Latest News

Friday, November 29, 2013

Liberalisme Terselubung Hizbut Tahrir

Hizbut tahrir
Naskah asli bolehnya berijtihad bagi siapa saja
Di antara ciri khas pemikiran kaum liberal adalah menghilangkan otoritas ulama. Menurut kelompok liberal, kita tidak perlu taklid kepada para ulama. Mereka manusia, kami juga manusia dan sama-sama bisa berpikir. Mengikuti pendapat para ulama berarti pengebirian akal yang kami miliki. Demikian kaum liberal berpikir. Karenanya tidak aneh jika dalam setiap diskusi, baik yang bersifat polemis di media massa dan buku-buku, maupun diskusi dialogis dalam forum debat terbuka mereka menolak pendapat para ulama.

Sementara ciri khas kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap para ulama serta otoritas penuh dalam penafsiran teks-teks keagamaan. Rasulullah saw bersabda,
"Para ulama itu pewaris para nabi". (HR. Ibn Asakir dan Ibn al-Najjar).
Apabila para ulama berposisi sebagai pewaris para nabi, tentu saja otoritas mereka dalam penafsiran teks-teks harus dijunjung tinggi dan diikuti oleh umat Islam. Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda:
"Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak memberikan otoritas terhadap ulama di antara kami (laisa minna man lam yu'thi li'alimina haqqahu)". (HR. Ahmad dan al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Dalam sebuah diskusi di Masjid al-Hikmah,Kesiman Denpasar Timur, beberapa waktu yang lalu, setelah saya memaparkan pandangan para ulama tentang suatu persoalan, seorang laki-laki Wahhabi dengan berapi-api berkata: "Kita harus mengikuti al-Qur'an dan Sunnah saja. Tidak perlu mengikuti ulama. Ulama belum tentu masuk surga." Demikian laki-laki Wahhabi tadi berbicara.

Pernyataan Wahhabi tersebut merupakan sebuah ajakan agar kita meninggalkan ulama. Memang pada dasarnya kaum Muslimin berkewajiban mengikuti al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi, tidak mudah bagi setiap orang memahami pesan-pesan agama yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu, al-Qur'an sendiri memerintahkan kaum beriman agar mengikuti petunjuk ulama dalam mengamalkan al-Qur'an dan Sunnah. Allah SWT berfirman,
"Bertanyalah kalian kepada ahli ilmu apabila kalian tidak tahu." (QS. 16 : 43).
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita agar merujuk kepada ulama, bukan kepada pemahaman setiap orang. Seandainya para ulama itu tidak punya otoritas dalam memahami dan menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah, tentu saja al-Qur'an akan memerintahkan kita agar berfikir dan membolak-bolak lembaran-lembaran al-Qur'an dan hadits. Akan tetapi tidak demikian. Allah SWT justru memerintahkan kaum beriman agar merujuk kepada ulama. Oleh karena itu, kaum Muslimin sejak dahulu kala mengikuti pola bermadzhab dalam mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan. Karena tidak semua orang mampu memahami isi al-Qur'an dan Sunnah. Di kalangan sahabat Nabi saw saja, generasi terbaik umat Islam, hanya sekitar sepuluh orang sahabat yang diakui sebagai mujtahid muthlaq dan berfatwa dalam berbagai persoalan keagamaan. Sementara dalam soal-soal parsial, ada sekitar dua ratus orang yang mampu melakukannya. Jika para sahabat, murid baginda Rasulullah saw, hanya sedikit yang mampu berijtihad, tentu saja orang-orang seperti kita tidak akan mampuber ijtihad.

Oleh karena itu, para pakar bersepakat bahwa di antara ciri khas liberalisme adalah menolak otoritas ulama. Karena dengan penolakan tersebut akan melahirkan penafsiran yang sembarangan dan ngawur terhadap teks-teks agama. Lebih-lebih ketika penafsiran mereka dilatarbelakangi oleh motif hawa nafsu dan kepentingan pemikiran liberalisme.

Dewasa ini ada kelompok yang sangat militan,tetapi juga menyemaikan paradigma liberalisme tanpa sadar, yaitu kelompok Hizbut Tahrir. Meskipun secara lahiriah, HT selalu berseberangan dengan kaum liberaldi tanah air, tetapi sebenarnya paradigma liberalisme telah merasuki ajaran HT tanpa sadar dengan menghapus otoritas ulama. Penghapusan otoritas ulama telah dikatakan oleh pendiri HT, Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam kitab al-Tafkir, hal. 149 sebagai berikut:

"Sesungguhnya seseorang apabila telah mampu melakukan istinbath, maka ia sudah menjadi mujtahid. Oleh karena itu sesungguhnya istinbath atau ijtihad itu mungkin dilakukan oleh semua orang dan mudah dicapai oleh siapa saja yang menginginkan lebih-lebih setelah buku-buku bahasa Arab dan buku-buku syari'at Islam telah tersedia di hadapan banyak orang dewasa ini".

Ajakan ijtihad oleh pendiri Hizbut Tahrir tersebut terhadap siapa saja yang ingin menjadi mujtahid, secara tidak langsung merupakan pembunuhan terhadap otoritas ulama yang ditetapkan oleh al-Qur'an dan Sunnah serta telah menjadi pola keagamaan kaum Muslimin sepanjang masa. Pembunuhan otoritas ulama berarti mengadopsi paradigma liberal secara kasatmata.

Karena itu, tidak aneh, jika kemudian kita dapati fatwa-fatwa HT yang menyimpang dari ajaran Islam, seperti membolehkan ciuman dengan wanita yang bukan muhrim, boleh menonton film porno, bahkan ada juga yang sempat berpendapat bahwa shalat, zakat dan kewajiban lainnya itu tidak wajib selama khilafah belum berhasil ditegakkan. Hal ini merupakan akibat pembukaan kran ijtihad seluas-luasnya oleh sang pendiri Hizbut Tahrir, yang merupakan ciri khas paradigma liberal.

Dalam berbagai tulisan, tidak aneh jika kita dapati anak-anak HT, yang sebelumnya malas belajar agama kepada para ulama, namun kemudian mereka menafsirkan teks agama dengan logikanya sendir serta idengan menolak penafsiran para ulama yang otoritatif dalam setiap bidangnya. Halini terjadi dalam penafsiran al-Qur'an, hadits dan hukum-hukum fiqih. Liberalisme dengan HT pada intinya tidak ada bedanya dalam paradigma pemikiran. Hanya saja, kaum liberal menolak otoritas ulama secara terang-terangan dan tidak sopan, sementara HT menolak otoritas ulama dengan terselubung dan tanpa sadar di belakang tameng terbukanya pintu ijtihad selebar-lebarnya kepada siapa pun. Wallahu a'lam.

Bab Adab Jum'at - Kitab Bidayatul Hidayah - Imam Ghazali

fiqih 

ثم إذا دخلت الجامع فاطلب الصف الأول فإذا اجتمع الناس فلا تتخط رقابهم ولا تمر بين أيديهم وهم يصلون واجلس بقرب حائط أو أسطوانة حتى لا يمروا بين يديك

Kemudian apabila engkau masuk kemasjid jami' usahakan untuk berada di Shof yang pertama. Jika manusia telah berkumpul, janganlah melangkahi leher mereka dan jangan pula lewat di hadapan mereka yang sedang Sholat. Duduklah dekat tembok atau pilar agar mereka tidak bisa mondar-mandir diantaramu.

ولا تقعد حتى تصلي التحية والأحسن أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعة بعد الفاتحة الإخلاص خمسين مرة ففي الخبر: (أن من فعل ذلك لم يمت حتى يرى مقعده من الجنة أو يرى له).

Dan janganlah duduk sebelum lakukanlah Sholat tahiyyatal masjid. Lebih baik lagi kalau engkau Sholat sebanyak empat Roka'at, dalam setiap roka'at setelah membaca surat Al-Fatihah bacalah surat Al-Ikhlas sebanyak 50 kali. Disebutkan dalam satu riwayat bahwa barang siapa yang melakukannya, maka ia tidak akan meninggal dunia kecuali telah melihat tempat duduknya di surga atau hal itu diperlihatkan kepadanya.

ولا تترك التحية وإن كان الإمام يخطب. ويستحب في هذا اليوم أو في ليلته أن يصلي أربع ركعات بأربع سور: سورة الأنعام والكهف وطه ويس فإن لم تقدر فسورة يس والدخان و (الم) السجدة وسورة الملك. ولا تدع قراءة هذه السورة ليلة الجمعة ففيها فضل كثير. ومن لم يحسن ذلك فليكثر من قراءة سورة الإخلاص. وأكثر من الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذا اليوم خاصة.

Jangan sampai engkau meninggalkan Sholat tahiyyatal masjid walaupun imam sedang berkhotbah. Dan sebagian dari sunnahnya sholat tahyatal masjid ini yaitu dalam empat roka'at itu membaca surat Al-An'am, Al-Kahfi, Thoha dan surat Yasin, jika tidak mampu, maka engkau bisa membaca surat Yasin, Ad-Dukhon, Alif Laam Mim As-Sajadah, Ad-Dukhan, dan surat Al-Mulk. Dan janganlah engkau tinggalkan untuk membaca surat tersebut pada malam Jum'at karena di dalam surat-surat tersebut banyak sekali keutamaan, dan jika masih tidak mampu, maka perbanyaklah membaca surat Al-Ikhlas perbanyaklah membaca Sholawat atas Rosululloh SAW terlebih khususnya pada hari ini.

ومهما خرج الإمام فاقطع الصلاة والكلام واشتغل بجواب المؤذن ثم استماع الخطبة والاتعاظ بها ودع الكلام رأسا في الخطبة ففي الخبر أن: (من قال لصاحبه - والإمام يخطب - أنصت أو صه فقد لغا ومن لغا فلا جمعة له) أي لأن قوله أنصت: كلام فينبغي أن ينهى غيره بالإشارة لا باللفظ.

Dan ketika telah keluar Imam, maka berhentilah membaca sholawat dan berbicara, dan sibuklah untuk menjawab muazin serta dengan mendengarkan khotbah dan ceramah. Janganlah berbicara ketika khotib sedang berkhotbah. Dalam riwayat disebutkan "barang siapa yang berkata kepada temannya "Diamlah” saat imam berkhotbah maka ia telah berbuat sia-sia" Dan barang siapa yang berbuat sia-sia maka ia tidak mendapatkan keutamaan Sholat Jum'at, yakni karena perintah diam itu sendiri berbentuk ucapan, oleh karenanya sebaiknya larangan itu diberikan dalam bentuk isyaroh bukan dengan ucapan.

sumber:
بداية الهداية - للامام الغزالي - باب اداب الجمعة
Kitab bidayatul hidayah - Imam Ghazali - Bab Adab Jum'at

Thursday, November 28, 2013

Ustadz Idrus Ramli Menjawab Majalah Wahabi ‘Al-Furqon’ (Part 1 & 2)

fakta wahabi
Ustadz Idrus Ramli Menjawab Tulisan Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Al Wahhabi Yang Dimuat di Majalah Al-Furqon, Sidayu Gresik (Bagian Ke 1 & 2).

