Wednesday, July 31, 2013

Wasiat Habib Zain bin Sumaith Tentang Bulan Ramadhan

habib zain bin sumaith
Wasiat tentang Ramadhan dari Al Habib Zain bin Smith semoga beliau di jaga allah dari segala keburukan

Aku wasiatkan untuk menjaga 3 hal yang :

1) Menjaga puasa kalian seperti kalian menjaga harta berharga kalian dan maksud daripada menjaga puasa menjaganya dari apa-apa yg membatalkannya dan membatalkan pahalanya, dan apa-apa yg membatalkan puasa sudah jelas kita semua mengetahuinya yaitu makan minum dan lain sebagainya,dan sesuatu yg membatalkan pahalanya seperti berbohong menggunjing orang lain dan semua yg di benci oleh allah, maka itu tidak membatalkan puasa tapi iitu membatalkan pahalanya maka rasa capek berpuasa menjadi sia-sia seperti yg di sebutkan dalam hadist "berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan darinya kecuali rasa lapar dan haus dan berapa banyak yang bangun malam tiddk mendapatkan apa-apa kecuali capek dan begadang

Maka sudah seharusnya orang yang berpuasa tidak memusuhi orang lain atau berdebat atau mengucapkan kata-kata kotor akan tetapi menyibukkan waktu-waktunya untuk mendekatkan diri kepada allah karna amalan-amalan di bulan ramadhan di lipat gandakan, dan wajib atas seseorang juga untuk menghilangkan penghalang-penghalang yang menghalangi datang nya rahmat seperti durhaka kepada orang tua dan dendam kepada orang lain dan memutus silaturrahmi maka siapa yang ada padanya sifat-sifat ini akan berlalu malam-malam ramadhan dan malam lailatul qodar sedang kan dia termasuk yang di haramkan dari kebaikan-kebaikan dan barokah ,pemberian yg di turunkan di bulan ramadan

2) Beliau mewasiatkan kita untuk selalu qiyam di dalam bulan ramadhan, dalam hal ini arti qiyam itu sendiri kita di wasiatkan untuk selalu menjaga sholat tarawih kita dari malam pertama sampai malam terakhir di bulan ramadhan ini jangan sampai ada yang bolong, beserta menjaga untuk selalu sholat berjamaah khususnya sholat isya' dan shubuh, karena barang siapa menjaga hal itu maka dia telah mendapatkan nasibnya dari mlm lailatul qodar...

3) Hendaknya kalian menyambut akan pemberian-pemberian Allah, dikarenakan arak-arakan (anugerah) Allah digelar pada bulan Ramadhan setiap malam dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar, sedangkan pada selain bulan Ramadhan digelar mulai waktu sahar (sebelum terbit fajar) saja.

Tiap orang itu hendaknya menyambut akan anugerah-anugerah dan pemberian-pemberian Allah, sedangkan menyambut akan pemberian-pemberian Allah tersebut dapat dilakukan dengan 3 hal:

1. Dengan selalu berusaha dan bersungguh-sungguh dalam (menggapai) ridho Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa, Allah SWT berfirman: ((Dan barangsiapa yang berjihad (berusaha dengan sungguh-sungguh) maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri)).

{Hendaknya engkau berusaha dengan sungguh-sungguh maka niscaya engkau akan melihat (hasilnya), dan ambillah kesempatan untuk mendapatkan janji (Allah) berupa petunjuk, yaitu petunjuk yang telah disebutkan dalam ayat pada surat Al Ankabut}.

Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dalam beramal pada bulan Romadhon melebihi pada selain bulan Ramadhan, beliau lebih bersegera dalam kebaikan melebihi (kecepatan) angin yang berhembus.

2. Dan menyambut akan pemberian Allah dapat dilakukan dengan selalu istiqomah dalam pembacaan wirid-wirid dan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi SAW dan para salaf shaleh, terlebih-lebih dzikir ini yang dianjurkan agar selalu dibaca, (yaitu):

{ أشهد أن لا إله إلا الله نستغفر الله نسألك الجنة ونعوذ بك من النار }،

Hendaknya tiap orang itu memperbanyak dzikir tersebut, karena Rasulullah SAW bersabda: ((Hendaknya kalian memperbanyak empat hal dalam bulan (Romadhon) ini..)), bukan cuma dibaca sebelum Maghrib saja, namun dibaca 50 kali atau 100 kali atau lebih pada hari-hari bulan Romadhon. Dibaca baik ketika berjalan maupun ketika duduk maupun ketika berkendara.

Kaum perempuan juga membacanya sambil memasak maupun sambil menyapu maupun sambil menyusui anaknya.

Sedangkan kaum lelaki membacanya baik ketika beraktivitas maupun ketika bekerja.

Jadi hendaknya seseorang itu selalu istiqomah dalam membaca dzikir-dzikir yang ma'tsur (datang dari Nabi SAW atau pasa salaf shaleh) dan menghadiri majlis-majlis, terlebih-lebih majlis ilmu, karena telah diriwayatkan: ((Barangsiapa yang menghadiri majlis ilmu pada bulan Ramadhan, maka Allah akan menuliskan pahala setahun baginya pada setiap langkahnya)).

Oleh karena itu, para salaf shaleh mengadakan acara-acara Rouhah pada waktu Ashar bulan Romadhon, Al Habib Muhammad bin Ahmad bin Ahmad Al Muhdhor berkata: "Meninggalkan Rouhah adalah merupakan dahaga (???)"

Maka seseorang itu hendaknya berlomba-lomba dan bersegera, Allah SWT berfirman: ((Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba)) dan ((Untuk semisal inilah hendaknya beramallah orang-orang yang mampu beramal)).

3. Begitu juga menyambut akan pemberian-pemberian Allah dapat dilakukan dengan selalu berusaha untuk menghilangkan segala penghalang yang dapat menghalangi didapatkannya dan diturunkannya rahmat, ini adalah hal yang paling penting dan paling besar ketimbang apa-apa yang telah disebutkan sebelumnya, (penghalang-penghalang tersebut yaitu): durhaka (terhadap orang tua), memutuskan tali silaturrahim, membenci (saudara semuslim) dan yang lainnya.

Sehingga (apabila hal ini telah dilaksanakan) maka Romadhon akan berlalu sedangkan dia dalam keadaan yang terbaik.

Al Imam Asy Sya'roni ra berkata: "Dahulu ketika bulan Romadhon telah lewat, maka mereka menjadi ahli kasyaf dikarenakan mereka mendapatkan sir (rahasia Ilahi), nur (cahaya Ilahi) dan keberkahan.

Sedangkan kita, bulan Romdhon keluar masuk namun kita tidak bertambah sesuatupun dan inilah paling besarnya musibah.

Ini adalah 3 hal yang aku wasiatkan kepada kalian agar selalu dilaksanakan, (yaitu): melaksanakan puasa, qiyam Romadhon dan menyambut pemberian-pemberian Allah SWT.

Kami memohon kepada Allah agar memperbesar bagian kami dan bagian kali dari bulan Romadhon ini, serta dari kebaikan-kebaikan dan keberkahan-keberkahannya, juga dari apa-apa yang Allah telah curahkan kepada para orang-orang yang berpuasa dan menjalankan qiyam Romadhon dengan sempurna, juga semoga Allah memberi bagian kepada kami dan kalian dengan sebesar-besarnya bagian dari hal tersebut, dan semoga Allah menuntun kami dan kalian pada sebaik-baiknya jalan serta mengembalikan lagi bulan ini kepada kami dan kalian dalam sebaik-baiknya keadaan pada tahun-tahun berikutnya, dan semoga Allah menjadikan bulan ini sebagai saksi kebaikan kita bukan saksi keburukan kita dan bukti kebaikan kita bukan bukti keburukan kita, serta menjadikan kita termasuk dari orang-orang yang dibebaskan dan diselamatkan dari api neraka, dan semoga Allah memberi kekuatan kepada kita dalam melaksanakan puasa dan qiyam Romadhon dalam keadaan yang sempurna dan hati yang tenang. Aamiin Allahumma Aamiin

Wa ila hadhrotin Nabi....Al Fatihah,,

Al Habib Zain bin Sumaith

Tuesday, July 30, 2013

Kisah Jasad Nabi Muhammad SAW Yang Hendak Dicuri

kisah rasul
Peristiwa yang memilukan dan nyaris menampar wajah umat islam terjadi pada tahun 1164 M atau 557 H. Jasad Nabi Muhammad SAW pernah terusik dan nyaris dicuri oleh orang kafir laknatullah. Akhirnya Allah Ta'ala menyelamatkannya dari rencana jahat yang mengancam sang nabi tercinta.

Usaha-usaha mengambil jasad nabi dari makamnya untuk dipindah ke tempat lain sudah berkali-kali dilakukan orang, diantaranya adalah yang terjadi pada tahun 557 H (1163 M). Dikisahkan dalam kitab Fusul min Tarikhil Madinah, sebagaimana telah dicatat oleh sejarawan Ali Hafidz.

Pada tahun itu Sultan Nuruddin Mahmud Zinki yang menguasai Mesir dan Syiria terkenal sebagai raja yang saleh dan memperhatikan Islam. Pada suatu malam ketika ia tidur di istananya di Damaskus, ia mimpi bertemu Nabi Muhammad saw, sedang menudingkan tangannya ke arah dua orang berwajah Eropa, seraya berkata, “Wahai Mahmud, tolonglah aku dari dua orang ini!”.

Kemudian ia bangun dan tertegun kaget, lalu berwudhu dan shalat dua rakaat, dan tidur lagi. Ketika sudah tertidur ia melihat seperti yang ia lihat tadi, kemudian terbangun ambil air wudhu, shalat dan tidur lagi dan yang untuk ketiga kalinya, ia bermimpi seperti yang ia lihat pada yang pertama.

Tanpa menunggu pagi, saat itu juga ia panggil menterinya yang saleh dan taat beragama bernama, Jamaluddin al-Musilly. Setelah sultan cerita semua yang ia alami tadi, maka al-Musilly dengan hati-hati berkata: “Ini pasti terjadi sesuatu yang negatif di Madinah, sekarang juga kita harus ke sana dan harus kita rahasiakan dahulu peristiwa yang Sultan alami tadi”.

Malam itu juga Sultan segera mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan dari damaskus ke madinah yang memakan waktu 16 hari, dengan mengendarai kuda bersama 20 pengawal serta banyak sekali harta yang diangkut oleh puluhan kuda.

Sesampainya di Madinah, sultan langsung menuju Masjid Nabawi untuk melakukan sholat di Raudhah dan berziarah ke makam Nabi SAW. Sultan bertafakur dan termenung dalam waktu yang cukup lama di depan makam Nabi SAW, bingung tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Berkatalah menteri kepada Sultan: “Dapatkah tuan sultan memastikan dua orang itu kalau sekarang tuan sultan melihatnya?”. “Ya, pasti”, jawab Sultan.

Maka menteri langsung berdiri dan mengumumkan agar semua penduduk Madinah datang ke Masjid, karena sultan akan membagikan hadiah dan sedekah, jangan sampai ada yang ketinggalan. Kemudian satu-persatu penduduk Madinah datang dan dicatat di depan Sultan. Sampai pada orang yang terakhir, Sultan tidak melihat orang yang terlihat dalam mimpi.

