Manaqib Al Allamah Al ‘Arif Billah Al Habib Muhammad Bin Syekh Bin Yahya ( KANG AYIP MUH - Jagasatru Cirebon )
Suatu hari, rumah Habib ‘Alwi Al Habsyi, ayah Habib Anis Al Habsyi (Solo), di datangi Habib Syekh Cirebon atau yang akrab disapa “Abah Syekh”. Habib ‘Alwi menyambut dengan hangat, seorang santri kemudian disuruh untuk menyiapkan jamuan. Entah mengapa selama membawa dan menyiapkan jamuan, santri tersebut menundukkan kepala. Si santri rupanya mengenal baik tamu itu dan berharap tamu itu tidak sampai mengenalinya.
Setelah berbincang ringan dan saling bertukar kabar, Abah Syekh kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, Beliau ingin menjenguk putranya. Habib ‘Alwi tampak heran, karena ia tak tahu ada putra Abah Syekh nyantri di sini. Kemudian Habib ‘Alwi bertanya siapa yang dimaksud. Dengan tenang Abah menjawab, “itu yang sedang menuangkan air”, ini putraku. Tentunya Habib ‘Alwi terkejut ternyata santri yang hampir dua tahun mengerjakan tugas rumahnya Habib ‘Alwi ternyata putra Habib Syekh, ‘Ulama besar Cirebon. Padahal jika ditanya putra siapa, sang santri tadi menjawab aku putra “ ’Abdullah si tukang air ”, tentunya sang santri tidak mau berbohong dan identitasnya diketahui karena dulu Ayah beliau “Abdullah : Hamba Allah” sempat berdagang air ketika menimba ilmu dan menetap di Makkah. Begitulah kebiasaan Habib Muhammad bin Yahya supaya perlakuannya disamakan dengan santri lainnya. Setelah latar belakangnya terungkap kemudian ia meminta izin ke Habib ‘Alwi untuk berguru di tempat lain.
Menyamar merupakan kebiasaan dalam menuntut ilmu sewaktu muda sebagai sifat mujahadahnya bahkan setelah beliau menjadi ‘ulama besar di Cirebon. Pernah suatu saat “Kang Ayip Muh” sapaan akrab orang Cirebon, mengunjungi salah satu cucu keponakannya yang sedang kuliah di Malang. Beliau minta pada cucu nya untuk mengantar keliling kampung untuk berkunjung ke Kyai setempat, tanpa ragu dan segan Kang Ayip Muh mendatangi mereka layaknya orang biasa yang minta dido’akan, dinasehati, bahkan beliau duduk sangat khusyu mendengarkan wejangan dari Kyai yang beliau temui. Dan di saat pamitan, beliau dengan tawadhu’ nya mencium tangan sang Kyai bolak-balik, demikianlah ke Tawadhu’an beliau. Tentunya sang cucu bingung meliat kejadian ini, sebelum berangkat ia dipesan untuk tidak komentar dan hanya mengantar saja.
Beliau pun sering memakai nama samaran jika masuk rumah sakit di Cirebon ketika sakit, karena tidak ingin merepotkan dan di perlakukan khusus di sana. Bahkan keluarga beliau sampai tidak tahu tentang hal ini, sampai tidak jarang beliau “menghilang” beberapa hari, sampai keluarganya harus mencari di setiap rumah sakit untuk mencarinya.
‘Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15 Juli 1932. Namun seorang sahabat, Habib ‘Abdullah Asseggaf, ayah Habib Sholeh Asseggaf Kebon Syarif Cirebon, malah menamainya “Muhammad”, dan Abah Syekh menerimanya. Dalam rujukan kitab nasab ‘Alawiyyin namanya tertera sebagai Muhammad ‘Abdul Qodir.
Kang Ayip Muh kecil memang anak yang cerdik sewaktu kecilnya, senang bercanda, dan pandai membuat suasana gembira. Namun beliau lebih mementingkan urusan belajarnya, sehingga beliau terkenal dengan kesukaannya berburu ilmu. Sambil menekuni berguru kepada ayahnya sendiri, beliau awali dengan pendidikan formalnya di MI Persatuan Umat Islam hingga kelas 3, kemudian dilanjutkan ke Jami’iyyah Ta’limiyyah atau Madrasah Darul Hikam sekarang. Selepas dari sana kemudian dilanjutkan mondok ke Kyai Sanusi di Pesantren Babakan Ciwaringin. Selain nyantri beliau juga rajin mendatangi ulama untk menimba ilmu dari mereka. Diantaranya Habib Ahmad bin Ismail bin Yahya Arjawinangun, Kyai Idris Pesantren Kempek, Kyai Ridhwan Pesantren Buntet, Pesantren Benda, dan Pesantren Galagamba.
