Ini adalah tanggapan dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli [Ahlussunnah Wal Jama'ah] yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Ustadz Firanda [Wahabi] di Websitenya yang berjudul “Ustadz Muh Idrus Ramli lah Pengikut Ahli Hadits, Wahabi Bukan”.
Mari langsung saja kita simak tanggapan dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap Ustadz Firanda Andirja.
ASWAJA ATAU WAHABI PENGIKUT AHLI HADITS?
WAHABI: “Kami pengikut ahli hadits, sedangkan Anda pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Syafi’i, bukan pengikut ahli hadits. Karena itu kami layak disebut sebagai representasi Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan golongan Anda yang mengakui bid’ah hasanah.”
SUNNI: “Kami tidak melarang Anda mengaku sebagai pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Itu hak Anda. Anda mengaku sebagai apa saja itu hak Anda. Tetapi baca catatan berikut ini, tentang hakikat ahli hadits:
MELURUSKAN PROPAGANDA “PENGIKUT AHLI HADITS”
Perlu Anda ketahui, bahwa di antara propaganda yang sering digunakan oleh kaum Wahabi untuk membenarkan posisi mereka sebagai satu-satunya golongan yang layak disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah klaim mereka sebagai satu-satunya representasi ahli hadits. Sementara selain mereka, dianggap sebagai ahli bid’ah dan bukan pengikut ahli hadits. Dengan propaganda semacam ini mereka sangat mudah dalam mengelabui dan mempengaruhi kalangan awam yang tidak mengerti fakta dan realita ahli hadits. Oleh karena itu pertanyaan Anda sangat penting untuk kami uraikan di sini.
Pada dasarnya, ahli hadits tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan pemikiran mereka, baik dalam bidang akidah maupun dalam bidang fiqih. Kitab-kitab tentang rijal al-hadits dan biografi ahli hadits, menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Murjiah, Mu'tazilah, Mujassimah, madzhab al-Asyari, al-Maturidi dan aliran-aliran pemikiran yang lain. Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menulis data 87 nama-nama perawi hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim yang terindikasi atau terbukti mengikuti faham Murjiah, Nashibi, Syiah, Qadariyah dan Khawarij, (Lihat: al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, juz 1, hlm. 178).
Di antara mereka ada juga yang mengikuti akidah sayap ekstrim madzhab Hanbali (ghulat al-hanabilah) yang disebarkan oleh Ibnu Taimiyah dan diklaim sebagai madzhab salaf dan Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dari sini, klaim kaum Wahabi bahwa mereka pengikut ahli hadits, menimbulkan pertanyaan, “Ahli hadits yang mana yang mereka ikuti?”
Hanya saja, apabila kita menelusuri literatur sejarah dengan cermat dan mendalam, maka akan didapati suatu fakta, bahwa dalam bidang akidah, mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Dalam konteks ini, al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata:
Mari langsung saja kita simak tanggapan dari Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap Ustadz Firanda Andirja.
ASWAJA ATAU WAHABI PENGIKUT AHLI HADITS?
WAHABI: “Kami pengikut ahli hadits, sedangkan Anda pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Syafi’i, bukan pengikut ahli hadits. Karena itu kami layak disebut sebagai representasi Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan golongan Anda yang mengakui bid’ah hasanah.”
SUNNI: “Kami tidak melarang Anda mengaku sebagai pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Itu hak Anda. Anda mengaku sebagai apa saja itu hak Anda. Tetapi baca catatan berikut ini, tentang hakikat ahli hadits:
MELURUSKAN PROPAGANDA “PENGIKUT AHLI HADITS”
Perlu Anda ketahui, bahwa di antara propaganda yang sering digunakan oleh kaum Wahabi untuk membenarkan posisi mereka sebagai satu-satunya golongan yang layak disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah klaim mereka sebagai satu-satunya representasi ahli hadits. Sementara selain mereka, dianggap sebagai ahli bid’ah dan bukan pengikut ahli hadits. Dengan propaganda semacam ini mereka sangat mudah dalam mengelabui dan mempengaruhi kalangan awam yang tidak mengerti fakta dan realita ahli hadits. Oleh karena itu pertanyaan Anda sangat penting untuk kami uraikan di sini.