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kabar dari seorang teman yang tinggal di Makassar Sulawesi Selatan, bahwa ia melihat seorang Wahabi menulis bantahan terhadap buku saya, Membedah Bid’ah dan Tradisi dan Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi. Kemudian setelah teman tersebut, mengirim scan bantahan seorang Wahabi tersebut, ternyata yang menulis bantahan bernama Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, dan dimuat di Majalah Wahabi al-Furqan, Sidayu Gresik.

Setelah itu, kami berusaha menghubungi redaksinya, melalui no HP yang tertulis di dalamnya, untuk menghubungi penulis bantahan tersebut, ternyata mereka tidak pernah membalas SMS maupun menjawab call kami.

Setelah saya amati, bantahan Arif, ternyata dia tidak membantah dalil-dalil yang saya ajukan dalam buku tersebut. Ia hanya menulis pengertian hadits yang saya ajukan sesuai dengan pengertian Wahabi dan tidak mampu membantah maksud hadits yang dipahami oleh para ulama ahli hadits dan kaum Salaf. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengomentari bantahan Arif yang Wahabi, dalam format dialog agar lebih mudah dipahami oleh pembaca.

WAHABI: “Bid’ah hasanah tidak ada. Karena agama telah sempurna, sebagaimana dalam firman Allah:


اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS al-Ma-idah : 3).
SUNNI: “Ayat di atas tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Dalil bid’ah hasanah terdapat dalam al-Qur’an dan sekian banyak hadits, yang tidak Anda komentari dalam artikel lemah Anda. Para ulama salaf, tidak ada yang menafsirkan ayat tersebut, dengan makna menolak bid’ah hasanah seperti yang dipahami oleh penganut faham Wahabi. Dalam kitab tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bil-Ma’tsur, al-Hafizh al-Suyuthi mengutip banyak riwayat dari ulama salaf tentang ayat tersebut, semuanya berkisar antara menafsirkan, bahwa keimanan umat Islam telah sempurna, dan makna bahwa ibadah haji umat Islam telah sempurna, dengan ditaklukkannya Kota Mekkah dan dilarangnya kaum Musyrik menunaikan ibadah haji. (Lihat, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 5 hal. 181 dan seterusnya).”

WAHABI: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Dan awaslah kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
SUNNI: “Anda tidak menanggapi pemahaman para ulama ahli hadits dan kaum salaf terhadap hadits tersebut wahai Wahabi. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi menyatakan:

قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Oleh karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya dibatasi, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela. Dalam konteks ini, Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:

وَمِنْ هُنَا  يُعْرَفُ  ضَلاَلُ  مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
WAHABI: “Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia anggap baik bid’ah tersebut, maka ia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah berfirman: ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.’ Oleh sebab itu, apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia bukan termasuk agama pula hari ini.” (Al-Ihkam, Ibnu Hazm 6/225 dan al-I’tisham, al-Syathibi 1/64).”

SUNNI: “Pernyataan Imam Malik bin Anas di atas bukan pernyataan tegas bahwa bid’ah hasanah tidak ada. Karena dalam konsep madzhab beliau, bid’ah hasanah dimasukkan ke dalam Mashalih Mursalah. Sebagaimana dimaklumi, Istihsan dan Mashalih Mursalah termasuk sumber pengambilan hukum dalam madzhab Maliki. Sementara madzhab Syafi’iy, tidak mengakui keduanya sebagai sumber pengambilan hukum.

WAHABI: “Salaf yang shaleh sangat keras dalam melarang setiap kebid’ahan, sebagaimana dinukil dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata:


كل بدعة ضلالة وإن رأها الناس حسنة
“Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai sesuatu kebaikan.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah! Sebab, sungguh itu telah cukup bagi kalian. Dan ketahuilah bahwa setiap bid’ah adalah sesat.” (Ibnu Nashr: 28 dan Ibnu Wadhdhah: 17).

SUNNI: “Memahami perkataan seorang ulama, jangan sepotong-sepotong. Misalnya, perkataan Abdullah bin Umar, tentang bid’ah yang dianggap sesat oleh beliau, hal ini jelas hanya bid’ah sayyi’ah, bukan bid’ah yang hasanah. Karena beliau sendiri termasuk pelaku bid’ah hasanah. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menunaikan ibadah haji adalah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لكَ.

Tetapi Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:

لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.

Hadits tentang doa talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar  radhiyallahu ‘anhu juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kalimat:

لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.

Sedangkan perkataan Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang melarang melakukan bid’ah, tentu harus kita artikan dengan bid’ah sayyi’ah. Sedangkan bid’ah hasanah, tidak termasuk dalam larangan beliau. Bukankah beliau telah berkata:

عن ابن مسعود قال فما رآه المسلمون حسنا فهو عند اللَّه حسن ، وما رآه المسلمون قبيحا فهو عند اللَّه قبيح
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal tersebut baik menurut Allah. Dan apa saja yang dianggap buruk oleh umat Islam, maka hal tersebut buruk menurut Allah.” (HR. Ahmad dalam as-Sunnah, al-Bazzar, al-Thayalisi, al-Thabarani, Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’, dan al-Baihaqi dalam al-I’tiqad. Menurut al-Hafizh al-Sakhawi, hadits ini mauquf yang hasan. Lihat, al-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, hadits no. 914).
Di sisi lain, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mencontohkan bid’ah hasanah, dalam menyusun bacaan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibnu Taimiyah, dan salah satu ulama otoritatif di kalangan kaum Wahabi, meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut ini:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ. (الشيخ ابن القيم، جلاء الأفهام، ص/٣٦).

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum salaf dan para sahabat tidak menolak hal-hal yang memang termasuk bid’ah hasanah dalam pandangan agama. Kalaupun ada pernyataan dari mereka yang melarang berbuat bid’ah, itu maksudnya bid’ah sayyi’ah atau bid’ah dalam akidah, seperti bid’ah ajaran Wahabi. Bid’ah ajaran Wahabi, adalah bid’ah yang sangat ditentang oleh kaum salaf.

WAHABI: “Penulis begitu antusias mengajak kaum muslimin kepada bid’ah sebagaimana tampak sekali di dalam perkataan-perkataannya:

1) Hlm. 16: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah seperti shalat dan lainnya..”

2) Hlm. 21: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama.”

SUNNI: “Apa yang ditulis oleh kami, hanya menyampaikan ajaran Islam yang dipahami oleh para ulama salaf dan ahli hadits. Anjuran memperbanyak bid’ah hasanah, ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

عن جرير بن عبد الله -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «مَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِها بعْدَهُ كُتِب لَه مثْلُ أَجْر من عَمِلَ بِهَا وَلا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، ومَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وزر من عَمِلَ بِهَا ولا يَنْقُصُ من أَوْزَارهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم.
“Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan yang jelek dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
Hadits di atas, merupakan dalil yang tegas dan jelas, agar kita memotivasi umat Islam untuk selalu melakukan bid’ah hasanah. Dalam konteks ini, al-Imam al-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, ketika mengomentari hadits tersebut:

قوله صلى اللـه عليه وسلم من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها إلى آخره فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنات والتحذير من اختراع الأباطيل والمستقبحات وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى اللـه عليه وسلم “كل محدثةٍ بدعة وكل بدعة ضلالة” وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة ثم قال “والبدع خمسة أقسامٍ: واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة”انتهى أنظر شرح النووي لصحيح مسلم ج-6
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia akan memperoleh pahalanya …” Hadits tersebut mengandung motivasi untuk memulai perbuatan-perbuatan kebaikan dan memulai perbuatan-perbuatan yang baik, serta peringatan agar menjaduhi memulai kebatilan-kebatilan dan perbuatan-perbuatan yang dianggap buruk. Dalam hadits ini juga ada pembatasan terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah tersesat”. Dan bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang batil dan bid’ah-bid’ah yang tercela.” … Bid’ah itu ada lima bagian; yaitu bid’ah wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.” (Syarh Shahih Muslim, karya al-Imam an-Nawawi).
Demikianlah, dorongan kami kepada umat Islam agar menyebarkan dan memperbanyak bid’ah hasanah, semata-mata menyampaikan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam hadits-hadits beliau, seperti yang dipahami oleh para ulama ahli hadits, bukan pemahaman kaum Wahabi.

WAHABI: “Ketidaktahuan penulis terhadap Sunnah Taqririyah dan menganggapnya sebagai bid’ah hasanah. (Ustadz Arif, menulis panjang lebar tentang makna Sunnah, tetapi tidak menanggapi dalil-dalil kami serta pernyataan para ulama salaf dan ahli hadits tentang bid’ah).”

SUNNI: “Para ulama yang biasa membaca kitab-kitab hadits, akan memahami bahwa Sunnah-sunnah Taqririyah termasuk dalil-dalil bid’ah hasanah. Misalnya hadits shahih berikut ini:

عَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ: أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري (799) والنسائي (1016) وأبو داود (770) وأحمد (19018) وابن خزيمة (614).
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (799), al-Nasa’i (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340) dan Ibn Khuzaimah (614).

Hadits atau sunnah taqririyah di atas termasuk dalil adanya bid’ah hasanah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور اذا كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه. (الحافظ ابن حجر، فتح الباري، 2/361).
“Hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru yang tidak ma’tsur dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 2 hal. 361).
Dari paparan di atas, jelas sekali, bahwa Sunnah Taqririyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk dalil bid’ah hasanah dalam shalat menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Kalau Anda menolak pandangan beliau, karena mengikuti pendapat Syaikh Ibnu Baz atau Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, itu bagian dari hak Anda untuk taklid kepada mereka. Biarkan kami, umat Islam mengikuti al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Tapi mana hujjah Anda???

WAHABI: “Di antara contoh lain dari ketidakpahaman penulis terhadap pengertian “sunnah dan bid’ah” bahwa dia banyak menyatakan bahwa sunnah-sunnah Khulafaur Rasyiidin adalah bid’ah, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan setiap muslim agar berpegang teguh dengan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan “sunnah Khulafaur Rasyidin”, sebagaimana dalam sabda beliau.

Di antara sunnah-sunnah Khulafaur Rasyidin yang dianggap bid’ah oleh penulis dalam Membedah Bid’ah dan Tradisi, adalah penghimpunan al-Qur’an di dalam Mushhaf pada zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dan adzan ketiga pada hari Jum’at di Pasar Madinah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.”