Saking gemarnya berburu ilmu sampai-sampai ilmu kanuraggan pun beliau pelajari, tidak main-main beliau berguru ke Kyai Tarmidji Kebon Gedang, salah satu Kyai Cirebon yang terkenal ilmu kanuranggan dan kesaktiannya. Namun keahlian yang pernah dipelajari ini tidak pernah beliau tampakkan. Lalu pendidikannya beliau lanjukan ke Jakarta di Jami’at Khoir, lembaga pendidikan terkemuka saat itu, dan beliau juga sempatkan mengaji ke Habib Salim bin Jindan, semua ulama pun beliau datangi untuk sekedar bertabarruq dan meminta ijazah. Setelah di Jakarta beliau melanjutkan mondoknya ke Jawa Tengah tepatnya di Ponpes Kaliwungu asuhan Kyai Ru’yat, sambil melanjutkan pendidikan SLTP di Semarang, kemudian melanjutkan SLTA nya ke Solo dan mukim dan mengaji dengan Habib ‘Alwi Al Habsyi selama 2 tahun. Kemudian dilanjutkan ke Ponpes Jamsaren di Solo asuhan Kyai Abu Ammar.
Setelah berkelana di jawa tengah, pemuda yang haus ilmu ini lanjutkan mondoknya di Jawa Timur. Di awali masuk ke Ponpes Darul Hadist dan belajar kepada Habib ‘Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Setiap kali mondok beliau selalu memanfaatkan waktu untuk belajar, dan bukan hanya belajar di Kyai pengasuh pesantren saja, beliau sempat pesankan, “Lamon mondok sing akeh gurune” atau kata lain, kalo belajar harus punya banyak guru. Pendidikan formalnya bahkakn berlanjut hingga tingkat akademi jurnalistik, Yogya, tapi setiap kali beliau ditanya mengenai perihal itu, dengan entengnya beliau katakan “semuanya hilang”.
Pada akhirnya beliau kembali ke tanah Cirebon untuk berkhidmat ke Ponpes Jagastru, beliau juga menimba ilmu kembali ke sang Ayah, abah Syekh yang telah lama menimba ilmu di tanah suci, tentunya dengan bingkai birrul walidain. Kecintaan akan ilmu tak trehenti sampai di situ bukan hanya pergi ke Kyai sepuh, beliau juga sempatkan menimba ilmu ke teman sejawat beliau, guru sekaligus teman seperjuangan Habib Sholeh Asseggaf.
Sejak kecil kang Ayip Muh senang mengajak teman-temannya untuk mengaji, di waktu yang sama ketikan masa kolonial beliau tidak tega melihat penderitaan, beliau sempatkan memberi bantuan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi. Ya, kedua sifat inilah yang selalu melekkat dalam pribadi beliau, pertama, berdakwah, menyampaikan ilmu, dan bertutur bijak kepada masyarakat luas. Kedua, berpikir, berbuat, dan menebar manfaat dengan penuh rasa ikhlas.
Dalam berdakwah semua orang tahu, beliau orang yang tegas. Sampai beliau pernah difitnah dan di bui dan tentunya dengan menerima berbagai deraan. Sampai kaki beliau diikat ke atas sementara kepalanya menggantung ke bawah. Di saat yang sama kepala beliau dihajar dengan dengan batang senapan sampai berdarah, sampai kemudian tali penggantungnya putus, sehingga kepalanya terbentur keras di lantai. Aneh bin ajaib tidak keluar suara apapun dari mulut beliau yang menadakan kesakitan, pas sudah sadar, beliau pun ditanya oleh kawan-kawannya yang juga turut di siksa, “tadi sakit kang..?”. Beliau katakan, “tidak, Alhamdulillah pas saya tadi dipukuli saya tidur pulas, makannya saya tak merasakan apa-apa, emang tadi bagaimana..?” beliau malah tanya balik. Mendengar jawab itu, kawan-kawannya keheranan bukan main.