Pada dasarnya, ahli hadits tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan pemikiran mereka, baik dalam bidang akidah maupun dalam bidang fiqih. Kitab-kitab tentang rijal al-hadits dan biografi ahli hadits, menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Murjiah, Mu'tazilah, Mujassimah, madzhab al-Asyari, al-Maturidi dan aliran-aliran pemikiran yang lain. Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menulis data 87 nama-nama perawi hadits Shahih al-Bukhari dan Muslim yang terindikasi atau terbukti mengikuti faham Murjiah, Nashibi, Syiah, Qadariyah dan Khawarij, (Lihat: al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, juz 1, hlm. 178).
Di antara mereka ada juga yang mengikuti akidah sayap ekstrim madzhab Hanbali (ghulat al-hanabilah) yang disebarkan oleh Ibnu Taimiyah dan diklaim sebagai madzhab salaf dan Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dari sini, klaim kaum Wahabi bahwa mereka pengikut ahli hadits, menimbulkan pertanyaan, “Ahli hadits yang mana yang mereka ikuti?”
Hanya saja, apabila kita menelusuri literatur sejarah dengan cermat dan mendalam, maka akan didapati suatu fakta, bahwa dalam bidang akidah, mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Dalam konteks ini, al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata:
ثُمَّ بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ اْلآَفَاقِ فِي الْجَدَلِ وَالتَّحْقِيْقِ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ اْلأَشْعَرِيُّ الَّذِيْ صَارَ شَجاً فِيْ حُلُوْقِ الْقَدَرِيَّةِ .... وَقَدْ مَلأَ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لِأَنَّ جَمِيْعَ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَكُلَّ مَنْ لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ عَلىَ مَذْهَبِهِ.
“Pada generasi berikutnya adalah Guru Besar pemikiran dan pemimpin berbagai daerah dalam hal perdebatan dan penelitian, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang telah menjadi kesedihan dalam kerongkongan kaum Qadariyah ...
Buku-bukunya telah memenuhi dunia. Tak seorang pun dari ahli kalam yang memiliki pengikut sebanyak beliau, karena semua ahli hadits dan semua ahl al-ra’yi yang tidak mengikuti Mu’tazilah adalah pengikut madzhabnya”. (Al-Baghdadi, Ushul al-Din, hal. 309-310).
Selanjutnya al-Imam Tajuddin al-Subki juga berkata:
وَهُوَ يَعْنِيْ مَذْهَبَ اْلأَشَاعِرَةِ مَذْهَبُ الْمُحَدِّثِيْنَ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا.
“Madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dulu dan sekarang”. (Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32.)
Di antara ahli hadits yang sangat populer mengikuti madzhab al-Asy’ari adalah Ibnu Hibban, al-Daraquthni, Abu Nu’aim, Abu Dzar al-Harawi, al-Hakim, al-Khaththabi, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi, Abu Thahir al-Silafi, al-Sam’ani, Ibnu ‘Asakir, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, Abu Amr al-Dani, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Abi Jamrah, al-Kirmani, al-Mundziri, al-Dimyathi, al-‘Iraqi, al-Haitsami, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi, al-Qathalani, al-Ubbi, Ali al-Qari dan lain-lain. Kesimpulannya, mayoritas ahli hadits dalam bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy’ari.