Lantas sultan bertanya: “Masih adakah yang lain?”. Penduduk Madinah kemudian menjawab: “Memang masih ada, yaitu dua orang jamaah haji dari Maroko yang mukim disini, mereka saleh dan kaya, sering membagi sedekah dan selalu shalat berjamaah di Masjid Nabawi, mereka merasa sudah cukup tidak perlu ambil sedekah atau hadiah." “Datangkan mereka kesini sekarang juga…..!”, perintah Sultan.

Terkejutlah Sultan ketika melihat dua orang itu persis dengan yang ia lihat dalam mimpi, lalu ia bertanya, “Dari mana asal kalian berdua?”… “Kami berdua dari Maroko, kami berdua beribadah haji dan ingin bermukim dekat makam Nabi satu tahun”, jawab mereka. “Apakah keterangan kalian dapat saya percayai…?”, desak Sultan agar mereka mengaku yang sebenarnya. Tetaplah mereka bersikeras pada keterangannya dan tidak mengakui apa yang mereka kerjakan sebenarnya.

Maka Sultan datang ke rumah yang mereka sewa (rumah dekat makam Nabi dari arah kiblat) dan sesampainya di rumah itu yang di temuinya adalah tumpukan harta, sejumlah buku dalam rak dan dua buah mushaf al-Qur’an.

Lalu sultan berkeliling ke kamar sebelah. Saat itu Allah memberikan ilham, sultan Mahmud tiba-tiba berinisiatif membuka tikar yang menghampar di lantai kamar tersebut. Masya Allah, Subhanallah…. ternyata ada lubang gua.. Semua yang melihat jadi terkejut dan Sultan memerintahkan salah satu pengikutnya untuk masuk….. dan alangkah terkejutnya….. ternyata lubang itu menuju arah bawah Masjid Nabi dan sudah menembus tembok masjid, hampir sampai tembok makam Nabi. Seketika itu juga, sultan segera menghampiri kedua lelaki berambut pirang tersebut dan menghantamnya dengan sangat keras “Pluaak..Pluook”.. keduanya pun jatuh tersungkur. Setelah bukti ditemukan, mereka mengaku diutus oleh raja Nasrani di Eropa misinya untuk mencuri jasad Nabi SAW.

Pengakuan mereka adalah;

1- Mereka adalah dua orang Kristen dari Spanyol, datang ke Madinah menyamar sebagai jamaah haji dari Maroko.

2- Maksud kedatangannya adalah melaksanakan tugas suci dari Liga Kristen Internasional untuk mengambil jasad Nabi Muhammad saw dan dibawa ke Eropa.

3- Dengan menggali terowongan dan membuang tanah galian ke Baqi’ setiap malam, mereka optimis berhasil mengambil jasad nabi Muhammad Saw.

4- Semua biaya ditanggung oleh liga tersebut.

Pada pagi harinya, setelah mengakui semua perbuatannya mereka dihukum pancung di sebelah Timur makam Nabi saw disaksikan semua penduduk Madinah.

Karena peristiwa tersebut Sultan memerintah memperkuat bangunan makam dengan menggali sekelilingnya sedalam 15 meter kemudian dicor atau dibeton dengan timah. Setelah pembangunan selesai, sultan Mahmud dan rombongan pulang ke negeri Syam untuk kembali memimpin kerajaannya.

Wallahu a’lam bishshawab.

Perkiraan Lailatul Qadar

ramadhan

Pertama:
Dalam kitab I’anatuth thaalibiin juz II halaman 257, cetakan al ‘Alawiyyah Semarang:

قال الغزالي وغيره إنها تعلم فيه باليوم الأول من الشهر،
فإن كان أوله يوم الأحد أو يوم الأربعاء: فهي ليلة تسع وعشرين.
أو يوم الاثنين: فهي ليلة إحدى وعشرين.
أو يوم الثلاثاء أو الجمعة: فهي ليلة سبع وعشرين.
أو الخميس: فهي ليلة خمس وعشرين.
أو يوم السبت: فهي ليلة ثلاث وعشرين.
Jika awal Ramadhan hari Ahad atau Rabu maka lailatul qodar malam 29
Jika awal Ramadhan hari Senin maka lailatul qodar malam 21
Jika awal Ramadhan hari Selasa atau Jumat maka lailatul qodar malam 27
Jika awal Ramadhan hari Kamis maka lailatul qodar malam 25
Jika awal Ramadhan hari Sabtu maka lailatul qodar malam 23
Kedua:
Dalam kitab Hasyiyah ash Shaawi ‘alal Jalaalain juz IV halaman 337, cetakan Daar Ihya al Kutub a ‘Arabiyyah:

فعن أبي الحسن الشاذلي إن كان أوله الأحد فليلة تسع وعشرين ، أو الإثنين فإحدي وعشري أو الثلاثاء فسبع وعشرين أو الأربعاء فتسعة عشر أو الخميس فخمس وعشرين أو الجمعة فسبعة عشر أوالسبت فثلاث وعشرين
Jika awal Ramadhan hari Ahad maka lailatul qodar malam 29
Jika awal Ramadhan hari Senin maka lailatul qodar malam 21
Jika awal Ramadhan hari Selasa maka lailatul qodar malam 27
Jika awal Ramadhan hari Rabu maka lailatul qodar malam 19
Jika awal Ramadhan hari Kamis maka lailatul qodar malam 25
Jika awal Ramadhan hari Jumat maka lailatul qadar malam 17
Jika awal Ramadhan hari Sabtu maka lailatul qadar malam 23
Ketiga:
Dalam kitab Hasyiyah al Bajuri ‘ala Ibni Qaasim al Ghaazi juz I halaman 304 , cetakan Syirkah al Ma’arif Bandung:

وذكرو لذلك ضابطا وقد نظمه بعضهم بقوله
: وإنا جميعا إن نصم يوم جمعة ¤ ففي تاسع العشرين خذ ليلة القدر .
وإن كان يوم السبت أول صومنا ¤ فحادي وعشرين اعتمده بلا عذر
. وإن هل يوم الصوم في أحد ففي ¤ سابع العشرين ما رمت فاستقر
. وإن هل بالأثنين فاعلم بأنه ¤ يوافيك نيل الوصل في تاسع العشري
. ويوم الثلاثا إن بدا الشهر فاعتمد ¤ علي خامس العشرين تحظي بها فادر .
وفي الإربعا إن هل يا من يرومها ¤ فدونك فاطلب وصلها سابع العشري .
ويوم الخميس إن بدا الشهر فاجتهد ¤ توافيك بعد العشر
في ليلة الوتر .
Jika awal Ramadhan hari Jumat maka lailatul qodar malam 29
Jika awal Ramadhan hari Sabtu maka lailatul qodar malam 21
Jika awal Ramadhan hari Ahad maka lailatul qodar malam 27
Jika awal Ramadhan hari Senin maka lailatul qodar malam 29
Jika awal Ramadhan hari Selasa maka lailatul qodar malam 25
Jika awal Ramadhan hari Rabu maka lailatul qadar malam 27
Jika awal Ramadhan hari Kamis maka malam ganjil setelah malam 20
Wallahu a’lam bishshawab.

Saturday, July 27, 2013

Sayyiduna Umar RA Menghilangkan Tradisi Persembahan Gadis untuk Sungai Nil

kisah islami
Salah satu fungsi negara (daulah) dalam Islam adalah untuk menjaga agama (al-muhafazhah ala ad-din). Pada zaman Khulafaur Rasyidin hal ini menjadi perhatian yang sangat serius. Negara benar-benar menjadi perisai, pelindung umat dari ajaran-ajaran yang menyesatkan.

Salah satu contoh penjagaan akidah umat adalah kisah yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Khalifah Umar telah mendorong rakyat untuk menganut akidah Islam yang benar dan murni, memerangi syubhat-syubhat yang didakwahkan para pelaku penyimpangan dan membantah tipuan-tipuan para musuh Islam yang menyiarkan ajaran-ajaran menyimpang dan aneka ragam khurafat.

Salah satu buktinya diceritakan Doktor Muhammad Ash-Shalabi dalam salah satu kitabnya, Syakhsiyatu Umar wa Aruhu. Peristiwa ini terjadi di Mesir saat wilayah itu dipimpin oleh gubernur (wali) Amr bin Al-‘Ash.

Amr bin Al-Ash’ pernah melayangkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar. Dalam surat tersebut, Amr menginformasikan kepada Umar mengenai tradisi penduduk Mesir yang biasa melemparkan seorang gadis ke sungai Nil setiap tahun sebagai tumbal. Hal itu dilakukan karena sungai Nil tidak megeluarkan air setetes pun.

Penduduk Mesir mengatakan kepada Amr bin Al-‘Ash, “Wahai gubernur Amr, sungai Nil kami ini memiliki sebuah tradisi dan ia tidak akan mengalirkan air kecuali dengannya.” “Apa tradisi itu”, tanya Amr. Mereka kemudian menjawab, “Bila dua belas malam berlalu dari bulan ini, maka kami akan mengambil seorang gadis perawan dari kedua orang tuanya. Kami berusaha membujuk kedua orang tuanya agar mereka mau menyerahkan gadis mereka kepada kami. Gadis itu akan kami lengkapi dengan perhiasan dan pakaian yang paling bagus. Kemudian kami melemparkan gadis itu ke sungai Nil ini.

Kemudian Amr mengatakan kepada mereka, “Tradisi semacam ini tidak diperkenankan dalam agama Islam. Islam telah melenyapkan tradisi-tradisi ini sebelum Islam”, kata Amr. Artinya, sesuai ajaran Islam, Amr telah melarang tradisi syirik itu.

Para penduduk Mesir tetap berdiam di tepi sungai Nil, dan ternyata sungai Nil memang benar-benar tidak mengalirkan air setetes pun sampai mereka bubar.

Atas kejadian ini Amr bin Al-‘Ash kemudian melayangkan sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab untuk melaporkan hal tersebut. Lalu Umar membalas surat Amr. Dalam suratnya, Umar mengatakan kepada Amr, “Apa yang telah Anda lakukan sudah benar. Aku telah kirimkan kepada Anda sebuah kartu yang kuselipkan ke dalam suratku. Lemparkanlah kartu itu ke sungai Nil!”. Setelah surat Umar itu sampai, Amr mengambil kartu tersebut.

Apa yang dituliskan Umar dalam kartu tersebut?. Ternyata Umar menulis, “Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, ditujukan kepada sungai Nil, penduduk Mesir. Amma ba’du. Bila engkau, wahai Sunggai Nil, mengalir atas dasar kemauan dan kehendakmu, maka janganlah engkau mengalir. Kami tidak membutuhkanmu. Bila engkau mengalir dengan perintah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa dan Dia-lah yang membuatmu mengalirkan air, maka kami memohon kepada Allah agar Dia mengalirkanmu”.

Amr lalu melemparkan kartu itu ke sungai Nil. Saat itu, bertepatan dengan hari Sabtu. Atas izin Allah Swt, saat itu juga air mengalir di sungai Nil. Allah Swt telah mengalirkan sungai Nil sepanjang 16 ela (1 ela = 45 inci) setiap malam. Melalui peristiwa ini Allah Swt telah melenyapkan tradisi buruk ini dari penduduk Mesir hingga saat ini.