Konon singkat cerita orang-orang yang dulunya menganiaya beliau, setelah mereka taubat dan pensiun, malah datang ngaji ke beliau, dan diterima dengan baik seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Beliau maafkan dan melupakan kejadian itu dan tak menceritakan ke orang lain sewaktu beliau hidup. Pola pikirnya selalu dilandaskan dengan prasangka baik, membuat ulama yang berjiwa besar ini menjadi panutan yang menghargai perbedaan dan tak suka menyalahkan upaya dakwah pihak lain. Bahkan kepada pemabuk pun beliau masih berakhlak, beliau awalnya mengingatkan kalau mabuk yang teratur janagn di sudut jalan, jangan meminta paksa ke jamaah yang berkunjung, sampai beliau pun sempatkan member uang ke mereka, “nih untuk kalian”. Dengan kemuliaan hati, banyak diantara mereka yang sadar dan kembali ke jalan yang benar. Pesan beliau “Orangnya jangan dibenci tapi bencilah perbuatannya, setiap kondisi harus dipilah berdasarkan kondisi dan porsinya”. Jangan heran waktu itu di Tahun 2003 Cirebon bergejolak Kang Ayip Muh, langsung turun memimpin ribuan warga dan santrinya untuk mendesak pemerintah setempat untuk mengesahkan RUU Anti Miras dan Perjudian, akhirnya Alhamdulillah tuntutan itu dipenuhi.
Sehari – hari Kang Ayip hampir tidak punya waktu luang untuk urusan pribadi, maklum karena banyak warga Cirebon dan sekitar nya berebut meminta beliau ceramah, menikahkan, atau hanya sekedar hadir di acara tertentu. Sebelum azan subuh, sudah ada tamu yang menjemputnya, pulang saat menjelang dhuhur, siangnya ada yang menjemput lagi, setelah rehat sebentar beliau lannjutkan sholat ashar, setelahnya mengajari santrinya, setelah itu sudah banyak tamu yang menunggu di beranda pesantren untuk bersilaturahim, beliau buang jauh rasa penat dan lelah, dengan selalu ceria dihadapan para tamu, antara maghrib dan isya beliau mengajar santrinya kembali, stelah sholat isya lagi-lagi sudah ada yang menjemputnya di teras rumah. Seringkali jarak yang ditempuh sangat jauh, sampai beliau sering pulang larut malam, tak sempat bertukar baju beliau sudah terlanjur tidur.
Hari-hari Kang Ayip bukan hanya sibuk, tapi berkah, bayangkan selain mengurusi pesantren, menjadi Ketua MUI kodya Cirebon selama dua periode, sudah hamper semua tamu bisa mengambil berkah, bertemu dengan beliau. Namun dibalik kacamata beliau, terlihat mata yang agak merah berair seperti ada masalah besar yang beliau pikirkan atau rasakan, namun beliau pendam dalam-dalam. Sesekali air matanya tertetes ketika mengajar, membuat uraiannya terhenti sejenak. Di luar itu, bukan hanya sesekali orang mendapati beliau menangis di keheningan malam ditempat yang sunyi, sendirian. Di belakang rumah, di balik pepohonan, di pinggir sungai dekat pesantren, dan di tempat lainnya. Bahkan malam sebelum Tsunami di Aceh, seorang muridnya mendapati beliau tengah menagis seorang diri, di sisi patai Pulau Jawa yang sepi. Ketika ditanya, beliau justru minta untuk jangan dilanjutkan pertanyaan itu, dan diminta untuk meniggalkan dirinya. Esoknya, entah ada hubungannya atau tidak, terjadilah bencana Tsunami terbesar yang memilukan itu.
Potret kehidupan Kang Ayip adalah cerminan akhlakul karimah dan contoh yang baik, dibalut kesederhanaan dan ketawwadhuan, banyak orang dekat yang mendengar langsung kisah beliau, tapi minta jangan disebarkan, kecuali sudah wafat. Rupanya beliau inginkan orang lain bisa memetik hikmah dari kisahnya, namun risih jika orang lain menganggapnya lebih. Jarang beliau mengenakan imamah layaknya yang seperti kita lihat, kecuali di saat beliau mengisi majelis Ahad Pagi, Kajian Tafsir Jalalain. Beliau selalu tampil bersahaja, zuhud dan wara’ dalam urusan dunia, ucapannya selalu ditunggu orang, dalam berbagai kesempatan, ketika mengajar, ceramah, diskusi berat dan lain sebagainya, kata-kata beliau selalu melekat di pribadi masing-masing yang mendengarkannya, bahkan bercanda nya pun sarat makna, jika disimak dengan baik. Pernah di waktu santai bersama keluarga, beliau minta di pijat, di sela obrolannya beliau pesankan “Saya malu orang lain saya ajari tapi anak sendiri tidak”. Rumah beliau tak pernah sepi dari tamu, bahkan dari luar negeri, semua kalangan nusantara. Ada sisi lain dari Kang Ayip, beliau selalu fasih berbahasa tergantung tamu yang datang, arab, sunda, jawa, melayu, bahkan inggris. Beliau juga tidak segan duduk ngobrol ngopi bersama tukan becak, buruh kasar, tukang sayur, dan lainnya, cara beliau berinteraksi sangat memukau di semua kalangan sampai yang mereka rasakan adalah dirinya teramat diperhatikan dan dekat dengan Kang Ayip.