Sementara dalam bidang fiqih, di antara ahli hadits ada yang mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan madzhab-madzhab fiqih yang lain. Hanya saja, apabila kita mengkaji kitab-kitab biografi ahli hadits seperti kitab Tadzkirah al-Huffazh karya al-Dzahabi, Thabaqat al-Huffazh karya al-Suyuthi dan lain-lain, akan kita dapati bahwa mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa 80 % ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi al-Hanafi, seorang ahli hadits dan pakar fiqih berkebangsaan India, memberikan kesaksian tentang keistimewaan madzhab Syafi’i dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih yang lain ditinjau dari tiga hal:
Pertama) ditinjau dari aspek sumber daya manusia, madzhab Syafi’i adalah madzhab terbesar dalam memproduksi mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab, madzhab terbanyak memiliki pakar ushul fiqih, teologi, tafsir dan syarih (komentator) hadits.
Kedua) ditinjau dari segi materi keilmuan, madzhab Syafi’i adalah madzhab yang paling kokoh dari segi sanad dan periwayatan, paling kuat dalam menjaga keotentikan teks-teks perkataan imamnya, paling bagus dalam membedakan antara perkataan Imam Syafi’i (aqwal al-Imam) dengan pandangan murid-muridnya (wujuh al-ashhab), paling kreatif dalam menghukumi kuat dan tidaknya sebagian pendapat dengan pendapat yang lain dalam madzhab. Demikian ini akan dimaklumi oleh seseorang yang meneliti dan mengkaji berbagai madzhab.
Ketiga) ditinjau dari segi referensi, hadits-hadits dan atsar yang menjadi sumber materi fiqih madzhab Syafi’i telah terkodifikasi dan tertangani dengan baik. Hal ini belum pernah terjadi kepada madzhab fiqih yang lain. Di antara materi madzhab Syafi’i adalah al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhari, Muslim, karya-karya Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi, al-Nasa’i, al-Daraquthni, al-Baihaqi dan al-Baghawi.
Selanjutnya al-Imam al-Dahlawi mengakhiri kesaksiannya dengan berkata:
Sementara dalam bidang fiqih, di antara ahli hadits ada yang mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan madzhab-madzhab fiqih yang lain. Hanya saja, apabila kita mengkaji kitab-kitab biografi ahli hadits seperti kitab Tadzkirah al-Huffazh karya al-Dzahabi, Thabaqat al-Huffazh karya al-Suyuthi dan lain-lain, akan kita dapati bahwa mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa 80 % ahli hadits mengikuti madzhab Syafi’i. Al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi al-Hanafi, seorang ahli hadits dan pakar fiqih berkebangsaan India, memberikan kesaksian tentang keistimewaan madzhab Syafi’i dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih yang lain ditinjau dari tiga hal:
Pertama) ditinjau dari aspek sumber daya manusia, madzhab Syafi’i adalah madzhab terbesar dalam memproduksi mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab, madzhab terbanyak memiliki pakar ushul fiqih, teologi, tafsir dan syarih (komentator) hadits.
Kedua) ditinjau dari segi materi keilmuan, madzhab Syafi’i adalah madzhab yang paling kokoh dari segi sanad dan periwayatan, paling kuat dalam menjaga keotentikan teks-teks perkataan imamnya, paling bagus dalam membedakan antara perkataan Imam Syafi’i (aqwal al-Imam) dengan pandangan murid-muridnya (wujuh al-ashhab), paling kreatif dalam menghukumi kuat dan tidaknya sebagian pendapat dengan pendapat yang lain dalam madzhab. Demikian ini akan dimaklumi oleh seseorang yang meneliti dan mengkaji berbagai madzhab.
Ketiga) ditinjau dari segi referensi, hadits-hadits dan atsar yang menjadi sumber materi fiqih madzhab Syafi’i telah terkodifikasi dan tertangani dengan baik. Hal ini belum pernah terjadi kepada madzhab fiqih yang lain. Di antara materi madzhab Syafi’i adalah al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhari, Muslim, karya-karya Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi, al-Nasa’i, al-Daraquthni, al-Baihaqi dan al-Baghawi.