SUNNI: “Sebenarnya yang tidak mengerti perbedaan Sunnah dan Bid’ah itu Anda, sehingga tulisan Anda kacau balau, tidak jelas yang dituju, kecuali tujuan agar terbangun kesan bahwa ada Ustadz Wahabi seperti Anda yang telah membantah buku saya. Nah, berikut ini akan saya terangkan makna bid’ah, kemudian pandangan para ulama tentang Sunnah Khulafaur Rasyidin yang sebenarnya bid’ah hasanah.

Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، ۲/١٧۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
Definisi bid’ah di atas, sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَإِياَّكمُ ْوَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Dan awaslah kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Dalam hadits di atas, jelas sekali, bahwa bid’ah adalah setiap perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Berdasarkan hadits ini, definisi al-Imam Izzuddin di atas lebih kuat dan dipilih oleh para ulama daripada definisi al-Syathibi dalam al-I’tisham. Oleh karena itu, para ulama yang mengakui adanya bid’ah hasanah, menganggap penghimpunan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah yang wajib. Kaum Wahabi seperti penulis bantahan terhadap buku saya, enggan menyebutnya bid’ah, karena tidak tahu teks asli hadits al-Bukhari tentang penghimpunan al-Qur’an. Teks tersebut berbunyi begini:

جَاءَ سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه إِلَى سَيِّدِنَا أَبِيْ بَكْرٍ رضي الله عنه يَقُوْلُ لَهُ: يَا خَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللهِ  أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِي الْقُرَّاءِ فَلَوْ جَمَعْتَ الْقُرْآنَ فِي مُصْحَفٍ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ: كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ: إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إِلَى زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله عنه فَيَقُوْلاَنِ لَهُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: كَيْفَ تَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ : إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ فَلاَ يَزَالاَنِ بِهِ حَتَّى شَرَحَ  اللهُ صَدْرَهُ كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. رواه البخاري.
“Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu mendatangi Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Wahai Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal al-Qur’an, bagaimana kalau Anda menghimpun al-Qur’an dalam satu Mushhaf?” Khalifah menjawab: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam?” Umar berkata: “Demi Allah, ini baik”. Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam?” Keduanya menjawab: “Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam rencana ini”. (HR. al-Bukhari).
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa penghimpunan al-Qur’an belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti bid’ah. Kemudian, Abu Bakar, Umar dan Zaid  radhiyallahu ‘anhum sepakat menganggapnya baik, berarti hasanah. Lalu apa yang mereka lakukan, disepakati oleh seluruh para sahabat, berarti ijma’. Dengan demikian, bid’ah hasanah sebenarnya telah disepakati keberadaannya oleh para sahabat . Dalam hadits di atas, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak menyebut tindakan mereka sebagai Sunnah, dan justru menyebutnya, belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti bid’ah hasanah. Bukankah begitu?? Demikian pula, penambahan adzan menjelang shalat Jum’at, pada masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, termasuk bid’ah hasanah.

Perlu diketahui, bahwa si Wahabi penulis bantahan tersebut, tidak menyebut tentang Shalat Taraweh pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu, dalam bantahannya terhadap buku saya. Padahal dalam buku tersebut, saya memasukkan shalat taraweh sebagai salah satu bid’ah hasanah pada masa sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu. Mengapa demikian??? Jelas, si penulis Wahabi tersebut, kebingungan dengan pernyataan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu, yang menyebut shalat taraweh sebagai sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah), alias bid’ah paling hasanah. Karenanya ia memilih tidak membahasnya.

Dengan demikian, Sunnah Khulafaur Rasyidin di atas, bisa kita katakan sebagai bid’ah hasanah, berdasarkan hadits di atas (kullu muhdatsatin bid’ah). Atau bisa juga kita katakan sebagai sunnah hasanah. Bukankah dalam hadits Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عن جرير بن عبد الله -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «مَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِها بعْدَهُ كُتِب لَه مثْلُ أَجْر من عَمِلَ بِهَا وَلا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، ومَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وزر من عَمِلَ بِهَا ولا يَنْقُصُ من أَوْزَارهِمْ شَيْءٌ» رواه مسلم.
“Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan yang jelek dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).
Jadi, perkara-perkara baru pada masa sahabat bisa dikatakan bid’ah, karena termasuk muhdatsat, juga bisa dikatakan Sunnah, karena ada dasarnya. Dan tidak ada persoalan dalam perbedaan istilah, selama substansinya sama.

WAHABI: “Penulis menyatakan bolehnya tradisi-tradisi seperti mitoni, tingkepan (pelet kandung), dan yang lainnya dengan mengatakan (hal. 39):

Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama”. (Kemudian, Ustadz Arif, membahas maksud kaedah fiqih, al-‘adah muhakkamatun, sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum).

SUNNI: “Anda sepertinya kurang dapat memahami kutipan saya tentang tradisi dan adat istiadat dalam Islam. Dan Anda sebenarnya tidak perlu membahas kaedah fiqih yang berbunyi al-‘adah muhakkamatun (sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum), karena kami menganjurkan mengikuti tradisi selama tidak diharamkan oleh agama, tidak didasarkan pada kaedah tersebut. Kaedah tersebut tidak ada kaitannya dengan bahasan dalam buku kami.

Dalam buku kami, telah dijelaskan dasar kami, yaitu pernyataakn al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Perlu Anda ketahui, bahwa Ibnu Muflih, bermadzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Sauri Arabia, dan kitab al-Adab al-Syar’iyyah tersebut juga diterbitkan oleh lembaga resmi pemerintahan Saudi Arabia. Coba Anda perhatikan, dasar mengikuti tradisi masyarakat di atas, adalah hadits Shahih Bukhari dan Muslim, lalu kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, lalu sikap pribadi al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Dasarnya sangat terang dan kuat.

Harusnya, kalau Anda faham, kutipan dari Ibnu Muflih di atas Anda bahas dalam bantahan Anda, bukan dasar yang tidak kami tulis dalam buku. Agar bantahan Anda benar-benar ilmiah. Bukankah begitu??

WAHABI: “BERARGUMEN DENGAN HADITS LEMAH DAN PALSU. Penulis di dalam hlm. 29 membawakan hadits Walid bin Surai’ bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak shalat Sunnah sebelum dalm sesudah ‘Id.  Hadits ini dilemahkan oleh al-Imam al-Haitsami (Majma’ Zawaid 4/438)”

SUNNI: “Hadits Abi bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tersebut disebutkan oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam bab, shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Dalam bab tersebut al-Haitsami menyebutkan tujuh hadits. Sebagian shahih, dan sebagian tidak shahih. Antara yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Yang sanadnya dha’if, bisa menjadi hasan lighairihi. Bukankah begitu dalam ilmu hadits???

Anda juga harus faham, bahwa hadits Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, di atas, kami kutip dalam rangka mendalili bid’ah hasanah pada masa shahabat. Dalam Majma’ Zawaid, sebagian salaf melakukan shalat Sunnah sebelum dan sesudah shalat ‘Id, sebagian yang lain tidak. Bukankah itu bid’ah hasanah???”

WAHABI: “Penulis di dalam hlm 45 membawakan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan: “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La ilaha illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”

Hadits ini termasuk hadits yang palsu. Ibnu Adi menyatakan bahwa hadits ini termasuk kemungkaran Ibrahim bin Abi Humaid.”

SUNNI: “Maaf, Anda sepertinya kurang mengerti ilmu mushthalah hadits. Hadits munkar itu bukan hadits palsu. Bukankah begitu dalam ilmu hadits???

Oleh karena itu, hadits tersebut dijadikan dalil oleh al-Hafizh al-Zaila’i dalam kitabnya, Nashb al-Rayah li-Ahadits al-Hidayah, juz 2 hal. 292, dengan mengatakan bahwa: “Ibnu Adi menganggap hadits ini termasuk kemungkaran Ibrahim bin Abi Humaid, kemudian Ibnu Adi menyebutkan lagi hadits ini, dalam biografi Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar, dan mendha’ifkannya dengan kedha’ifan yang ringan.”

Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam kitabnya al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, juz 1 hal. 238, mengatakan, bahwa hadits ini hanya didha’ifkan saja oleh Ibnu Adi. (Tidak dinilai palsu, seperti keputusan Anda yang tidak mengerti ilmu hadits).”

Walhasil, hadits di atas, adalah hadits dha’if yang ringan, dan tidak sangat dha’if. Bukankah begitu??? Anda yang menilai palsu, terlalu gegabah.”

WAHABI: “Penulis di dalam hlm. 46 membawakan hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang saudara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya … (Hadits tentang pembacaan talqin setelah pemakaman).

Hadits ini adalah hadits yang lemah, dilemahkan oleh para ulama seperti al-Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 5/304, Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/145, dan al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ 4/216.”

SUNNI: “Hadits tentang pembacaan Talqin tersebut memang dha’if, akan tetapi para ulama fuqaha dari madzahib al-arba’ah mensunnahkan pembacaan Talqin. Mereka antara lain, al-Imam al-Nawawi (yang Anda kutip), dalam kitab al-Adzkar, beliau berkata:

وَأَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلىَ ذَلِكَ اْلقَاضِيْ حُسَيْنٌ وَالْمَقْدِسِيُّ وَالرَّافِعِيُّ.
“Adapun mentalqin mayit setelah dimakamkan, maka jamaah yang banyak dari ulama kami Syafi’iyah berpendapat kesunnahannya. Di antara yang menegaskan demikan adalah al-Qadhi Husain, al-Maqdisi dan al-Rafi’i.” (Hal. 123).
Bahkan Ibnu Qayyimil Jauziyyah, yang melemahkan hadits Talqin dalam kitabnya Zadul Ma’ad (seperti yang Anda kutip), juga mengakui kebenaran ajaran Talqin dan menganjurkannya dalam kitabnya, al-Ruh. Ibnul Qayyim berkata:

وَيَدُلُّ عَلىَ هَذَا أَيْضًا مَا جَرىَ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ قَدِيْمًا وَإِلىَ اْلآَن ، مِنْ تَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ فِيْ قَبْرِهِ وَلَوْلاَ أَنَّهُ يَسْمَعُ ذَلِكَ وَيَنْتَفِعُ بِهِ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَائِدَةٌ ، وَكَانَ عَبَثًا . وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ ، فَاسْتَحْسَنَهُ وَاحْتَجَّ عَلَيْهِ بِالْعَمَلِ .