Dalam kartu tersbut, Umar telah menjelaskan makna-makna tauhid, bahwa sungai Nil hanya mengalir karena kehendak dan kekuasaan Allah Swt. Umar telah menyingkap kepada penduduk Mesir tentang kepalsuan akidah mereka yang rusak, yang telah tertanam dalam benak mereka. Dengan tindakan Umar yang bijaksana ini, beliau telah berhasil melenyapkan keyakinan khurafat dari penduduk Mesir. Kisah ini sekaligus menunjukkan adanya kemuliaan (karamah) yang dianugerahkan Allah Swt kepada Umar yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya.

Inilah teladan dari Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin. Penguasa-penguasa kamu muslimin saat ini hendaknya meniru Umar dengan menjaga akidah umat dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang dan menyesatkan. Tradisi-tradisi syirik yang berlaku di masyarakat mestinya segera dilenyapkan dan diganti dengan pemahaman yang lurus, bukan malah dilestarikan dan dijadikan lahan pariwisata.

Insya Allah jika penguasa sekarang bersikap dan bertindak seperti Umar, niscaya negeri ini menjadi negeri yang berkah dan makmur, negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Bukan negeri yang selalu dirundung bala’, musibah dan bencana. Wallahu a’lam bishshawab.

Muslimah Sejati Bergaul Secara Syar'i

Bergaul dan memiliki banyak teman adalah fitrah setiap manusia, tak terkecuali bagi para muslimah. Allah SWT pun menyampaikan hal ini dalam firman-Nya,
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu  dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”  (QS. Al Hujurat:13)
Pergaulan dalam Islam

Dalam Islam, adab bergaul sangat diperhatikan. Betapa pentingnya adab dalam begaul, hingga Allah SWT mengutus Rasulullah saw untuk memberikan teladan dalam bergaul dengan sesama manusia.

Dari Aisyah ra. ketika ditanya akhlaq Nabi saw, beliau menjawab, “Akhlaq beliau (Nabi saw) adalah Al Qur’an.” Kemudian Aisyah ra. membacakan ayat yang artinya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam:4)

Rasulullah Saw bersabda,
“Bertaqwalah kalian kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya, dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Hubungan yang terjadi antara seseorang dengan seorang yang lain tidak hanya berdasarkan nasab, tapi juga berdasarkan ikatan lain. Akan tetapi, di antara banyak ragam ikatan dalam hubungan antar manusia, yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah ikatan berdasarkan aqidah. Kekuatan ikatan aqidah melebihi ikatan yang terjalin berdasarkan hubungan darah.

Allah SWT berfirman,
“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfak-kan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal:63)
Hubungan yang terjadi atas kesatuan aqidah merupakan karunia terbaik dari Allah SWT yang harus senantiasa dijaga. Dengan ikatan ini, interaksi yang terjalin karena alasan lainnya dapat dihilangkan. Tidak ada lagi fanatisme kesukuan atau golongan yang merendahkan orang lain di luar kelompoknya. Hubungan ‘untung-rugi’ dengan latar belakang ekonomi tak lagi diperhitungkan. Permusuhan dan kebencian karena perbedaan dapat dimusnahkan lalu berganti dengan keikhlasan karena Allah SWT. Bukankah ini adalah nikmat yang luar biasa.

Bergaul yang Membawa ke Surga

Niat yang Lurus

Niat kita dalam bergaul pun mutlak harus diperhatikan. Karena jelas, hal itu akan menentukan berjalannya sebuah pertemanan antara seseorang dengan orang lain.

Berkenaan dengan niat, Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari-Muslim)
Merujuk pada hadits di atas, dalam berteman hendaknya kita berniat semata-mata karena Allah. Yaitu, menjadikan kawan sebagai penolong dalam urusan dunia maupun akhirat. Dan tentu saja juga sebagai pendukung dalam menaati hukum-hukum Allah agar selamat di dunia dan di akhirat.

Dengan niat yang lurus ini, semoga Allah membimbing kita pada sahabat yang senantiasa membawa kebaikan dunia dan akhirat.

Pilih-pilih Teman

Pilih-pilih teman biasanya diidentikan dengan kesombongan. Maunya berteman dengan si anu, dan tidak mau dekat-dekat dengan si anu.

Benar, jika dalam urusan pilih-pilih teman ini kita sandarkan pada urusan dunia yang sifatnya materialistis. Misalnya, apakah kita berteman dengan seseorang karena dia kaya, cantik, punya status sosial yang tinggi, dan lain sebagainya. Tentu saja bukan karena hal-hal demikian kita diharuskan dalam memilih teman.

Islam menganjurkan agar kita hati-hati dalam memilih teman dengan tujuan agar kita tidak berteman melainkan dengan orang-orang mukmin yang shalih dan taat beragama. Sebab, tak dapat dipungkiri, teman cepat atau lambat akan memberikan pengaruh terhadap diri kita.  Tabiat dan watak seseorang dapat terbentuk melalui pergaulan dan interaksi dengan lingkungan sekitar.

Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya perumpamaan teman baik dengan teman buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi maka dia akan menghadiahkannya kepadamu atau kamu membeli darinya atau kamu akan mendapat aroma wanginya. Adapun pandai besi maka boleh jadi ia akan membakar tubuhmu atau pakaianmu atau engkau akan mencium bau busuk darinya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Lalu, bagaimana sebenarnya ciri teman yang baik? Yang pertama, tentunya ia haruslah seorang mukmin sebagaimana sabda Rasulullah saw,
“Janganlah kamu mengambil teman kecuali yang mukmin...” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Karakteristik orang mukmin adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (mukmin) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al Anfal:2)
Yang kedua, ciri teman yang baik adalah yang berakhlaq mulia. Sangat penting menilai akhlaq seorang teman, sebab tabiat manusia memiliki kecenderungan untuk meniru orang yang ada di dekatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya manusia itu seperti sekawanan burung, selalu tertarik untuk saling meniru satu sama lainnya.”

Akhlaq yang mulia mendatangkan kecintaan Allah dan juga kasih sayang manusia. Rasulullah saw bersabda,
"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya, yang paling lapang dadanya, yang mudah bersahabat dan disahabati. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati.” (HR. Ath-Thabrani)
Pahami Hakikat Persaudaraan

Kunci utama dalam membina persahabatan adalah niat yang lurus untuk membangun ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan memegang aqidah dan pedoman yang haq. Jika aqidah telah merasuk ke dalam hati maka akan membawa perasaan cinta dan bersaudara karena Allah semata.

Rasulullah saw bersabda,
“Seorang lelaki mengunjungi saudaranya (seiman) di kota lain. Lalu Allah mengirim seorang malaikat untuk mengikuti perjalanannya. Tatkala bertemu dengannya malaikat itu bertanya, ‘Kemanakah engkau hendak pergi?’ Ia menjawab, ‘Aku hendak mengunjungi saudaraku di kota ini.’ Malaikat itu bertanya lagi, ‘Adakah suatu keuntungan yang engkau harapkan darinya?’ Ia menjawab, ‘Tidak ada, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’ Maka, malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena Allah.’” (HR. Bukhari-Muslim)
Tidak terbantahkan lagi bahwa kunci yang paling penting dalam pertemanan adalah menghadirkan Allah dalam landasan hubungan dan kasih sayang di antara mereka. Sebab, Allah menetapkan cinta-Nya bagi orang yang saling mencintai karena Dia.

Agar Pergaulan Tak Jadi Sesalan

Pada akhirnya, kita akan mendapati bahwa teman yang tidak baik akan membawa temannya ke dalam keburukan di dunia dan mendorong ke dalam neraka di akhirat.

Teman yang jahat akan membawa temannya ke jurang bencana dan mengantarkannya ke neraka jahanam. Dan di akhirat mereka akan berubah menjadi musuh yang saling menjatuhkan.

Allah SWT berfirman,
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh  bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS.Az Zukhruf:67)
Seorang mukmin itu ibarat cermin bagi mukmin lainnya. Ketika ia melihat sahabatnya maka seolah-olah ia melihat dirinya sendiri.

Rasulullah saw bersabda,
“Mukmin itu ibarat cermin bagi mukmin lainnya yang senantiasa mencegah saudaranya dari kebangkrutan dan senantiasa melindunginya dari marabahaya.” (HR. Abu Dawud)
muslimah

Teman yang baik akan mencegah kita dari kebangkrutan. Ia memberi nasehat berharga saat kita khilaf, menjaga dan membela kehormatan kita tatkala kita tak berada di sampingnya. Menghibur kita tatkala sedih dan membantu kita saat membutuhkan pertolongan. Walalupun tak berhubungan darah, tidak ada keuntungan harta yang diperoleh, dan tidak ada ikatan duniawi. Tujuannya, hanya ridho Allah di dunia dan di akhirat. Wallahu’alam bishowwab.

Hikmah Nuzulul Qur'an : Al Qur'an Sumber Undang-undang Negara

Al Qur'an
Kaum muslimin rahimakumullah,

Allah SWT berfirman: Kitab (Alquran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (QS. Al Baqarah 2).  

Dalam tafsir Jalalain dikatakan bahwa Alquran yang dibaca oleh Nabi Muhammad saw. yang tidak ada keraguan bahwa berasal dari sisi Allah SWT adalah petunjuk bagi orang-orang yang menuju taqwa dengan mengikuti perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya untuk membentengi diri mereka dari api neraka.

Artinya, orang-orang yang ingin menjadi orang yang bertaqwa, yakni mengikuti segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya harus yakin bahwa buku petunjuknya tidak lain dan tidak bukan adalah Alquran. Dan untuk bisa mengikuti segala perintah Allah SWT harus mengetahui apa saja perintah Allah SWT yang diturunkannya di dalam Alquran.  Demikian juga untuk bisa menjauhi segala larangan Allah SWT harus mengetahui apa saja yang dilarang oleh Allah SWT di dalam Alquran.

Oleh karena itu, orang-orang mukmin yang ingin menjadi seorang bertaqwa (muttaqin) maka dia memiliki tugas-tugas berikut: Pertama, meyakini bahwa Alquran adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah saw. sebagai petunjuk bagi siapa saja yang mau bertaqwa kepada Allah SWT.

Kedua, menjadikan Alquran sebagai bacaan harian-Nya  dan berusaha mengerti ayat-ayat Allah SWT tersebut.

Ketiga, belajar hukum halal haram kepada ulama yang bisa menerangkan tafsir ayat-ayat hukum (ayatul ahkam) agar mengerti apa perintah dan larangan-Nya dalam ayat-ayat Alquran.  

Keempat, menjadikan hukum-hukum halal haram tersebut sebagai standar perbuatannya (miqyasul a’mal) sehingga dia benar-benar menjalankan segala perintah Allah SWT (yang wajib maupun yang sunnah) dan menjauhi segala larangan-Nya atau apa saja yang Dia haramkan.