Selanjutnya al-Imam al-Dahlawi mengakhiri kesaksiannya dengan berkata:
وَإِنَّ عِلْمَ الْحَدِيْثِ وَقَدْ أَبَى أَنْ يُنَاصِحَ لِمَنْ لَمْ يَتَطَفَّلْ عَلىَ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ رضي الله عنهم وَكُنْ طُفَيْلِيَّهُمْ عَلىَ أَدَبٍ، فَلاَ أَرىَ شَافِعًا سِوىَ اْلأَدَبِ.
“Sesungguhnya ilmu hadits benar-benar enggan memberi dengan tulus kepada orang yang tidak membenalu kepada Imam Syafi’i dan murid-muridnya radhiyallahu ‘anhum. Jadilah kamu benalu kepada mereka dengan beretika, karena aku tidak melihat penolong selain etika”. (Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Sabab al-Ikhtilaf, hal. 38-39.)
Kesaksian al-Dahlawi di atas, bahwa madzhab Syafi’i merupakan perintis dan pemimpin umat Islam dalam ilmu hadits, sangat penting, mengingat otoritas keilmuan al-Dahlawi sebagai seorang pakar hadits dan fiqih yang bermadzhab Hanafi yang diakui oleh seluruh ulama, dan beliau bukan pengikut madzhab Syafi’i. Seandainya yang berkata, seorang pengikut madzhab al-Syafii, mungkin orang lain akan berkata, bahwa beliau sedang memuji madzhabnya sendiri. Kesaksian tersebut diperkuat dengan fakta sejarah bahwa pada masa silam, istilah ahli hadits identik dengan para ulama madzhab Syafi’i. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Sakhawi berkata:
قَالَ النَّوَوِيُّ رحمه الله، وَنَاهِيْكَ بِهِ دِيَانَةً وَوَرَعًا وَعِلْمًا، فِيْ زَوَائِدِ الرَّوْضَةِ مِنْ بَابِ الْوَقْفِ: وَالْمُرَادُ بِأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ الْفُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةُ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ الْفُقَهَاءُ الْحَنَفِيَّةُ اهـ وَمَا أَحَقَّهُمْ بِالْوَصْفِ بِذَلِكَ.
“Imam al-Nawawi rahimahullah berkata –betapa hebatnya beliau dalam segi keagamaan, kewara’an dan keilmuan-, dalam Zawaid al-Raudhah, pada bagian bab waqaf: “Yang dimaksud engan ahli hadits adalah fuqaha Syafi’iyah, sedangkan ahl al-ra’yi adalah fuqaha Hanafiyah”. Alangkah berhaknya mereka dikatakan demikian”. (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Jawahir wa al-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibn Hajar, juz 1, hal. 79.).
Di antara ahli hadits yang mengikuti madzhab Syafi’i adalah al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Isma’ili, al-Daraquthni, Abu Nu’aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Hakim, al-Khaththabi, al-Baihaqi, al-Silafi, Ibnu Asakir, al-Sam’ani, Ibnu al-Najjar, Ibnu al-Shalah, al-Nawawi, al-Dimyathi, al-Mizzi, Ibnu Katsir, al-Subki, Ibnu Sayyidinnas, al-‘Iraqi, al-Haitsami, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi dan lain-lain.
Paparan di atas menyimpulkan, bahwa ahli hadits tidak memiliki paradigma tertentu yang menyatukan pemikiran mereka dalam satu madzhab, baik dalam bidang fiqih maupun akidah. Ahli hadits menyebar di berbagai madzhab keislaman, baik dalam fiqih maupun akidah. Hanya saja, apabila dikaji secara seksama, akan disimpulkan bahwa mayoritas ahli hadits dalam hal akidah mengikuti madzhab Asy’ari, dan dalam hal fiqih mengikuti madzhab Syafi’i. Sehingga tidak heran apabila dalam perjalanan sejarah, ahli hadits identik dengan madzhab Syafi’i.