Meski tak berminat di bidang politik, tapi beliau tak menjauhi mereka, beliau menerima kalau mereka sowan ke kediaman beliau dengan baik. Di mata Kang Ayip semuanya semata lahan dakwah, tak ada yang lain, ia sangat menghargai perbedaan, sampai jika ada pihak yang berselisih paham, bertikai dan sebagainya pertemuan itu harus diadakan di Jagastru, kediaman beliau. Sempat terjadi konflik di area keraton Cirebon, dan Kang Ayip lah yang membantu manjadi penengahnya, kharisma beliau begitu kuat, sampai akhirnya mereka sepakat untuk Islah, berdamai. Begitu banyak sifat dan kepribadian beliau jika kita ungkap atau tulis semuanya, menggambarkan beliau secara total mengikuti datuknya Sayyidina Muhammad Saw., total dalam berdakwah dan maslahat bagi umat.
Beberapa tahun terakhir dalam kehidupan Kang Ayip, keluarga sebenarnya sudah mengetahui bahwa beliau mengidap penyakit dalam, namun mereka sepakat untuk tidak mencemaskan di hadapan beliau, selanjutnya perjalanan hidup beliau di dunia ini terhenti, Selasa menjelang Maghrib 26 Desember 2006 tepat di tanggal peristiwa Tsunami, Jagat Cirebon seakan kelabu dan bergetar, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi Ta’lim seperti biasa, siang nya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu.
Saat berbincang dengan tamu di bangku teras rumahnya, beliau izin pamit sebentar untuk menunaikan sholat ashar, mereka paham kalau sedang sholat memakan waktu yang lama, namun kala itu lain dari biasanya, hingga salah seorang menantunya masuk ke kamar beliau untuk membawakan teh hangat ke beliau. Namun di saat itulah didapati tubuh Kang Ayip sudah tak bergerak sama sekali. Beliau wafat dengan posisi duduk tahiyyat akhir dengan telunjuk masih menghadap ke Ka’bah. Pertanda seorang hamba yang total dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Ta’ala. Allah juga yang menetapkan waktu istirahat panjangnya kepada Kang Ayip setelah sekian lama berjuang di jalan – Nya. Sejenak kemudian Ponpes Jagastaru berubah menjadi lautan manusia, setelah dimandikan dan di sholati sekitar jam 21.00 WIB, ribuan penta’ziyah silih berganti mensholati beliau sampai pagi harinya. Rabu siang iringan manusia mengantarkan beliau seperti lautan manusia, belum lagi warga yang berdiri di sepanjang jalan penuh dengan kesedihan, meneteslah air mata dengan tanpa sengaja, mengingat kemuliaan beliau sewaktu hidupnya. Ini sama dengan kejadian dulu waktu wafatnya Abah Syekh, hampir sama. Sesuai dengan pepatah “Ma fil aba fil abna” seperti halnya seorang ayah, demikian pula anaknya. Suasana pemakaman di Jabang Bayi Cirebon tidak jauh berbeda, sejak pagi ribuan jamaah mendatangi lokasi itu, meraka tak sabar untuk mengantar Kang Ayip untuk terakhir kalinya, semua elemen bangsa turut hadir, dan mngamankan prosesi pemakaman. Pagi itu Cirebon menangis, mentari seolah tak berani menampakkan keceriannya, hilang sudah sosok yang selalu memperhatikan umat, membimbing dan meneladani setiap ahlakul karimah. Sesuai amanah beliau, Kang Ayip dimakamkan di samping makam Abahnya, seperti yang kita ketahui pemakaman Jabang Bayi adalah pemakaman umum, beliau di akhir hayatnya pun ingin selalu dekat dengan rakyat biasa ia cintai, tanda kesejukan dan kesederhanaan begitu juga makam beliau, layaknya makam orang biasa, inilah Totalitas Seorang Hamba.