Alquran adalah Undang-undang  Allah untuk Manusia

Kaum muslimin rahimakumullah,

Allah SWT berfirman:
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al Baqarah 185).
Dalam Tafsir Al Wajiz karya al Waahidiy diterangkan bahwa Alquran yang diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih dari 20 tahun itu merupakan petunjuk buat kehidupan manusia dan mengandung ayat-ayat yang jelas tentang hukum-hukum, hudud, dan perkara halal haram serta membedakan antara yang hak dan batil. Dengan demikian Alquran layak menjadi pedoman kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan berkeluarga, kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Alquran memangsecara komprehensif menjelaskan kepada manusia bagaimana mengelola kehidupan. Alquran menerangkan tentang keimanan dan aqidah yang harus dipeluk oleh hati manusia agar menjalani hidup dengan arah dan petunjuk yang jelas.  Allah SWT menjelaskan peta jalan (road map) hidup manusia dalam firman-Nya:
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (QS. Al Baqarah 28).
Allah SWT memproklamirkan bahwa Dia menciptakan manusia adalah untuk semata beribadah kepada-Nya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat 56).
Dan Allah SWT minta kepada orang yang beriman kepada-Nya agar melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala laramngan-Nya selama hayat segaimana firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran 102).
Allah SWT meminta kepada siapapun mukmin, baik laki-laki maupun perempuan untuk terikat dengan hukum syariat apapun yang menjadi keputusan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab 36).
Allah SWT meminta kepada semua umat Islam untuk menegakkan syariat Islam dalam seluruh kehidupan mereka secara kaffah sebagaimana firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(QS. Al Baqarah 208).
Allah SWT melarang umat Islam seperti orang-orang Bani Israil yang hanya menerima sebagian Al Kitab dan Dia SWT mengancam mereka yang pilih-pilih ayat al Kitab, tidak mau mengikuti Al Kitab secara menyeluruh, dengan ancaman serius dunia akhirat sebagaimana firman-Nya:
“...apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (QS. Al Baqarah 85).
Allah SWT meminta kepada penguasa muslim untuk menerapkan hukum syariat Allah SWT dalam setiap keputusan hukumnya termasuk kepada warga negara non Muslim.  Allah SWT berfirman:
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu...(QS. Al Maidah 49).
Alquran Sumber UUD di NKRI

Kaum muslimin rahimakumullah,

Dari kandungan ayat-ayat di atas jelaslah bahwa Alquran menjadi pedoman dasar UU negara termasuk di NKRI yang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat dijelaskan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Siapa Tuhan Yang Maha Esa tersebut? Tentu tidak lain adalah Allah Yang Maha Kuasa yang disebut dalam alinea ketiga pembukaan UUD 1945 tersebut. Allah Yang Maha Kuasa telah menurunkan ayat-ayat Alquran di atas dan di dalam QS. Al Maidah 49 secara tegas Allah memerintahkan kepada siapapun penguasa muslim dari zaman Nabi Muhammad sampai akhir zaman agar menerapkan hukum yang diturunkan oleh-Nya.  Dengan demikian menjadikan Alquran sebagai sumber UUD dan UU di NKRI adalah sesuai dengan perintah Allah Yang Maha Kuasa yang merupakan landasan konstitusional NKRI. Dengan demikian menjadikan NKRI menerapkan syariat Allah Yang Maha Kuasa secara formal konstitusional adalah merupakan kewajiban seluruh bangsa secara konstitusional, lebih-lebih buat umat Islam yang beriman kepada Alquran. Dan ini akan membuka pintu-pintu keberkahan Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf 96).
Baarakallahu lii walakum...

Inilah Ajaran Sesat Tajul Muluk yang Disebarkan di Masyarakat Sampang

fakta syi'ah
Ajaran yang disebarkan Tajul Muluk, menurut para ulama yang tergabung dalam Forum Musyawarah Ulama (FMU) Madura dan Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA), adalah terkategori sebagai Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Dalam sebuah dokumen hasil penelitian tentang Syiah di Sampang dikatakan secara resmi untuk menelusuri ajaran-ajaran Tajul melalui dokumen memang sulit dilakukan, karena buku-buku ajaran Tajul sudah sulit diakses dan sulit diketahui keberadaannya.

Tetapi, karena pada tahun 2006 Tajul pernah dipanggil oleh para ulama, sanak kerabatnya dan pemerintah untuk mengklarifikasi ajarannya, pada saat itu Tajul membawa setumpuk literatur kitab-kitab Syiah. Seperti diketahui literatur Syiah yang terkenal di antaranya Al Kafi karya al-Kulani, Man La Yahdhuruhul Faqih karya Muhammad bin Bawaih al-Qummi, Tahdzibul Ahkam dan Al Istibshar karya Abu Ja'far Muhammad bin Hasan al-Thusi.

Berdasarkan dokumen-dokumen yang ada, ajaran Tajul Muluk yang mencolok di masyarakat mencakup rukun iman, rukun Islam, cara shalat, nikah mut'ah, adzan, iaqamah, wudhu, shalat jenazah, aurat dan pelaksanaan perayaan-perayaan.

Rukun Iman. Rukun iman yang diajarkan Tajul terdiri atas lima rukun: (1) Tauhidullah (pengesaan Allah), (2) An-Nubuwah (Kenabian), (3) Al-Imamah, yang terdiri dari 12 imam, (4) al-Adil dan (5) Al-Maad (Hari Kiamat/Pembalasan).

Rukun Islam. Rukun Islam menurut mereka ada delapan, di antaranya: (1) Salat (tidak menggunakan syahadat), (2) Puasa, (3) zakat, (4) Khumus (bagian 20% dari harta untuk jihad fi sabilillah), (5) Haji, tidak wajib ke Makkah, cukup ke Karbala, (6) Amar Ma'ruf Nahi Munkar, (7) Jihad fi Sabilillah (jihad jiwa raga), (8) Al-Wilayah (taat kepada Imam dan bara' terhadap musuh-musuh Imam).

Shalat. Shalat yang diajarkan Tajul muluk hanya dilakukan tiga waktu saja, yakni Zuhur digabung dengan Ashar (dilakukan 1 kali saja), Maghrib digabung dengan Isya' (dilakukan 1 kali saja) dan Subuh merupakan bonus (tidak perlu dilakukan). Menurut catatan laporan masyarakat yang diterima Kejaksaan Negeri Sampang per tanggal 21 Desember 2011, disebutkan bahwa pada saat salat tidak ada bacaan fardhu. Kemudian sesudah salam ada takbir tiga kali yang intinya melaknat sahabat Nabi, yakni Abu Bakar, Umar dan Utsman karena dianggap kafir.

Nikah Mut'ah (Kawin kontrak). Disebutkan pernikahan yang dilakukan tanpa wali dan saksi bisa dilakukan hingga 100 kali. semakin banyak mut'ah maka derajat imannya semakin tinggi. Menurut laporan, salah satu pengikut Tajul, Alimullah melakukan mut'ah dengan Ummul Qurro, yang masih muridnya sendiri. Karena tak disetujui kedua orang tua masing-masing, mereka akhirnya cerai.

Adzan. Adzan yang dipraktikkan ditambah dengan kalimat Asyhadu anna Aliyan wali Allah dan Asyhadu anna Aliyan hujjatullah.

Wudhu. Wudhu cukup menggunakan air sedikit, satu gelas saja cukup untuk mengusap. Menurut pengikut Tajul, wudhu hanya dilakukan dengan membasuh muka dan tangan saja. Sedangkan yang lainnya hanya diusap. Kalau tidak sama seperti itu, batal wudhunya.

Shalat Jenazah. Shalat jenazah menurut mereka hanya merupakan doa, tidak wajib dan tidak memakai wudhu dan salam.

Aurat. Aurat bagi mereka hanyalah pada alat vital saja. Memakai pakaian tidak suci tidak masalah asalkan yang dipakai alat vital suci.

Ajaran lainnya yang sampai kepada masyarakat adalah bahwa al-Quran yang ada saat ini sudah tidak orsinil lagi karena sudah diubah oleh sahabat Nabi, Utsman bin Affan. Mereka meyakini Al Quran yang asli tiga kali lebih banyak dari Al-Quran yang ada sekarang. Al Quran yang lengkap dan utuh itu diyakini sedang dibawa oleh Imam Mahdi yang ghaib.

Selain itu mereka juga mengharamkan salat tarawih, shalat duha, puasa asy-Syura, makan jeroan dan ikan yang berisik. Buka puasa mereka lakukan pada waktu Isya.

Sementara BASSRA, berdasarkan hasil rapat pada Selasa 3 Januari 2012, menyimpulkan ada 10 poin kesesatan ajaran Tajul Muluk, antara lain:

Pertama, mengingkari salah satu rukun Iman dan rukun Islam.
Kedua, meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil al Quran dan Sunnah
Ketiga, meyakini turunnya wahyu sesudah Al-Quran
Keempat, mengingkari otensitas dan kebenaran Al-Quran
Kelima, menafsirkan Al Quran tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir
Keenam, mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai ajaran Islam
Ketujuh, melecehkan dan atau merendahkan Nabi dan Rasul
Kedelapan, mengingkari Nabi muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir
Kesembilan, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat
Kesepuluh, mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i.

Ajaran Tajul ini tidak serta merta diberikan langsung kepada semua pengikutnya. Bagi kalangan awam ajaran-ajaran ini disampaikan secara bertahap. Jadi bagi mereka yang awam dan baru bergabung dengan kelompok Tajul bisa saja mereka akan menganggap semua tudingan ini sebagai fitnah.

Berdasarkan pengakuan salah seorang warga yang pernah menjadi pengikutnya, M Nur, sejak 2008 Tajul mulai menyampaikan khutbah Jumat bahwa rukun Islam ada 8, rukun iman ada 5, khalifah Nabi Muhammad Saw bukan Abu Bakar, Abu Bakar dikatakan merampok dari Ali.

M Nur mengaku setelah kurang lebih dua tahun menjadi pengikut Tajul, ia baru tahu adanya penistaan terhadap sahabat Nabi. Menurutnya ia pertama kali terkejut ketika ada perayaan Ghadir Khum di Pasean, Pamekasan, di rumah Habib Mustofa. saat itu dibahas ketentuan khalifah yang sudah ditentukan oleh Allah khusus kepada Ali, tetapi dirampok oleh Abu Bakar. Puncak dari acara peringatan Ghadir Khum adalah melaknat Abu Bakar dan Utsman. Ayat-ayat dalam Al-Quran yang menyebut kata thagut mereka maknai sebagai Abu Bakar dan Umar.

Thursday, July 25, 2013

Ide Buat Bapak Presiden SBY Mengenai Sweeping Ormas

kirim artikel
Setelah tiga kali meng-upload status tentang sweeping yang dilakukan FPI, saya mencoba memahami alasan mengapa sebagian umat islam kagak setuju dengan FPI. Pada dasarnya mereka tidak menyalahkan FPI. Justru mereka sangat setuju jika kemaksiatan diberantas. Hanya saja mereka tidak setuju dengan cara FPI yang terkesan anarkis.

Jadi kita memiliki kesepakatan bahwa kemaksiatan harus di basmi. Jika demikian ada 3 solusi agar pro dan kontra ini terselesaikan, yaitu:

1. Masing-masing pihak menggunakan cara mereka sendiri2. FPI dengan cara keras sedangkan yang kagak setuju menggunakan cara halus.

2. Orang yang tidak setuju dengan cara FPI, bersedia ikut sweeping bersama FPI. Ketika menemukan tempat maksiat, pertama2, kalian menasihati para pelaku maksiat dengan cara yang menurut anda halus. Jika mereka melawan, maka FPI yang maju.

3. Polisi harus mendukung kerja sama tersebut. Mereka juga harus ikut Sweeping bersama FPI. Dengan demikian, sebelum FPI melakukan kekerasan, polisi langsung menangkap para pelaku maksiat.

Jika ini terealisasikan, maka setidaknya ada dua keuntungan yang akan kita dapatkan, yaitu:

1. Persatuan. Sebab Polisi, ormas dan masyarakat bersama-sama memberantas kemaksiatan.

2. Hukum dapat ditegakan.

Keuntungan lain yang mungkin kita dapatkan dengan solusi ini adalah Presiden akan mendapatkan penghargaan dari internasional sebab telah mampu menciptakan persatuan antara pemerintah, ormas dan masarakat dalam menegakkan hukum. Ini ide dari saya... Bagaimana menurut kalian?