وَيُرْوَى فِيْهِ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ : ذَكَرَ الطَّبَرَانِيُّ فِيْ مُعْجَمِهِ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ أُمَامَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم  إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَسَوَّيْتُمْ عَلَيْهِ التُّرَابَ ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلىَ رَأْسِ قَبْرِهِ ، فَيَقُوْلُ : يَا فُلاَن بن فلانة ” ، الحديث . وفيه : ” اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة ألا إله إلا الله ، وأن محمدا رسول الله ، وأنك رضيت بالله ربا ، وبالإسلام دينا ، وبمحمد نبيا ، وبالقرآن إماما ” ، الحديث . ثم قال ابن القيم : فَهَذَا الْحَدِيْثُ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ ، فَاتِّصَالُ الْعَمَلِ بِهِ فِيْ سَائِرِ اْلأَمْصَارِ وَالأَعْصَارِ مِنْ غَيْرِ إِنْكَارٍ كَافٍ فِي الْعَمَلِ بِهِ.
“Hal ini juga dituntukkan oleh pengamalam manusia, pada masa silam dan sampai sekarang, berupa talqin mayit di kuburannya. Seandainya ia tidak mendengar hal tersebut dan dapat mengambil manfaat dengannya, tentu talqin tersebut tidak ada faedahnya dan hanya main-main saja. Al-Imam Ahmad rahimahullah telah ditanya tentang talqin, lalu beliau menganggapnya baik dan beliau berhujjah dengan pengamalan (tradisi) masyarakat.

Telah diriwayatkan hadits dha’if tentang talqin. Al-Thabarani menyebutkan dalam Mu’jam nya dari hadits Abu Umamah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang saudara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya … (dan seterusnya).”

Hadits ini meskipun tidak shahih, maka kesinambungan pengamalan dengan hadits tersebut, dalam setiap negeri dan semua masa tanpa ada ulama yang mengingkari, cukup dalam mengamalkan dengan hadits tersebut.” (Ibnul Qayyim, al-Ruh hal. 14).
Dalam paparan di atas, Ibnu Qayyimil Jauziyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah, dan ulama panutan kaum Wahabi, ternyata menganjurkan talqin, sesuai dengan ijtihad al-Imam al-Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, yang menganjurkan talqin, dengan hujjah, bahwa masyarakat telah menjadikannya sebagai tradisi atau pengamalan. Dengan demikian, Ustadz Arif atau Wahabi yang lain, jika tidak mau dengan talqin, silahkan ikuti pendapat Anda. Dalam masalah ini, kami mengikuti umat Islam sejak masa silam yang mengamalkan talqin, dan dianggap baik oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam an-Nawawi, Ibnu Qayyimil Jauziyyah dan lain-lain rahimahumullah. Wallahu a’lam.

Bersambung….

Wassalam

Ustadz Muhammad Idrus Ramli

Friday, November 22, 2013

Kisah Anjing Membunuh Salibis Yang Menghina Nabi Muhammad SAW

kisah islami
قال الحافظ ابن حجر العسقلاني في كتابه الدرر الكامنة:
"كان النَصارَى يَنْشُرون دُعاتَهم بين قَبائل المغُول طَمَعًا في تَنصِيرهم، وقد مَهَّدَ لهم الطاغِية هُولاكُو سَبِيل الدَعْوَة بِسَبَبِ زَوْجَتِه الصَلِيبيّة ظفر خاتون، وذاتَ مَرّةٍ تَوَجَّه جماعةٌ مِن كِبار النَصارَى لِـحُضور حَفْلٍ مَغُولِيٍّ كَبِير عُقِدَ بِسَبَبِ تَنَصُّرِ أَحَدِ أُمَراءِ المَغُول، فأخَذَ واحِدٌ مِن دُعاةِ النَصارَى في شَتْمِ النَبِيّ صلى الله عليه وسلم، وكان هناك كَلْبُ صَيْدٍ مَرْبُوطٌ، فلَمّا بَدَأَ هذا الصَلِيبِيّ الحاقِدُ في سَبِّ النَبيّ صلى الله عليه وسلم زَمْجَرَ الكَلْبُ وهاجَ ثم وَثَبَ علَى الصَلِيبيّ وخَمَشَهُ بِشِدّة، فخَلَّصُوه منه بَعْد جَهْدٍ. فقال بعضُ الحاضِرِينَ: هذا بكَلامِك في حَقّ مُحمّد عليه الصلاة والسلام، فقال الصليبيّ: كلا، بل هذا الكَلبُ عَزِيز النَفْسِ رَآنِي أُشِيرُ بِيَدِي فَظَنَّ أَنِّي أُرِيدُ ضَرْبَه، ثُم عادَ لِسَبِّ النَبيّ وأَقْذَعَ فِي السَبّ، عِندَها قَطَعَ الكَلْبُ رِباطَه وَوَثَبَ علَى عُنُق الصَلِيبييّ وَقَلَعَ زَوْرَه في الحال فمَاتَالصَلِيبيّ مِن فَوْرِه، فعِندَها أَسْلَم نَحو أَربَعِين أَلْفاً مِن المَغُول".

berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani didalam kitabnya ad-Durarul kaminah'': dulu orang-orang Nashoro hendak menyebarkan da'wah mereka di antara qabila-qabila mongolia, dengan harapan agar mereka memeluk agama Nashoro, dan telah dipermudah bagi nashoro jalan da'wa mereka oleh raja mongol yang dholim yang bernama Hulaku karna istri sang raja dholim itu beragama nashoro wanita yang terhormat.

dan suatu ketika,jama'ah dari pembesar-pembesar nashoro menuju ke acara besar orang2 mongol yang dibuat karna salah seorang umaro mongol memeluk agama nasroni.

kemudian salah satu da'i nashoro mulai mencaci Nabi Muhammad shalallahu alaihi was sallam, dan di situ ada anjing pemburu yang terikat, dan ketika si salibis pendedam ini mulai mencaci Nabi saw. anjing yang terikat itu menggeram dan berontak kemudian meloncat ke sisalibis itu lalu anjing itu menerkamnya dengan kuat, kemudian dilepaskan anjing itu dari sisalibis setelah susah payah.

kemudian sebagian hadirin berkata:''ini sebab ucapanmu pada diri Muhammad alaihi sholatu wa salam.

sisalibis tersebut menjawab:''tidak sama sekali, tetapi anjing ini sangat pintar, dia melihat saya memberi isyarat dengan tangan saya dan dia menyangka bahwa saya akan memukulnya.

kemudian sisalibis itu mengulangi lagi dalam mencaci Nabi dan menggunakan bahasa yang sangat jelek dalam caciannya, ketika dia sedang mencaci, si anjing memutuskan ikatannya lalu meloncat ke leher salibis dan mencabut -dengan giginya- Rongga dada sisalibis seketika itu lalu matilah si salibis, dan didalam kejadian ini sekitar empat puluh ribu orang mongol memeluk agama islam

Sumber :
(الدرر الكامنة جزء 3 صفحة 202 ).
Kitab ad-Durarul kaminah - Ibnu hajar Al-Asqolani : juz 3 hlm 202

Membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailaniy Syirik ? - Menjawab Wahabi

menjawab wahabi
Sudah tak asing lagi kalimat syirik, musyrik bahkan kafir dengan mudahnya keluar dari lisan kaum yang masyhur dikenal dengan sebutan salafy wahabi. Entah sudah berapa banyak umat islam sejagat ini yang masuk dalam neraka versi wahabi. Jangankan yang awwam, bahkan setingkat Imam Bukhari pun masuk dalam kategori yang masuk kedalam neraka versi wahabi. Na'udzubillah tsumma na'udzubillah.

Memang seperti itulah akhlaq kaum wahabi, terbuai dengan surga yang seakan akan hanya milik golongannya semata. Merasa paling suci dimuka bumi ini hingga berani berani mengkafirkan umat islam diluar golongannya, tapi padahal merekalah yang sebenarnya sesat dan menyesatkan. Sebagai bukti semoga materi yang akan saya bahas berikut ini dapat menjadi pencerahan bagi kita semua.

Ada seorang sahabat yang mengatakan kepada saya bahwa menurut wahabi membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailaniy yang umum di masyarakat Indonesia yaitu manaqib Lubabul Ma’aniy adalah syirik, sebab dalam manaqib tersebut terdapat nadzoman yang berbunyi :

عباد الله رجال الله آغيثونا لاجل الله # وكونوا عوننا لله ……..الح

Nadzoman ini dianggap oleh sebagian kalangan sebagai bentuk dari meminta atau berdoa kepada selain Allah yang diancam oleh Allah dalam QS Al Fathir 13-14 yang artinya:
13. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. yang (berbuat) demikian Itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.

14. jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui.
Benarkah sangkaan tersebut?. tulisan ringan ini akan berusaha untuk menggali lebih jauh tentang hal itu.

Jika kita mau menelaah lebih jauh bahwa apa yang tertulis dalam manaqib Lubabul Ma’aniy adalah bagian dari Istighotsah kepada Allah melalui makhluknya Allah yang terkasih, jadi orang-orang yang baca manaqib dan melantunkan nadzom tersebut tetap berdoa dan meminta kepada Allah akan tetapi melalui perantara Hamba-hamba Allah yang ghaib. Dan jika paradigma berfikir kita tidak gemar untuk menjustifikasi orang lain dengan sebutan musyrik maka kita tentu akan dapat menemukan bahwa ternyata ulama salafpun melakukan hal ini.

Di dalam kitab Al Masail Imam Ahmad Bin Hanbal, riwayat dari putranya, Abdulloh Bin Ahmad pada masalah nomor 912 halaman 245 cetakan maktabah Al islami Beirut diterangkan

سمعت أبي يقول حججت خمس حجج منها ثنتين (راكبا) وثلاثة ماشيا او ثنتين ماشيا وثلاثة راكبا فضللت الطربق في حجة وكنت ماشبا فجعلت أقول يا عباد الله دلونا علي الطريق فلم أزل أقول ذلك حتي وقعت علي الطريق
"Aku mendengar ayahku (Ahmad Bin Hanbal) berkata, aku pergi haji lima kali, dua kali naik kendaraan dan tiga kali jalan kaki atau dua kali jalan kaki dan tiga kali naik kendaraan, dalam salah satu perjalanan haji aku tersesat sementara aku sedang jalan kaki, maka akupun berkata, Duhai Hamba Allah, tunjukkanlah aku jalan. Dan aku tidak berhenti mengucapkan hal itu sampai aku menemukan jalan."
Lihatlah wahai saudaraku, Imam Ahmad seorang Imam Besar dan panutan ahlus sunnah pun meminta tolong kepada Allah dengan perantara makhluk. Jika orang yang beristighotsah kepada Allah melalui makhluknya disebut musyrik maka Imam Ahmad pun takkan lepas dari tuduhan tersebut, Na’udzubillah min dzalik. Dan mustahil seorang Imam tauhid kenamaan seperti Imam Ahmad melakukan perbuatan syirik.