Setelah berbincang ringan dan saling bertukar kabar, Abah Syekh kemudian menjelaskan maksud kedatangannya, Beliau ingin menjenguk putranya. Habib ‘Alwi tampak heran, karena ia tak tahu ada putra Abah Syekh nyantri di sini. Kemudian Habib ‘Alwi bertanya siapa yang dimaksud. Dengan tenang Abah menjawab, “itu yang sedang menuangkan air”, ini putraku. Tentunya Habib ‘Alwi terkejut ternyata santri yang hampir dua tahun mengerjakan tugas rumahnya Habib ‘Alwi ternyata putra Habib Syekh, ‘Ulama besar Cirebon. Padahal jika ditanya putra siapa, sang santri tadi menjawab aku putra “ ’Abdullah si tukang air ”, tentunya sang santri tidak mau berbohong dan identitasnya diketahui karena dulu Ayah beliau “Abdullah : Hamba Allah” sempat berdagang air ketika menimba ilmu dan menetap di Makkah. Begitulah kebiasaan Habib Muhammad bin Yahya supaya perlakuannya disamakan dengan santri lainnya. Setelah latar belakangnya terungkap kemudian ia meminta izin ke Habib ‘Alwi untuk berguru di tempat lain.
Menyamar merupakan kebiasaan dalam menuntut ilmu sewaktu muda sebagai sifat mujahadahnya bahkan setelah beliau menjadi ‘ulama besar di Cirebon. Pernah suatu saat “Kang Ayip Muh” sapaan akrab orang Cirebon, mengunjungi salah satu cucu keponakannya yang sedang kuliah di Malang. Beliau minta pada cucu nya untuk mengantar keliling kampung untuk berkunjung ke Kyai setempat, tanpa ragu dan segan Kang Ayip Muh mendatangi mereka layaknya orang biasa yang minta dido’akan, dinasehati, bahkan beliau duduk sangat khusyu mendengarkan wejangan dari Kyai yang beliau temui. Dan di saat pamitan, beliau dengan tawadhu’ nya mencium tangan sang Kyai bolak-balik, demikianlah ke Tawadhu’an beliau. Tentunya sang cucu bingung meliat kejadian ini, sebelum berangkat ia dipesan untuk tidak komentar dan hanya mengantar saja.
Beliau pun sering memakai nama samaran jika masuk rumah sakit di Cirebon ketika sakit, karena tidak ingin merepotkan dan di perlakukan khusus di sana. Bahkan keluarga beliau sampai tidak tahu tentang hal ini, sampai tidak jarang beliau “menghilang” beberapa hari, sampai keluarganya harus mencari di setiap rumah sakit untuk mencarinya.
‘Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15 Juli 1932. Namun seorang sahabat, Habib ‘Abdullah Asseggaf, ayah Habib Sholeh Asseggaf Kebon Syarif Cirebon, malah menamainya “Muhammad”, dan Abah Syekh menerimanya. Dalam rujukan kitab nasab ‘Alawiyyin namanya tertera sebagai Muhammad ‘Abdul Qodir.
Kang Ayip Muh kecil memang anak yang cerdik sewaktu kecilnya, senang bercanda, dan pandai membuat suasana gembira. Namun beliau lebih mementingkan urusan belajarnya, sehingga beliau terkenal dengan kesukaannya berburu ilmu. Sambil menekuni berguru kepada ayahnya sendiri, beliau awali dengan pendidikan formalnya di MI Persatuan Umat Islam hingga kelas 3, kemudian dilanjutkan ke Jami’iyyah Ta’limiyyah atau Madrasah Darul Hikam sekarang. Selepas dari sana kemudian dilanjutkan mondok ke Kyai Sanusi di Pesantren Babakan Ciwaringin. Selain nyantri beliau juga rajin mendatangi ulama untk menimba ilmu dari mereka. Diantaranya Habib Ahmad bin Ismail bin Yahya Arjawinangun, Kyai Idris Pesantren Kempek, Kyai Ridhwan Pesantren Buntet, Pesantren Benda, dan Pesantren Galagamba.