Wassalaam

Qosim Ibn Aly | Golek Suwargo

Tuesday, July 23, 2013

Mengusap Wajah Setelah Shalat

fiqih

Setiap kali usai berdo’a Rasulullah SAW mengusap wajah. Dalam hadits yang diriwayatkan dari As Sa’ib bin Yazid dari ayahnya disebutkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
“Bahwa ketika berdoa Rasulllah SAW mengangka kedua tangan dan mengusap wajah dengan kedua tangan” [Sunan Abi Dawud, nomor 1275]
Demikian juga bagi orang yang telah usai melaksanakan shalat disunnatkan mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sebab secara bahasa kata shalat mempunyai arti berdo’a karena memuat do’a-do’a. Maka orang yang melaksanakan shalat otomatis memanjatkan do’a. Dan oleh karena itu disunnatkan baginya mengusap wajah setiap kali usai melaksanakan shalat.

Praktek demikian juga didukung oleh hadits yang diriwayatkan dari Anas dalam Kitab Ibnu As Sunniy:

كانَ رسولُ اللَّه صلى اللّه عليه وسلم إذا قَضى صلاتَه مسحَ جبهتَه بيده اليمنى، ثم قال : ” أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ اللَّهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أذْهِبْ عَنِّي الهَمَّ والحزنَ
Ketika selesai shalat Rasulullah SAW mengusap kening beliau dengan tangan kanan, keudian membaca: Asyhadu An Lailaha illa Allah Ar Rahman Ar Rahim, Allahumma Adzhib ‘Anni Al Hamm wa Al Hazan” [Al Adzkar An Nawawiyyah; 69]
Wallahui a’lam bisshowab

Bertawassul dengan Orang-Orang Shaleh

tauhid
Yang dimaksud dengan bertawassul dengan para nabi dan wali adalah memohon kepada Allah SWT dengan menempatkan mereka sebagai sebab dan sarana mencapai tujuan dan Allahlah yang mewujudkannya. Demikian itu karena Allah memberi kemulyaan pada mereka, bukan karena mereka yang melakukan. Keyakinan yang benar seperti inilah yang berlaku pada semua perbuatan dan kejadian. Pisau –misalnya- tidak dapat memotong dengan sendirinya. Yang memotong adalah Allah SWT. Pisau hanyaah Sabab ‘Adiy (sebab kebiasaan) dimana Allah biasa menciptakan pemotongan saat disertainya. [Al Fajru As Shadiq, hal. 53-54]

Terdapat beberapa dalil yang menyebutkan keutamaan bertawassul. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” [QS Al Ma’idah; 35]
Dan dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” [QS An Nisa’; 64]
Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Bahwa ketika umat Islam mengalami kekeringan Umar bin Al Khatthab memohon hujan bertawassul dengan Abbas bin Abdul Mutthalib. Umar berdoa, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepadamu dengan Nabi kami lalu Engkau turunkan hujan pada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami. Maka turunkanlah hujan pada kami.” Lalu hujanpun turun pada mereka.” [Shahih Al Bukhari, nomor 954]
Kemudian Abbas memanjatkan do’a:

اللهم إنه لم ينزل بلاء إلا بذنب، ولم يكشف إلا بتوبة، وقد توجّه القوم بي إليك لمكاني من نبيك، وهذا أيدينا إليك بالذنوب، ونواصينا إليك بالتوبة، فاسقنا الغيث
Ya Allah, sesungguhnya musibah tidak turun kecuali karena dosa. Dan musibah tidak hilang kecuali dengan bertaubat. Orang-orang telah menemuiku untuk bermohon pada-Mu, karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. Inilah tangan kami, menengadah kepadamu dengan dosa-dosa. Dan kami kembali kepada-Mu untuk bertaubat. Maka turunkanlah hujan pada kami.” [At Tahdzir min Al Ightirar, hal 125]
Di hadapan Allah SWT manusia adalah sama, baik saat mereka masih hidup maupun sudah meninggal. Al Qur’an menegaskan bahwa orang-orang yang meninggal sebagai syahid dan orang-orang shalih itu tetap hidup dan tidak mati. Bukankah baik yang mati maupun yang hidup adalah sama-sama ciptaan Alah SWT yang tidak memiliki peran apa-apa sama sekali, karena yang berperan satu-satunya hanyalah Allah SWT. [Kasyf an Nur ‘an Ashab al Qubur, hal 13]

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” [Qs Ali Imran; 169]
Dalam ayat lain disebutkan :

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” [QS Al Baqarah; 154]
Tidak ada perbedaan antara bertawassul dengan Rasulullah SAW dengan rasul lainnya, demikian juga antara para nabi dan orang-orang shalih, baik saat mereka hidup maupun setelah meninggal, karena mereka memang tidak dapat menciptakan maupun memiliki peranan sama sekali. Keberkahan diharapkan dari mereka karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Jika ada yang meyakini bahwa mereka dapat berperan saat masih hidup dan tidak ketika telah meninggal, maka sama dengan meyakini orang hidup dapat berperan. Dan keyakinan yang demikian berarti telah tercemari unsur kemusyrikan. [Syawahid al Haq, hal. 158-159]

Orang yang bertawassul tidak dapat dimasukkan dalam firman Allah SWT:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” [QS Az Zumar; 3]
Pengakuan mereka bahwa mereka “tidak menyembah berhala-berhala itu melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah” jelas-jelas berupa penyembahan. Sedangkan orang yang berwasilah kepada dengan nabi atau orang shalih sama sekali tidak menyembah mereka. [At Tahdzir min Al Ightirar, hal. 113]

Berdasarakan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan hadits bertawassul hukumnya boleh, bahkan dianjurkan sebagai salah satu cara berdo’a kepada Allah SWT.

Wallahui a’lam bisshowab

Monday, July 22, 2013

Bersalaman Setelah Shalat

fiqih
Bersalaman antar  sesama umat Islam adalah hal yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, dimana hal itu bertujuan memupuk rasa ukhuwah Islamiyah. Diantara prakteknya adalah bersalam pada saat beremu. Bahkan jika saudara muslim itu baru tiba dari perjalanan jauh –misalnya melaksanakan ibadah haji- maka disunnatkan pula berangkulan. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits  Al Barra’ bin ‘Azib yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidak ada 2 orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan kecuali keduanya diampuni sebelum berpisah” [Sunan Ibnu Majah, nomor 3692]
Berpedoman pada hadits di atas para uama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum berjabat tangan adalah sunnat. Seandainya dianggap bid’ah maka termasuk bid’ah yang Mubah.  Imam An Nawawi bahkan menilainya sebagai tindakan yang sudah seharusnya dilakukan.

Beliau juga menerangkan bagaimana hukum berjabat tangan khusus seusai shalat Ashar dan shalat Shubuh adalah termasuk bid’ah yang Mubah. Pendapat yang dapat dipilih (Al Mukhtar) adalah bahwa apabila seseorang dengan orang lain itu telah berkumpul sebelum pelaksanaan shalat maka hukum berjabat tangan adalah Bid’ah. Dan apabila keduanya belum bertemu sebelumnya maka hokum berjabat tangan disunnatkan sebab memang iulah saat awal pertemuan mereka. [Fatawi al Imam An Nawawi al Musammah bi Al Masail Al Mantsurah, hal. 61]

Sebagian ulama berpendapat bahwa berjabat tangan usai shalat adalah sunnat karena sesuai dengan hadits  dari Yazib bin Al Aswad:

ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ بِيَدِهِ يَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِي فَوَجَدْتُهَا أَبْرَدَ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبَ رِيحًا مِنْ الْمِسْكِ
“Kemudian orang-orang bergerak memegang tangan beliau dan mengusapkannya ke wajah mereka. Akupun juga ikut memegang tangan beliau danmengusapkannya ke wajahku. Aku rasakan tangan beliau lebih dingin dari es dan lebih wangi dari misak misik” [HR Ahmad dalam Al Musnad, nomor 17147]
Riwayat yang lain disampaikan Abu Juhaifah. [Diriwayatkan oleh Al Bukhari, nomor 3477]

Lebih jauh disebutkan bahwa orang yang melakukan shalat adalah bagaikan orang yang sedang ghaib atau tidak ditempat, baik karena bepergian maupun yang lain. Jadi seusai shalat seakan-akan dia baru saja datang dan bertemu teman sesama muslim. Karena itulah disunatkan untuk bersalaman. Dan yang demikian tentu berlaku untuk kesemua shalat fardlu. [Bughyah al Mustarsyidin, hal. 50-51]

Wallahui a’lam bisshowab

Memegang Tongkat Saat Berkhutbah

fiqih
Pada saat khatib hendak naik mimbar, Muraqqiy meyerahkan kepadanya sebuah tongkat. Khatib menerimananya lalu menggunakannya untuk pegangan tangan kiri selama dia berkhutbah.

Memegang tongkat, tombak, atau busur panah dengan tangan kiri pada saat berkhotbah adalah sunnat, sebagaimana disampaikan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm. [Al Umm, juz 1, hal 272] Pendapat ini berdasarkan pada hadits Sa’id bin ‘Aidz :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ فِي الْحَرْبِ خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ وَإِذَا خَطَبَ فِي الْجُمُعَةِ خَطَبَ عَلَى عَصًا
“Bahwa Rasulullah jika berkhutbah pada waktu perang maka beliau berkhutbah dengan menggunakan busur dan jika berkhutbah pada hari Jum’at beliau menggunakan tongkat” [Sunan Ibnu Majah, nomor 1096]
Dalam hadits lain riwayat Syu’aib bin Zuraiq At Tha’ifi disebutkan:

شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْس
“Kami menyaksikan shalat Jum’at bersama Rasulullah SAW. Beliau berdiri dengan berpegangan pada tongkat atau busur” [Sunan Abi Dawud, nomor 824]
Hikmah berpegangan pada tongkat adalah agar khatib tidak terpancing memain-mainkan tangan atau tidak meletakkan satu di atas yang lain [Ihya’ Ulum ad Din, juz 1, hal.180] dan demi mengkonsentrasikan hati. [Subul as Salam, juz 2, halaman 59]

Wallahui a’lam bisshowab

Penjelasan Mengenai Ghurur

tasawwuf
Ghurur adalah keadaan seseorang yang terkelabui hatinya, baik oleh bisikan-bisikan setan maupun ilusi dirinya sendiri, sehingga dikuasai oleh prasangka yang keliru tentang sesuatu.

Dari segi bahasa, ghurur berasal dari kata gharra-yaghurru-gharran, ghuraran-ghururan, dan ghirrah. Ibn Manzhur dalam karyanya, Lisan al-‘Arab, mengartikan ghurar dengan khida’ (tipuan), thama’ (rakus), dan bathil (batal dan sia-sia).

Dalam kata ghurur ada dua versi penyebutan. Jika dibaca dengan ghurur, maknanya adalah kebathilan-kebathilan. Az-Zujjaj menjelaskan bahwa ghurur adalah jamak dari gharin, yang artinya apa yang dibanggakan dari kesenangan dunia. Sedangkan bilamana dibaca gharur, maknanya segala hal yang menipu dari setan dan manusia dan yang lainnya. Gharur juga dapat diartikan dunia yang melenakan.