WAHABI: “Para ulama yang Anda kutip untuk membuktikan bahwa golongan Anda diikuti oleh mayoritas ahli hadits, adalah para ulama yang bermadzhab Asy’ari, Syafi’i, Maturidi dan Hanafi. Kami kurang percaya dengan kutipan Anda.”
SUNNI: “Para ulama Wahabi, kaum Anda juga mengakui bahwa mayoritas ahli hadits pengikut madzhab Asy’ari. Mereka antara lain, Dr Abdul Aziz bin Abdul Fattah al-Qari’, Dekan Fakultas al-Qur’an dan Universitas Islam Madinah, Dr Muhammad bin Nashir al-Suhaibani, pengajar di Masjid Nabawi, dan Dr Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Kepala Jurusan Dirasat Ulya di Universitas Islam Madinah, yang mengeluarkan pernyataan sebagai berikut dalam dalam sebuah fatwa yang mereka keluarkan:
Paparan di atas menyimpulkan, bahwa ahli hadits tidak memiliki paradigma tertentu yang menyatukan pemikiran mereka dalam satu madzhab, baik dalam bidang fiqih maupun akidah. Ahli hadits menyebar di berbagai madzhab keislaman, baik dalam fiqih maupun akidah. Hanya saja, apabila dikaji secara seksama, akan disimpulkan bahwa mayoritas ahli hadits dalam hal akidah mengikuti madzhab Asy’ari, dan dalam hal fiqih mengikuti madzhab Syafi’i. Sehingga tidak heran apabila dalam perjalanan sejarah, ahli hadits identik dengan madzhab Syafi’i.
WAHABI: “Para ulama yang Anda kutip untuk membuktikan bahwa golongan Anda diikuti oleh mayoritas ahli hadits, adalah para ulama yang bermadzhab Asy’ari, Syafi’i, Maturidi dan Hanafi. Kami kurang percaya dengan kutipan Anda.”
SUNNI: “Para ulama Wahabi, kaum Anda juga mengakui bahwa mayoritas ahli hadits pengikut madzhab Asy’ari. Mereka antara lain, Dr Abdul Aziz bin Abdul Fattah al-Qari’, Dekan Fakultas al-Qur’an dan Universitas Islam Madinah, Dr Muhammad bin Nashir al-Suhaibani, pengajar di Masjid Nabawi, dan Dr Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Kepala Jurusan Dirasat Ulya di Universitas Islam Madinah, yang mengeluarkan pernyataan sebagai berikut dalam dalam sebuah fatwa yang mereka keluarkan:
بل إن كثيراً من علماء المسلمين وأئمتهم أشاعرة وماتريدية، كأمثال البيهقي والنووي وابن الصلاح والمزي وابن حجر العسقلاني والعراقي والسخاوي والزيلعي والسيوطي، بل جميع شراح البخاري هم أشاعرة وغيرهم كثير،
“Banyak dari ulama kaum Muslimin dan para imam nya pengikut madzhab Asy’ari dan Maturidi seperti al-Baihaqi, al-Nawawi, Ibnu al-Shalah, al-Mizzi, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-‘Iraqi, al-Sakhawi, al-Zaila’i, al-Suyuthi, bahkan semua pengarang syarh Shahih al-Bukhari pengikut madzhab Asy’ari, dan masih banyak selain mereka.”
Kalau Anda merasa kurang dengan pernyataan ulama Wahabi di atas akan kami tambah lagi.”
BERSAMA USTADZ FIRANDA
WAHABI: “Anda sepertinya mengakui secara tidak langsung bahwa atsar Khalifah Umar tentang jamuan makan bagi pentakziyah itu dha’if?”