Saking gemarnya berburu ilmu sampai-sampai ilmu kanuraggan pun beliau pelajari, tidak main-main beliau berguru ke Kyai Tarmidji Kebon Gedang, salah satu Kyai Cirebon yang terkenal ilmu kanuranggan dan kesaktiannya. Namun keahlian yang pernah dipelajari ini tidak pernah beliau tampakkan. Lalu pendidikannya beliau lanjukan ke Jakarta di Jami’at Khoir, lembaga pendidikan terkemuka saat itu, dan beliau juga sempatkan mengaji ke Habib Salim bin Jindan, semua ulama pun beliau datangi untuk sekedar bertabarruq dan meminta ijazah. Setelah di Jakarta beliau melanjutkan mondoknya ke Jawa Tengah tepatnya di Ponpes Kaliwungu asuhan Kyai Ru’yat, sambil melanjutkan pendidikan SLTP di Semarang, kemudian melanjutkan SLTA nya ke Solo dan mukim dan mengaji dengan Habib ‘Alwi Al Habsyi selama 2 tahun. Kemudian dilanjutkan ke Ponpes Jamsaren di Solo asuhan Kyai Abu Ammar.
Setelah berkelana di jawa tengah, pemuda yang haus ilmu ini lanjutkan mondoknya di Jawa Timur. Di awali masuk ke Ponpes Darul Hadist dan belajar kepada Habib ‘Abdul Qodir bin Ahmad Bilfagih. Setiap kali mondok beliau selalu memanfaatkan waktu untuk belajar, dan bukan hanya belajar di Kyai pengasuh pesantren saja, beliau sempat pesankan, “Lamon mondok sing akeh gurune” atau kata lain, kalo belajar harus punya banyak guru. Pendidikan formalnya bahkakn berlanjut hingga tingkat akademi jurnalistik, Yogya, tapi setiap kali beliau ditanya mengenai perihal itu, dengan entengnya beliau katakan “semuanya hilang”.
Pada akhirnya beliau kembali ke tanah Cirebon untuk berkhidmat ke Ponpes Jagastru, beliau juga menimba ilmu kembali ke sang Ayah, abah Syekh yang telah lama menimba ilmu di tanah suci, tentunya dengan bingkai birrul walidain. Kecintaan akan ilmu tak trehenti sampai di situ bukan hanya pergi ke Kyai sepuh, beliau juga sempatkan menimba ilmu ke teman sejawat beliau, guru sekaligus teman seperjuangan Habib Sholeh Asseggaf.
Sejak kecil kang Ayip Muh senang mengajak teman-temannya untuk mengaji, di waktu yang sama ketikan masa kolonial beliau tidak tega melihat penderitaan, beliau sempatkan memberi bantuan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi. Ya, kedua sifat inilah yang selalu melekkat dalam pribadi beliau, pertama, berdakwah, menyampaikan ilmu, dan bertutur bijak kepada masyarakat luas. Kedua, berpikir, berbuat, dan menebar manfaat dengan penuh rasa ikhlas.
Dalam berdakwah semua orang tahu, beliau orang yang tegas. Sampai beliau pernah difitnah dan di bui dan tentunya dengan menerima berbagai deraan. Sampai kaki beliau diikat ke atas sementara kepalanya menggantung ke bawah. Di saat yang sama kepala beliau dihajar dengan dengan batang senapan sampai berdarah, sampai kemudian tali penggantungnya putus, sehingga kepalanya terbentur keras di lantai. Aneh bin ajaib tidak keluar suara apapun dari mulut beliau yang menadakan kesakitan, pas sudah sadar, beliau pun ditanya oleh kawan-kawannya yang juga turut di siksa, “tadi sakit kang..?”. Beliau katakan, “tidak, Alhamdulillah pas saya tadi dipukuli saya tidur pulas, makannya saya tak merasakan apa-apa, emang tadi bagaimana..?” beliau malah tanya balik. Mendengar jawab itu, kawan-kawannya keheranan bukan main.
