fakta wahabi
Sering kali kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya yang dilakukan oleh para wahabiyyun sangat memaksakan pemahamannya seperti yang dikutip oleh situs Arrahmah, sekaligus materi inilah yang akan saya jawab. bisa dilihat dalam link ini : Hukum bertabarruk dengan ulama' dan orang-orang shalih serta bekas-bekas sentuhan mereka

Segala cara mereka lakukan untuk mendoktrin masyarakat untuk memaksakan pemahamannya, walaupun hanya dengan sumber seadanya saja, dalam hal ini situs Arrahmah menilai suatu perkara hanya menurut pandangan faham wahabi saja, (ya wajar saja Arrahmah mengambil sumber hanya dari ulama wahabi saja, lha wong ulama yang bukan wahabi itu sesat dan kafir dimata wahabi karena tidak sefaham dengan wahabi), saya perhatikan akhir dalam tulisan Arrahmah tersebut bersumber pada Kitab Majmu’ Al-Fatawa wal Maqalat Al-Mutanawwi’ah oleh Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz. Ya seperti itulah wahabi, jika tidak menyalahkan, menyesatkan dan mengkafirkan kaum diluar golongannya maka bukan wahabi namanya.

Benar sekali jika Al-Imam al-Hafizh Abu Hafsh Ibn Syahin, salah seorang ulama terkemuka yang hidup sezaman dengan al-Imam al-Hafizh ad-Daraquthni (w 385 H), berkata:
“Ada dua orang saleh yang diberi cobaan berat karena adanya orang-orang yang sangat buruk dalam akidahnya, lalu mereka menyandarkan akidah buruk itu kepada keduanya, padahal keduanya terbebas dari akidah buruk tersebut. Kedua orang itu adalah Ja’far ibn Muhammad dan Ahmad ibn Hanbal” (Dikutip oleh al-Hafizh Ibn Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari dengan rangkaian sanad-nya dari al-Hâfizh Ibn Syahin).
Orang pertama, yaitu al-Imam Ja’far ash-Shadiq ibn al-Imam Muhammad al-Baqir ibn al-Imam Ali Zayn al-Abidin ibn al-Imam asy-Syahid al-Husain ibn al-Imam Ali ibn Abi Thalib, beliau adalah orang saleh yang dianggap oleh kaum Syi’ah Rafidlah sebagai Imam mereka. Seluruh keyakinan buruk yang ada di dalam ajaran Syi’ah ini mereka sandarkan kepadanya, padahal beliau sendiri sama sekali tidak pernah berkeyakinan seperti apa yang mereka yakini.

Orang ke dua adalah al-Imam Ahmad ibn Hanbal, salah seorang Imam madzhab yang empat, perintis madzhab Hanbali. Kesucian ajaran dan madzhab yang beliau rintis telah dikotori oleh orang-orang Musyabbihah yang mengaku sebagai pengikut madzhabnya. Mereka banyak melakukan kedustaan-kedustaan dan kebatilan-kebatilan atas nama Ahmad ibn Hanbal, seperti akidah tajsim, tasybîh, anti takwil, anti tawassul, anti tabarruk, dan lainnya, yang sama sekali itu semua tidak pernah diyakini oleh al-Imam Ahmad sendiri. Terlebih di zaman sekarang ini, madzhab Hanbali dapat dikatakan telah “hancur” karena dikotori oleh orang-orang yang secara dusta mengaku sebagai pengikutnya, siapa lagi kalau bukan kaum Wahhabi.

Mengambil dalil atau hujjah hanya melalui pandangan ulamanya saja, lalu jika terjadi benturan dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan:

A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah.

B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut.

Mari Jawab Pemahaman Buruk Arrahmah (Wahabi) Tentang Tabarruk

fakta wahabi

A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja.

Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:

بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.

“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .

Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.

Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:

وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ

“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” .

Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali.

As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:

اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ.

“-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” .

Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas.

Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut:

وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى.

“Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” .

Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja.
Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?!
B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.

2 komentar:

  1. Alhamdulillah masih ada orang yang bisa melihat kejelian berita-berita yang ada di situs arrahmah.com yang mana lebih condong memvonis perbedaan dengan kasar....situs tandingan pelurusan berita ada di http://www.islam-institute.com dan the truth of suriah

    ReplyDelete

 
Top