Ar-Raghib Al-Ishfahani juga menjelaskan bahwa gharur adalah segala hal yang menipu manusia dari harta, pangkat, jabatan, dan setan. Setan adalah penipu yang paling keji, sedangkan dunia dapat menipu dan merusak.

Dengan demikian ghurur adalah keadaan seseorang yang terkelabui hatinya, baik oleh bisikan-bisikan setan maupun ilusi dirinya sendiri, sehingga dikuasai oleh prasangka yang keliru tentang sesuatu.

Ghurur juga bisa diartikan dengan tertipunya diri dengan diamnya jiwa pada sesuatu yang cocok dengan ajakan hawa nafsu dan ia tidak berusaha menolaknya tetapi bahkan menurutinya.

Kata ghurur, tanpa kata derivatifnya, disebut sembilan kali dalam Al-Qur’an, yaitu QS Ali ‘Imran:185, An-Nisa`:120, Al-An’am:112, Al-A’raf: 22, Al-Isra`: 64, Al-Ahzab: 12, Fathir: 40, Al-Hadid: 20, dan Al-Mulk: 20.

Sedangkan kata gharur disebut tiga kali, yakni Surah Luqman: 33, Fathir : 5, dan Al-Hadid: 14.

Penyebab Ghurur

Di antara penyebab ghurur, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, yaitu ghurur yang disebabkan oleh setan, orang-orang kafir, munafik, dan dunia beserta perhiasannya.

Ghurur yang disebabkan oleh setan di antaranya diterangkan dalam QS An-Nisa‘: 120, “Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka. Padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.

Ayat ini menjelaskan bahwa setan memberikan janji-janji kosong kepada manusia. Akibat dari janji tersebut timbullah angan-angan kosong, padahal yang dijanjikan setan itu tidak ada melainkan tipu daya belaka.

Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, pada ayat sebelumnya, yakni ayat 119 QS An-Nisa‘, telah ditutup dengan penegasan bahwa yang mengikuti setan dan terpedaya oleh janji dan rayuannya akan menderita kerugian yang nyata, maka ayat 120 ini menjelaskan kerugian-kerugian yang didapat.

Selanjutnya pada QS Al-Isra‘: 64, “Dan doronglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.

Dengan ayat ini, Allah menguatkan makna yang terkandung dalam QS An-Nisa‘: 120 bahwa apa yang dijanjikan setan hanyalah tipu daya belaka. Kata ghurur dalam ayat ini dinisbahkan kepada salah satu perbuatan setan dalam mengganggu manusia, yakni menampakkan sesuatu yang sebenarnya buruk dengan bentuk yang indah, atau menjanjikan sesuatu yang tidak akan terjadi dan kalau terjadi akan mengecewakan.

Adapun ghurur yang disebabkan oleh orang-orang kafir dan munafik, Allah SWT memperingatkan orang-orang mukmin agar tidak sampai percaya akan perkataan dan aktivitas orang-orang kafir dan munafik yang menyenangkan, karena perkataan dan aktivitas mereka merupakan tipuan yang akan membawa kepada kelalaian dan kesesatan. Di antara ayat yang menekankan hal ini adalah QS Al-Mukmin: 4, “Tidak ada yang memperdebatkan ihwal ayat-ayat Allah kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.”

Maksud dari ayat ini, ghurur yang dilakukan orang-orang kafir atas Nabi dan sahabat jangan sampai membuat mereka menduga sesuatu yang datang dari orang-orang kafir itu baik padahal sebenarnya buruk. Orang-orang musyrik memang pada saat itu mempunyai kemampuan dan kesenangan hidup, sehingga patut diwaspadai, bukan untuk diikuti dengan pembenaran hati dan perbuatan.

Adapun ghurur yang disebabkan oleh dunia dan perhiasannya dinyatakan dalam QS Luqman: 33, “Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.

Ayat di atas memerintahkan manusia agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mengandung peringatan Allah kepada manusia agar tidak terpedaya oleh dunia dan perhiasannya, karena semua itu tidak akan dapat menolong pada hari yang dijanjikan oleh Allah, yaitu hari Kiamat. Ayat ini mengisyaratkan bahwa gemerlapnya dunia itu sendiri, tanpa faktor lain, sudah cukup berpotensi memperdayakan orang, membuat ghurur diri seseorang. Apalagi jika bergabung dengan ghurur yang dilakukan setan. Setan yang disebut dalam ayat ini dengan gharur atau penipu, yang menjebak seseorang saat kelengahannya, tidak membutuhkan gemerlapnya dunia sebagai sarana untuk membuat manusia terlena. Bukankah banyak orang zuhud dapat diperdaya setan dengan seribu satu caranya?

Kemudian pada QS Fathir: 5, Allah Ta’ala kembali mengingatkan, “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu, tentang Allah.

Yang dimaksud “Janganlah kehidupan dunia memperdayakanmu”, sebagaimana dijelaskan Al-Baidhawi dalam tafsirnya, mengandung arti bahwa dunia melupakanmu dari memikirkan akhirat, karena mengejar kepuasan padanya. Selanjutnya dalam menjelaskan “Dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu, tentang Allah”, Al-Baidhawi menafsirkan, bisikan setan yang mengedepankan ampunan Allah ketika seseorang menjalankan maksiat dengan rayuannya, walaupun besar kemungkinannya Allah mengampuninya atas dosa-dosa ketika seseorang itu jatuh dalam kemaksiatan, seperti meminumkan racun untuk menghi­langkan penyakit.

Begitu pula dengan QS Al-Hadid: 20, “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan kelengahan, serta perhiasan dan bermegah-megah di antara kamu serta berbangga-bangga tentang harta dan anak, ibarat hujan yang mengagungkan petani tanaman-tanamannya kemudian ia menjadi kering, kemudian engkau lihat dia menguning kemudian hancur, dan di akhirat ada adzab keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya, dan tidaklah kehidupan dunia kecuali kesenangan yang menipu.

Ayat ini memperingati manusia, jangan sampai tertipu oleh kegemerlapan dunia dan perhiasannya, karena itu hanyalah kesenangan yang sementara.

Maka dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa makna ghurur adalah tipu daya. Selanjutnya tipu daya tersebut dapat bersumber dari setan, orang-orang kafir, serta kehidupan dunia dan kegemerlapannya, bahkan dari diri sendiri. Semua itu dapat membawa manusia lalai terhadap Allah dan lupa bahwa ada kehidupan yang abadi sesudah kehidupan dunia.

Wallahui a’lam bisshowab

Saturday, July 20, 2013

Patungan Usaha Ustadz Yusuf Mansyur Yang Terdzolimi

Ustadz Yusuf mansyur
Akhir-akhir ini banyak media massa ramai ramai memberitakan tentang permasalahan yang sedang dihadapi oleh Ustadz Yusuf Mansyur mengenai Patungan Usaha yang dijalankan oleh beliau. Tak bisa dipungkiri sedikit banyaknya media juga telah mendzalimi beliau sekaligus sedikit banyaknya awak media menjadikan profesinya sebagai ladang amal untuk menempati neraka, sebab apa ??, sudah maklum di negeri ini media menjadi dua mata pisau yang tajam, bagus ketika mengangkat sebuah kebaikan, serta kejam ketika melihat celah kesalahan, entah itu benar atau tidak yang mereka fikirkan hanya, bagaimana caranya berita itu laku demi memuaskan dahaga keduniawiaan mereka belaka.

Disini saya melihat jelas bahwa awak media mengekspos berita mengenai Ustadz Yusuf mansyur itu dibuat seakan akan benar bahwa Ustadz Yusuf Mansyur itu seorang penipu, tapi padahal jika kita melihat dengan hati yang bersih tanpa memikirkan isi perut untuk mencari sesuap nasi dengan menjual berita fitnah, maka tentu kita faham betapa mulia niat dari Ustadz Yusuf Mansyur untuk menjadikan masyarakat indonesia ini gemar beramal sholeh dengan bersedekah dan berusaha dengan landasan Islam.

Sebenarnya permasalahan berawal dari kekhawatiran para pengamat keuangan, yang ditakutkan investasi yang dilakukan tanpa ijin seperti yang dilakukan Ustadz Yusuf Mansyur. Dikhawatirkan kedepan akan muncul bentuk investasi yang ‘menjual’ nama populer seperti Ustadz Yusuf Mansur ini untuk kepentingan pribadi dan tidak bertanggung jawab atas dana yang dihimpunya. Boleh jadi untuk ustadz yang sudah populer dan dicintai umat seperti beliau sudah sangat kecil keraguan terhadapnya, namun dikhawatirkan kedepan akan banyak oknum yang mengaku ‘ustadz’ yang melakukan penipuan dengan meniru pola usaha yang dijalankan ustadz Yusuf Mansyur ini. Bagaimana tidak menarik, dalam jangka waktu kurang dari 1 tahun saja beliau sudah berhasil menghimpun dana sejumlah lebih dari 24 miliar rupiah.

Tentu kekhawatiran pihak pengamat maupun otoritas keuangan di negeri ini cukup beralasan bahwa semua bentuk usaha yang dijalankan dengan dana masyarakat harus memiliki ijin alias legal di mata hukum. Itu merupakan hal pokok yang kebetulan belum dipenuhi oleh usaha yang di jalankan oleh Ustadz Yusuf Mansyur.

Tentu ini berbeda halnya dengan perkataan media, disini lah mulai campur tangan media yang memang "kelaparan", media mencari sebuah berita yang memliki celah komersil lalu dengan mengada-adakannya mereka ekspos, yang akhirnya malah tanpa mereka sadari malah mereka memfitnah Ustadz Yusuf Mansyur dengan mensejajarkan Patungan Usaha Ustadz Yusuf mansyur itu dengan investasi bodong. Sudah pasti jelas "Bukan Patungan Usaha Ustadz Yusuf Mansyur yang bodong, tapi cara dan pemikiran awak media lah yang bodong", lebih bagus kucing peliharaan saya dirumah yang mendapatkan makanannya dengan tidak melukai kucing yang lainnya.

Seperti yang saya lihat di beberapa harian nasional, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pak Dahlan Iskan berkomentar mengenai Patungan Usaha Ustadz Yusuf Mansyur ini, dan saya melihat beliau bijaksana dan tidak mudah terpengaruh hasutan media yang sudah di maklum tadi seperti diatas sudah saya tulis. Kesimpulan dari saran dan komentar Pak Dahlan Iskan kurang lebih dua point :

1. Menyarankan Ustadz Yusuf Mansur untuk menutup sementara Patungan Usaha itu sampai pada jelas aturan legalnya sekaligus memperdalam mengenai peraturan yang ada.

2. Sebaiknya membuat lembaga publik non-listed company sehingga uang dari umat bisa dimasukkan dan dikelola oleh lembaga tertentu dan bisa diinvestasikan ke instrumen yang tepat.

Demikian sedikit opini saya tentang permasalahan Patungan Usaha yang dijalankan Ustadz Yusuf Mansur. Saya rasa konsep yang diusung oleh Ustadz Yusuf Mansyur ini yaitu "ekonomi berjama'ah" ini sangat positif untuk diimplementasikan di Indonesia ditengah gurita kapitalisme yang menggerogoti negeri ini. Semoga saja permasalahan legalitas usaha beliau tersebut segera bisa diselesaikan agar tujuan mulia tersebut bisa segera tercapai dan awak media yang mendzolimi supaya segera sadar karena telah memfitnah Ustadz Yusuf Mansyur. Aamiin Allahumma Aamiin.