Sebenarnya dengan satu dalil di atas saja sudah cukup untuk membuka kesadaran kaum wahabi bahwa beristighotsah sebagaimana termaktub dalam manaqib Syaikh Abdul Qodir bukanlah suatu kesyirikan. Akan tetapi bagi sebagian orang wahabi mungkin akan berkata, "Ya Akhiy…….Imam Ahmad bukan Nabi dan tidak ada satu orang pun yang boleh di I’timad ucapannya seratus persen selain Nabi, sebab Imam Ahmad tidak Makshum duhai Akhiy…"

MasyaAllah, Baiklah… berikut ini saya coba paparkan sebuah hadits dari Nabi saw dalam Musnad Bazaar (2/178 Maktabah Syamilah ) yang berbunyi :

حَدَّثنا موسى بن إسحاق ، قال : حَدَّثنا منجاب بن الحارث ، قال : حَدَّثنا حاتم بن إسماعيل عن أسامة بن زيد عن أَبَان بن صالح عن مجاهدعن ابن عباس ، رَضِي الله عنهما ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن لله ملائكة في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما سقط من ورق الشجر فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد : أعينوا عباد الله.
"Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda sesungguhnya Allah memiliki malaikat di Bumi ini selain malaikat hafadzoh yang mencatat daun-daunan yang rontok, maka tatkala salah satu dari kalian tersesat di gurun, maka panggillah…..tolonglah aku duhai hamba-hamba Allah. (HR. Bazaar)"
Lihat, ternyata Nabi juga mengajarkan kepada kita agar meminta tolong kepada makhluknya. Jika ini syirik kenapa Nabi malah mengajarkannya? Kenapa nabi tidak menyuruh kita agar langsung saja memohon petunjuk pada Allah?. Dengan demikian berarti meminta tolong kepada Allah melalui perantara makhluknya adalah disyariatkan.

Mungkin sebagian orang wahabi lagi berkata, "shahih ngga tuh hadits tersebut akhiiyy…? Atau jangan-jangan malah hadits palsu yang antum bawakan?."

MasyaAllah, Okelah kalau begitu, disini akan saya bawakan komentar para hafidz mu’tamad tentang hadits tersebut. Al hafidz Ibnu Hajjar dalam Syarah Ibnu ‘Alan (5/151) mengatakan hadza haditsun hasanul isnad (ini hadits sanadnya hasan). Al hafidz Al haitsami dalam Majma’ zawaid (4/401) mengatakan rijaaluhu tsiqoot (rijalnya semua tsiqqoh). Dan bahkan Syaikh Al Albani juga mengakui bahwa sanadnya hasan dalam Adhdhoifah 2/223, hanya saja beliau lebih cenderung mengatakan bahwa hadits ini adalah mauquf pada Ibnu Abbas, dengan mengambil keterangan dalam asysyu’ab karya Imam Baihaqi. Bagi penulis yang bodoh ini, bagaimana mungkin seorang syaikh sekaliber al albani dengan begitu saja mencampakkan riwayat Bazaar dan Thabrani yang meriwayatkan hadits ini secara marfu’ dan mengambil riwayat baihaqiy yang mauquf tanpa alas an yang jelas?. Padahal para huffadz diantaranya Bazaar dalam Musnadnya, Thabraniy dalam Mu’jamnya, Al haitsami dalam majma’nya serta Ibnu Hajjar dalam Syarah Ibnu ‘alan dengan jelas menukil hadits ini secara marfu’?.

Lebih aneh lagi, saat al-albani mengatakan bahwa hadits mauquf ini tidak bisa dihukumi marfu’ sebab terdapat kemungkinan bahwa Ibnu Abbas mendengarkan riwayat ini dari Ahlul kitab. Lalu apakah kemungkinan tersebut masuk akal, sahabat mulia seperti Ibnu Abbas mengambil riwayat syirik dari ahli kitab lalu menyebarkannya kepada seluruh ummat bahkan seorang Imam Besar semisal Imam Ahmad pun turut menerima dan mengamalkannya?. Sungguh sebuah ihtimal yang aneh.

Oleh sebab itulah karena hadits Riwayat Bazaar tersebut hasan dan marfu, maka meminta tolong kepada Allah melalui perantara makhluknya adalah boleh bukan sebuah kesyirikan. Dan membaca ibaadallah rijaalallah dalam manaqib pun halal dan boleh.

Selamat membaca manaqib yah…….. ^_^

Wallahu a’lam.

Wassalam

Aliy Faizal

Tuesday, November 19, 2013

Mengeraskan Bacaan Basmalah Dalam Shalat Jahriyah

fiqih
Adapun membaca surat al-Fatihah termasuk rukun dan kewajiban shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Di antara bacaan yang terdapat dalam surah al-Fatihah adalah bacaan basmalah. Berkaitan dengan bacaan basmalah ini, ada tiga pendapat di kalangan ulama.

Pertama, membaca basmalah dihukumi wajib setiap membaca surah al-Fatihah dalam setiap raka’at. Bagi imam dalam shalat jahriyyah disunnahkan membacanya dengan keras. Demikian pendapat Imam al-Syafi’i dan kaum salaf. Kedua, membaca basmalah hukumnya sunnah ketika membaca surah al-Fatihah, dan sunnah dibaca secara pelan (sirran) dalam setiap shalat. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiga, membaca basmalah tidak diwajibkan dan tidak disunnahkan dalam shalat maktubah (fardhu). Tetapi boleh membacanya dalam shalat sunnah. Demikian pendapat Imam Malik.

Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat Imam al-Syafi’i lebih kuat dan lebih berhati-hati, karena hadits-hadits shahih yang sangat banyak mendukungnya. Antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأْتُمْ الْحَمْدُ للهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيْمِ اِنَّهَا اُمُّ الْقُرآَنِ وَاُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْع الْمَثَانِيْ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اِحْدَى آَيَاتِهَا. (رواه الدارقطني والبيهقي بإسناد صحيح).
“Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama bersabda: “Apabila kamu membaca surat al-Hamdu lillah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena sesungguhnya ia adalah induk al-Qur’an, induk al-Kitab dan tujuh ayat yang diulang-ulang. Sedangkan Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayatnya.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daraquthni (I/312) dan al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra, II/45), dengan sanad yang shahih, baik secara mauquf maupun secara marfu’. Hadits tersebut juga dishahihkan oleh Syaikh al-Albani –ulama Wahabi kontemporer-, dalam beberapa kitabnya, antara lain dalam Shahihul Jami’ish Shaghir wa Ziyadatihi (I/261). Hadits di atas menjadi dalil wajibnya membaca basmalah dalam shalat, dan anjuran membacanya dengan keras dalam shalat jahriyah bagi imam.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ ثُمَّ قَالَ وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِيْ قَالَ هِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ اْلآَيَةُ السَّابِعَةُ. (رواه الطبراني بإسناد حسن كما قاله الحافظ ابن حجر في الفتح).
“Ibnu Abbas membaca surat al-Fatihah, kemudian berkata: “Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang”. Ibnu Abbas berkata: “Maksud tujuh ayat adalah Surat al-Fatihah. Sedangkan Bismillahirrahmanirrahim adalah ayat ketujuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabarani dengan sanad yang hasan, sebagaimana telah dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, VIII/382). Hadits tersebut menunjukkan wajibnya membasa basmalah dalam setiap shalat, karena bagian dari surat al-Fatihah yang wajib dibaca.

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ يَمُدُّ بِبِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ. (رواه البخاري)
“Qatadah berkata: “Anas ditanya tentang bagaimaca cara Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membaca al-Qur’an?” Ia menjawab: “Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membacanya dengan panjang”. Lalu Anas membaca bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan bismillah, memanjangkan arrahman dan memanjangkan arrahim.” (HR. al-Bukhari [5046]).
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الصَّلاَةِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَعَدَّهَا آَيَةً.
“Dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama membaca dalam shalat, bismillahirrahmanirrahim, dan menghitungnya sebagai satu ayat (dari al-Fatihah).”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (IV/37), ad-Daraquthni (I/307), al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/231), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (II/44) dan lain-lain dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut juga dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani (ulama Wahabi) dalam kitabnya Irwa’ul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil (II/59-60). Hadits tersebut menjadi dalil wajibnya membaca basmalah dalam shalat.

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فِي الصَّلاَةِ. (رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَرِجَالُهُ مُوْثَقُوْنَ)
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallama mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim dalam shalatnya.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan para perawinya dapat dipercaya sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Haitsami (Majma’uz Zawaid, II/109).

عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقَالَ آمِينَ فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ … قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه النسائي، وصححه ابن خزيمة وابن حبان والبيهقي).
“Nu’aim al-Mujmir berkata: “Aku shalat di belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca bismillahirrahmanirrahim, kemudian membaca Ummul Qur’an, sehingga setelah sampai pada ghairil maghdhubi ‘alaihim walad-dhallin, maka ia berkata, amin. Lalu orang-orang juga berkata, amin… Lalu Abu Hurairah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menyerupai kamu shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh an-Nasa’i (II/134), dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (I/251), Ibnu Hibban (V/100), ad-Daraquthni (I/309), al-Hakim (al-Mustadrak, I/232) dan al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra II/58). Hadits tersebut juga dishahihkan oleh al-Imam an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, II/267). Dalam hadits tersebut, sahabat Abu Hurairah mengeraskan bacaan basmalah, sehingga didengar oleh jamaah di belakangnya, dan beliau berkata bahwa shalat beliau persis dengan shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat.

Apabila hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat, lalu bagaimana dengan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya yang menyatakan sebaliknya? Hadits tersebut teksnya begini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) لاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِى أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِى آخِرِهَا.
“Anas bin Malik berkata: “Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu’alaihi wasallama, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan dan di akhirnya”. (HR. Muslim [918]).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama, Abu Bakar, Umar dan Utsman memulai shalatnya dengan bacaan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, tanpa membaca basmalah di awal dan di akhirnya. Menanggapi hadits tersebut, para ulama memberikan beberapa jawaban yang cukup ilmiah.

Pertama, redaksi “Mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan dan di akhirnya”, bukan pernyataan sahabat Anas bin Malik, akan tetapi pernyataan sebagian perawi yang memahaminya dari redaksi sebelumnya. Padahal maksud perkataan sahabat Anas, “Mereka memulai dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin”, memulai dengan surat alhamdulillahi rabbil ‘alamin, salah satu nama dari surat al-Fatihah, bukan tidak membaca basmalah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits Abu Hurairah yang perawinya dapat dipercaya (Majma’uz Zawaid, II/109).

Kedua, hadits Muslim tersebut juga bertentangan dengan hadits al-Bukhari sebelumnya yang menyebutkan bahwa Nabi SAW membaca basmalah dengan dipanjangkan.