Konon singkat cerita orang-orang yang dulunya menganiaya beliau, setelah mereka taubat dan pensiun, malah datang ngaji ke beliau, dan diterima dengan baik seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Beliau maafkan dan melupakan kejadian itu dan tak menceritakan ke orang lain sewaktu beliau hidup. Pola pikirnya selalu dilandaskan dengan prasangka baik, membuat ulama yang berjiwa besar ini menjadi panutan yang menghargai perbedaan dan tak suka menyalahkan upaya dakwah pihak lain. Bahkan kepada pemabuk pun beliau masih berakhlak, beliau awalnya mengingatkan kalau mabuk yang teratur janagn di sudut jalan, jangan meminta paksa ke jamaah yang berkunjung, sampai beliau pun sempatkan member uang ke mereka, “nih untuk kalian”. Dengan kemuliaan hati, banyak diantara mereka yang sadar dan kembali ke jalan yang benar. Pesan beliau “Orangnya jangan dibenci tapi bencilah perbuatannya, setiap kondisi harus dipilah berdasarkan kondisi dan porsinya”. Jangan heran waktu itu di Tahun 2003 Cirebon bergejolak Kang Ayip Muh, langsung turun memimpin ribuan warga dan santrinya untuk mendesak pemerintah setempat untuk mengesahkan RUU Anti Miras dan Perjudian, akhirnya Alhamdulillah tuntutan itu dipenuhi.
Sehari – hari Kang Ayip hampir tidak punya waktu luang untuk urusan pribadi, maklum karena banyak warga Cirebon dan sekitar nya berebut meminta beliau ceramah, menikahkan, atau hanya sekedar hadir di acara tertentu. Sebelum azan subuh, sudah ada tamu yang menjemputnya, pulang saat menjelang dhuhur, siangnya ada yang menjemput lagi, setelah rehat sebentar beliau lannjutkan sholat ashar, setelahnya mengajari santrinya, setelah itu sudah banyak tamu yang menunggu di beranda pesantren untuk bersilaturahim, beliau buang jauh rasa penat dan lelah, dengan selalu ceria dihadapan para tamu, antara maghrib dan isya beliau mengajar santrinya kembali, stelah sholat isya lagi-lagi sudah ada yang menjemputnya di teras rumah. Seringkali jarak yang ditempuh sangat jauh, sampai beliau sering pulang larut malam, tak sempat bertukar baju beliau sudah terlanjur tidur.
Hari-hari Kang Ayip bukan hanya sibuk, tapi berkah, bayangkan selain mengurusi pesantren, menjadi Ketua MUI kodya Cirebon selama dua periode, sudah hamper semua tamu bisa mengambil berkah, bertemu dengan beliau. Namun dibalik kacamata beliau, terlihat mata yang agak merah berair seperti ada masalah besar yang beliau pikirkan atau rasakan, namun beliau pendam dalam-dalam. Sesekali air matanya tertetes ketika mengajar, membuat uraiannya terhenti sejenak. Di luar itu, bukan hanya sesekali orang mendapati beliau menangis di keheningan malam ditempat yang sunyi, sendirian. Di belakang rumah, di balik pepohonan, di pinggir sungai dekat pesantren, dan di tempat lainnya. Bahkan malam sebelum Tsunami di Aceh, seorang muridnya mendapati beliau tengah menagis seorang diri, di sisi patai Pulau Jawa yang sepi. Ketika ditanya, beliau justru minta untuk jangan dilanjutkan pertanyaan itu, dan diminta untuk meniggalkan dirinya. Esoknya, entah ada hubungannya atau tidak, terjadilah bencana Tsunami terbesar yang memilukan itu.
Potret kehidupan Kang Ayip adalah cerminan akhlakul karimah dan contoh yang baik, dibalut kesederhanaan dan ketawwadhuan, banyak orang dekat yang mendengar langsung kisah beliau, tapi minta jangan disebarkan, kecuali sudah wafat. Rupanya beliau inginkan orang lain bisa memetik hikmah dari kisahnya, namun risih jika orang lain menganggapnya lebih. Jarang beliau mengenakan imamah layaknya yang seperti kita lihat, kecuali di saat beliau mengisi majelis Ahad Pagi, Kajian Tafsir Jalalain. Beliau selalu tampil bersahaja, zuhud dan wara’ dalam urusan dunia, ucapannya selalu ditunggu orang, dalam berbagai kesempatan, ketika mengajar, ceramah, diskusi berat dan lain sebagainya, kata-kata beliau selalu melekat di pribadi masing-masing yang mendengarkannya, bahkan bercanda nya pun sarat makna, jika disimak dengan baik. Pernah di waktu santai bersama keluarga, beliau minta di pijat, di sela obrolannya beliau pesankan “Saya malu orang lain saya ajari tapi anak sendiri tidak”. Rumah beliau tak pernah sepi dari tamu, bahkan dari luar negeri, semua kalangan nusantara. Ada sisi lain dari Kang Ayip, beliau selalu fasih berbahasa tergantung tamu yang datang, arab, sunda, jawa, melayu, bahkan inggris. Beliau juga tidak segan duduk ngobrol ngopi bersama tukan becak, buruh kasar, tukang sayur, dan lainnya, cara beliau berinteraksi sangat memukau di semua kalangan sampai yang mereka rasakan adalah dirinya teramat diperhatikan dan dekat dengan Kang Ayip.