Akhirul kalam, saya sedikit mengutip kalimat dari tweet Ustadz Yusuf Mansyur untuk di fahami : "Mudah-mudahan berita tentang saya (Ustadz Yusuf Mansyur) tidak menutup berita tentang korupsi'

Wassalaam

Friday, July 19, 2013

Menjawab Fitnah Firanda Kepada Habib Munzir - Firanda Berdusta Atas Nama Salaf

fakta wahabi
Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam - Firanda Berdusta Atas Nama Salaf

Mengenai Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam, Siapakah yang berdusta atas nama salaf yaa Duktur Firanda??, introspeksi diri lah dan jangan gunakan hawa nafsu dalam memahami sebuah keterangan, sudah terlalu banyak sepak terjang kaum wahabi yang malah akhirnya membuka topeng asli wahabi sendiri yang ternyata bukan "penegak sunnah", tapi malah "Pembenci Sunnah"

Sudah saya sering katakan, "Apapun itu jika sudah berada dalam pemikiran wahabi maka akan mudah disulap dan dibolak balik menurut keinginan hawa nafsunya", termasuk materi yang akan dibahas ini mengenai hukum mendirikan masjid di atas makam.

Siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya? Siapa pula yang sebenarnya berdusta atas nama salaf?

Perbincangan tentang hukum mendirikan masjid di atas makam, atau shalat di masjid yang terdapat makam di dalamnya, apakah diperbolehkan, seperti yang berlaku dalam amalan salaf maupun khalaf, baik dari belahan bumi timur maupun barat, ataukah terlarang, seperti yang termasyhur sebagai pendapat kaum Wahabi dan semua kalangan yang membenarkan dan menilai bagus pendapat mereka, belakangan marak diperbincangkan.

Awalnya, perbincangan itu bermula dari beredarnya sejumlah tulisan di internet yang menuduh Habib Munzir Almusawa, pengasuh Majelis Rasulullah SAW, berdusta atas nama Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hajar dan kesalahan Habib Munzir dalam menerjemahkan perkataan Imam Baidhawi, serta banyak lagi tuduhan lainnya, terkait boleh-tidaknya mendirikan bangunan di atas makam, shalat menghadap kuburan, dan sebagainya.

Tak tanggung-tanggung, tulisan-tulisan itu menempatkan kata-kata tuduhannya pada Habib Munzir langsung dalam judul-judulnya. Sebut saja, di antara judul-judul tulisannya tersebut, ”Habib Munzir berdusta atas nama Imam Syafi’i”, ”Habib Munzir berdusta atas nama Imam Ibnu Hajar”, ”Habib Munzir salah dalam menerjemahkan perkataan Al-Baidhawi”.

Belakangan, tulisan itu dikompilasi menjadi sebuah buku yang diterbitkan dengan judul Ketika Sang Habib Dikritik karya Firanda. Alhamdulillah, pada Kesempatan yang lalu kami juga sudah buat bantahan mengenai beberapa isi dari buku hujatan firanda itu, bagi pembaca yang berminat membacanya silahkan klik ini : Firanda Menghujat Ulama dan Habaib - Lagu Lama Kaum Wahhabi

Umat Islam di Nusantara ini, yang mayoritas beraqidahkan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang selama ini memiliki keyakinan yang selaras sebagaimana yang dituturkan Habib Munzir Almusawa dalam bukunya Kenalilah Aqidahmu, tampak bereaksi. Tak lama kemudian bermunculan pula tulisan-tulisan yang menangkis tuduhan Firanda, sekaligus menyanggah pendapat-pendapat Firanda, yang justru mengatasnamakan para salaf, seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baidhawi, dan yang lain-lainnya, malah terlihat dengan sangat jelas sekali bahwa Firanda lah yang berseberangan dengan pandangan para ulama salaf dan bersebrangan dengan mayoritas pandangan dan keyakinan umat Islam di Nusantara, bahkan di dunia.

Pendapat Imam Syafi’i

Sebagian orang berpendapat, menguburkan seseorang di samping atau di depan masjid adalah haram. Mereka katakan juga, shalat di masjid yang menghadap kubur adalah haram dan tidak sah. Kubur, menurut mereka, tidak boleh ditinggikan ataupun ditembok secara muthlaq, dan haram menjadikan kubur sebagai masjid.

Mengenai hal ini, para imam terdahulu yang shalih telah menjelaskan dan berfatwa akan hukum-hukumnya. Dan para imam terdahulu yang shalih itu tidak berpendapat seperti yang sebagian orang katakan di atas. Termasuk Imam Syafi’i sendiri tidaklah berpendapat sebagaimana yang dituturkan oleh Firanda dalam tulisan-tulisannya.

Sekarang kita simak pendapat Imam Syafi’i sendiri dalam kitabnya, Al-Umm, juz 1 halaman 92, “Dan pekuburan adalah tempat penguburan untuk umum. Demikian itu sebagaimana aku telah sifatkan, yaitu bercampur dengan mayat-mayat. Adapun padang sahara, tidak ada satu pun kuburan di dalamnya yang, jika suatu kaum kematian seseorang, kemudian tidak diaduk kuburan tersebut, seandainya ia shalat di samping kuburan tersebut atau di atasnya, aku menghukuminya makruh dan aku tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya, karena diketahui benar bahwa tanah itu suci tidak bercampur sedikit pun dengan sesuatu, demikian juga seandainya dikuburkan dua atau beberapa mayat di dalamnya.”

Cukup jelas nash imam Syafi’i tersebut memberikan faidah makna bahwa pekuburan yang tergali adalah najis dan tidak sah shalat di dalamnya. Adapun pekuburan yang tidak tergali, hukumnya suci dan shalat di dalamnya hukumnya sah. Demikian juga ia mengembalikan illat-nya (sebab pelarangan) pada dikhawatirkannya najis: jika najisnya hilang, hilanglah pula hukum kemakruhannya.

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan kuburnya sebagai masjid, karena ditakutkan fitnah atas orang itu atau atas orang lain.” Dikatakan, “Dan hal yang tak diperbolehkan adalah membangun masjid di atas kubur setelah jenazah dikuburkan. Namun bila membangun masjid lalu membuat di dekatnya kubur untuk pewaqafnya atau yang lainnya, tak ada larangannya.” (Faydh al-Qadir V: 274).

Imam Syafi’i menjelaskan, makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan kuburnya sebagai masjid. Imam Syafi’i tidak mengharamkan memuliakan seseorang hingga membangun kuburnya menjadi masjid, namun beliau mengatakannya makruh. Hal ini karena ditakutkan mendatangkan fitnah. Dijelaskan bahwa hal yang dibahas adalah membangun masjid di atas kubur setelah jenazah dikubur. Namun bila membangun masjid, lalu membuat kubur di dekatnya, itu tidak apa-apa. Tidak makruh, tidak pula haram.

Imam Syafi’i dan para sahabatnya sepakat akan makruhnya membangun masjid di atas kubur, baik mayyitnya orang yang termasyhur dengan keshalihannya maupun yang lainnya, karena keumuman haditsnya. Berpendapat pula Imam Syafi’i dan para sahabatnya: Dan makruh shalat menghadap kubur, baik ke mayyit yang shalih maupun yang lainnya (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab V: 316, Darul Fikr).

Sebagian orang membantah dengan menggunakan kelanjutan dari kata-kata dalam Faydh al-Qadir di atas yang berasal dari Az-Zain Al-‘Iraqi, “Zhahirnya bahwasanya tidak ada perbedaan jika dia membangun masjid dengan niat untuk dikuburkan di sebagian masjid, maka termasuk dalam laknat. Bahkan hukumnya haram jika dikubur di dalam masjid. Jika ia mempersyaratkan untuk dikubur di dalam masjid, persyaratan tersebut tidak sah, karena bertentangan dengan kosekuensi waqaf masjidnya.” (Faydh al-Qadir V: 274).

Perkataan Al-‘Iraqi ini sama sekali tidak menentangi perkataan sebelumnya. Al-‘Iraqi menjelaskan ihwal membangun masjid dengan niat jika ia wafat ia minta dikuburkan di tanah waqaf tersebut. Maka syarat yang ia utarakan itu tidak sah. Karena, ketika seseorang mewaqafkan hartanya, berhentilah ia dari memilikinya dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

Kedudukannya terhadap tanah yang ia waqafkan sama dengan kedudukan orang lain terhadap tanah tersebut. Ketika orang lain berhak shalat di atasnya, ia juga berhak shalat di atasnya. Ketika tanah itu kemudian sebagiannya dijadi­kan kuburan, ia pun berhak dikubur di situ sesuai ketentuan yang berlaku bagi orang lain. Jadi, ini adalah berkenaan niat waqaf. Seperti biasanya, mereka gagal memahami perkataan para imam.

Kemudian, shalat di atas kubur tidaklah merusak shalat. Sayyidina Umar pernah melihat Anas shalat di atas kubur. Lalu Umar berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Kuburan, kuburan!).” Namun Anas RA menyangka bahwa Umar berkata, “Al-qamar! (Bulan!)” Maka ketika ia mengerti bahwa yang dimaksud adalah “Al-qabr”, ia pun melangkah, lalu meneruskan shalatnya. Dan Umar tak menyuruh Anas mengulangi shalatnya (Lihat Fathul Bari libni Hajar I: 524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379).

Dan perkataannya “Dan tidak menyuruhnya mengulangi (shalat)” merupakan istinbath (konklusi hukum) dari menerus­kannya Anas akan shalat. Andaikan yang demikian itu merusak shalatnya, tentu diputus shalatnya dan mengu­langinya dari semula (Fathul Bari libni Hajar I: 524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379).

Dalam kaidah ushul fiqh di sebutkan, “Pelarangan menunjukkan atas rusaknya perbuatan yang dilarang, baik berupa perkara ibadah maupun mu’amalah.” Misalnya, larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haidh dan nifas. Maka jika shalat tetap dilakukan, shalatnya rusak. Demikian pula jika hadits shalat menghadap kuburan atau shalat di sisi kuburan adalah sebuah larangan keharaman, sudah pasti shalatnya itu pun rusak dan batal. Tapi sahabat Anas bin Malik tidak mengulangi shalatnya, itu artinya shalatnya sahabat Anas sah dan tidak rusak.

Kemudian, mengenai meninggikan kubur dan menyemen kubur, sebagian orang berkata bahwa hal itu tidak boleh secara muthlaq. Mereka menukil perkataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, “Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan tanah pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah tanah pasir dari selain (galian) kuburan, jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikkan di atas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan, dan kematian bukanlah tempat salah satu dari keduanya, dan aku tidak melihat kuburan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dikapuri.” (Al-Umm I: 316, Darul Ma’rifah, Beirut).

Mari kita lihat kelanjutannya, “Berkata seorang rawi dari Thawus, ’Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam melarang membangun kubur atau mengapur.’ Imam Syafi’i berkata, ’Aku telah melihat salah satu gubernur yang menghancurkan (membongkar) kuburan yang dibangun di Makkah dan tidak melihat para ulama mereka mencela (mengkritik) hal itu. Dan apabila adanya kuburan-kuburan itu di tanah yang dimiliki oleh almarhum semasa hidup mereka atau ahli warisnya setelah ke­matian mereka, tidak ada suatu bangunan pun yang dihancurkan. Dan sesungguhnya penghancuran (pembongkaran makam) itu apabila (tanah pemakaman) tidak ada seorang pun yang memilikinya. Penghancuran (pembongkaran) itu dilakukan agar tak seorang pun dikuburkan di dalamnya, karena bukan tempat penguburan (umum)’.” (Al-Umm I: 316, Darul Ma’rifah, Beirut).