Ketiga, para ulama yang menulis kitab mushthalahul hadits, menjadikan hadits Anas bin Malik tersebut sebagai contoh hadits yang mengandung illat (mu’all), yang kapasitasnya lemah untuk dijadikan hujjah. (Lihat, az-Zarkasyi, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibnis-Shalah II/212; Ibnu Hajar al-‘Asqalani, an-Nukat ‘ala Kitab Ibnis-Shalah hal. 749; as-Sakhawi, Fathul Mughits, I/209; as-Suyuthi, Tadribur Rawi, 298 dan lain-lain).

Keempat, persoalan apakah Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membaca basmalah atau tidak di dalam shalat, adalah persoalan yang tidak ada dalam hafalan sahabat Anas. Imam Ahmad meriwayatkan:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَبِيْ مَسْلَمَةَ قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسًا أَكَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ  أَوِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَقَالَ اِنَّكَ لَتَسْأَلُنِيْ عَنْ شَيْءٍ مَا أَحْفَظُهُ أَوْ مَا سَأَلَنِيْ أَحَدٌ قَبْلَكَ.
 “Sa’id bin Zaid Abi Maslamah berkata: “Aku bertanya kepada Anas, apakah Nabi Shallallahu’alaihi wasallama membaca bismillahirrahmanirrahim atau alhamdulillahi rabbil ‘alamin?” Lalu ia berkata: “Sungguh kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu yang aku tidak menghafalnya, atau sesuatu yang belum pernah soleh seseorang kepadaku”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad (al-Musnad, [12723]) dan dishahihkan oleh ad-Daraquthni.

Kelima, hadits di atas bertentangan dengan hadits lain yang menyatakan bahwa Khalifah yang empat, lebih-lebih Khalifah Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhum, mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat. (Lihat, al-Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal-Atsar, II/372-378).

Keenam, hadits di atas juga bertentangan dengan tradisi penduduk Madinah, yang mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Syafi’i dan lain-lain. (Lihat, Ibnu Abdil Barr, al-Inshaf, hal. 192; al-Ghumari, at-Thuruqul Mufashshalah, hal. 47).

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat jahriyah, lebih kuat dari sisi dalil, daripada pendapat yang membacanya pelan atau tidak membacanya sama sekali. Wallahu a’lam.

Monday, November 18, 2013

Ustadz Idrus Ramli Membela Habib Mundzir dan Guru Ijai dari Fitnah Firanda

fakta wahabi
Sejak beberapa waktu yang lalu, alfaqir diminta beberapa teman Ahlussunnah Wal-Jama’ah untuk menanggapi tulisan seorang Ustadz Salafi-Wahabi, Firanda Andirja, yang berjudul “Ternyata Ada Sahabat Nabi dari Indonesia !!! (Fenomena Guru Ijai Al-Banjari dan Habib Munzir).” Setelah saya membaca tulisan tersebut di webnya, ternyata Firanda – hadaahullah -, tidak menulisnya secara ilmiah dan sepertinya kurang mehamami terhadp pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari yang dikutipnya, dan ia memahaminya dengan terbawa keinginan pribadinya. Berikut jawaban terhadap tulisan tersebut dalam format dialog:

WAHABI: “Definisi sahabat –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar al-’Asqolaani (seorang ulama besar madzhab Syafi’i) adalah : Orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan beriman kepadanya pula. Karenanya barang siapa yang –setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih bisa bertemu dengan Nabi dalam keadaan terjaga (tidak tidur) maka ia adalah termasuk jajaran para sahabat.”

SUNNI: “Dalam pernyataan di atas, Ustadz Firanda mengutip pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar, lalu menyambungnya dengan komentarnya sendiri. Di sini, Firanda melakukan beberapa tindakan yang tidak ilmiah sebagai berikut.

Pertama) al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Ishabah:

الفصل الأول في تعريف الصحابي وأصح ما وقفت عليه من ذلك (أن) الصحابي من لقي النَّبيّ صَلى الله عَلَيه وسَلم مؤمنا به، ومات على الإسلام
“Fasal pertama, tentang definisi sahabat. Definisi yang paling shahih yang aku temukan, sesungguhnya sahabat adalah orang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya, dan mati dalam keadaan Islam”. (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, juz 1 hal. 16).
Dalam redaksi di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar mendefinisikan sahabat dengan kalimat laqiya, yang artinya bertemu. Sementara fenomena yang dikaji oleh Firanda di atas, adalah tentang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga. Ada perbedaan antara laqiya (bertemu) dengan ro’aa (melihat).

Kedua) al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Shahih:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من رآني في المنام فسيراني في اليقظة
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka akan melihatku dalam keadaan terjaga.”
Hadits di atas sengaja tidak dikaji terlebih dahulu oleh Firanda, karena dalam redaksinya jelas ada kalimat, “akan melihatku dalam keadaan terjaga”, dan hal ini akan membuka penipuan Firanda dalam kalimat yang disambungnya terhadap definisi al-Hafizh Ibnu Hajar di atas, yaitu menggiring pembaca agar membahas persoalan bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketiga) Firanda melanjutkan definisi sahabat di atas dengan berkata: “Karenanya barang siapa yang –setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih bisa bertemu dengan Nabi dalam keadaan terjaga (tidak tidur) maka ia adalah termasuk jajaran para sahabat”.

Perkataan di atas, jelas murni dari Firanda, dengan mengubah kosa kata melihat dalam fenomena yang dikaji menjadi bertemu. Sungguh ini merupakan upaya mengelabui pembaca yang awam agar tergiring kepada kutipan Firanda selanjutnya. Seandainya Firanda bermaksud baik dengan tulisannya tersebut, tentu dia akan membahas definisi sahabat secara jami’ (komprehensif) dan mani’ (protektif), sebagaimana yang ditulis oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah. Akan tetapi Firanda tidak melakukannya, sepertinya karena ada kepentingan tersembunyi dalam hatinya.

WAHABI: “Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau berkata :


ونُقِلَ عن جماعة من الصالحين أنهم رأوا النبي صلى الله عليه وسلم في المنام ثم رأوه بعد ذلك في اليقظة وسألوه عن أشياء كانوا منها متخوفين فأرشدهم إلى طريق تفريجها فجاء الأمر كذلك قلت وهذا مشكل جدا ولو حمل على ظاهره لكان هؤلاء صحابة ولأمكن بقاء الصحبة إلى يوم القيامة ويعكر عليه أن جمعا جما رأوه في المنام ثم لم يذكر واحد منهم أنه رآه في اليقظة وخبر الصادق لا يتخلف ”
Dinukilan dari sekelompok orang-orang sholeh bahwasanya mereka telah melihat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam mimpi lalu merekapun melihatnya setelah itu dalam kondisi terjaga. Lalu mereka bertanya kepada Nabi tentang perkara-perkara yang mereka khawatirkan, maka Nabipun memberi arahan kepada solusi, lalu datanglah solusi tersebut. Aku (Ibnu Hajar) berkata : Ini merupakan perkara yang sangat menimbulkan permasalahan. Kalau nukilan ini dibawakan kepada makna dzohirnya maka para orang-orang sholeh tersebut tentunya adalah para sahabat Nabi, dan akhirnya kemungkinan menjadi sahabat Nabi akan terus terbuka hingga hari kiamat. Dan yang merusak makna dzohir ini bahwasanya ada banyak orang yang telah melihat Nabi dalam mimpi lalu tidak seorangpun dari mereka menyebutkan bahwa ia telah melihat Nabi dalam kondisi terjaga. Dan pengkhabaran orang jujur tidak akan berbeda” (Fathul Baari 12/385).
Karenanya orang-orang yang mengaku bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi terjaga (tidak tidur) maka mereka adalah para sahabat. Mereka adalah para sahabat “BARU”, yang belum sempat tertulis dalam buku-buku para ulama yang menjelaskan tentang nama-nama dan biografi para sahabat. Ternyata diantara para sahabat “baru” tersebut ada yang berasal dari tanah air Indonesia, yaitu (1) Guru Ijai dari kota Banjarmasin dan (2) Habib Munzir dari Pancoran Jakarta.”

SUNNI: “Firanda kurang bisa memahami pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar di atas. Sepertinya bahasa arabnya masih kurang bagus. Mengapa demikian?

Pertama, al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan bahwa ada informasi dari beberapa orang shaleh, bahwasanya mereka telah melihat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam mimpi lalu merekapun melihatnya setelah itu dalam kondisi terjaga.

Kedua, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وهذا مشكل جدا ولو حمل على ظاهره لكان هؤلاء صحابة ولأمكن بقاء الصحبة إلى يوم القيامة
“Aku (Ibnu Hajar) berkata : Ini merupakan perkara yang sangat menimbulkan permasalahan. Kalau nukilan ini dibawakan kepada makna dzohirnya maka para orang-orang sholeh tersebut tentunya adalah para sahabat Nabi, dan akhirnya kemungkinan menjadi sahabat Nabi akan terus terbuka hingga hari kiamat”.
Dalam kutipan di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan kemusykilannya terhadap kisah-kisah nukilan tersebut. Kemudian beliau berandai-andai dengan berkata: “Kalau seandainya ini dibawakan kepada makna dzohirnya maka para orang-orang sholeh tersebut tentunya adalah para sahabat Nabi, dan akhirnya kemungkinan menjadi sahabat Nabi akan terus terbuka hingga hari kiamat”. Artinya, dalam andai-andai beliau, seandainya kisah-kisah penglihatan orang-orang shaleh tersebut, dibawakan kepada makna zhahir, niscaya mereka akan menjadi sahabat. Permasalahannya, al-Hafizh Ibnu Hajar tidak mungkin mengartikan melihat tersebut secara zhahir. Karena beliau termasuk pengikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang ahli ta’wil. Dan ta’wilan beliau tidak dikutip oleh Firanda dalam artikelnya. Berikut ini ta’wilan al-Hafizh Ibnu Hajar yang tidak dikutip oleh Firanda dalam Fathul Bari:

وقد تفطن بن أبي جمرة لهذا فأحال بما قال على كرامات الأولياء فان يكن كذلك تعين العدول عن العموم في كل راء ثم ذكر أنه عام في أهل التوفيق وأما غيرهم فعلى الاحتمال فان خرق العادة قد يقع للزنديق بطريق الإملاء والإغواء كما يقع للصديق بطريق الكرامة والاكرام وانما تحصل التفرقة بينهما باتباع الكتاب والسنة انتهى
Ibnu Abi Jamrah sangat cerdas menyikapi kemusykian tersebut. Ia mengalihkan pendapatnya pada karomah para wali. Apabila memang demikian, haruslah beralih dari keumuman dalam setiap orang yang melihat (dalam mimpi). Kemudian Ibnu Abi Jamrah menyebutkan bahwa melihat dalam keadaan terjaga bersifat umum bagi orang yang memperoleh taufiq. Sedangkan selain ahli taufiq, maka kemungkinan saja. Karena sesungguhnya, menyalahi kebiasaan itu kadang terjadi bagi orang zindiq dengan tujuan membiarkan dan menyesatkan. Sebagaiman terjadi bagi orang Shiddiq dengan jalan karomah dan memuliakan. Keduanya hanya dapat dibedakan dengan mengikuti al-Kitab dan Sunnah.”
Dalam pernyataan di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibnu Abi Jamrah dan tidak menolaknya. Menurut Ibnu Abi Jamrah, maksud melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga, memang benar-benar melihat dalam konteks karomah yang terjadi pada para wali. Hanya saja al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari, karomah seperti ini (melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga), harusnya tidak terjadi pada setiap orang yang bermimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi Ibnu Abi Jamrah berpendapat, melihat dalam keadaan terjaga, dapat berlaku secara umum kepada para Shiddiq dan ahli taufiq.