SUNNI: “Owh, saya tidak mengakui bahwa atsar tersebut dha’if. Saya hanya tanazzul saja. Dalam kitab al-Mathalib al-‘Aliyah yang ditahqiq oleh Syaikh al-A’zhami, atsar tersebut justru dinilai hasan, bukan dha’if. Dan seandainya atsar Khalifah Umar tersebut dha’if, fakta bahwa tidak semua kaum Salaf tidak memakruhkan jamuan kematian, masih bisa diperkuat dengan atsar Sayyidah ‘Aisyah dalam Shahih Muslim dan atsar Imam Thawus yang shahih.”
WAHABI: “Ada kesimpulan yang aneh dari Anda dalam tulisan yang lalu bahwa ((…yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, (yang berwasiat kepada keluarganya menjelang wafatnya agar memberi jamuan makan kepada para pentakziyah) tidak perlu diperketat…)), maka…
Ulama ahli hadits manakah yang menyatakan bahwa riwayat dari selain hadits (seperti atsar para sahabat) maka tidak perlu diperketat dan diterima secara mutlak??
Dalam buku mushtholah hadits manakah yang menyatakan demikian??
Ulama ASWAJA manakah yang memiliki ilmu hadits yang seperti dipahami oleh al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli??!!”
SUNNI: “Kami akan menjelaskan gugatan Anda melalui beberapa bagian.
PERTAMA) Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
BERSAMA USTADZ FIRANDA
WAHABI: “Anda sepertinya mengakui secara tidak langsung bahwa atsar Khalifah Umar tentang jamuan makan bagi pentakziyah itu dha’if?”
SUNNI: “Owh, saya tidak mengakui bahwa atsar tersebut dha’if. Saya hanya tanazzul saja. Dalam kitab al-Mathalib al-‘Aliyah yang ditahqiq oleh Syaikh al-A’zhami, atsar tersebut justru dinilai hasan, bukan dha’if. Dan seandainya atsar Khalifah Umar tersebut dha’if, fakta bahwa tidak semua kaum Salaf tidak memakruhkan jamuan kematian, masih bisa diperkuat dengan atsar Sayyidah ‘Aisyah dalam Shahih Muslim dan atsar Imam Thawus yang shahih.”
WAHABI: “Ada kesimpulan yang aneh dari Anda dalam tulisan yang lalu bahwa ((…yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, (yang berwasiat kepada keluarganya menjelang wafatnya agar memberi jamuan makan kepada para pentakziyah) tidak perlu diperketat…)), maka…
Ulama ahli hadits manakah yang menyatakan bahwa riwayat dari selain hadits (seperti atsar para sahabat) maka tidak perlu diperketat dan diterima secara mutlak??
Dalam buku mushtholah hadits manakah yang menyatakan demikian??
Ulama ASWAJA manakah yang memiliki ilmu hadits yang seperti dipahami oleh al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli??!!”
SUNNI: “Kami akan menjelaskan gugatan Anda melalui beberapa bagian.
PERTAMA) Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
“Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah SAW tentang halal haram, sunan dan ahkam, kami memperketat sanad-sanad. Apabila kami meriwayatkan dari Nabi SAW tentang fadhail al-a’mal, dan sesuatu yang tidak menjatuhkan maupun mengangkat hukum, kami memperlonggar dalam urusan sanad.”
Kesimpulan dari perkataan Imam Ahmad bin Hanbal tersebut, adalah bahwa yang diperketat dalam urusan sanad itu menyangkut, 1) hadits Rasulullah SAW, dan 2) berkaitan dengan urusan halal haram, sunan dan ahkam. Sedangkan yang diperlonggar dalam urusan sanad adalah menyangkut, 1) hadits Rasulullah SAW, dan 2) terkait fadhail al-a’mal.
Dengan kesimpulan tersebut, kami dapat mentoleransi atsar Khalifah Umar, karena pertimbangan 1) bukan hadits marfu’, 2) bukan terkait dengan halal haram dan 3) terkait dengan fadhail al-a’mal, yaitu bersedekah kepada para pentakziyah, dimana menurut beliau memang tidak makruh.
