh al-albani, maka hadits-hadits tersebut ditinggalkan atau tidak boleh diamalkan sama sekali.

Sekarang yang menjadi permasalahan adalah, Apakah kapasitas keilmuan al-albani lebih jauh hebat daripada ulama’-ulama’ muhaddits terdahulu? Sedangkan ulama’ – ulama’ ahli hadits yang mu’tabar tersebut masa kehidupannya jauh lebih dekat dengan masa Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam. Coba bandingkan dengan masa kehidupan al-albani di abad 20 Masehi ini yang sangat jauh dari masa Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam?

Dari statement singkat al-bani yang tercantum di dalam kata pengantar bukunya tersebut, dapat disimpulkan juga  bahwasanya menurut al-albani dan pengikutnya apabila sebuah hadits tidak ada “embel-embel” dishahihkan oleh al-bani maka hadits tersebut diragukan keshahihannya meskipun hadits tersebut tercantum di dalam kitab-kitab hadits tershohih sekalipun seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Kembali kepada kata pengantar dari al-albani diatas, perhatikan kalimat bergaris bawah merah pada gambar:

فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه …
“…apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya.”
Kalimat bergaris bawah diatas akan sangat terasa rancu bagi mereka yang terbiasa dengan bahasa arab, karena terkesan canggung dan menggelikan. Seharusnya, apabila memang al-albani adalah orang yang mumpuni di bidang hadits, tentunya beliau tidak akan menuliskannya dengan tata bahasa yang kacau balau.

Syaikh Hasan bin Ali As-Saggaf meluruskan kalimat tersebut di dalam kitabnya “Tanaqqudhat al-Albani al-Wadhihah”:

الصحيح ان يقول: إعمل به وعض عليه بالنواجذ. وقد أخطأ فى التعبير لضعفه فى اللغة
“Kalimat yang benar seharusnya berbunyi: “I’mal bihi wa ‘adhdhu ‘alaihi bi an-nawajidz” yang artinya: amalkanlah dan gigitlah dengan gerahammu kuat-kuat. Dan sungguh ia telah salah di dalam mengungkapkan kalimat itu dikarenakan lemahnya ia di dalam berbahasa arab.”
Demikianlah apa adanya saya sampaikan daripada sebagian perkataan Syaikh Al Bani yang tercantum di dalam kitab-kitabnya. Silakan anda membuat kesimpulan sendiri dengan cerdas dan cermat.

Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top