Oleh karena itu, pernyataan Firanda selanjutnya yang berbunyi: “Karenanya orang-orang yang mengaku bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi terjaga (tidak tidur) maka mereka adalah para sahabat”, adalah tidak pada tempatnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar bertolak belakang dengan pendapat Anda. Hadaakallaah ya akhi.

Selanjutnya Firanda menulis beberapa pernyataan dan beralih dari tema di atas, yaitu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga.

WAHABI: “Pengingkaran Ulama Syafi’iyah Terhadap Khurofat Ini Para ulama madzhab Syafi’iyyah telah mengingkari khurofat bertemu Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dalam kondisi terjaga setelah wafatnya Nabi.”

SUNNI: “Anda mengalihkan persoalan dari melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menjadi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Anda juga mengaitkan persoalan ini dengan ulama Syafi’iyah. Saya beritahu Anda agar faham, masalah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan persoalan ilmu fiqih, akan tetapi terkait dengan ilmu tashawuf yang lintas madzhab dalam madzahibul-arba’ah. Karenanya, klaim Anda yang berupa pengingkaran Syafi’iyyah terhadap fenomena ini, sangat tidak ilmiah. Di sisi lain, Anda juga hanya mengutip sebagian Syafi’iyyah saja, dan tidak semuanya.”

WAHABI: “Diantara mereka adalah : Pertama : Al-Hafiz Ibnu Hajar al-’Asqolani rahimahullah, beliau telah menukil perkataan Abu Bakr bin al-’Arobi sbb : وَشَذَّ بَعْضُ الصَّالِحِيْنَ فَزَعَمَ أَنَّهَا تَقَعُ بِعَيْنِي الرَّأَسِ حَقِيْقَةً “Dan telah aneh sebagian orang-orang sholeh, mereka menyangka bahwa mimpi ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam akan menjadi kenyataan (di alam nyata)” (Fathul Baari 12/384) Ibnu Hajar juga berkata : وَقَدِ اشْتَدَّ إِنْكَارُ الْقُرْطُبِي عَلَى مَنْ قَالَ مَنْ رَآهُ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَأَى حَقِيْقَتَهُ ثُمَّ يَرَاهَا كَذَلِكَ فِي الْيَقْظَةِ “Sungguh Al-Qurthubi telah mengingkari dengan keras terhadap orang yang berkata bahwasanya barang siapa yang melihat Nabi dalam mimpi maka sungguh telah melihatnya hakikat Nabi, kemudian dia melihatnya juga dalam keadaan terjaga” (Fathul Baari 12/385)”

SUNNI: “Anda melakukan tindakan yang tidak terpuji dengan kutipan di atas, dan mengutip hanya sepotong-sepotong saja. Seandainya kutipan di atas Anda kutip secara sempurna, maka akan terbongkar kebohongan Anda wahai akhi Firanda – hadaakallaah. Coba akan saya kutip secara sempurna, agar Anda tahu maksud al-Hafizh Ibnu Hajar di atas:

قال القاضي أبو بكر بن العربي رؤية النبي صلى الله عليه و سلم بصفته المعلومة إدراك على الحقيقة ورؤيته على غير صفته إدراك للمثال فان الصواب أن الأنبياء لا تغيرهم الأرض ويكون إدراك الذات الكريمة حقيقة وإدراك الصفات إدراك المثل قال وشذ بعض القدرية فقال الرؤيا لا حقيقة لها أصلا وشذ بعض الصالحين فزعم أنها تقع بعيني الرأس حقيقة
“Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul-Arabiy berkata: “Melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam mimpi) dengan cirri-cirinya yang telah dimaklumi, adalah menangkapnya secara hakiki. Melihatnya tidak sesuai dengan ciri-cirinya, adalah menangkap gambarannya. Karena yang benar, jasad para nabi tidak dapat dirubah oleh bumi. Dan melihat dzat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, adalah hakiki. Sedangkan melihat sifat-sifatnya adalah menangkap gambarannya. Ibnul-Arabiy berkata: “Sebagian kaum Qadariyah telah aneh dan berkata, bahwa mimpi tidak ada hakikatnya sama sekali. Sebagian orang-orang shaleh telah aneh lalu berasumsi bahwa mimpi adalah melihat dengan kedua mata kepala secara hakiki.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul-Bari, juz 12, hal. 489).
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip dari Ibnul-‘Arabiy, yang mengutip asumsi aneh sebagian orang shaleh bahwa mimpi adalah melihat dengan kedua mata kepala secara hakiki. Pernyataan tersebut bukan berkaitan dengan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara terjaga, akan tetapi melihat dalam mimpi, yang diasumsikan melihat dengan mata telanjang, padahal orang bermimpi itu tidur, dan matanya merem.

Sedangkan kutipan Firanda dari al-Hafizh Ibnu Hajar, yang mengutip dari pengingkaran al-Qurthubi di atas, juga tidak dapat diklaim sebagai pendapat murni Syafi’iyyah. Al-Qurthubi bermadzhab Maliki. Dan itupun oleh pandangan al-Qurthubi masih diralat dengan kutipan dari al-Imam Ibnu Abi Jamrah, sebagaimana kami paparkan di atas. Hanya saja, Firanda tidak mengutipnya.

WAHABI: “Kedua : Adz-Dzahabi rahimahullah menyatakan bahwa orang yang mengaku telah mendengar suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga sebagai Dajjaal dan Pendusta, lantas bagaimana jika orang tersebut mengaku melihat dan bertemu ruh Nabi atau jasad Nabi?? Adz-Dzahabi rahimahullah berkata : الربيع بن محمود المارديني، دجال مفتر، ادعى الصحبة والتعمير في سنة تسع وتسعين وخمسمائة. “Ar-Robii’ bin Muhammad Al-Mardini : Dajjaal pendusta, ia mengaku sebagai seorang sahabat dan dipanjangkan umurnya pada tahun 599 Hijriyah” (Mizaanul I’tidaal 2/42)”.

SUNNI: “Saya pikir, Anda tidak mengerti maksud pernyataan al-Hafizh al-Dzahabi. Dalam kutipan di atas, Ar-Rabi’ bin Mahmud al-Mardini dikatakan Dajjal pendusta, karena mengaku sebagai seorang sahabat dan dipanjangkan umurnya, bukan karena mengaku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga.”

WAHABI: “Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Ar-Robii’ bin Mahmuud Al-Maardini. Ia termasuk syaikh-syaikh kaum sufiyah, dan ia mengaku sebagai seorang sahabat. Demikianlah yang disebutkan oleh Adz-Dzhabi dalam kita Mizaanul I’tidaal. Dan dikatakan ia adalah Dajjal (pendusta) yang pada tahun 599 H, ia mengaku sebagai seorang sahabat dan berumur panjang… Aku (Ibnu Hajar) berkata : Yang nampak bagiku dari ceritanya adalah yang dimaksud dengan “sahabat” yang diakui olehnya adalah kabar yang datang tentang dirinya bahwasanya ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mimpi tatkala ia di kota Madinah yang mulia. Maka Nabi berkata kepadanya, “Engkau telah beruntung di dunia dan di akhirat”. Lalu Ia (Ar-Robii’ bin Mahmud) setelah terjaga dari tidurnya mengaku bahwa ia mendengar Nabi mengatakan demikian.(Al-Isoobah 2/223, biografi no 2745)”.

SUNNI: “Dalam kutipan di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar secara tersirat membela al-Mardini yang dituduh mengaku sebagai shahabat. Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mardini dituduh mengaku sebagai sahabat, karena mengaku pernah mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga, tatkala beliau ada di kota Madinah. Bukan karena mengaku sebagai shahabat atau hidup pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertemu beliau. Persoalannya apakah pengakuan seseorang bahwa ia pernah mendengar ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari dalam makamnya, harus kita tolak? Tentu tidak bisa kita tolak secara mutlak, apabila hal tersebut terjadi pada orang-orang Shaleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah sebagai berikut ini:

ولا يدخل في هذا الباب: ما يروى من أن قوما سمعوا رد السلام من قبر النبي صلى الله عليه وسلم، أو قبور غيره من الصالحين. وأن سعيد بن المسيب كان يسمع الأذان من القبر ليالي الحرة  . ونحو ذلك. فهذا كله حق ليس مما نحن فيه، والأمر أجل من ذلك وأعظم.

وكذلك أيضا ما يروى: ” أن رجلا جاء إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فشكا إليه الجدب عام الرمادة فرآه وهو يأمره أن يأتي عمر، فيأمره أن يخرج يستسقي بالناس ” فإن هذا ليس من هذا الباب. ومثل هذا يقع كثيرا لمن هو دون النبي صلى الله عليه وسلم، وأعرف من هذا وقائع. وكذلك سؤال بعضهم للنبي صلى الله عليه وسلم، أو لغيره من أمته حاجة فتقضى له، فإن هذا قد وقع كثيرا، وليس هو مما نحن فيه. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم، 2/255).
“Tidak termasuk dalam bab ini, apa yang diriwayatkan bahwa suatu kaum mendengar jawaban salah dari makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau makam orang-orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bahwa Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam-malam peperangan Harrah, dan sesamanya. Ini semuanya adalah BENAR, bukan bahasan kami. Persoalannya lebih serius dan lebih besar dari hal tersebut. Demikian pula apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mengadukan kegersangan pada tahun ramadah, lalu ia bermimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyuruhnya mendatangi Khalifah Umar agar melakukan istisqa’ bersama masyaraka. Ini bukan termasuk bagian bab ini. Hal seperti ini banyak terjadi pada orang di bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mengetahui banyak kejadian seperti ini. Demikian pula permintahan sebagian mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau selainnya dari umatnya akan suatu hajat, lalu hajat itu dikabulkan. Hal seperti ini banyak terjadi dan bukan bahasan kami.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz 2 hal. 255).
Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, membenarkan fenomena orang-orang yang mendengar suara dari makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bahkan dari makam orang-orang shaleh selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

WAHABI: “Ketiga : Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah. Dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah –pada biografi Abul Fath At-Thuusy (Ahmad bin Muhammad bin Muhammad)- Ibnu Katsir berkata


: ثُمَّ أَوْرَدَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ أَشْيَاءَ مُنْكَرَةً مِنْ كَلَامِهِ فاللَّه أَعْلَمُ، مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ كَانَ كُلَّمَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَقَظَةِ فَسَأَلَهُ عَنْ ذلك فدله على الصواب “
Kemudian Ibnul Jauzi menyebutkan perkara-perkara yang mungkar dari perkataan Abul Fath At-Thusy –Allahu A’lam- diantaranya bahwasanya setiap kali Abul Fath mengalami kesulitan tentang sesuatu maka iapun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga, lalu ia bertanya kepada Rasulullah tentang perkara yang menyulitkan tadi, lalu Nabi menunjukkan kebenaran kepadanya” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 12/196).
Sangat jelas bahwasanya bertemunya seseorang -dalam keadaan terjaga- dengan Nabi merupakan perkara yang mungkar menurut Ibnul Jauzi, dan hal ini diakui oleh Ibnu Katsir.”