Maka jelaslah bahwa kubur yang tidak boleh dibangun atau ditembok itu adalah kubur yang ada di tanah bukan milik si mayyit semasa hidupnya atau milik ahli warisnya setelah ia wafat. Jika tanah itu adalah milik sendiri, tidaklah mengapa.

Jika suatu kubur dibangun, sedangkan tanah itu bukan miliknya, mendirikan bangunan tertentu akan menghalangi jenazah lain untuk dikubur di situ. Adapun jika tanahnya adalah miliknya, tidaklah mengapa.

Lalu bagaimana dengan tanah yang disewa untuk kubur? Selama masa sewa itu, tidak boleh dibongkar tanpa seizin yang menyewa.

Diperbolehkan bagi muslim atau kafir dzimmiy untuk berwasiat membangun Masjidil Aqsha, atau masjid lainnya, atau membangun kubur para nabi dan para shalihin untuk menghidupkan ziarah dan bertabarruk padanya (Rawdhah ath-Thalibin VI: 98).

Jelaslah, dibolehkan membangun kubur para nabi dan para shalihin demi kenyamanan para peziarah. Kecuali jika shalihin itu dikubur di pemakaman umum dan bukan di tanah miliknya sendiri atau ahli warisnya.

Pendapat Ibnu Hajar dan An-Nawawi

Dalam salah satu tulisannya, Firanda menuliskan: Ibnu Hajar Al-Haitami (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam Madzhab Asy-Syafi’i adalah dilarangnya membangun di atas kuburan para ulama dan shalihin.

Dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya, ”Dan apa pendapat Anda – semoga Allah memperpanjang umar Anda dan memberikan kepada kami bagian dari keberkahan Anda — tentang perkataan dua syaikh (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) dalam (bab) janaa’iz, ’Dibencinya membangun di atas kuburan’, akan tetapi mereka berdua berkata dalam (bab) wasiat, ’Dibolehkannya berwasiat untuk ’imaarah (bangunan) kuburan para ulama dan shalihin karena untuk menghidupkan ziarah dan tabarruk dengan kuburan tersebut.’ Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi? Padahal Anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci.

Jika Anda mengatakan bahwa perkataan mereka berdua kontradiktif, manakah yang raajih (yang lebih kuat)? Dan jika Anda mengatakan tidak ada kontradiksi (dalam perkataan mereka berdua), bagaimana mengkompromikan dua perkataan tersebut?  (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubra 2/17).

Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab, ”Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -- sebagaimana yang ditegaskan (dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (Al-Majmuu’) syarah Al-Muhadzdzab -- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum). Maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut, dihancurkan. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan shalihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di al-Khaadim (maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi, Khaadim Ar-Rafi’i wa Ar-Raudhah — wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini, lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu ’anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (tentang dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran.

Yang dimaksud dengan musabbalah – sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain – yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri menjadikannya sebagai pekuburan. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya, diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlhaq.

Jika telah jelas hal ini, pekuburan yang disebutkan oleh penanya, diharamkan membangun di situ, dan harus dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (kuburan) orang shalih atau ulama.

Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan, dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubraa 2/17).

Asumsi Firanda yang menukil ucapan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di atas jelas keliru. Ia membuat kesimpulan yang salah, seakan Imam Ibnu Hajar melarang mem­bangun di atas kuburan para ulama dan shalihin. Benarkah Ibnu Hajar berpendapat seperti itu?

Ketika seseorang bertanya kepada Imam Ibnu Hajar tentang kesepakatan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i terhadap ke­makruhan membangun di atas kuburan namun di kesempatan lain Imam Nawawi dan Imam Rafi’i bersepakat di­bolehkannya berwasiat untuk ’imarah kuburan para ulama dan shalihin karena untuk menghidupkan ziarah dan tabaruk dengan kuburan tersebut, apakah dua ucapan ini kontradiktif?

Imam Ibnu Hajar menjawab, ”Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan --sebagaimana yang ditegaskan (dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (Al-Majmu’) syarah Al-Muhadzdzab -- adalah diharamkannya membangun di ku­buran yang musabbalah (yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum).

Kalimat al-maqbarah al-musabbalah inilah yang pemahamannya tak disertakan oleh Firanda. Ia sekadar menulis dan menukil, namun pemahaman yang dimaksud oleh Imam Ibnu Hajar ditolaknya. Justru di sini Firanda telah menyalah­gunakan ucapan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

Dalam Madzhab Syafi’i rahimahullah, ada beberapa hukum membangun bangunan di maqbarah (pekuburan). Pertama, hukum al-bina’ (bangunan) di tanah kubur milik sendiri. Hukumnya, ada ulama yang mengatakan makruh, tapi ada juga yang berpendapat boleh. Imam Ibnu Hajar membolehkan membangun, semisal qubbah bagi kuburan orang shalih. Bahkan ia menilai, itu sebuah qurbah (pendekatan diri kepada Allah).

Yang kedua hukum al-bina di pekuburan musabbalah (pekuburan yang telah dibiasakan oleh warga untuk mengubur warga setempat yang meninggal), hukumnya diperinci sebagai berikut:

Jika si mayat yang dikubur itu orang biasa, hukum membangun sesuatu di atas kuburan tersebut adalah haram dan wajib dihancurkan. Jika si mayat yang dikubur itu orang shalih, hukum membangun sesuatu di atas kuburan tersebut hukumnya boleh. Tapi ada pula yang berpendapat tidak boleh, dan yang membolehkannya ini dipelopori oleh Imam Nawawi dan diikuti Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

Simak penjelasan berikut ini, Imam Nawawi berkata, “Dan dimakruhkan memplester kuburan, juga makruh membuat tulisan (selain untuk nama pengenal) atasnya. Dan apabila membangun suatu bangunan di pekuburan musabbalah, bangunan itu dihancurkan.” (Minhaj ath-Thalibin: 1/360).

Dalam kitab yang lain Imam Nawawi berkata, “Berkata sahabat-sahabat kami rahimahumullah, ‘Tidak ada perbedaan di dalam bangunan antara bangunan qubbah, rumah, atau selainnya. Kemudian dilihat, jika pekuburan itu pekuburan musabbalah, semua itu diharamkan. (Al-Majmu’: 5/260).

Ia juga berkata dalam kitab Tahdzib-nya, “Dan dimakamkan, yakni Ibrahim putra Rasulullah SAW, di Pekuburan Baqi’, kuburannya termasyhur dan di atasnya dibangun qubah pada saat permulaan Baqi’.” (Tahdzib Al-Asma juz 1 hlm. 116).

Umat Islam tak Menyembah Nabinya

Kejanggalan ulasan Firanda semakin terasa saat dalam salah satu tulisannya ia mengatakan, ”Para pembaca yang dirahmati Allah, dalam artikel-artikel yang saya tulis untuk menyanggah aqidah dan keyakinan Habib Munzir dan para pemakmur kuburan, saya sama sekali tidak menukil perkataan Muhammad bin Abdul Wahhaab rahi­mahullah… bahkan saya menukil perkataan para ulama Syafi’iyah…!!!! Namun tatkala sebagian mereka tidak setuju dengan apa yang saya paparkan, dengan mudahnya mengatakan dan menuduh saya sebagai Wahabi. Kenapa tidak sekalian saja mengatakan bahwa Imam As-Syafii dan Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitamiy (yang tidak setuju dengan hobi mereka memakmurkan dan mencari barakah di kuburan) juga adalah Wahabi??!!

Masalahnya, siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum wahhabi yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya seperti anda yaa duktur firanda andirja? Siapa pula sebenarnya yang berdusta atas nama salaf?

Para pengikut Madzhab Imam Syafi’i, termasuk Habib Munzir, tentu paham betul bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larangan menyembah kuburan”. Apa yang ditulis Habib Munzir mestinya disimak berdasarkan relevansi tema dari apa yang beliau sampaikan.

Demikian pula jawaban Imam Ibnu Hajar Al-Haitami kepada si penanya, berkaitan pembangunan yang ada di tanah kuburan yang musabbalah, bukan milik pribadi. Adapun tanah kuburan milik pribadi, Ibnu Hajar dan An-Nawawi serta yang lainnya menghukuminya makruh. Itu pun jika tidak ada hajat. Jika ada hajat, seperti khawatir dicuri, atau digali binatang buas atau kebanjiran, hukumnya boleh alias tidak makruh.

Dari keterangan di atas tampak pula bahwa Imam Nawawi dan Ibnu Hajar bersepakat dalam pendapat mereka bahwa dibolehkan membangun qubah di kuburan nabi, syuhada, awliya’, dan shalihin di pekuburan, selain musabbalah dan mauqufah (tanah waqaf).

Demikianlah. Dalam melontarkan berbagai tuduhan kepada Habib Munzir, tampak bahwa Firanda telah menyalahgunakan ucapan para imam, Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar, dan para imam lainnya. Ia mengklaim bahwa para imam tersebut melarang membangun di atas kuburan para ulama dan shalihin dan seolah ingin membuat kesan bahwa para ulama besar salafush shalih memiliki paham yang bersesuaian dengan paham kaum Wahhabi.

Membangun masjid di atas kubur adalah hal yang telah terjadi pada makam Nabi, Sayyidina Abu Bakar, dan Sayyidina Umar. Memang benar bahwa tadinya kubur-kubur mulia ini berada di samping masjid. Dan ini menunjukkan bolehnya mengubur di dekat masjid. Tetapi kemudian masjid Nabi diperluas, sehingga dibangunlah masjid Nabi itu, termasuk di atas kubur-kubur mulia tersebut. Namun niatnya bukanlah untuk menyembah dan bersujud kepada kubur-kubur mulia itu.

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah melaknat orang Yahudi, yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud.”

Doa Nabi SAW tersebut agar makamnya tidak dijadikan watsanan yu’bad (berhala yang disembah) merupakan titik penerang atas makna dan illat dari hadits di atas. Juga merupakan sebuah isyarat Nabi SAW pada umatnya agar tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, menyembah kuburan nabi mereka sebagai watsanan yu’bad.

Telah terkabullah doa Nabi SAW tersebut. Terbukti, kaum muslimin sejak awal hingga sekarang ini tidak ada satu pun yang menjadikan kuburan Nabi SAW sebagai watsanan yu’bad.

Dalam ilmu-Nya, yang terdahulu, Allah SWT menakdirkan sebuah masjid yang agung dibangun di atas makam nabi-Nya yang mulia. Bagi Allah SWT, Nabi SAW terlalu mulia jika jasadnya menjadi perantara untuk hal-hal terlarang yang membuat pelakunya terlaknat. Apatah lagi kalau hal itu harus berlangsung selama berabad-abad dan melibatkan setiap insan muslim dari masa ke masa.

Andai mendirikan masjid di atas makam Rasulullah SAW terlarang, tentu Allah SWT menjaga jasadnya dari hal tersebut. Itu pertanda bahwa mendirikan masjid di atas makam adalah hal yang diridhai-Nya. Orang yang tak memahami ini adalah orang yang tak mengenal kedudukan Nabi SAW di sisi Tuhannya.

Wassalam
 
Top