KEDUA) dalam madzhab Hanbali, pendapat para sahabat, terutama Khulafaur Rasyidin termasuk hujjah, sebagaimana dapat dibaca dalam kitab A’lam al-Muwaqqi’in karya Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah. Dan sudah maklum, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menerima otoritas hadits dha’if dalam ahkam, ketika tidak menemukan lagi hadits shahih. Seandainya atsar Khalifah Umar ini memang dha’if, masih belum keluar dari kaedah madzhab Hanbali yang menerima hadits dha’if.
KETIGA) apabila kita membaca kitab-kitab hadits yang ditulis oleh para ulama ahli hadits, kita dapati bahwa mereka tidak jarang berdalil dengan atsar shahabi yang statusnya dha’if. Semisal contoh Anda lihat dalam praktek al-Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad yang ditahqiq oleh al-Albani, tidak jarang al-Bukhari berdalil dalam suatu bab yang ditulisnya dengan atsar dha’if dari shahabat.
KEEMPAT) Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (ulama yang tidak disukai oleh kaum Wahabi, karena sangat dimusuhi oleh al-Albani) berkata dalam ta’liq kitab Zhafr al-Amani sebagai berikut:
Dengan kesimpulan tersebut, kami dapat mentoleransi atsar Khalifah Umar, karena pertimbangan 1) bukan hadits marfu’, 2) bukan terkait dengan halal haram dan 3) terkait dengan fadhail al-a’mal, yaitu bersedekah kepada para pentakziyah, dimana menurut beliau memang tidak makruh.
KEDUA) dalam madzhab Hanbali, pendapat para sahabat, terutama Khulafaur Rasyidin termasuk hujjah, sebagaimana dapat dibaca dalam kitab A’lam al-Muwaqqi’in karya Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah. Dan sudah maklum, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menerima otoritas hadits dha’if dalam ahkam, ketika tidak menemukan lagi hadits shahih. Seandainya atsar Khalifah Umar ini memang dha’if, masih belum keluar dari kaedah madzhab Hanbali yang menerima hadits dha’if.
KETIGA) apabila kita membaca kitab-kitab hadits yang ditulis oleh para ulama ahli hadits, kita dapati bahwa mereka tidak jarang berdalil dengan atsar shahabi yang statusnya dha’if. Semisal contoh Anda lihat dalam praktek al-Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad yang ditahqiq oleh al-Albani, tidak jarang al-Bukhari berdalil dalam suatu bab yang ditulisnya dengan atsar dha’if dari shahabat.
KEEMPAT) Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (ulama yang tidak disukai oleh kaum Wahabi, karena sangat dimusuhi oleh al-Albani) berkata dalam ta’liq kitab Zhafr al-Amani sebagai berikut:
وعلى ما ذهب إليه الإمام أحمد جرى الإمام البخاري رحمه الله تعالى في كتابه الأدب المفرد فأورد فيه جملة كبيرة من الأحاديث والآثار الضعيفة مستدلا بها في الباب وقد يكون الباب قاصرا عليها وفي رواتها االضعيف والمجهول ومنكر الحديث والمتروك وأشباه ذلك.
“Atas pendapat yang dilalui oleh Imam Ahmad, Imam al-Bukhari RA juga mengikuti jejaknya dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad. Dalam kitab tersebut beliau banyak menyajikan sejumlah besar hadits-hadits dan atsar-atsar yang lemah sebagai dalil bagi bab yang ditulisnya. Terkadang bab tersebut terbatas pada riwayat dha’if itu. Dalam perawinya ada yang dha’if, majhul, munkarul hadits, matruk dan semacamnya.” (Al-Luknawi, Zhafr al-Amani, tahqiq Syaikh Abu Ghuddah, hal. 182).
Kutipan di atas dari kitab Mushthalah al-Hadits. Syukran atas tanggapannya. Sehingga menambah kajian kami lebih mendalam.
Wassalam.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli
Wassalam.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli
0 komentar:
Post a Comment