SUNNI: “Pernyataan Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Katsir di atas bersifat kasuistik, terkait dengan Abul-Fath al-Thusi, dan tidak bisa digeneralisasikan kepada semua kasus. Mengapa demikian? Karena Ibnul-Jauzi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, membicarakan Abul-Fath al-Thusi yang pembicaraannya banyak menyebarkan hadits palsu dan ngalor ngidul. Silahkan Anda baca sebelumnya akhi Firanda – hadaakallaah. Sementara dalam kasus lain, Ibnul-Jauzi justru tidak menolak pengakuan seseorang yang mengaku diberi sesuatu oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beristighatsah dengan beliau. Ibnul-Jauzi berkata:

وكان هبة الله بن عبد الوارث يحكي عن والدته فاطمة بنت علي قالت سمعت أبا عبد الله محمد بن أحمد المعروف بإبن أبي زرعة الطبري قال سافرت مع أبي إلى مكة فأصابتنا فاقة شديدة فدخلنا مدينة الرسول صلى الله عليه و سلم وبتنا طاويين وكنت دون البالغ فكنت أجيء إلى أبي وأقول أنا جائع فأتى بي أبي إلى الحضرة وقال يا رسول الله أنا ضيفك الليلة وجلس فلما كان بعد ساعة رفع رأسه وجعل يبكي ساعة ويضحك ساعة فقال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فوضع في يدي دراهم ففتح يده فإذا فيها دراهم وبارك الله فيها إلى أن رجعنا إلى شيراز وكنا ننفق منها توفي هبة الله في هذه السنة بمرو. (الحافظ ابن الجوزي، المنتظم، 16/314).
“Hibatullah bin Abdul Warits bercerita tentang ibunya, Fathimah binti Ali, yang berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Abi Zur’ah al-Thabari berkata: “Aku bepergian bersama ayahku ke Mekkah. Lalu kami dilanda kefakiran yang sangat. Lalu kami memasuki Madinah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kami bermalam dalam keadaan tidak makan, sedang usiaku masih belum baligh. Lalu aku mendatangi ayahku dan aku berkata: “Aku lapar”. Lalu ayahku membawaku ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tamu paduka pada mala mini. Dan ayahku duduk. Setelah sesaat, ayahku mengangkat kepalanya, sesaat menangis dan sesaat tertawa. Lalu ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu menaruh beberapa dirham di tanganku”. Lalu ayah membuka tangannya, ternyata ada beberapa dirham di dalamnya. Allah memberkahinya bagi kami sampai kami pulang ke Syiraz. Kami berbelanja dari uang tersebut. Hibatullah wafat pada tahun ini di Marwa.” (Ibnul-Jauzi, al-Muntazham, juz 16, hal. 314, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut).
Dalam riwayat di atas, ada kasus seseorang yang datang ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beristighatsah dan duduk sesaat. Kemudian ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan uang beberapa dirham ke dalam tangannya, setelah dibuka, ternyata uang tersebut benar-benar ada. Al-Hafizh Ibnul-Jauzi tidak mengingkari istighatsah, karena beliau Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan Ibnu Taimiyah masih belum lahir, yang kelak akan menjadi orang pertama melarang istighatsah. Ibnu-Jauzi juga tidak mengingkasi kasus serah terima uang tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

WAHABI: “Keempat : As-Sakhoowi rahimahullah Al-Qostholaani berkata :


 وأما رؤيته- صلى الله عليه وسلم- فى اليقظة  بعد موته- صلى الله عليه وسلم- فقال شيخنا: لم يصل إلينا ذلك عن أحد من الصحابة، ولا عن من بعدهم. وقد اشتد حزن فاطمة عليه- صلى الله عليه وسلم- حتى ماتت كمدا بعده بستة أشهر- على الصحيح- وبيتها مجاور لضريحه الشريف، ولم ينقل عنها رؤيته فى المدة التى تأخرت عنه “
Adapun melihat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dalam keadaan terjaga (tidak tidur) setelah wafatnya Nabi, maka guru kami (As-Sakhoowi rahimahullah) berkata : “Tidaklah sampai kepada kami hal tersebut (melihat Nabi dalam keadaan terjaga) dari seorangpun dari kalangan para sahabat Nabi, dan juga dari kalangan setelah para sahabat. Dan sungguh telah berat kesedihan Fathimah atas wafatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sampai-sampai Fathimah -setelah enam bulan menurut pendapat yang shahih- akhirnya meninggal karena kesedihan yang amat parah. Padahal rumahnya berdekatan dengan kuburan Nabi yang mulia, akan tetapi tidak dinukilkan dari Fathimah bahwa beliau melihat Nabi di masa –enam bulan tersebut-” (Al-Mawaahib Al-Laduniyah bi Al-Minah Al-Muhammadiyah 2/371).
SUNNI: “Tulisan di atas tidak menyatakan bahwa melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga sebagai hal yang tidak mungkin. Tulisan di atas hanya menjelaskan bahwa tidak ada riwayat kasus melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga pada masa-masa sahabat. Itu saja.”

WAHABI: “Demikianlah perkataan para ulama madzhab Syafi’iyyah dan pengingkaran mereka terhadap orang yang mengaku melihat Nabi dalam keadaan terjaga (tidak tidur)”.

SUNNI: “Tolong Anda telaah lagi kutipan-kutipan di atas. Anda baca pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar secara tuntas, jangan sepotong-sepotong. Insya Allah, Anda tidak akan ekstrem dalam tulisan Anda. Anda pahami juga, hal-hal yang bersifat kasuistik dan jangan digeneralisasikan. Atau kalau Anda mau, silahkan Anda baca al-Hawi lil-Fatawi juz 2 hal. 255, yang memaparkan tentang mungkinnya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga. Penulisnya, al-Hafizh al-Suyuthi, lebih diakui daripada as-Sakhawi, oleh para ulama dalam bidang fiqih Syafi’i. Semua pandangan yang menentangnya, beliau jawab di sana, termasuk isykal yang diajukan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di atas.”

WAHABI: “Jika perkaranya demikian maka para sahabat tidak hanya terhenti pada zaman Nabi shallahu ‘alaihi wasallam tapi akan bisa berlanjut hingga hari kiamat. Karenanya buku yang ditulis oleh Ibnu Hajar rahimahullah dengan judul (الإِصَابَةُ فِي مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ) yang menjelaskan tentang nama-nama sahabat adalah buku yang penuh dengan kekurangan.”

SUNNI: “Maaf, ini hanya kelaziman menurut Anda saja. Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak menegaskan bahwa kelaziman ini beliau jadikan madzhab. Beliau bukan ahli zhahir, akan tetapi ahli ta’wil.”

WAHABI: “Mereka yang menyatakan bisa bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kondisi terjaga, telah berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 مَنْ رآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقْظَةِ “
Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga” (HR Al-Bukhari no 6993 dan Muslim no 2266)
Sisi pendalilan adalah sabda Nabi “Ia akan melihatku dalam kondisi terjaga”. Bantahan terhadap pendalilan ini adalah: Pertama : Hadits ini tidaklah sebagaimana yang mereka pahami. Para ulama telah menjelaskan maksud dan makna hadits ini. Diantaranya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :

“…سيراني في اليقظة ففيه أقوال أحدها المراد به أهل عصره ومعناه أن من رآه في النوم ولم يكن هاجر يوفقه الله تعالى للهجرة ورؤيته صلى الله عليه وسلم في اليقظة عيانا والثاني معناه أنه يرى تصديق تلك الرؤيا في اليقظة في الدار الآخرة لأنه يراه في الآخرة جميع أمته من رآه في الدنيا ومن لم يره والثالث يراه في الآخرة رؤية خاصته في القرب منه وحصول شفاعته” “…
(Dia akan melihatku dalam keadaan terjaga), maka ada beberapa pendapat. Pertama : Maksudnya adalah orang-orang yang tinggal semasa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan maknanya adalah : Barang siapa yang melihatnya di dalam tidur dan belum berhijroh, maka Allah akan memberikan taufiq kepadanya untuk berhijroh dan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi terjaga . Kedua : Maknanya adalah ia melihat kebenaran mimpi tersebut dalam kondisi terjaga di akhirat, karena semua umat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan melihat Nabi di akhirat, baik yang pernah melihatnya di dunia ataupaun yang tidak melihatnya di dunia Ketiga : Ia akan melihat Nabi di akhirat dengan penglihatan yang khusus yaitu dekat dengan Nabi dan akan memperoleh syafa’atnya” (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 15/26).
SUNNI: “Imam Nawawi tidak mengutip semua pendapat tentang maksud hadits tersebut. Para ulama lain, masih banyak yang berpendapat bolehnya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan terjaga, seperti al-Imam al-Ghazali dalam al-Munqidz mina al-Dhalal, Ibnul-‘Arabiy dalam Qanun al-Ta’wil, Ibnu Abi Jamrah dalam Bahjatun-Nufus, Ibnul-Haj al-‘Abdari al-Maliki dalam al-Madkhal, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi. Di sisi lain, Imam Nawawi tidak menafikan pendapat lain yang tidak dikutipnya. Karena itu, beliau mengakhiri komentarnya dengan berkata, “wallahu a’lam”. Tetapi Anda sepertinya kurang faham ya akhi Firanda – hadaakallaah.”

Wallahu a’lam.

Wassalam

Ustadz Muhammad Idrus Ramli
 
Top