Meski tak berminat di bidang politik, tapi beliau tak menjauhi mereka, beliau menerima kalau mereka sowan ke kediaman beliau dengan baik. Di mata Kang Ayip semuanya semata lahan dakwah, tak ada yang lain, ia sangat menghargai perbedaan, sampai jika ada pihak yang berselisih paham, bertikai dan sebagainya pertemuan itu harus diadakan di Jagastru, kediaman beliau. Sempat terjadi konflik di area keraton Cirebon, dan Kang Ayip lah yang membantu manjadi penengahnya, kharisma beliau begitu kuat, sampai akhirnya mereka sepakat untuk Islah, berdamai. Begitu banyak sifat dan kepribadian beliau jika kita ungkap atau tulis semuanya, menggambarkan beliau secara total mengikuti datuknya Sayyidina Muhammad Saw., total dalam berdakwah dan maslahat bagi umat.
Beberapa tahun terakhir dalam kehidupan Kang Ayip, keluarga sebenarnya sudah mengetahui bahwa beliau mengidap penyakit dalam, namun mereka sepakat untuk tidak mencemaskan di hadapan beliau, selanjutnya perjalanan hidup beliau di dunia ini terhenti, Selasa menjelang Maghrib 26 Desember 2006 tepat di tanggal peristiwa Tsunami, Jagat Cirebon seakan kelabu dan bergetar, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi Ta’lim seperti biasa, siang nya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu.
Saat berbincang dengan tamu di bangku teras rumahnya, beliau izin pamit sebentar untuk menunaikan sholat ashar, mereka paham kalau sedang sholat memakan waktu yang lama, namun kala itu lain dari biasanya, hingga salah seorang menantunya masuk ke kamar beliau untuk membawakan teh hangat ke beliau. Namun di saat itulah didapati tubuh Kang Ayip sudah tak bergerak sama sekali. Beliau wafat dengan posisi duduk tahiyyat akhir dengan telunjuk masih menghadap ke Ka’bah. Pertanda seorang hamba yang total dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Ta’ala. Allah juga yang menetapkan waktu istirahat panjangnya kepada Kang Ayip setelah sekian lama berjuang di jalan – Nya. Sejenak kemudian Ponpes Jagastaru berubah menjadi lautan manusia, setelah dimandikan dan di sholati sekitar jam 21.00 WIB, ribuan penta’ziyah silih berganti mensholati beliau sampai pagi harinya. Rabu siang iringan manusia mengantarkan beliau seperti lautan manusia, belum lagi warga yang berdiri di sepanjang jalan penuh dengan kesedihan, meneteslah air mata dengan tanpa sengaja, mengingat kemuliaan beliau sewaktu hidupnya. Ini sama dengan kejadian dulu waktu wafatnya Abah Syekh, hampir sama. Sesuai dengan pepatah “Ma fil aba fil abna” seperti halnya seorang ayah, demikian pula anaknya. Suasana pemakaman di Jabang Bayi Cirebon tidak jauh berbeda, sejak pagi ribuan jamaah mendatangi lokasi itu, meraka tak sabar untuk mengantar Kang Ayip untuk terakhir kalinya, semua elemen bangsa turut hadir, dan mngamankan prosesi pemakaman. Pagi itu Cirebon menangis, mentari seolah tak berani menampakkan keceriannya, hilang sudah sosok yang selalu memperhatikan umat, membimbing dan meneladani setiap ahlakul karimah. Sesuai amanah beliau, Kang Ayip dimakamkan di samping makam Abahnya, seperti yang kita ketahui pemakaman Jabang Bayi adalah pemakaman umum, beliau di akhir hayatnya pun ingin selalu dekat dengan rakyat biasa ia cintai, tanda kesejukan dan kesederhanaan begitu juga makam beliau, layaknya makam orang biasa, inilah Totalitas Seorang Hamba.
0 komentar:
Post a Comment